Judul : Just one star warms you, a million keep me cool
Author : brujadelmar
Pasangan utama : Park Chanyeol/Do Kyungsoo
Pasangan sampingan :
Kim Jongdae/Kim Junmyeon/Kim Minseok
Huang Zitao/Lu Han
Alih bahasa : neko chuudoku
Catatan : SLASH. ChanSoo. Hybrid AU. Hybrid!Chanyeol & human!Kyungsoo.
Peringatan : Kurungan; menyinggung aktivitas ilegal; bunuh diri; adegan/konten dewasa.
.
Fanfiksi ini ditulis oleh author brujadelmar untuk Bottom!Soo Fest dengan prompt berikut :
Mega-miliarder Do Kyungsoo tak menginginkan apapun lagi. Dia punya kuasa, kekayaan, dan reputasi. Disaat bosan dengan siklus hidupnya yang begitu-begitu saja, seorang pedagang pasar gelap menawarinya hibrida burung. Namun itu bukan hibrida burung biasa, melainkan Phoenix.
.
Just one star warms you, a million keep me cool
.
Orang dulu bilang ketika Saturnus kembali ke titik yang sama dengan waktu kelahirannya, hidup akan runtuh. Tapi hidup Kyungsoo tak pernah mengalami krisis. Hidupnya tak pernah berubah, tak ada seharipun yang berbeda dari rencana. Dia tahu apa yang dia mau dan cara mendapatkannya. Dia punya kekuatan, disiplin, dan tentu saja, dia punya sarana.
Sarana dalam arti uang.
Keluarga Kyungsoo tak memiliki satu pekerjaan ataupun satu bidang—mereka seperti gurita. Pernikahan orang tuanya adalah gabungan dua korelasi bisnis: teknologi senjata dan obat-obatan; di mata publik, keamanan dan farmasi. Kyungsoo tak memiliki ketertarikan pada salah satunya—atau pada bisnis sebenarnya: kesepakatan, negosiasi. Kyungsoo punya pemikiran simpel, terfokus pada angka dan matematika. Untungnya, kakak lelakinya lebih lihai dalam berbicara; Seongwoo ahli membuat orang mendengarkannya, seorang politisi alami dan lebih fotogenik.
Sederhananya, Kyungsoo adalah seorang akuntan.
Selain berita, pekerjaan dalam, dan panggilan telepon, tak ada yang dapat menarik perhatiannya. Hasil kerjanya yang baik menjadikannya orang penting dan yang dia minta hanyalah privasi. Rasanya nyaman berjalan-jalan di kota, di bangunan-bangunan milik keluarganya, atau hanya duduk di sembarang kafe sementara orang di sekitar sama sekali tak menyadari posisi dan kekuasaannya. Itu membuatnya merasa bagai dewa, tak terlihat namun penuh kemungkinan.
Sempurna, sebuah kata istimewa. Bila dia selalu puas, bila dia tak pernah bertemu kekosongan, apakah dia betul-betul mengerti arti kesempurnaan hidup? Dia akan bertanya pada diri sendiri beberapa kali, kala beristirahat. Dia tak suka berlibur, tak suka pesta atau kelab, dia menghindari tempat ramai dan pertunjukan populer. Dia memperhatikan orang-orang kaya seusianya secara pasif, berjalan dengan pakaian mahal, dikelilingi wartawan, dan diikuti hibrida-hibrida serta petugas keamanan mereka. Kyungsoo merasa aneh, berbeda, dan ini membawakan rasa sepi yang tak bisa dia benci atau cintai.
"Kyungsoo," suara stabil Yixing menyadarkannya dari lamunan. "Kau dengar aku?"
Kyungsoo berkedip. Dia tengah duduk di atas dipan dengan nyaman dan menatap langit-langit bercat. Kantor Yixing bersih dan elegan, tapi warnanya entah mengapa membuat Kyungsoo tak tenang. Dia bukan penggemar berat warna itu.
"Ya," jawab Kyungsoo pelan. "Kau bertanya tentang ulang tahunku yang akan datang."
"Dan membuatmu teringat pada apa?"
Kyungsoo menghela napas dalam. Dia tak bisa meyakinkan diri sendiri bahwa dia tak menyia-nyiakan waktu. Dia ada kerjaan.
"Pada hidupku," jawabnya.
"Itu cukup sederhana. Aku memintamu mengurai jawaban yang lebih baik."
"Pada Saturnus," jawab Kyungsoo cepat-cepat, terdistraksi.
"Planet?"
"Ya."
"Oh," Yixing terdengar terhibur. Kyungsoo dapat membayangkan lesung pipinya muncul. "Penasaran. Mengapa? Mengapa Saturnus?"
"Sebab Saturnus akan kembali."
"Apa kau percaya akan pengaruh planet pada kita? Bisakah Saturnus mengubah sesuatu?"
"Tidak," jawab Kyungsoo tegas. "Tapi ini tentang mengukur waktu."
"Menarik," Yixing mengangguk. "Dan apa yang akan terjadi saat Saturnus kembali?"
"Mereka bilang akan ada krisis."
"Apa kau takut?"
"Tidak juga."
"Dan kenapakah itu?"
"Karena kupikir itu tak akan terjadi. Saturnus akan kembali dan terus bergerak."
Dia bisa mendengar bunyi ketikan Yixing. Kyungsoo tahu apa yang akan datang selanjutnya.
"Kelihatannya kita terantuk masalah yang sama lagi," ujar si terapis.
Mudah diprediksi, pikir Kyungsoo. Yixing telah mendiagnosanya, tak peduli apa yang dia katakan. Dia percaya bahwa Kyungsoo punya masalah kontrol; dia yakin bahwa Kyungsoo tak bisa menghadapi akhir dan permulaan, terlalu terobsesi pada stabilitas. Tidak hanya stabil, tetapi tenang dan terkendali… terkunci dalam dirinya sendiri. Kyungsoo tak menyangkalnya—dia juga tak pernah berpikir buruk tentang sifatnya. Di mana Yixing melihat masalah, dia melihat keistimewaan.
"Aku tak punya masalah dalam hidupku sekarang," ujar Kyungsoo bosan. "Dan setiap malapetaka yang bisa menimpa keluargaku tak akan bisa menyentuhku. Aku telah siap untuk apapun."
"Ya, aku tahu," ucap Yixing, dan kakinya—satu-satunya bagian tubuh Yixing yang dapat dia lihat dari posisi ini, berayun pada lagu yang tidak ada. "Tapi bagaimana bila krisis datang dari dalam dirimu?"
"Tak ada hal baru yang keluar dari diriku," Kyungsoo tersenyum. "Aku tak kreatif."
"Ah, jadi kau tahu arti positif dari krisis? Apa pendapatmu tentang krisis sebagai pencipta kemungkinan?"
"Aku tak begitu memikirkannya," gumam Kyungsoo. "Terlalu rumit."
Kyungsoo tak suka hal rumit.
.
xxx
.
Dia tengah menunggu pintu lift tertutup saat tangan panjang menahannya. Itu Zitao.
"Ah, untung bertemu," dia tersenyum. Kyungsoo balas tersenyum, bukan karena kesopanan, tapi karena Zitao mungkin salah satu orang paling kompeten yang berkerja untuk keluarganya. Terkadang dia berlebihan—dia suka bersinar, mengekspos uangnya, dan Kyungsoo sangat sadar itu berbahaya. Tapi di penghujung hari, Zitao hidup untuk pekerjaannya dan tak ada sifat lain yang bisa mengesankan Kyungsoo secara positif selain dedikasi.
"Selamat malam," Zitao membungkuk. "Maaf mengganggumu di luar kantor. Aku tahu kau pasti lelah setelah terapi."
"Selamat malam," Kyungsoo menirunya. "Tak masalah. Aku tak lelah. Ada apa?"
"Ah, bukan masalah pekerjaan," jelasnya, dan mereka menatap angka yang mengindikasikan lantai. Kyungsoo tinggal di lantai atas. "Sebetulnya kakakmu yang mengirimku. Dia terjebak di Hongkong dengan ibumu."
Kyungsoo mengeryit.
"Ada masalah?"
"Tidak juga, tapi mereka tak bisa datang untuk ulang tahunmu besok," ujar Zitao penuh empati. Kemeja berkancingnya berkilau di bawah cahaya pucat. "Mereka tahu kau tak keberatan, tapi aku diintruksikan untuk melakukan beberapa hal dalam ketidakhadiran mereka."
Mereka mencapai lantai paling atas. Dilihat dari wajahnya, Zitao tampak tak yakin dia harus keluar atau tidak dari lift. Kyungsoo memberinya isyarat untuk ikut.
"Kau boleh masuk," kata Kyungsoo sembari menekan kartu kunci. "Bisa kutawarkan minuman?"
"Apa kau suka minum, Do-ssi?" Zitao terkekeh. Kyungsoo memutar mata dan membuka jaket. Mereka bisa bermain-bermain dengan satu sama lain sebab mereka seusia. Kyungsoo hanya beberapa bulan lebih tua darinya. "Aku hanya minum sampanye, aku ragu kau memilikinya."
"Aku punya," ujar Kyungsoo, menyeringai pada wajah kaget Zitao. "Untuk para tamu. Aku suka bersiap sedia."
Zitao duduk di sofa—sofa beludru merah pemberian ibunya. Kyungsoo punya sedikit perabot dan kebanyakan pemberian dari keluarganya. Dia hanya melengkapi dapurnya, sebab dia benci pesan antar. Dia memasak sendiri saat tak punya waktu untuk makan di luar. Dia memasukkan es batu ke dalam ember bajanya yang nyaris tak pernah dipakai, lalu berhati-hati menempatkan sampanye di dalam. Saat dia kembali, Tao sedang memeriksa beberapa dokumen dengan kaki menyilang.
"Kau harus menunggu sebentar," ujar Kyungsoo, sembari mengangguk ke arah ember. "Percakapan singkat?"
"Tergantung padamu," Zitao membuka tangannya dalam isyarat menawarkan. "Tergantung apa kau bisa bekerjasama."
"Apa yang mereka mau dariku kali ini?" Kyungsoo mendesah, duduk di sofa paralel; dia duduk di bawah lampu utama, menghadap Zitao, tapi matanya berkelana ke dinding kaca. Itulah alasannya memilih apartemen ini. Dia tak punya alasan konsisten lain untuk meninggalkan rumah orang tuanya, tapi saat dia menemukan tempat kecil dan sepi dengan pemandangan menakjubkan…
"Mereka ingin kau pulang kerja lebih cepat besok," Zitao mengedipkan sebelah mata. "Jadi kau bisa ikut denganku untuk mengambil hadiahmu."
"Hadiahku," ulangnya. "Apa itu?"
Zitao mengambil napas panjang dan mengulurkan arsipnya supaya Kyungsoo dapat mengambilnya.
"Aku tak yakin apa kau… diberi tahu tentang aktivitas baru kita di… perdagangan pendamping manusia," katanya hati-hati. "Tahun ini bagus untuk kita, tapi sayangnya tak terlihat di keuangan kita."
"Perdagangan… pendamping manusia?" Kyungsoo mengeryit, membuka arsip. Di dalamnya terdapat foto remaja separo telanjang dengan rambut putih, kulit cokelat, dan telinga kucing. "Ah… maksudmu hibrida."
"Ya."
"Aku diberi tahu. Karena ini ilegal, aku tak bertanggung jawab atas angka-angka ini," kata Kyungsoo. "Aku juga tak tertarik pada subjek ini."
"Aku tahu, aku tahu," Zitao mengangkat tangan, membela diri. "Kau tak harus berurusan sedikitpun dengan negosiasi semacam ini. Ini pasar gelap, tapi kuberitahu kau, lebih menghasilkan uang dari kokain."
"Dan aku masih tak peduli," Kyungsoo mendesah. "Bisa kau langsung pada intinya?"
"Kami berurusan dengan banyak pedagang akhir-akhir ini, tapi kakakmu menemukan yang istimewa," kata Zitao sembari menjilat bibir. "Dia dan ibumu memintaku menjadwalkan pertemuan… supaya kau bisa memilih hibrida milikmu sendiri."
Kyungsoo menatapnya dalam diam. Zitao tampak sedikit tegang, tapi tak mengatakan hal lain. Kyungsoo meninggalkan sofa untuk mengambil dua gelas di dapur. Setelah membuka botolnya seperti seorang profesional, dia menuang jumlah yang banyak pada kedua gelas dan menawarkan salah satu pada tamunya.
"Aku butuh alkohol sekarang," dia menjelaskan. Zitao menerima gelasnya dengan tatapan cemas.
"Maaf," katanya. "Tapi kakakmu bilang ini tak bisa ditolak."
Kyungsoo sangat tahu itu. Dia bukan tipe orang konfrontatif; dia lebih suka menghindari keinginan keluarganya.
"Bagaimana bila aku tak mau?" tanyanya, sembari berjalan perlahan ke dinding kaca. Dia dapat melihat lampu-lampu kota, itu menenangkannya. "Jadi sekarang aku tak bisa menolak untuk menaruh makhluk di dalam rumahku?"
"Ibumu bersikeras," kata Zitao tajam. "Dia berkata dia tak bisa melihat perbedaan dari perilakumu bahkan setelah terapi dua tahun."
Kyungsoo menutup mata, "Yixing sendiri memberitahunya aku tidak sakit."
"Dia tak berpikir kau sakit. Dia pikir kau kesepian."
Kyungsoo menghabiskan sisa sampanyenya dalam satu tegukan. Mungkin jika dia mabuk, dia hanya akan melihat lampu-lampu.
"Aku tak punya waktu atau kesabaran untuk merawat peliharaan," keluh Kyungsoo. "Jikapun aku punya, aku akan memilih anjing biasa, bukannya…"
"Yang ini berbeda," kata Zitao dengan suara seduktif. Dia pandai meyakinkan, dan Kyungsoo tahu alasan kakaknya memilih Tao untuk menyampaikan berita ini padanya. "Mereka bagian dari koleksi, Kyungsoo. Koleksi langka. Si pedagang hanya membuat pengecualian untuk kakakmu sebab kita memberinya akusisi di bidang keamanan."
Kyungsoo menjilat bibir, masih menatap bangunan-bangunan dan kehidupan malam di luar sana. Dia tak suka hibrida. Itu hanyalah konsep modern dari budak pribadi—sekarang, dipadu dengan gerakan eugenic untuk menyesuaikan peliharaan dengan kebutuhanmu. Jika kau punya uang, kau bisa meminta hibrida sempurna untuk merawat anak kecilmu, atau untuk menghiasi tempat kerjamu, meringankan suasana tegang. Atau, tentu saja, untuk memuaskan hasrat kotormu. Kyungsoo mual.
"Apa yang begitu istimewa dari mereka?" gumam Kyungsoo, tapi dia tak yakin dia ingin tahu.
"Ikutlah bersamaku besok," ujar Zitao. "Jika tak ada yang kau suka, kujamin kau akan punya alasan bagus untuk dikatakan pada keluargamu."
"Kita lihat nanti," Kyungsoo berbalik, menghadap lelaki satunya. Zitao minum perlahan, matanya memandang Kyungsoo penasaran, seakan menatap menembusnya.
.
xxx
.
Kyungsoo terbangun oleh dering alarm. Dia memasak sarapan, memakannya, membersihkan segalanya, dan berpakaian. Dia mengecek jam lalu membaca berita di laptop sementara sopir membawanya ke gedung utama. Tak ada perbedaan dalam pekerjaannya; dia harus mengecek beberapa pajak, meninjau laporan individu dari manajer-manajer berbeda, dan membuat beberapa panggilan telepon. Ketika hari terlalu sunyi, dia senang menatap rel Dow Jones.
Dia makan di mejanya, sendirian. Beberapa jam kemudian, seorang asisten mengetuk pintunya.
"Huang-ssi menunggu di mobil," dia memberitahu Kyungsoo. "Dia meminta Anda menggunakan pintu belakang."
Kyungsoo meninggalkan gedung tanpa pemberitahuan. Rasanya aneh, bersembunyi seperti itu; dia selalu berurusan dengan bagian legal, meski terkadang harus tutup mata pada beberapa… ketidakakuratan.
Zitao mengendarai mobil lapis baja. Dia berpakaian serba hitam, seperti Kyungsoo, tapi pakaiannya kasual. Kyungsoo merasa salah tempat dengan jaket olahraga dan jeans hitamnya, terutama ketika mereka memasuki area berbahaya. Mengejutkannya, Zitao terus mengemudi hingga nyaris mencapai daerah pedalaman.
Dia berhenti di sebuah gudang. Tentu saja harus gudang.
"Di sini," katanya, membuka pintu. "Ayo."
"Tak ada penjaga?" tanya Kyungsoo.
"Dia klien," jawab Zitao simpel, "Juga, aku punya senjata… tapi bukan untuk manusia."
Kyungsoo mengangguk, tapi tak merasa lega. Gudangnya besar dan penampilannya hanya sederhana dari luar. Di dalam, mereka bisa melihat banyak teknologi modern; monitor, benda elektronik bermutu, dan laptop-laptop. Seorang pria kecil menyalami mereka dan Zitao melangkah ke depan Kyungsoo.
"Senang bertemu denganmu lagi, Lima," kata Zitao. "Ini Do Kyungsoo, dia datang untuk hibrida."
Si pria pendek dan bulat menelisiknya. Kyungsoo membungkuk. Si pria menunjukkan pendeteksi logam pada mereka.
"Aku bawa senjata," Zitao memperingati, sambil menyerahkan ponselnya pada si pria. "Tapi tak ada kamera."
Kyungsoo meliriknya. Zitao menggedikkan kepalanya ke arah si pria dengan tak sabar; Kyungsoo menyerahkan ponsel miliknya dengan sedikit enggan.
"Jadi, kau bisa membunuh orang, tapi tak boleh mengambil foto?" bisik Kyungsoo sembari mereka berjalan. "Tempat macam apa ini?"
"Satu hibrida sama harganya dengan mobil sport," Zitao balas berbisik. "Tapi ini ilegal. Jadi, yeah, bunuh satu hibrida dan mereka akan mengambil uangmu. Ambil foto dan mereka akan membunuhmu."
Mereka berjalan beberapa menit sebelum si pria menunjuk tangga—hanya anak tangga pertama yang terlihat dari dalam lubang.
"Bawah tanah," gerutu si pria. Zitao memegang tangan Kyungsoo dan pergi lebih dulu. Di dalamnya tak begitu gelap, tapi pencahayaannya lemah dan terfokus ke lantai. Saat mereka akhirnya mencapai ruang terang, Kyungsoo berharap dia masih dalam kegelapan.
Ada banyak kandang—dengan orang-orang di dalamnya. 'Bukan… orang,' pikir Kyungsoo. Hibrida. Laki-laki, perempuan, anak-anak… dipenjara dalam blok kecil. Beberapa berisi satu atau dua; yang lainnya, satu grup. Mereka semua mengenakan pakaian yang sama, kaus putih dan celana santai abu-abu, seperti sedang mengiklankan seprai kasur. Dalam salah satu kandang, satu perempuan dengan darah di celananya mendesis pada mereka. Kyungsoo mundur dan menyadari dia masih memegang tangan Zitao.
"Manis," ujar Zitao saat Kyungsoo berusaha melepas tangannya. Mereka berjalan di antara kandang-kandang, kemudian mereka mencapai sebuah pintu. Seorang lelaki bersenjata menjaganya dan dia mengangguk saat 'Lima' menunjukkan kunci padanya. Itu adalah ruangan yang gelap. Mereka bertiga masuk sebelum 'Lima' menyalakan lampu.
Kali ini ada tiga kandang. Setiap salah satunya terbuat dari kaca tebal, tanpa jeruji. Kyungsoo bisa melihat hibrida laki-laki tengah tidur di kandang pertama, sendirian di kompartemennya. Di kandang kedua, tiga hibrida perempuan tengah duduk dan memandangi mereka, sebelum menutupi wajah-wajah mereka. Di kandang ketiga, yang paling dekat dengan Kyungsoo, berisi dua laki-laki. Mereka hibrida paling menonjol dalam ruangan.
Salah satu dari mereka sedang duduk, yang lainnya berdiri. Mereka menggunakan pakaian yang sama dengan hibrida lain, tapi mereka bersih.
"Ini adalah koleksi kami yang paling berharga," kata Lima dengan jari menunjuk. "Tanpa ahli genetika yang terlibat. Tanpa omong kosong transgenik. Hibrida asli, hasil evolusi alam."
Kyungsoo tidak betul-betul mendengarkan. Dia menatap kedua lelaki dalam kandang—mereka tinggi, besar, dan menyeramkan. Yang tengah duduk memiliki rambut ungu dan tatapan menusuk. Yang berdiri sedang berusaha membuka mata; cahaya lampu pastilah mengagetkannya.
Dia membuka mata dan menatap orang berjarak paling dekat dengannya: Kyungsoo.
Bahkan dari balik kaca tebal, Kyungsoo dapat melihat hibrida ini dengan jelas. Dia punya rambut merah menyala, mata besar berkilau, dan ekspresi ingin tahu.
"…mereka nyaris seperti manusia dalam hal penampilan, seperti yang kau lihat. Tak ada ciri yang nampak dari nenek moyang binatang mereka," lanjut Lima. "Kebanyakan dari mereka menyamar di antara manusia sebelum diidentifikasi sebagai hibrida. Aku menjual dua dari mereka pada ahli genetik, tapi aku ragu mereka bisa mereplikasi karya alam."
Si hibrida membungkuk hingga matanya setara dengan Kyungsoo. Kemudian, dia menekan kedua telapak tangan dan hidungnya ke kaca. Zitao menegang di samping Kyungsoo.
"Sedang apa dia?" tanya Zitao. Lima menoleh pada mereka, tiba-tiba menyadari interaksi.
"Oh," Lima terkekeh. "Ini Chanyeol. Dia tak takut pada manusia. Dia tinggal bersama manusia untuk waktu yang lama."
Si hibrida mengetuk kaca dan menekan telapak tangannya yang terbuka berkali-kali sembari menatap Kyungsoo.
Kyungsoo balas menatap, kebingungan. "Apa yang…?"
"Dia ingin kau melakukan hal sama," kata Lima. "Dia ingin kau menyentuh kaca."
"Bukankah itu berbahaya?" tanya Zitao hati-hati, tangannya dekat dengan sabuk.
"Tidak, tidak sama sekali," jawab Lima. "Kaca ini anti peluru dan hibrida-hibrida ini tidak buas."
Kyungsoo mengeryit. Si hibrida terus memandanginya, hidung menempel di kaca. Dia punya wajah konyol, pikir Kyungsoo, lalu menghela napas sebelum menekan telapak tangannya ke kaca juga. Semakin cepat selesai, semain cepat pula dia bisa melupakan ini.
Si hibrida tertawa, bersemangat, dan menoleh pada hibrida satunya dalam kandang. Mereka bertukar kata yang tak dapat didengar dari luar. Si hibrida menyelaraskan tangannya dengan tangan Kyungsoo dan tersenyum.
Sungguh mengerikan betapa mereka terlihat seperti manusia.
"Aku tak mengerti," kata Kyungsoo perlahan, melihat bagaimana si hibrida tampak senang. Zitao tampak sama bingungnya. Lima tertawa nyaring.
"Dia berpikir kau manis," kata Lima. "Chanyeol suka hal-hal yang imut."
Zitao terbahak dan Kyungsoo menjatuhkan tangannya, sedikit tersinggung. Dia, tak diragukan lagi, lebih kaget. Untuk sesaat, rasanya seakan dialah yang berada dalam kandang, bukan si hibrida.
Kyungsoo melihat bagaimana mata si hibrida berkerut ketika tersenyum.
"Apa yang begitu istimewa darinya?" Maksud Kyungsoo mereka, tapi dia terlalu fokus pada si hibrida berambut merah.
"Aku bisa tunjukkan padamu," Lima meyeringai dan sesuatu dalam senyumnya membuat Kyungsoo tak enak. Dia menoleh pada Zitao dan menunggu hingga si pedagang sibuk membuka kandang, agar dia dapat berbisik.
"Berikan senjatanya padaku." Kyungsoo serius. "Diam-diam."
Zitao tampak bingung, tapi dia melakukan yang diminta. Kyungsoo memegang senjata dan menyembunyikan tangannya di punggung. Si pedagang menekan sebuah tombol dan si hibrida yang duduk di lantai menutup mata seperti tidur. Si hibrida berambut merah tampak pusing dan tiba-tiba, jatuh ke lantai.
"Ayo," kata Lima, menunjuk, sementara kandang kaca terangkat.
Kyungsoo dan Zitao hanya perlu berjalan dua langkah untuk berada dalam jarak sentuh si hibrida rambut merah. Kyungsoo berjongkok untuk melihatnya lebih dekat; dia memiliki fitur yang lembut dan cukup kekanakan pada tubuh yang begitu besar. Kulitnya cokelat dan dia terlihat seperti atlit; dia betul-betul tampak seperti manusia dan sulit bagi Kyungsoo untuk membayangkannya sebagai hibrida kebanyakan yang rapuh, jinak, dan berjalan di sekitar orang kaya.
"Hibrida jenis apa dia?" tanya Kyungsoo, tangannya nyaris menyentuh rambut merah menyala. "Aku tak akan pernah menduga dia adalah…"
"Burung," gumam Lima. Kyungsoo mendongak dan si lelaki berdiri di samping mereka. Mengagetkannya, dia memegang pedang dengan kedua tangan, mengarahkannya ke bawah bagai pasak kayu. "Burung yang sangat langka."
"Apa yang…" Zitao memulai, tapi menyadari pergerakan si lelaki, Kyungsoo bereaksi cepat, menampakkan tangannya dan mengarahkan pistol pada si pedagang.
Mereka berdiam seperti itu beberapa lama: Lima dengan mata terbelalak kaget, dan Kyungsoo, mengacungkan senjata padanya, mematung dan penuh tekad. Zitao-lah yang memecah keheningan.
"Kyungsoo?" tanyanya gelisah. "Apa yang kau lakukan?"
"Apa yang akan dia lakukan? Apa dia akan melukai si hibrida?" tanya Kyungsoo pada Zitao, tapi matanya fokus pada lelaki di depannya.
"Mereka hibrida," Zitao mendesah. "Mereka akan beregenerasi. Beberapa dari mereka bahkan tidak punya darah—"
"Apa dia akan melukainya?" tanya Kyungsoo lagi, kali ini perlahan, jeda di setiap kata.
"Dia tak akan mati," kata si pedagang, takut. "Aku hanya membantumu. Dia akan sama seperti baru—"
"Jadi kau memang akan melukainya," kata Kyungsoo pelan. "Taruh pedangmu di lantai."
"Kyungsoo," ucap Zitao jengkel. "Jangan."
"Aku akan mengambilnya. Bukankah itu yang kau mau?" Kyungsoo tak bergerak. "Aku akan mengambil yang satu ini. Jadi jangan lakukan apapun yang tidak kusetujui pada produkku."
Lima dan Zitao memandang satu sama lain sebelum si pedagang menjatuhkan pedangnya ke lantai. Kyungsoo menarik tangannya dan Zitao mengambil kembali senjatanya.
"Kau benar," kata Lima pelan. "Jadi, Chanyeol milikmu sekarang. Aku akan memanggil orangku untuk membawanya ke manapun kau mau."
"Maaf atas perlakuan Kyungsoo," kata Zitao sembari mendelik pada Kyungsoo. "Dia tak terbiasa bicara seperti manusia lainnya."
"Aku terbiasa dengan itu," dengus Lima. "Keluarganya banyak membantuku. Aku tak akan tersinggung oleh tindakannya… tapi aku lebih suka membicarakan kesepakatannya denganmu sekarang."
Kyungsoo melihat kedua lelaki meninggalkan ruangan. Semua hibrida menatapnya, kecuali dua yang tak sadarkan diri. Kyungsoo merasa mual, lelah—dia tahu tempat ini akan menghantuinya untuk beberapa lama. Dia selalu berpikir menciptakan hibrida binatang adalah ide buruk, tapi itu adalah hal yang sangat biasa dalam lingkar sosialnya. Bahkan dengan adanya regulasi, bahkan dengan adanya hukum… Tentu, mereka bukan manusia, tapi tetap memuakkan melihat mereka dikekang dan dikurung.
"Terima kasih," ujar suara yang sangat dalam. Kyungsoo menunduk. Si hibrida rupanya sadar, balas menatapnya.
"Apa…?" Kyungsoo mengeryit, dan si hibrida mengedipkan sebelah mata sebelum menutup matanya lagi; dia pasti merasakan tiga orang memasuki ruangan. Kyungsoo melihat mereka mengangkat si hibrida dan menggotongnya. Kyungsoo mengikuti mereka, sedikit curiga setelah semua yang dia lihat di tempat itu. Ketiganya menaruh si hibrida di kursi belakang mobil yang dikendarai Zitao—sekarang Kyungsoo mengerti alasan rekan kerjanya menggunakan mobil yang begitu besar.
"Jangan khawatir soal dia," suara Lima mengagetkan Kyungsoo. "Aku memberi Zitao semua registrasinya. Palsu, tentu saja; hibrida macam Chanyeol tak bisa diperjualbelikan, tapi tak akan ada yang menyebabkan masalah."
Kyungsoo mengangguk. Dia ingin pulang dan melupakan segalanya.
"Dia juga sangat patuh." Lima tersenyum, menunjukkan gigi cerahnya. "Kami tidak melatih mereka, tapi kami memastikan mereka tahu soal… aturan. Jika salah satu hibrida kami melukai pemilik mereka atau mencoba kabur, kami membunuh salah satu hibrida yang masih ada di sini. Tentu saja… yang tak diperlukan."
Kyungsoo menatap si lelaki dengan jijik, tapi tak bisa mengatakan apapun. Keluarganya berurusan dengan orang-orang macam ini; pada akhirnya, begitu pula Kyungsoo. Dia akan jadi hipokrit bila mengeluh. Zitao datang dan memberi isyarat pada Kyungsoo; mereka berdua tampak lebih senang saat berkendara meninggalkan gudang.
Di perjalanan pulang, Kyungsoo menatap orang-orang di jalan.
"Apa kau punya hibrida?" tanyanya, menyentuh jendela. Saat itu hujan dan kacanya berembun.
"Ya," Zitao mengangguk. "Rusa."
"Apa kau membelinya?"
"Tidak," jawab Zitao lembut. "Dia dibuang dan terluka. Aku mengadopsinya. Aku tak begitu yakin dia punya chip atau semacamnya."
Tentu saja, hibrida terdaftar harus punya sesuatu seperti chip.
"Apa yang kau lakukan dengan hibridamu?" tanya Kyungsoo tulus. Dia tak yakin itu sopan untuk ditanyakan, tapi sekarang dia punya hibrida juga—dan tak tahu harus melakukan apa.
"Yah, aku hanya tinggal dengannya," Zitao menggedik. "Aku tak punya niat apa-apa saat mengadopsinya. Dia lebih seperti pendamping."
"Apa kau memperlakukannya… seperti… manusia?"
"Tidak, aku memperlakukannya lebih baik," Zitao terkekeh. "Dia lebih baik dari semua manusia yang kukenal. Aku bisa membunuh orang, tapi aku tak akan pernah melukai Luhan."
Kyungsoo melongok kursi belakang; dia hanya dapat melihat kaki dan telapak kaki telanjang si hibrida.
"Kau tak perlu cemas soal memberinya tujuan," ujar Zitao kalem, mata mengarah ke jalan. "Dia akan punya preferensi sendiri, seleranya sendiri. Dan dia sudah dewasa, tak akan butuh banyak perhatian. Ini tidak seperti kau harus menyuapinya dan menidurkannya seperti anak-anak. Maksudku, kau memang harus merawatnya, tapi… seperti tanaman?"
"Aku tak tahu cara merawat tanaman," kata Kyungsoo. "Apa yang biasa dimakan burung?"
"Makanan hibrida sama dengan manusia. Kurasa burung suka tanaman dan biji-bijian, tapi itu selera pribadinya," Zitao tertawa. "Dia sama seperti manusia, Kyungsoo. Perlakukan dia seperti seorang teman."
"Aku tak punya teman."
"Yah, kudengar ada orang di youtube yang menjelaskan segalanya," Zitao tertawa. "Kau harus mencobanya."
.
xxx
.
Kyungsoo menatap lelaki yang tertidur di sofa. Dia menyisip teh dan mendesah. Alih-alih membangunkannya, dia memasak sarapan sederhana—untuk dua orang. Dia membawa semuanya ke meja, membawa serta laptopnya dan menunggu.
Chanyeol bangun dan duduk di sofa, menggosok mata.
Mereka memandang satu sama lain.
Lama sekali.
"Hai?" Chanyeol akhirnya berkata. Dia masih dalam pakaian yang sama, bertelanjang kaki dan pucat. Kyungsoo mengangguk ke arah kursi di sampingnya, tapi si hibrida ragu-ragu.
"Kemarilah, makan sesuatu," undang Kyungsoo, berusaha memakai suaranya yang paling lembut. "Aku membuat bubur untukmu."
Chanyeol berdiri dan berjalan pelan-pelan ke meja. Dia masih tampak tak yakin.
"Duduk," ujar Kyungsoo tak sabar. Chanyeol duduk dengan segera. "Sekarang makan."
Chanyeol memulai dengan perlahan, tapi dia selesai dalam beberapa menit. Kyungsoo sendiri masih memakan panekuknya.
"Apa kau masih lapar?" tanya Kyungsoo. Chanyeol mengangguk ragu. "Kalau begitu makanlah lebih banyak."
"Terima kasih," ujarnya. "Ini sangat enak… makanannya."
Kyungsoo memandang piringnya sendiri. Dia tak bisa berbasa-basi di saat lapar. Chanyeol makan dengan sopan dan tak bersuara, tapi dia terus melirik Kyungsoo.
"Berapa ukuran sepatumu?" tanya Kyungsoo. "Dan ukuran bajumu?"
"Aku tak tahu," Chanyeol mengerjap. "Aku hanya coba pakai dan jika muat, kusimpan."
Kyungsoo mengeryit.
"Kalau begitu kita harus mengukurnya. Kau tidak bisa seperti ini… sementara berada di sini."
Chanyeol mengangguk, sedikit merah di pipi. Kyungsoo menunggunya selesai makan untuk mengecek pakaian dan membandingkan kaki mereka. Chanyeol tak mengatakan apapun, hanya melakukan yang diminta.
"Aku akan membeli beberapa baju dan sepatu hari ini," ujar Kyungsoo, sembari mengangkat pita pengukur. Suara pitanya membuat Chanyeol bergidik. "Apa kau punya sesuatu yang disukai? Warna? Tipe?"
"Tidak juga," dia menggigit bibir. "Tapi bisakah yang… besar atau… longgar? Aku tak suka terekspos seperti ini."
Baju yang tengah dia pakai punya beberapa lubang dan terlalu ketat. Kyungsoo berusaha yang terbaik untuk tidak menatap.
"Bagaimana dengan sepatu?"
"Uh… yang… nyaman saja?"
Kyungsoo mengangguk dalam diam. Dia benci fashion secara umum, jadi dia suka dengan kurangnya selera si hibrida.
"Remote control ada di sini, di samping laptop," dia menunjuk. "Kamar mandi di ujung koridor, ada makanan di kulkas, telepon di dapur, dan tempat tidurku di satu-satunya kamar. Jangan sungkan untuk memakai yang kau butuhkan."
Chanyeol mengikutinya sementara dia bicara, matanya mengejar hal-hal baru dengan penasaran.
"Hmm… terima kasih? Tapi… apa yang harus kulakukan? Saat kau pulang?"
"Aku akan pulang malam. Aku kerja sepanjang hari dan aku harus membeli barang-barangmu hari ini. Jadi jangan menungguku," ujar Kyungsoo hati-hati. "Lakukan apa maumu, tapi: jangan merusak apapun, jangan membakar rumah, jangan membuat kekacauan, dan jangan pergi. Juga, jangan ganggu aku kecuali penting. Nomorku tertulis di samping telepon. Ada pertanyaan lain?"
Chanyeol membuka mulut dan menutupnya. Kyungsoo menunggu.
"Ah…. jadi…" dia akhirnya bertanya, sedikit waswas. "Bagaimana aku harus memanggilmu?"
Oh.
Tentu saja. Kyungsoo lupa mengenalkan diri.
"Aku Do Kyungsoo," dia membungkuk. "Aku tak begitu yakin harus menyebut hubungan kita ini apa."
"Aku Chanyeol!" Si hibrida balas tersenyum. "Tidak pula aku. Ini juga baru bagiku."
"Kurasa kita harus memanggil satu sama lain dengan nama," Kyungsoo memutuskan. "Sampai saat itu, jika ada yang tanya, kau adalah temanku."
Chanyeol berseri-seri.
"Itu bagus," kata Chanyeol, mengusap tangannya sendiri. "Kalau begitu, cukup untuk sekarang. Aku tak ingin mengganggu rutinitasmu."
"Terima kasih," kata Kyungsoo, tak yakin caranya pamit. "Aku akan kembali."
"Aku akan ada di sini." Chanyeol tersenyum.
.
xxx
.
Kyungsoo tak bisa konsentrasi di tempat kerja. Dia menyalahkan komputer. Teknisi komputer _chen sudah lelah dengan keluhan Kyungsoo hingga dia meninggalkan gua peretasnya untuk membantu Kyungsoo dengan software-nya. Dia adalah lelaki muda kurus dan berwajah nyengir, dan Kyungsoo merasa buruk telah berpikir dia semacam kutu buku jelek.
Dia membetulkan masalah dalam dua menit, jelas mengejek si akuntan dan Kyungsoo tak merasa buruk lagi.
"Lain kali tambahkan aku di chat," dia tertawa. "Akan kuajarkan cara mengoperasikan bagian ini."
"Terima kasih," kata Kyungsoo datar, sembari menatap lencana di kaos Hogwarts yang dipakai si pria. "Adopsi Hibrida?"
"Ah, ini?" dia tersenyum. "Aku relawan di penampungan hibrida. Apa kau tertarik pada adopsi?"
"Tidak," jawab Kyungsoo cepat. "Apa kau tahu banyak tentang hibrida… errr… siapa namamu…?"
"Jongdae. Aku kerja di sini sejak tahun lalu, omong-omong." Seolah Kyungsoo peduli. "Aku tahu dari pengalaman. Aku sendiri punya tiga hibrida, jadi… aku bersemangat tentang mereka."
"Jenis apa?"
"Jenis?" Jongdae tertawa. "Jika kau tanya soal spesies mereka; kucing, kelinci, dan beruang."
"Oh," Kyungsoo menekan rapat bibirnya. "Begitu."
"Yang mana punyamu?" tanya Jongdae, tersenyum. "Maksudku, kau sudah punya atau akan beli?"
"Aku… punya satu," ujarnya. "Dia adalah… hadiah. Aku tak tahu caranya… apa saja."
Senyum Jongdae mati dan dia menggeleng-geleng negatif.
"Itu tak bagus. Hibrida bukanlah barang. Kebanyakan keluarga berpikir mereka adalah mainan dan saat mereka menyadari hibrida adalah makhluk hidup seperti mereka, bang! Mereka membuang hibrida mereka sendiri. Kacau sekali. Adopsi adalah hal yang tepat, tapi hanya jika kau yakin pada apa yang kau lakukan, kau tahu."
"Hmm."
"Apa kau ingin bantuan?"
"Dengan senang hati."
Jongdae tersenyum pada jawabannya dan, mengejutkan Kyungsoo, duduk di mejanya dengan sembarang.
"Deskripsikan hibridamu."
"Hmmm. Dia burung? Dia tinggi," Kyungsoo menggedik. "Memenuhi banyak ruang."
"Ah, pasti elang," Jongdae tersenyum. "Burung adalah yang paling mudah. Mereka tak menandai terirori mereka, tak ada heat, dan kau tak perlu menemani mereka sepanjang waktu. Mereka cukup independen, tidak sering memeluk."
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Kyungsoo serius. Secara umum, dia tidak bicara dengan rekan kerja tentang hal selain pekerjaan, tapi dia sedang punya situasi khusus. "Bisakah kau memberiku tips atau… instruksi?"
"Kau ini lucu… Intruksi? Tanya mereka, tentu saja," Jongdae terkekeh. "Aku tak tahu banyak tentang burung, tapi aku mengikuti seorang youtuber bernama Taeyeon, karena dia punya kucing dan beruang sepertiku, dan dia punya burung juga. Aku cukup yakin dia punya tutorial tentang cara merawat hibrida burung. Kurasa aku tahu dasarnya saja. Mereka suka biji-bijian, musik, dan membangun sarang. Mereka agak berantakan dan berisik. Banyak bicara."
"…itu mimpi buruk," bisik Kyungsoo.
"Kuatkan dirimu, bung. Hibrida itu hebat," Jongdae menusuk jidat Kyungsoo. Kyungsoo harap dia bisa mengingatkan Jongdae tentang hirarki di tempat kerja. "Kunci pada setiap hubungan adalah komunikasi."
.
xxx
.
Komunikasi harus menunggu.
Kyungsoo menatap Chanyeol di sofa lagi; sekarang, bergelung dalam selimut tebal berbulu, tidur dengan mulut terbuka sementara tv masih menyala. Dia sedang menonton MTV dan dilihat dari piring kering di atas bak cuci, dia pasti memasak sesuatu untuk dimakan.
Kyungsoo mematikan tv, menaruh kantong-kantong belanja di lantai, dan duduk di sofa paralel. Dia membeli baju-baju, sepatu, pakaian dalam (dia menebak ukurannya), dan sup. Dia menduga akan menemukan si hibrida masih bangun, tapi yah, mungkin burung biasa tidur lebih awal. Kyungsoo menulis catatan dalam hati untuk membeli kasur, sebab meski sofanya besar, tetap saja sofa bukan tempat tidur.
Kakaknya tidak menelepon, yang berarti dia akan minta untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri. Kyungsoo tak bisa tampak tak berusaha.
Kyungsoo mandi dan pergi tidur, menyalakan alarm—lebih awal dari biasanya.
Chanyeol sudah bangun saat dia keluar dari kamar esok paginya. Si hibrida sedang mencoba sepatu, menatap kantong-kantong. Saat dia menyadari Kyungsoo di ruangan, dia tersenyum.
"Maaf, aku… tahu ini untukku karena ukurannya besar. Aku tak tahu apa aku harus menunggu perintahmu untuk—"
"Tak ada perintah," desah Kyungsoo. Dia ingin bicara setelah sarapan, tapi yah… "Dengar, Chanyeol. Aku tak pernah punya hibrida. Aku tak pernah ingin punya. Jadi, bisa kau bayangkan aku tak familiar dengan norma-norma sosial tentang… apalah ini."
Chanyeol mengangguk perlahan.
"Aku harus menahanmu, setidaknya untuk sementara, karena keluargaku menginginkannya," kata Kyungsoo. "Tapi aku tak pandai… berurusan dengan… yah, kuharap kau bisa mengurus diri sendiri."
"Ya, itu bagus," kata Chanyeol cepat. "Aku sendiri tak pernah punya pemilik. Kurasa kita berada di halaman yang sama."
"Bagus. Sekarang, aku ingin kau beritahu aku apa yang kau inginkan, apa yang kau suka dan tak suka, dan mungkin memberitahuku aktivitas yang ingin kau lakukan," Kyungsoo mengambil jeda sebelum melanjutkan. "Di dalam rumah, untuk sementara. Aku belum siap membagi situasi ini dengan orang lain."
Mulut Chanyeol membentuk 'O'. Kyungsoo tak tahu apakah dia bicara cukup jelas untuk dimengerti seorang hibrida.
"Aku… tidak begitu ingin apapun sekarang. Aku hanya lega bisa meninggalkan kandang dan orang-orang buruk itu," kata Chanyeol pelan. "Aku selalu bebas melakukan apa saja… Aku tak pernah benar-benar hidup layaknya hibrida, terutama sekarang, setelah regulasi."
Chanyeol menunjuk lehernya. Jika dia hibrida terdaftar, dia akan punya chip. Tapi tak ada apapun, hanya kulit—dia hanya menjelaskan.
"Kurasa aku akan senang berada di rumah denganmu? Aku akan menganggapnya sebagai pengalaman baru. Aku tak pernah tinggal di tempat bagus seperti punyamu," dia tersenyum lembut. "Aku suka musik… dan… aku ingin punya sesuatu untuk dimainkan? Mereka mengambil barang-barangku saat mereka menangkapku."
"Oke," kata Kyungsoo tegas. "Alat musik apa?"
"Ah, apa saja."
"Apa saja?" Kyungsoo mengeryit. "Tidakkah kau memainkan alat musik tertentu sebelumnya?"
"Aku ini burung," Chanyeol mendengus. "Musik datang padaku secara alami. Aku bisa mereproduksi lagu mana saja hanya dengan mendengarnya."
"Baiklah kalau begitu. Aku akan membelikan alat musik untukmu. Ada yang lain?"
"Bisakah aku punya… laptop?" tanyanya ragu. "Seperti milikmu?'
"Kau tahu cara menggunakannya?"
"Yeah, aku pernah memakainya beberapa kali di PC café," angguknya. "Aku suka aplikasi-aplikasinya. Aku suka informasi dan suka menulis kadang-kadang."
"Akan kupikirkan," kata Kyungsoo. "Kau bisa memakai televisiku untuk sementara. Kau bisa menonton film dan mendengarkan album manapun yang kau mau."
"Aku melakukan itu hari ini," ujarnya senang. "Itu menyenangkan."
"Jadi, hanya itu? Kau tak ingin melakukan hal lain?"
"Ada," Chanyeol menatap kakinya sendiri, sepatu merah cocok untuknya. "Boleh aku memasak? Aku melakukannya hari ini, tapi aku belum minta izinmu…"
"Sudah kukatakan, kau tak perlu minta izin. Jangan mengacak-acak, jangan melakukan hal ilegal, dan jangan merusak apapun. Hanya itu."
"Dimengerti."
"Hanya itu yang ingin kau lakukan?"
"Yeah, untuk sekarang. Aku tak bisa memikirkan hal lain."
"Bagus. Sekarang kita sudah jelas. Aku akan mandi dan menaruh barang-barangmu di kamar mandi supaya kau bisa mandi juga dan ganti baju. Coba pakai sandalnya dan lihat apakah nyaman," kata Kyungsoo. "Setelah itu, kita akan makan dan aku akan pergi kerja."
Kyungsoo mengikuti rutinitasnya seperti biasa. Chanyeol kelihatannya pandai dan sementara dia mandi, Kyungsoo memasak roti, telur, dan beberapa sayuran. Dia membuat susu kocok dengan cokelat dan biji-bijian. Dia tengah makan saat si hibrida datang.
Kyungsoo berhenti mengunyah; untuk sesaat lupa cara makan. Chanyeol memakai baju barunya yang longgar, tapi tak menyembunyikan fakta bahwa dia terlihat seperti model. Kyungsoo mencoba menyembunyikan kekagetannya—dia tahu hibrida cenderung terlihat lebih rupawan dari manusia, untuk alasan bertahan hidup (dan modifikasi genetik) yang membuatnya jijik. Tapi sekarang, melihat Chanyeol seperti ini, rambut basah dan mengantuk, dia ingin menonjok sesuatu.
"Baunya enak," ujarnya, tapi tetap berdiri. "Boleh aku duduk?"
"Sudah kukatakan, kau tak perlu izinku," kata Kyungsoo, akhirnya memperoleh kembali sedikit kontrol. "Duduklah. Ambil sendiri dan makan."
"Maaf," katanya rikuh. Sekarang setelah bersih dan tidak dalam kandang, dia terlihat lebih besar. Kyungsoo menatap pundak lebarnya, termakan cemburu.
"Apa sandal rumahnya pas?"
"Yeah, ini nyaman. Terima kasih," ucapnya. "Kau sangat baik…"
Kyungsoo merasa amat buruk. Itu adalah sensasi aneh dalam dada yang membuat kerongkongannya kering.
"Tak masalah."
"Boleh aku tanya… hal-hal?"
"Hal-hal?"
"Yeah, tentang dirimu."
"Aku tak suka itu," Kyungsoo mengeryit. "Tapi kurasa kita perlu mengenal satu sama lain. Apa yang ingin kau tahu?"
"Hmmm… hal-hal tentangmu. Seperti… apa pekerjaanmu, berapa umurmu, apa yang senang kau lakukan. Hal-hal semacam itu," kata Chanyeol sembari mengunyah. Dia sudah menghabiskan tiga keping roti. "Hanya… yang biasa dibincangkan saat belum saling kenal."
Kyungsoo mendengus. "Semua orang tahu siapa aku. Setidaknya, orang-orang yang biasa bicara denganku."
"Ah, kau orang penting ya," Chanyeol memandang dinding kaca. Matahari terbit di cakrawala. "Aku tahu orang yang membeli hibrida adalah orang kaya, tapi…"
"Aku hanya akuntan. Uangnya datang dari keluargaku," kata Kyungsoo pelan. Susu kocoknya enak. "Mereka kaya raya, tentu saja."
"Hmmm. Dan kau?"
"Aku?"
"Yeah, hal-hal yang kutanyakan tadi. Ceritakan tentangmu."
"Aku baru saja menceritakannya."
"Kau hanya memberitahuku profesimu."
"Bisa dibilang itu sudah semuanya."
Chanyeol menoleh ke samping, merengut, seakan meneliti Kyungsoo.
"Kau serius?"
"Ya."
"Tidakkah kau menyenangi sesuatu? Apa kau punya warna kesukaan? Hobi? Nomor favorit?"
"Aku suka makanan," Kyungsoo mengangkat gelas. "Aku suka hitam. Aku tak punya hobi dan tak punya nomor favorit."
"Oh," ujar Chanyeol, sedikit sedih. "Begitu."
"Apa aku mengecewakanmu?" Kyungsoo nyengir, tiba-tiba terhibur oleh reaksi si hibrida.
"Tidak," Chanyeol menggeleng, senyum memecah bibirnya. "Itu artinya kau adalah misteri dan aku sangat suka misteri."
Kyungsoo mendengus dan nyaris menyemburkan rotinya.
"Ah, kau berbeda saat tersenyum…" bisik Chanyeol.
"Bagaimana denganmu?" tanya Kyungsoo, menunduk pada piringnya sendiri, hanya demi menghindar untuk berpikir betapa anehnya pagi ini terasa. "Bisakah kau ceritakan dirimu?"
"Aku? Ya, tentu saja," Chanyeol menyisip susu kocoknya dan menjilat bibir. "Dulu aku biasa bermain gitar di jalanan untuk beberapa waktu. Aku sering bepergian ke seluruh dunia. Aku tahu cara bicara dalam beberapa bahasa, aku sangat mahir! Aku tak suka orang yang tak sopan dan aku suka hujan pagi… Saat cuaca sangat dingin, aku suka berpelukan dan tidur."
Kyungsoo terkesan, bahkan meski dia tak yakin tengah berbicara pada manusia atau karkater dalam simulasi kencan. Dia tak tahu harus berkata apa.
"…baiklah."
"Aku suka rumahmu," ujarnya, tiba-tiba serius. "Aku sudah melihat banyak tempat-tempat manusia, tapi aku paling suka yang ini."
"Ah, terima kasih," kata Kyungsoo sopan. "Aku lega."
"Kenapa kau tak bisa bilang pada keluargamu bahwa kau tak ingin hibrida?" tanya Chanyeol tiba-tiba, mengagetkan Kyungsoo.
"Aku tak yakin kau akan mengerti," kata Kyungsoo jujur. Hanya saja… hibrida tak punya keluarga, mereka tidak bekerja atau… akan sulit menjelaskan situasinya.
"Aku akan berusaha yang terbaik untuk memberi arti pada kata-katamu. Ingatanku bukan yang terbaik… tapi aku sudah melihat banyak hal. Aku hidup terlalu lama kali ini…" dia menatap dinding kaca lagi, matanya tampak tersesat sedetik, sebelum kembali menatap Kyungsoo. "Jadi, tolong, ceritakan padaku."
"Aku tidak perlu bekerja. Maksudku, aku tak perlu bekerja sekeras ini. Aku anak kedua. Keluargaku mengharapkanku untuk lebih seperti… playboy," ujarnya perlahan, mencoba membaca reaksi Chanyeol. "Atau mungkin seperti pria biasa. Mereka ingin aku menghabiskan uang, bersenang-senang, sering berkencan. Dan aku tak suka yang seperti itu."
"Ah, dan ini buruk?"
"Yeah, sebab mereka pikir aku sakit. Mereka pikir aku gila," kata Kyungsoo dan suaranya terbata. "Mereka berusaha mencari tahu apa yang salah denganku, karena aku tak suka berbicara pada orang-orang atau pergi bergaul."
"Oh," Chanyeol berhenti makan. "Apa kau berpikir ada yang salah denganmu?"
Kyungsoo menatap, tak bisa berkata-kata.
"Kadang-kadang," jawabnya, menatap tangannya di atas meja.
Chanyeol menempatkan tangannya di atas tangan Kyungsoo. Tangannya besar dan berat, tapi sentuhannya lembut.
"Aku menyukaimu."
Kyungsoo mematung dan diam-diam menyadari bahwa dia tak pernah mendengar kalimat itu dalam nada yang begitu tulus sebelumnya.
"Aku ada pertemuan hari ini," ujarnya, diam-diam melepaskan tangannya. "Jangan menungguku. Aku akan berusaha membeli yang kau minta hari ini, tapi aku tak bisa janji. Anggap saja di rumah sendiri."
"Oke. Tinggalkan saja piring kotornya, biar kucuci," Chanyeol tersenyum. "Semoga harimu menyenangkan."
Kyungsoo akan mengeluh, tapi dia hanya ingin cepat pergi.
.
xxx
.
Dia baru akan meninggalkan tempat kerja saat Yixing mengiriminya pesan untuk membatalkan pertemuan. Kyungsoo menghela napas dalam di tengah koridor. Dia butuh Yixing hari ini—Kyungsoo terdistraksi di tempat kerja, gelisah, dan dia bahkan membeli gitar online. Sekarang, dia akan memakai waktunya untuk membeli kasur; lagipula dia tak ada kerjaan lain. Dia tengah keluar dari lift saat mendengar namanya.
"Oh, hei, Kyungsoo!"
"Huh?" Kyungsoo berbalik. "Ah, Kim-ssi."
"Jongdae, namaku Jongdae," katanya, sembari melingkarkan sebelah tangan ke bahu Kyungsoo. Dia memakai kaus Kapten Amerika dan jeans lusuh hari ini. "Bagaimana kabarmu dengan hibrida barumu?"
"Baik," Kyungsoo menengok untuk melihat apakah ada yang mendengar. "Dia oke. Aku akan membeli tempat tidur untuknya sekarang."
"Ah, manisnya," cengir Jongdae. "Kapan kau akan bertemu hibrida-hibridaku? Kita bisa main bersama."
"Apa?" Kyungsoo merengut. "Tidak, terima kasih. Chanyeol sudah dewasa."
"Punyaku juga, kecuali Jongin, dia masih remaja," Jongdae mengangguk. "Mereka butuh teman baru. Kau harus main ke tempatku."
"Ah, terima kasih banyak," gumam Kyungsoo. "Tapi aku butuh waktu pribadi dengannya."
"Oh," Jongdae membuat wajah terkejut. "Oh, tentu saja. kami tak ingin mengganggu kalian berdua."
Kyungsoo butuh waktu sejenak untuk menyadari maksudnya.
"Bukan seperti itu," kata Kyungsoo cepat-cepat, telinganya panas. "Hanya untuk terbiasa dengannya. Hanya itu."
"Tak perlu menjelaskan, bung! Aku tahu bagaimana para hibrida. Aku harus mengunci Minseok tiap kali dia heat," Jongdae mengedipkan sebelah mata. "Pulanglah!"
Kyungsoo menaboknya dan Jongdae kabur sambil tertawa.
"Bocah bandel," gumam Kyungsoo. Dia memilih kasurnya dengan santai dan pergi ke toko kelontong. Saat dia pulang, Chanyeol sedang tidur di sofa; tempatnya sangat panas dan ada musik rap sedang diputar.
Kyungsoo menaruh kantong-kantong di meja dan mengambil kontrol pemanas. Ruangan mendingin dan Chanyeol terbangun.
"Ah… dingin," bisiknya, mengerjap-ngerjap. "Kyungsoo?"
Kyungsoo mengambil selimut di lantai dan memberikannya.
"Tidurlah. Kasurnya akan tiba besok, jadi kau tak perlu tidur di sini lagi," ujarnya. Chanyeol menguap. "Sudah makan? Aku bawa makanan."
"Yeah, sup di kulkas…" gumamnya. "Aku tak lapar… Kau baik-baik saja?"
"Huh?"
"Kau baik-baik saja?" ulangnya. "Katamu ada pertemuan, tapi kau pulang cepat."
"Ah, pertemuannya dibatalkan. Jangan khawatir, tidurlah," kata Kyungsoo dengan tegas kali ini.
"Selamat tidur," Chanyeol tersenyum. "Senang melihatmu…"
Kyungsoo merengut, melihatnya berbaring digulung selimut.
.
xxx
.
Tak ada hal penting yang terjadi minggu berikutnya. Keluarganya masih belum pulang, perkejaannya sama seperti hari-hari lain. Dan selain Jongdae yang terkadang mengajaknya bicara, saat bekerja di luar rumah, dia nyaris lupa dia punya hibrida.
Di rumah, rasanya berbeda. Ada kasur di samping dinding kaca, sekumpulan kertas di atas meja, dan drum di samping televisi. Kyungsoo membelinya dan dengan segera menyesalinya; Chanyeol oke dengan gitar dan keyboard, tapi dia kacau dengan drum.
Juga, Kyungsoo tidak pernah memasak lagi. Chanyeol senang melakukannya, untuk beberapa alasan.
"Aku tak tahu namanya, tapi ini kue yang kupelajari di… Aku lupa," Chanyeol tersenyum. Dia mudah lupa dan tiba-tiba teringat hal lain. "Kuharap kau menyukainya. Kau suka makanan laut."
Kyungsoo mengambil satu ke dalam mulutnya dan makan dengan pelan, meresapinya.
"Enak," ujarnya, mengangguk. Chanyeol tersenyum senang.
"Ah, terima kasih. Aku suka rempah-rempah yang kau bawa kemarin. Mereka yang terbaik," ujar Chanyeol sambil menuang jus ke gelasnya. "Aku belajar memainkan beberapa lagu di keyboard hari ini. Kapan aku boleh main drum lagi?"
"Tanyakan padaku dua minggu dari sekarang," kata Kyungsoo datar.
"Ah, jahatnya," Chanyeol mendengus, tapi dia terdengar terlalu sayang untuk selera Kyungsoo. "Dan bagaimana dengan laptop?"
"Aku lupa soal itu," Kyungsoo memasang muka jelek. "Akan kubicarakan dengan seseorang di tempat kerjaku besok."
"Besok hari Minggu!" protes Chanyeol, nyaris cemberut. "Kau bilang akan membantuku potong rambut. Dan menonton film yang kupilih."
"Baiklah," Kyungsoo mengangguk. "Akan kulakukan setelah menyelesaikan neraca umum."
"Bagus," dia tersenyum lagi. Dia punya tipe senyum di mana dia hanya membuka mulut, lidahnya terlihat, seperti anak-anak. "Seharusnya kau tak memotong rambutmu terlalu sering. Kau akan terlihat lebih baik dengan rambut yang lebih panjang."
"Tidak praktis," gumam Kyungsoo. Chanyeol pura-pura memukulnya. Mereka selesai makan dan Chanyeol tak membiarkannya membantu cuci piring. Kyungsoo menyerah setelah berusaha meyakinkannya lalu duduk dan membaca berita. Butuh beberapa saat untuk menyadari Chanyeol bermain gitar di lantai, tepat di samping kakinya.
Kyungsoo memandanginya; si hibrida cenderung menutup mata saat bermain. Dia juga senang menatap perkotaan dari atas, wajah menempel ke dinding kaca. Dia berisik kebanyakan waktu, kecuali di waktu-waktu itu.
Telepon berdering dan mengagetkan Chanyeol.
"Hanya telepon gedung," Kyungsoo bangkit dan mengangkatnya. "Halo?"
"Halo, Do-ssi. Seorang lelaki bernama Zitao meminta izin untuk datang ke apartemen Anda."
"Ah, baiklah," jawab Kyungsoo, mengecek jam. "Biarkan dia masuk."
Chanyeol menatapnya dengan mata besar. Kyungsoo mendesah.
"Pergilah ke kamarku," ujarnya. "Ada kunjungan."
Chanyeol mengangguk. Dia tak nampak senang tapi membawa gitarnya dan pergi tanpa kata. Kyungsoo menunggu di depan pintu. Zitao tampak sama lelahnya dengan Kyungsoo saat dia masuk.
"Aku benar-benar minta maaf, aku tahu ini sudah larut malam," ujarnya, mendesah. "Kakakmu meneleponku hari ini dan memintaku menyewa perencana acara. Dia akan mengadakan pesta ulang tahun untuk ibumu."
Kyungsoo menunggu.
"Dan dia ingin kau membawa hibridamu," lanjut Zitao. "Acaranya di akhir minggu."
"Oke," jawab Kyungsoo. Dia terlalu mengantuk untuk memikirkan betapa buruknya itu. "Apa kau datang hanya untuk memberitahukan ini padaku?"
"Tidak, aku datang untuk mengecekmu. Bagaimana kabarmu dengannya?"
"Baik," ujar Kyungsoo, dan Zitao melihat ke arah kasur. Juga nyaris tak mungkin dia tak menyadari adanya drum. "Aku menyesuaikan diri lebih baik dari dugaanku."
"Bagus," Zitao mengangguk. "Dan apa dia bengis atau—"
"Tidak. Dan juga, aku tahu cara melindungi diri. Aku juga punya senjata."
"Aku tahu, Kyungsoo. Tapi dia hibrida yang besar, seorang burung jantan. Mereka bukan tipe paling domestik."
Kyungsoo tahu itu, tapi di sisi lain, Chanyeol kelelahan sepanjang waktu. Dia bersikap seakan segalanya terlalu melelahkan baginya untuk dilakukan.
"Dia tenang," Kyungsoo meyakinkannya. "Itu saja?"
"Tidak. Pestanya akan diadakan malam hari di rumah musim panas. Pastikan kau dan hibridamu terlihat seperti manusia bersosialisasi," Zitao nyengir. "Sudah hanya itu, Do-ssi."
Kyungsoo menunggunya untuk pergi sebelum memanggil Chanyeol kembali. Chanyeol tak menjawab, jadi dia pergi ke kamar. Si hibrida tertidur di kasur Kyungsoo, di pojok, seakan takut menempati banyak ruang. Kyungsoo terlalu capek untuk melakukan hal lain selain tidur di sampingnya. Dia menutupi mereka berdua dengan selimut, berbaring, dan menatap langit-langit untuk beberapa lama.
Dia harus menceritakan ini pada Yixing.
xxx
.
"Diamlah," kata Kyungsoo, menahannya di tempat. Chanyeol tak bisa diam hari ini; dia membangunkan Kyungsoo dengan bergerak terlalu banyak di kasur. Dia membuat madu berceceran saat sarapan dengan panekuk. Sekarang, dia bergerak-gerak sementara Kyungsoo mencoba memotong rambutnya. "Chanyeol!"
"Maaf," sahutnya, menggoyang-goyangkan kaki. "Aku akan diam."
Sudah cukup sulit bagi Kyungsoo untuk konsentrasi sementara si hibrida duduk bertelanjang dada dan basah; setidaknya dia perlu posisi berdiri untuk fokus pada sesuatu. Rambut Chanyeol lembut, tapi tebal dan acak-acakan, sulit untuk menciptakan potongan rambut simetris. Kyungsoo menggosokkan jarinya di kulit kepala Chanyeol dan beberapa helai merah jatuh ke lantai.
"Bagaimana menurutmu?"
Chanyeol memandang cermin. Dia tampak bagus dengan rambut lebih pendek, terlihat sedikit lebih tua. Sekarang Kyungsoo dapat melihat dengan jelas bekas luka di dada dan tangannya. Salah satunya berada persis di atas jantung dan yang lainnya nampak di leher. Dia rupawan.
"Ah, aku suka," kata Chanyeol, menatap Kyungsoo lewat pantulan di cermin. "Terima kasih."
"Sekarang, keluarlah. Aku akan menyapu di sini," Kyungsoo mengetuk bahunya.
"Tidak, biar aku saja," Chanyeol berdiri, mencoba menahan tangan lelaki satunya. "Carikan film bagus untuk kita tonton. Aku sudah membuat daftar."
"Kau tak harus—"
"Aku memaksa. Tolonglah."
Chanyeol punya wajah anak anjing yang sangat efektif; sungguh misteri bagaimana dia seekor burung. Mungkin dia bohong. Kyungsoo mengangkat bahu, menggeleng. Dia memilih film 007, film klasik tahun 90, dan menunggu. Chanyeol mengenakan rompi hangat sebelum duduk di sampingnya.
Saat matahari terbenam di dinding kaca, Kyungsoo menunduk ke tempat Chanyeol berbaring. Dia tampak ngantuk, tapi tak diragukan lagi sedang menonton filmnya. Kemungkinan ini adalah hari Minggu paling aneh yang pernah Kyungsoo alami.
"…Bagaimana bisa kau berkata kehabisan uang saat kau punya dua hibrida cantik bersamamu?" ujar James Bond pada si penjahat, duduk di meja poker. "Jika kau punya martabat sedikit saja, kau akan mempertaruhkan mereka."
Si penjahat tampak ragu. Si hibrida harimau, seorang wanita dewasa dengan dada besar terekspos gaun kecil, tengah mengenakan permata mahal, dan itulah yang Bond perlukan untuk mendapat kode yang dia inginkan. Si penjahat terdesak oleh orang-orang yang duduk di meja bersama mereka dan mendorong si hibrida ke meja. Si hibrida memasang wajah kesakitan.
"Tentu saja. Mereka tak lebih berharga dari cincin di jari-jariku, tapi jika kau ingin sesuatu untuk menghangatkan ranjangmu…"
Kyungsoo melihat bagaimana mulut Chanyeol memuntir tak suka.
"Apa kau ingin menonton film lain?" usul Kyungsoo.
"Tidak, kurasa aku ingin tidur," kata Chanyeol. "Aku merasa agak capek."
Kyungsoo mengangguk, memungut remote televisi. Chanyeol berdiri dengan kesulitan dan berjalan ke kasurnya.
"Kau boleh tidur di kamarku kalau mau," tawar Kyungsoo. "Aku akan bekerja dulu sebentar."
Chanyeol tersenyum ngantuk.
.
xxx
.
Kopi Kyungsoo sangat panas dan jendela di sampingnya berembun. Dia memindahkan mugnya ke sisi lain dan menatap pemandangan, meski tak terlihat jelas.
"Do Kyungsoo, makan bersama makhluk fana," Jongdae duduk di depannya, membuat meja bergetar. Kyungsoo menoleh perlahan. "Aku tak bisa mempercayai mataku. Apa kau sakit?"
Kyungsoo menunjuk brownies di piringnya.
"Chanyeol ingin ini," katanya tak fokus. "Aku turun untuk membelikannya dan juga membeli kopi. Aku tak pernah melihat gedung bagian sini."
"Hmmm, itu bagus, bukan? Senang mendengarnya," Jongdae mengangguk, tersenyum bodoh. Piringnya penuh muffin dan sereal batangan. Kopinya bukan espresso seperti punya Kyungsoo, melainkan kopi ukuran besar dengan taburan cinnamon. "Bagaimana kabar kalian berdua?"
"Hebat," jawab Kyungsoo simpel. Dia tak bohong. Chanyeol tak meminta banyak dan hanya keberadaannya saja membuat tempat terasa berbeda. Akhir-akhir ini selalu ada lagu, minuman, atau suara-suara kecil di sekitar Kyungsoo. Terkadang mereka juga main kartu. "Aku ingin bicara padamu soal ini."
"Huh?!" Jongdae mengeluarkan suara sembari mengunyah; mungkin maksudnya 'apa?'
"Dia ingin laptop, tapi aku cemas," kata Kyungsoo. "Aku tak yakin apa dia siap untuk sarana semacam itu."
"Ah, kami punya laptop untuk hibrida. Laptopnya bisa mengumpulkan informasi, menyetel situs-situs, dan membatasi penggunaan," kata Jongdae, mengangguk. "Apa kalian ada acara malam ini? Aku bisa membawamu ke tempatku."
"Aku harus membelikannya setelan jas. Bisakah kita pergi besok?"
"Oke," Jongdae mengedipkan mata.
.
Saat Kyungsoo pulang kerja, dia menunggu di mobil hingga Chanyeol meninggalkan rumah. Si hibrida mengenakan pakaian santai, dan tak akan ada yang bisa membedakan dia bukanlah manusia. Suasana hatinya nampak sedang bagus saat dia duduk di kursi penumpang. Dia bahkan tampak makin senang saat Kyungsoo memberinya brownies.
Senyumnya hanya lenyap saat mereka memasuki pertokoan. Chanyeol menciut—tapi itu memberi Kyungsoo kesempatan untuk mengelap bersih mulutnya. Chanyeol bereaksi seakan ditampar.
"Tenanglah," dengus Kyungsoo. "Mereka hanya manusia biasa."
"Aku tak suka tempat-tempat manusia…" ucapnya, menggigit bibir. "Boleh aku tunggu di luar?"
"Tidak, kau harus mencoba setelannya. Dan kau harus membiarkan orang lain menyentuhmu, untuk menyesuaikannya."
Chanyeol cemberut sepanjang waktu.
"Kau tinggi," kata si penjahit, sambil meneliti badan si hibrida. "Kita harus pakai beberapa lapisan dan dasi panjang."
"Apa kau suka salah satunya?" tanya Kyungsoo hati-hati. Chanyeol masih cemberut, tapi dia menunjuk yang biru bergaris di sampingnya.
"Ini jas berkancing tiga. Kami merekomendasikan kancing dua untuk pria besar," ujar si penjahit, tampak gelisah dengan pita meteran. "Juga, jangan memilih garis vertikal atau kau akan terlihat seperti badut."
Kyungsoo menatap si penjahit—orang ini tak tahu bahwa Chanyeol adalah hibrida.
"Berikan saja apa yang dia mau," kata Kyungsoo. "Dia tak perlu terlihat bagus jika dia tak ingin. Dia hanya harus memakai jas."
Chanyeol mengangguk semangat. Si penjahit mendesah.
"Yah, dia lelakimu, bukan punyaku," gumamnya. "Ikuti aku, honey."
Chanyeol ragu-ragu, namun Kyungsoo mengangkat sebelah alis dalam perintah tanpa suara dan kemudian, dia pergi menyusul si pria satunya.
.
xxx
.
Chanyeol memakan sisa brownies-nya di perjalanan pulang, wajah menyandar ke jendela mobil. Kyungsoo menyetir dalam diam, pikirannya penuh kebisingan. Ada lagu diputar di radio, sebuah lagu yang tenang dan damai, dan Kyungsoo merasa rileks untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun.
"Aku suka kota ini," kata Chanyeol tiba-tiba. "Kuharap aku lahir di sini."
"Darimana asalmu?"
"Tak tahu," jawabnya, menjilat bibir. "Tapi aku suka tempat ini. Kuharap aku bisa berkeliling."
"Apa kau mau? Aku bisa mengantarmu dengan mobil."
Chanyeol menyentuhkan jemarinya pada kaca jendela. Dia tampak refleksif.
"Oke. Terima kasih, Kyungsoo," bisiknya. "Kau…"
Dia tak pernah menyelesaikan kalimatnya, mata berkilaunya menatap lampu-lampu dan orang-orang. Kyungsoo berhenti di dekat pertunjukan publik supaya dapat menonton lebih baik. Jari-jari Chanyeol bergerak pada lagu mereka, dan Kyungsoo menyadari dia sedang memainkannya hanya dengan mendengarnya.
Ketika mereka pulang, Chanyeol tidur di sampingnya lagi. Kyungsoo tak mengatakan apapun.
.
xxx
.
Jongdae tertawa keras saat dia melihat Chanyeol berdiri. Dia tertawa begitu keras sampai harus duduk.
"Apa yang begitu lucu?" tanya Chanyeol pada Kyungsoo. "Baju hangatku?"
Bajunya bertema Natal dan Kyungsoo telah memilikinya bertaun-tahun di dalam lemari. Jongdae menyeka matanya, masih tersenyum.
"Ah, ini sangat lucu," dia akhirnya berkata. "Jika kau tanya aku, aku akan berkata Kyungsoo-lah hibrida di antara kalian."
"Abaikan dia," kata Kyungsoo. "Dia pikir dia lucu, tapi tidak."
"Jangan abaikan aku." ujar Jongdae dramatis sambil mengguncang kunci-kunci. "Aku akan menunjukkan ruangan kesukaanku pada kalian."
"Bukankah kau tinggal di tanah pertanian?" tanya Kyungsoo sembari melihat sekeliling. Mereka nampaknya berada di gudang tak terpakai. Setidaknya tak ada yang melihat mereka. Chanyeol memegang pergelangan Kyungsoo.
"Yeah, memang. Tapi aku perlu tempat untuk menyimpan benda-benda jauh dari hibrida-hibridaku," dia membuka pintu hati-hati. "Meeka sekumpulan pencuri. Junmyeon sangat kacau, Minseok senang menyembunyikan barang-barang, dan Jongin merusak segalanya."
"Bisakah aku bertemu mereka?" tanya Chanyeol dalam nada penuh harap. "Suatu hari."
"Mungkin suatu hari nanti," jawab Kyungsoo tanpa sadar. Dia terlalu sibuk menyerap informasi visual—ruangan penuh barang. Pakaian, makanan, mainan, buku, roda-roda, kantung-kantung… Kyungsoo memungut popok di lantai. "Berapa usia hibrida-hibrida ini?"
"Huh? Ah, ini bekas Jongin. Aku mengadopsinya saat masih bayi, beberapa tahun lalu. Dia remaja sekarang," kata Jongdae, tapi dia tak memperhatikan keduanya; alih-alih dia mengambil sebuah kotak besar. "Beruang perlu waktu lama untuk dewasa. Kurasa dia sudah bersamaku selama lima tahun atau lebih."
Kyungsoo mengeryit. Jongdae menunjukkannya sebuah laptop kecil.
"Sudah kuduga ada di sini," senyumnya. "Ini laptop hibridamu, Chanyeol. Pakailah dengan baik. Aku mendesainnya sendiri."
"Kenapa laptop hibrida?" tanya Chanyeol curiga, tapi dia mengambilnya.
"Sebab itu mencegahmu melakukan kejahatan virtual," kata Kyungsoo datar. "Yang mana aku takutkan."
"Jangan khawatir, kau bisa menonton porno dengan ini, jika itu maumu," Jongdae nyengir.
"Bukan begitu," Chanyeol menggeleng; telinganya merah muda. "Aku hanya takut laptopnya akan seperti… untuk anak-anak atau semacamnya."
"Tidak kok," Jongdae menjamin. "Minseok pernah memakainya beberapa tahun, tapi sekarang dia hanya peduli pada buku-buku dan notebook antik yang lucu."
"Terima kasih," Chanyeol membungkuk. Kyungsoo menghargai betapa mudahnya dia berbicara pada manusia di lingkungan yang tepat. Chanyeol curiga pada manusia, tapi dia sangat supel—lebih dari Kyungsoo.
Mereka tidur di kasur yang sama lagi malam itu, karena Chanyeol membuat Kyungsoo menonton video lucu bersamanya. Dia tahu cara menggunakan internet lebih baik dari Kyungsoo; bahkan media sosial. Nama online-nya kebanyakan loey_61.
"Kenapa '61'?" tanya Kyungsoo, menekan wajahnya lebih dalam ke bantal. "Angka acak?"
"Tahun kesukaanku," jawabnya, tersenyum. Tempat tidur Kyungsoo cukup besar untuk muat dengannya, tapi dia tetap meringkukkan badannya. "Aku mengunjungi tempat-tempat menyenangkan dengan Yifan dan bermain di festival besar. Mereka tak tahu aku hibrida, tentu saja. Waktu itu situasinya… berbeda. Aku pergi ke bioskop untuk pertama kalinya. Aku tak ingat judul filmnya, tapi itu tentang gadis cantik yang berkerja di kelab menari telanjang."
Kyungsoo hanya menatapnya tanpa kata. Chanyeol menggeser rambut dari mata Kyungsoo dengan lembut.
"Rambutmu terlihat bagus. Aku senang kau memutuskan untuk tidak memotongnya," gumam Chanyeol. Kyungsoo tak mendengarnya.
"Kau mau bilang bahwa kau hidup di tahun 1961?" Kyungsoo akhirnya bicara. Dia tak bisa melihat satupun kerutan di wajah Chanyeol. "Kau serius?'
"Jika itu mengganggumu, aku bisa bilang itu hanya candaan," katanya pelan, menatap mata Kyungsoo. Kyungsoo merasakan dadanya sesak, dan dia tak bisa bernapas dengan benar. "Aku tak keberatan… Aku… padamu…"
"Ayo tidur," ujar Kyungsoo, hanya untuk memecah suasana aneh itu. Chanyeol tidak meninggalkan kasur dan Kyungsoo tak mengomelinya.
.
xxx
.
Kantor Yixing tidak sebersih itu lagi. Si terapis terbatuk di balik baju hangat tebal dan dia meminta jarak dengan sopan.
"Maaf. Aku sakit minggu ini," dia menjelaskan. Dia sedikit pucat, tapi masih terlihat menarik dan baik hati. "Kuharap kau tak keberatan dengan bisingnya."
"Tidak," Kyungsoo meyakinkan dan duduk. "Tapi apa kau cukup sehat untuk bekerja hari ini?"
"Ya, terima kasih sudah bertanya," Yixing tersenyum. "Kau tampak berbeda hari ini, berpakaian seperti itu."
Kyungsoo menuduk pada setelan jasnya sendiri.
"Pesta ulang tahun ibuku. Aku akan pergi ke sana setelah sesi ini," kata Kyungsoo, dan dia berbaring untuk menyamankan diri. Dia mendengar Yixing mengambil buku catatannya.
Untuk beberapa alasan, selama satu jam penuh itu Kyungsoo tidak bicara sepatah katapun tentang Chanyeol. Yixing menerka, bertanya apakah dia sedang dekat dengan seseorang, tapi Kyungsoo merasa hal ini terlalu pribadi untuk dibagi. Entah bagaimana, rasanya seperti Chanyeol hidup dalam dirinya.
Seorang petugas keamanan datang menjemputnya. Chanyeol sudah berada di dalam mobil. Mereka duduk bersama di kursi belakang dan Kyungsoo mencium bau parfum miliknya pada si hibrida.
"Aku risau," Chanyeol mengaku. "Aku tak pernah pergi ke pesta di mana orang-orang tahu siapa aku."
"Jangan cemas," Kyungsoo memegang tangannya—tangan Chanyeol selalu hangat. "Jangan pergi dari sisiku."
Perjalanan ke rumah pantai cukup lama, tapi Kyungsoo senang. Chanyeol menyanyikan lagu-lagu dan bercanda untuk menaikkan suasana. Jantung Kyungsoo berdebar cepat dalam dada dan dia tak pernah sesemangat ini untuk… untuk melakukan apapun.
Dia tersenyum dalam diam dan tak mencemaskan apapun.
Pestanya tidak besar—keluarganya selalu berahasia, naluri bertahan hidup—tapi mobil-mobil mahal terparkir dan ada setidaknya sepuluh orang menjaga tempatnya. Tak ada yang mempertanyakan Chanyeol; dia berjalan dekat dengan Kyungsoo dan tampak tenang. Kyungsoo harus bicara dengan beberapa kenalan sebelum menemukan ibu dan kakaknya, duduk di meja utama.
"Ini Chanyeol," dia mengenalkan si hibrida setelah berbasa-basi. "Kurasa kau harus bertemu dengannya, bagaimanapun juga dia adalah hadiah darimu."
Ibunya menatap si hibrida penasaran. Dia tampak puas.
"Apa kau baik-baik saja dengan ini semua?" tanyanya. "Kukatakan pada kakakmu bahwa kau tak akan menerimanya."
"Kami baik," Kyungsoo mengangguk. "Chanyeol tinggal bersamaku sejak ulang tahunku. Dia teman yang baik."
Chanyeol juga mengangguk, kedua tangannya menyatu di depan badan seperti anak kecil.
"Senang bertemu dengan Anda," katanya segan. "Suatu kehormatan."
"Tampaknya dia investasi yang bagus," kata kakaknya. "Kurasa kau tak butuh petugas keamanan lagi."
Chanyeol tertawa, tapi dia jelas kebingungan. Keluarga Kyungsoo tak begitu memperhatikannya, bagaimanapun juga, dia hanya hibrida. Segera mereka bicara tentang bisnis Hongkong dan masalah tak terduga dalam negosiasi.
Chanyeol duduk di samping Kyungsoo dan hanya mendengarkan; dia tak pernah sediam ini sebelumnya.
"Apa kau ingin pergi keluar?" Kyungsoo bertanya padanya. Mereka duduk selama satu jam dan percakapannya membosankan seperti biasa.
"Ya, tolong," jawabnya. Mereka undur diri dan Kyungsoo membawanya ke taman. Pencahayaan hanya berasal dari depan dan kolam, tapi lampu-lampu di dalam cukup kuat untuk membuat mereka melihat jalan.
Kyungsoo berhenti berjalan dan Chanyeol melakukan hal serupa. Langit malamnya jernih dan menampakkan bulan terang.
"Bagaimana menurutmu? Pestanya?" tanya Kyungsoo, sedikit gugup oleh diamnya Chanyeol. "Apa kau suka?"
"Aku suka makanannya," dia tersenyum. "Kupikir segalanya terlalu mahal. Aku tak suka itu."
"Ya."
"Dan keluargamu… tak terlihat seperti keluarga. Bukan berarti aku punya, hanya saja…"
"Aku mengerti maksudmu," Kyungsoo mengangguk. "Kami… sangat… berbeda satu sama lain… dalam keluargaku."
"Yeah…" kata Chanyeol sambil menatap kakinya. "Aku lega kaulah yang merawatku."
"Jangan khawatir soal itu," Kyungsoo menyentuh tangannya. "Segera, aku akan meyakinkan mereka bahwa aku baik-baik saja dan aku akan melepaskanmu. Kau tak perlu menjadi—"
"Apa?" gumam Chanyeol. "Kau… Kau tidak akan menahanku?"
"Tidak. Kau bukan barang," Kyungsoo mengeryit. "Pada akhirnya aku akan menemukan cara untuk membebaskanmu. Kau sudah terbiasa, bukan? Kau bisa hidup sendiri. Tentu saja kau tak perlu cemas soal uang, aku akan—"
"Tidak, aku tak cemas soal uang," Chanyeol menghadap Kyungsoo sepenuhnya, menatap. "Aku tak pernah mencemaskannya. Uang adalah hal-hal manusia. Tapi aku tak ingin pergi. Aku ingin tinggal di sisimu."
"Apa?" Kyungsoo tertawa, tapi dia sangat bingung. "Aku tak mengerti. Apa kau ingin hidup terkunci? Aku bahkan tak punya waktu untukmu."
"Aku tak keberatan," kata Chanyeol kasar dan dia memegang siku Kyungsoo dengan hati-hati, memutus jarak di antara tubuh mereka. "Aku ingin bersamamu. Aku telah bebas sepanjang hidupku, aku telah melihat banyak hal. Tak ada apapun di luar sana yang kuinginkan… Aku menginginkanmu."
"Apa? Chanyeol, kau ini bilang apa?" gumam Kyungsoo, mendongak; Chanyeol terlalu serius. "Kau tidak bisa—"
Sangat jelas apa yang akan terjadi, namun Kyungsoo masih terkejut saat Chanyeol menciumnya—ciuman kuat yang membuat Kyungsoo tak bisa kabur, terkunci dalam pelukannya. Kyungsoo mencoba mendorongnya, tapi tangannya terjebak di antara badan mereka, dan dia tak punya kekuatan yang diperlukan untuk melawan setelah dicium seperti itu. Dia terkesiap, tanpa daya, dan dia memberi ruang pada Chanyeol untuk memperdalam ciumannya. Musik, lampu, dan seluruh pesta lenyap.
Saat Kyungsoo bisa melihat lagi, dia menengadah pada bintang-bintang; dengan santainya dia berpikir bahwa langitnya sangat indah, berbeda dari apartemennya, dari belakang dinding kaca.
"Aku sangat menginginkanmu," dia mendengar. Dia berkedip, kebingungan, dan sadar masih berada di taman, masih dalam dekapan Chanyeol. Si hibrida tengah menciumi lehernya dan Kyungsoo berusaha mendorongnya.
"Chanyeol, hentikan," ujarnya tegas. "Hentikan, sekarang juga."
Dengan enggan, Chanyeol melepas pelukannya. Dia nampak terluka dan malu pada saat yang sama. "Maaf…" katanya. "Aku hanya… Aku takut tak akan bisa melakukan itu… setelah kau…"
"Jangan lakukan itu lagi," kata Kyungsoo, menghindari matanya. Sekujur tubuhnya panas. "Aku… Jangan pernah… lakukan itu lagi."
"Kenapa tidak?" tanya Chanyeol, jengkel. "Bukankah ini yang dilakukan orang-orang? Aku ingin menciummu… dan kupikir kau ingin menciumku juga."
"Aku… Bukan ini alasanku memilikimu bersamaku," ujar Kyungsoo, sangat malu. Dia pikir dia bisa menyembunyikan perasaannya dengan lebih baik. "Kau tak harus melakukan apapun untuk membuatku mempertahankanmu."
"Aku menginginkanmu," ucapnya. Kyungsoo tak melihat wajahnya, tapi suaranya terdengar seperti akan menangis. "Aku tak mau meninggalkanmu."
"Kau tak tahu apa yang kau inginkan. Kau baru bersamaku selama—"
"Pertama, persetan denganmu," Chanyeol menyelanya, marah. Itu membuat Kyungsoo memandangnya. "Aku sangat mampu untuk tahu apa mauku. Kedua, persetan denganmu lagi. Aku tak peduli seberapa lama kalian para manusia memutuskan untuk yakin pada perasaan kalian. Aku telah hidup sangat lama; aku menginginkanmu sejak pertama melihatmu. Aku tahu diriku sendiri. Aku mengenal diriku sendiri lebih baik dari kau mengenal dirimu."
Kyungsoo tak dapat berkata-kata. Dia mengerjap, menolak untuk menerima bahwa dia telah dikalahkan.
"Aku… Jangan… Ini sangat salah," Kyungsoo menggeleng dan mencoba berjalan mundur. Chanyeol mendekapnya erat lagi. "Jangan. Jangan lakukan ini."
"Aku tak meminta banyak," kata Chanyeol pelan, menekan dahi mereka berdua. "Aku hanya sangat ingin kita bersama. Aku sudah tua, Kyungsoo. Aku tak tahu berapa lama lagi bisa menyimpan ingatan-ingatanku. Aku kehilangan tenagaku, suaraku… tapi aku tak bisa kehilanganmu. Kau adalah hal baik dalam deretan kesakitan panjang. Kumohon, jadilah milikku."
Kyungsoo ingin tertawa. Situasi ini benar-benar tak masuk akal. Dia tak tahu bagaimana bisa berakhir seperti ini. Dia dapat merasakan napas panas Chanyeol di wajahnya dan dia merasa tak berdaya.
"Hentikan," ujarnya. "Jangan di sini. Kita bicarakan di rumah."
"Baiklah," kata Chanyeol pelan. "Ayo pulang."
Kyungsoo mengabaikan penjaga keamanan dan menyetir sendiri. Mereka tak bertukar kata; Kyungsoo mengemudi dan Chanyeol menyandarkan wajah ke jendela. Sesekali, Kyungsoo meliriknya. Di dalam lift, Chanyeol mencoba menggenggam tangannya. Kyungsoo menyilangkan lengannya dan menatap pintu.
Mereka masuk ke dalam apartemen, tapi kata-kata masih hilang. Mereka saling menatap, berdiri, menunggu.
"Aku tak ingin kita membicarakan ini lagi," Kyungsoo mencoba. "Jadi, kita selesaikan ini, oke?"
Chanyeol mengangguk. Kedua tangannya menyilang dan dia tak menatap Kyungsoo.
"Aku menyukaimu," kata Kyungsoo tulus. "Tapi aku tak ingin hubungan semacam itu. Aku suka sendirian. Dan aku tak setuju memiliki hibrida sebagai… yah…"
"Jadi ini karena aku adalah hibrida," katanya, bibirnya terkatup rapat beberapa waktu. "Jika aku manusia sepertimu, kau tak akan keberatan?"
"Chanyeol…"
"Bisa kau jawab aku?"
"Ini bukan hanya karena… Aku tak mau. Hanya itu," ujarnya. "Aku tak harus menjelaskan lebih jauh."
"Yeah, kau benar," kata Chanyeol pelan. "Aku… Seharusnya aku tidak bertindak sejauh ini. Kau tidak melihatku sebagai seseorang sepertimu dan meski kau melakukannya, kau tak membiarkan orang lain mendekat. Maaf sudah berusaha."
"Apa yang—"
"Aku hanya ingin kau tahu," katanya cepat-cepat, sekarang menatap Kyungsoo tegas. "Bahwa aku mencintaimu dan itu adalah perasaan tulus, tak peduli apa yang pikirkan. Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu. Itu benar. Tapi jika itu membuatmu tak nyaman, aku tak akan memaksamu."
Kyungsoo menghela napas dalam. Chanyeol menjatuhkan kedua tangannya dan menutup mata. Kyungsoo pergi ke kamar mandi dan menutup pintu. Dia memandangi dirinya sendiri di cermin.
Mengapa perasaan semacam ini begitu menakutinya? Mungkin keluarganya benar. Mungkin ada yang sangat salah dengannya. Kyungsoo membasuh muka dan meninggalkan kamar mandi. Dia tak seharusnya bersembunyi.
Chanyeol sedang duduk di sofa, kedua siku di atas lutut, tangan dekat dengan wajah. Dia tengah memegang sesuatu. Saat dia melihat Kyungsoo dan duduk tegak lagi, Kyungsoo bisa melihat apa itu.
Itu adalah senjatanya.
"Chanyeol," tanyanya, jantungnya berdetak lebih kencang. "Di mana kau menemukan itu?"
"Di bawah tempat tidurmu," jawabnya pelan. "Maaf sudah mengambilnya. Jangan khawatir—"
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Kyungsoo, mematung.
Chanyeol menatap senjata di tangannya; pelurunya terisi dan telunjuknya mengusap pelatuk.
"Ada panti asuhan hibrida di suatu tempat di kota ini, pasti mudah ditemukan," ujarnya dengan damai, tapi matanya sedih. "Kau bisa membuangku di sana, jika kau mau. Aku bertaruh mereka orang-orang baik."
"Kau bilang apa?" Kyungsoo maju selangkah, tapi Chanyeol mendelik dan dia mematung lagi. "Chanyeol, turunkan pistolnya."
"Aku sudah tua, lemah, dan… dipenuhi ingatan buruk. Meski begitu, tak mungkin aku akan melupakanmu jika kau membuangku. Kau satu-satunya orang yang kuinginkan di kehidupan kali ini," matanya berkaca-kaca. "Hidupku sudah terlalu lama dan aku lebih suka melupakan segalanya daripada berurusan dengan patah hati setelah sekian lama."
"Chanyeol…" Kyungsoo tak pernah setakut ini dalam hidupnya. Dia dapat mendengar jantungnya sendiri. "Jangan…"
"Jika kau bertemu Yifan lagi, kau tahu, hibrida satunya, katakan padanya di mana aku berada. Dia pernah membesarkanku sebelumnya, dia akan tahu apa yang harus dilakukan," Chanyeol mengangkat tangannya dan menodongkan pistol ke kepalanya sendiri. Dari sudut ini, dia pasti mati jika menembak. "Semoga aku bisa mengingatmu di kehidupan selanjutnya. Aku sangat, sangat menyukaimu."
Kyungsoo tak bisa menunggu lagi dan berlari padanya; itu tak berguna. Suara tembakan tak menghentikannya, tapi ledakan yang menyertainya.
Tubuh Kyungsoo terdorong ke dinding, dan dia butuh waktu sesaat untuk menyadari api dalam ruangan. Dia mengangkat sebelah tangan untuk melindungi wajah dan melihat, tanpa reaksi, bagaimana tubuh Chanyeol dilalap api. Sofa ikut terbakar dan alarm kebakaran menyala; alat pemadam api mulai menembakkan air kemana-mana. Kyungsoo masih tak bergerak di bawah curahan air, menyaksikan api melalap segala yang ditemuinya. Sebuah bulu burung panjang yang terbakar lolos dari kobaran api dan saat mencapai lantai, Kyungsoo bisa melihatnya terurai menjadi debu.
Telepon berdering. Kyungsoo mengangkatnya dengan mati rasa.
"Mohon maaf, Do-ssi. Pendeteksi api berdering di sini. Apakah ada api di tempat Anda?"
Air telah memadamkan api di sofa. Di tempat Chanyeol duduk hanya tersisa bulu-bulu burung basah berantakan.
"Ya," jawab Kyungsoo. "Tapi sudah berakhir. Jangan khawatir."
Kyungsoo menghabiskan setidaknya lima menit berdiri, kacau. Lalu, dia berjalan hati-hati pada sofa terbakar. Dia menyentuh tumpukan bulu-bulu burung. Dia mendesah. Ini tidak mungkin nyata. Chanyeol tidak mungkin meledak dan menghilang begitu saja.
Seseorang harus menjelaskan ini padanya. Mungkin… Kyungsoo berbalik untuk mengambil ponsel, tapi sebuah suara menginterupsinya.
Itu adalah suara tangisan.
Tangisan bayi.
Kyungsoo berbaik lagi pada tumpukan bulu-bulu burung dan mengambilnya satu demi satu dengan hati-hati. Sesuatu sedang menangis di dalamnya. Saat Kyungsoo sudah menyingkirkan cukup bulu, dia akhirnya bisa melihatnya.
Itu memanglah bayi. Bayi yang bulat, gemuk, dan telanjang.
Si bayi menatapnya dan berhenti menangis; dia memiliki mata besar yang dikenalnya.
"Well," desahnya. Yixing akan senang mendengar ini.
.
-bersambung-
.
