Faith.

Chapter One

Cast: EXO, Luhan, Sehun, Chan-Baek (cameo)

Rate: M, m/m

Genre: BL, Romance, Comfort

Category: EXO, Yaoi, Continues

Length: 5shoots

000

Desaku penuh dengan mitos,

Sambil menyantap setoples kacang polong panggang, Luhan menatap layar televisinya, sibuk dengan PlayStation. Winning Eleven. Kalau sedang libur sekolah, hanya ini yang ia lakukan.

Lalu pintu kamarnya dibuka dari luar. "Lu, tolong Ibu belikan bihun."

"Japchae?" Tanya Luhan, masih menggerakan jari diatas joystick. Japchae, tumisan bihun kesukaan wanita itu.

Ibu tertawa. "Kau memahami Ibumu."

Dari rumahku menuju toko di dekat bendungan, ada sebuah jalan. Sudah diaspal sejak aku masih kecil dan tidak dibenahi ulang karena tidak pernah rusak,

Luhan memakai jaket abu-abunya, menarik resleting sampai dada lalu mengenakan topi. Pelan-pelan seperti mengendap, ia mengeluarkan sepeda motor matic ketinggalan zaman milik mendiang Ayahnya dari gudang, diseret menuju pelataran rumah kemudian mulai berkendara; membeli bihun.

Di jalan itu akan ada sebuah gundukan memanjang, kau bisa menyebut itu polisi tidur. Tapi, orang-orang bilang kalau gundukan itu sudah ada sebelum jalannya diaspal.

Dalam hening, konsentrasi Luhan terpusat pada medan kendara. Kelopak matanya nyaris tertutup karena bosan dan suasana yang sepi berkombinasi dengan baik meski saat itu ia tahu dibelakang ada satu pengendara lain. Setidaknya Luhan mengenakan helm dan jaket yang bisa melindunginya jika benar-benar tertidur. Itu hal bodoh, tapi mungkin saja terjadi.

Dan di jalanan itulah ada sebuah mitos yang konyol,

Roda sepeda motor Luhan terus bergulir menggelinding menyusuri jalan. Empat jemarinya bekerja sama untuk menekan rem tangan ketika sebuah polisi tidur menghadang. Samar dari sisi matanya, Luhan menangkap pengendara motor yang sesaat lalu ada dibelakang, kini berposisi sejajar dengannya; sama-sama menekan rem untuk melalui si polisi tidur.

Luhan melepas tekanan jemarinya dari rem. Hal yang biasa terjadi pada pengendara-pengendara roda dua, akan ada keadaan dimana kedua tangan cenderung berbelok ke satu arah setelah melalui sebuah polisi tidur; kata lain, pengaturan keseimbangan setelah kondisi kendaraan yang nyaris berhenti. Itu terjadi pada Luhan. Kemudinya berbelok ke kiri, sedangkan motor disampingnya berbelok ke kanan dalam waktu bersamaan.

Bisa dibilang, gerakan keduanya seperti sebuah cermin.

Mitos yang mengatakan, jika ada kendaraan yang melalui gundukan itu lalu setelahnya kehilangan keseimbangan dan berbelok saling melawan arah, maka dua pengemudinya ditakdirkan untuk bersatu.

Tapi seolah itu adalah keadaan yang tidak patut diherankan, maka Luhan kembali menggas motornya dan meluncur maju, mengabaikan motor lain yang kini lagi-lagi berjalan dibelakangnya.

Mitos yang mengatakan bahwa dua pengemudi itu berjodoh.

Setelah motor Luhan terus melaju dan lenyap di tikungan, pengendara satu ini terus dalam kecepatan stabil. Tidak mengenakan helm, hanya sebuah beanie hitam dan kaus lengan panjang. Melamun.

Namaku Oh Sehun dan kurasa syarat terjadinya mitos itu barusaja terjadi antara aku dan orang tadi,

Sehun memang melamun. Dalam lamunannya, ia berusaha memaku sosok pengemudi yang bersamanya sesaat lalu. Luhan.

Sehun, apa ia akan menemukan pengemudi itu? Apa ia akan mengetahui sosok itu adalah Luhan?

000

Oh Sehun, anak laki-laki berusia tujuh belas tahun dengan perawakan tinggi semampai dan kulit serupa susu, dagu panjang dan tulang alis menonjol. Bibirnya kecil, hidungnya mancung. Untuk kadar siswa SMA di desa ini, Sehun bisa dikategorikan sebagai pemuda tampan.

Dengan keadaan tubuhnya yang serba memenuhi kriteria, Sehun bisa dengan bebas memilih jenis ekstrakulikuler di sekolah. Tapi, untuk saat ini ia lebih memilih untuk tidak memiliki aktivitas diluar akademis dan hanya turut menjadi pengurus acara dalam festival sekolah. Bisa jadi hanya dua kali setahun.

"Universitas di kota?"

Sehun melepas hisapannya dari sedotan jus kotak jatah makan siang. Dihadapannya ada sosok lain, duduk menyila kaki sambil menggerak-gerakkan telapak tangan, mengipas. Itu Luhan, teman Sehun sejak masih di taman kanak-kanak. Dalam tingkat akademi, Luhan adalah senior, saat ini ia duduk di kelas tiga. Hanya lebih tua satu tahun.

Luhan mengangguk, "Iya. Disini tidak ada kampus, kau tahu." Ia tertawa. Desa mereka hanya sebuah wilayah kecil yang kadang namanya tidak muncul dalam peta Korea.

"Itu artinya, kau pindah? Kau bukan penduduk disini lagi?"

"Keluargaku tetap disini." Sekarang ia tersenyum. "Tiap liburan semester, aku pasti pulang."

Sehun diam. Tidak, diamnya ini tidak akan disalah artikan oleh siapapun, karena pada dasarnya ia memang jarang bicara. Jika ada salah satu teman Sehun yang ingin menulis sebuah biografi diri lalu ingin menyertakan seorang Oh Sehun dalam tulisannya, entah narasi atau tanda kutip apa yang akan muncul untuk menggambarkan orang ini.

Meski sebenarnya, Sehun menyembunyikan berbagai macam pemikiran dibalik keheningannya.

Seperti saat ini, ia tengah membayangkan kepergian Luhan. Mereka sudah bermain bersama sejak usia mereka masih bisa diwakilkan dengan jemari, bahkan tempat tinggal mereka hanya terpisah empat rumah. Lalu, sekarang, teman bermain itu akan pergi?

"Beri aku setidaknya satu emosimu, Sehun." Lagi, Luhan tertawa, menarik poni Sehun pelan sementara Sehun masih diam dan hanya mengusap bekas jemari Luhan dirambutnya.

"Oh," Sehun menunduk. Ia sendiri bingung harus memberi reaksi apa pada pernyataan Luhan. Tentu saja ia senang karena temannya bisa masuk universitas keren di kota, tapi juga sedih karena ia akan ditinggalkan, lalu juga marah karena Luhan tidak mengajaknya mempertimbangkan keputusan untuk kuliah diluar desa, kemudian juga kecewa karena ini, itu dan sebagainya.

Emosi apa yang bisa Sehun berikan?

"Yah, semua orang sudah mendukung keputusanku. Tapi aku bisa membatalkannya jika ada sesuatu yang bisa kujadikan alasan,"

Sehun mendongak. "Alasan?"

"Intinya seperti, aku meninggalkan desa karena tidak ada alasan bagiku untuk tetap disini."

"..."

Begitu?

Tidak ada alasan bagiku untuk tetap disini.

...

Bugh, bugh, "Aww,"

"Ups, maaf." Baekhyun tersenyum meringis, memukul bahu Sehun—niatnya hanya ingin memberi tepukan simpati setelah mendengarkan curahan hati orang itu. Tentang Luhan.

Byun Baekhyun adalah sepupunya. Keadaan Ibu mereka yang bersaudara menjadi penyebab mengapa marga mereka berbeda. Usia mereka sama, hanya Baekhyun lahir lebih dulu. Satu hal yang membuat Sehun tidak rela melepas Luhan adalah karena ia bahkan lebih dekat dengan Luhan daripada sepupunya sendiri.

"Luhan bisa menjadi selangkah didepan kita, ya?"

"Hm," Hanya lenguhan itu yang disuarakan Sehun. Selangkah didepan. Oh, ya, benar. Universitas di kota memiliki banyak keunggulan yang menjamin. Dan lagi, Luhan bukannya tidak mungkin untuk mendapat beasiswa; anak itu pintar.

Baekhyun menyorot wajah Sehun, lalu duduk makin mendekat dan rapat. Sehun mendongak, memberi tatapan bingung. "Ada apa?"

"Kau akan kesepian."

Tentu. Dan pernyataan itu membuat Sehun menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Itu benar, ia memang akan kesepian dan itulah yang selalu ia pikirkan setelah Luhan mengatakan akan kuliah diluar kota siang tadi. "Kau berisik juga rupanya."

Baekhyun nyengir. "Itu bagus. Aku bisa membuatmu tidak kesepian karena aku berisik."

Jklek—pintu kamar Baekhyun terbuka dan muncul adik perempuannya. Siswi SMP yang cantik. Ia menampakkan diri dengan gaya tinggi khas gadis desa berlagak gaul. "Hei, kak,"

"Perempuan dilarang masuk saat dua laki-laki sedang bicara, ok?"

Si adik melipat tangan di dada. "Apa perduliku? Aku cuma memberitahu kalau ada orang yang mencarimu."

"Siapa?"

"Mana kutahu. Orangnya jangkung, rambutnya disisir seperti perlente."

Hening.

Sehun menatap Baekhyun.

Baekhyun menatap adik.

Si adik melirik diantara kedua saudara laki-lakinya. "Idiot." Lalu melenggang kembali keluar kamar dan menutup pintunya dengan anggun, meninggalkan Baekhyun yang kemudian mendesah-desah tak keruan sambil mengacak rambut.

"Ada apa?" Sehun heran. Baekhyun meliriknya, lalu sorotan mata yang sesaat lalu nampak kacau, kini berbinar seolah sedang memamerkan deretan gemintang. Ia mendapat sebuah ide.

...

Luhan menemukan komik itu, komik yang ia pinjam dari Sehun dan dikira hilang. Nafas lega lolos dari celah bibirnya, mensyukuri kalau ternyata buku kesayangan temannya tidak benar-benar menghilang.

"Aku harus mengembalikannya sebelum kembali lenyap."

...

"Tadaah, lihat siapa yang datang!"

Baekhyun melebarkan cengirnya setelah pintu rumah terbuka dan menampakkan seseorang dibaliknya; sosok lebih tinggi dari Sehun, memakai kacamata dan klimis. Kacamata itu pasti sangat tebal sampai mata penggunanya nampak melengkung-lengkung. "Kau mencariku?"

"Uh, ya―ya, Baekhyun," Si tamu mulai gugup. Dari balik kacamatanya, mata itu kelihatan takut-takut. "Aku,"

"Oh, ya, sebelum kau bicara apapun, boleh aku menginterupsi?" Baekhyun merangkul lengan Sehun disampingnya lalu memasang tampang gembira untuk dipertontonkan pada si tamu. "Chanyeol-ssi, ini Sehun, pacarku."

Refleks Sehun menoleh kritis. Mungkin jika Baekhyun tidak memberi isyarat susulan, ia akan melepas rangkulan itu dengan galak.

Chanyeol, si tamu, terdiam sesaat lalu bertanya memastikan. "Bukankah dia sepupumu?"

Oke, Baekhyun lupa betapa sempit desanya hingga hampir semua warga saling mengenal satu sama lain. "Cinta itu buta." Begitu jawaban Baekhyun, membuat Sehun makin risih.

Kenapa Baekhyun harus berbohong?

"Sebenarnya aku kemari hanya ingin bicara sesuatu," Chanyeol membenahi letak kacamata yang terasa melorot. "Aku mau-"

Blam―

Pintu ditutup.

...

Dari tempatnya berdiri, Luhan bisa dengan jelas mendengar segala kalimat yang terucap didepan pintu rumah keluarga Byun. Luhan memang berniat ke rumah Sehun, dan rumah Sehun tepat berhadapan dengan rumah Baekhyun.

Yang saat ini berkalut dalam pikirannya adalah perihal pacar Baekhyun.

Baekhyun dan Sehun.

Mereka kekasih?

000

"Besok aku izin absen,"

Luhan melempar kertas bungkus kimbab yang ia beli dari kantin, bungkusan itu ia lempar dan masuk kedalam keranjang sampah dengan mulus. Sehun menyorot benda itu sesaat, kemudian kembali menatap Luhan.

"Kau sakit?" Ia bertanya. Ya, tumben sekali Luhan membicarakan niat untuk absen.

Luhan menggeleng sambil meneguk soda kalengnya. "Aku mau ke Seoul."

"Hei, hei, kau bahkan belum lulus SMA, untuk apa ke Seoul besok?"

"Tes praktik." Luhan memberi jawaban dengan cepat. Tiba-tiba wajahnya nampak amat bosan. Ia menopang dagu dengan telapak tangan, lalu menatap keluar bangunan sekolah yang kecil. "Aku makin merasa jenuh di desa ini."

Seakan ada sesuatu yang meletup dibalik dada Sehun mendengar ucapan Luhan barusan. Kenapa Luhan kelihatan membenci desa kelahirannya sendiri? "Luhan,"

"Terkadang aku merasa seperti mengkhianati kampung halaman, tapi tidak begitu. Aku cuma ingin membiarkan sayapku membentang diluar sangkar." Kata Luhan, seperti sedang melamun. "Kau paham maksudku?"

Entah kenapa, Sehun menggeleng.

Luhan tersenyum, namun alis matanya agak menurun. Apa itu? Ekspresi apa yang tengah ditunjukannya?

"Aku tidak ingin berharap pada keterbatasan."

Sehun termenung. Matanya terpaku pada wajah manis dihadapan, telinganya menggaungkan kata-kata yang baru ia dengar. Rasanya, seperti ada yang tersembunyi dari ucapan itu.

Tapi apa?

Berharap pada keterbatasan.

000

Luhan berhasil. Ia lulus tes praktik dengan nilai sempurna, bahkan ia bercerita pada Sehun, dengan wajah sangat bersemangat, bahwa rektor universitas itu sampai memujinya. Ya, itu hal baik. Tapi juga hal buruk bagi Sehun. Dengan ini, Luhan benar-benar tidak akan mempertimbangkan keputusan untuk meninggalkan desa.

"Ini luar biasa 'kan, Hun? Aku sendiri tidak percaya kalau nilaiku yang terbaik!"

Sementara Luhan terus bersorak girang dihadapan laki-laki terancam frustasi itu―Sehun.

"Direktur universitas itu bernama Choi Siwon dan dia sampai menawariku jaminan untuk bekerja di perusahaan keluarganya. Ini keren sekali!"

"Iya, keren." Sehun mulai bising. Ia sangat menyayangkan ketidakpekaan Luhan pada perasaannya; perasaan seorang teman yang akan ditinggalkan. Dan itu jelas tergambar diwajahnya sekarang.

Luhan agak terperanjat mendapati ekspresi pilu pada Sehun. "Apa-apaan tampangmu itu?" Ujung bibirnya berusaha naik, tapi suasana malah makin buruk.

"Kau bahagia dengan itu. Benar 'kan?"

Alis Luhan perlahan menjorok beradu. Perasaan apa ini? Perasaan apa yang dialirkan Sehun hingga dada Luhan terasa ngilu begini?

"Kau bisa bahagia tanpa keluarga dan temanmu 'kan? Kau bisa bahagia sendirian 'kan?"

"Sebenarnya apa yang kau bicarakan?"

Kemudian, Sehun menangis. "Kau akan meninggalkanku dan kau bahagia dengan itu."

"... Sehun,"

"Dasar egois." Dengan cepat, Sehun bangkit dari tempat duduknya dan berbalik pergi. Tak lagi menghiraukan apa yang Luhan coba lakukan dibelakangnya.

Entah, Sehun juga tidak mengerti apa yang membuatnya merasa disakiti Luhan. Yang jelas, ia tidak mau Luhan pergi.

"Kenapa kau marah? Bukankah kau yang menyakitiku?" Air mata mengaliri pipi Luhan.

...

Sehun terduduk dibalik pintu, menarik rambutnya seperti orang gila. "Jangan tinggalkan aku..."

To be continued.