Due parole © Fujimoto Yumi, 2015

Kim Taehyung X Jeon Jungkook © God, themselves

Rated M. / Romance, Hurt/Comfort, Family, Drama.

Boys Love. YAOI. AU. OOC. Lime. Incest.

DLDR, guys! Enjoy!

.

.o.o.o.o.

.

Bukan salah kita karena jatuh cinta.

Karena cinta tak pernah bisa memilih.

Cinta itu… urusan dua hati; yang egois, yang tak peduli.

Tapi pada akhirnya, kita di sini.

Berjalan di atas kerikil dosa yang tak pernah ada ujungnya.

Kau, aku… dengan dua kata saja kita menyatu.

Love you… hanya itu.

.

.o.o.o.o.

a TaeKook fanfiction

Due parole

by Fujimoto Yumi

.o.o.o.o.

.


Angin musim gugur di bawah langit kota Seoul berhembus. Hembusannya menyapu daun-daun yang berserakan di jalanan. Membawa objek kejinggaan itu terbang, berpindah beberapa meter dari tempat sebelumnya. Indah. Pemandangan yang indah di cuaca yang cukup dingin ini. Langit pun telah berubah warna, dan yang ditampakkan oleh alam hanyalah horizon orens yang terus menyebar ruak di angkasa.

Jungkook, seorang namja yang menjejakkan dirinya di antara puluhan daun musim gugur yang mengayun. Berdiri memandang langit sewarna jingga yang tenang. Matanya menatap nyalak, mencari jawaban. Hari ini tak disukainya. Hari ini menyebalkan untuknya. Mengapa? Mengapa hari ini harus menjadi hari sial untuknya?

Ah. Semua karena atasannya. Semua karena sosok bos yang merupakan kakak tirinya juga.

Sudah beberapa bulan ia datang ke kota ini. Menjalani kehidupan baru karena ibunya menikah lagi. Memiliki seorang kakak yang bahkan tak ada hangat-hangatnya. Menyebalkan, pikirnya. Tapi ia tak memungkiri kesempurnaan yang ditebarkan kakak tirinya.

Jungkook mendengus. Sebagaimana pun ia menolak pesona yang menguar dari sang hyung, ia tak bisa mangkir. Kakak tirinya terlalu sempurna. Dan itu agak menyebalkan untuknya. Seperti hari ini… beberapa waktu ia bekerja di perusahan ayah tirinya dengan sosok itu sebagai bosnya, Jungkook sudah menghabiskan seluruh persediaan kesabaran yang ia miliki.

Melelahkan. Tetapi ia takkan mengelak, bahwa sejujurnya ini menyenangkan.

Kenapa? Kenapa ia berpikir begitu?

Namja bermahkotakan langit malam itu kemudian berjalan meninggalkan jalanan musim gugur yang dingin dan pulang ke rumahnya. Sesekali ia memainkan ponsel, bertukar pesan dengan sang ibu atau pun teman kerja yang dikenalnya.

Ah, ia ingin tidur. Dan melupakan betapa melelahkannya hari ini.

Tanpa dibayang-bayangi wajah menyebalkan hyungnya lagi.

.o.o.o.o.

"Aku pulang," suara namja imut bernama Jungkook itu menggema di mansion mewah di pertengahan kota Seoul. Ia menghela napas dan berniat langsung berlalu ke kamarnya. Namun saat akan menjejakkan kaki di anak tangga terbawah, suara orang lain menggema di keheningan yang meraja.

"Kau baru pulang?"

Suara menyebalkan ini, batin Jungkook. Ia mengenalnya. Ini suara hyungnya. Dan mengapa ia sudah harus bertemu orang ini ketika baru masuk rumah?

Jungkook menjawab malas tanpa melihat ke arah kakak tirinya. "Iya, aku baru pulang, hyung."

"Oh. Kautahu kan umma dan appa tidak ada di rumah?"

"Ne… lalu?"

"Buatkan makanan untukku."

"Ha?"

"Sekarang, Jungkook. Aku lapar."

"Apa?"

Namun bukannya langsung menjawab, sosok hyung namja imut tersebut hanya berlalu setelah sebelumnya memberikan usapan di kepalanya. Lalu berbisik pelan. "Kau selalu lambat, Kim Jungkook."

Mendengarnya, namja berhelaikan sewarna langit malam bermarga Kim tersebut langsung mendelik kemudian mendengus membalas hyungnya. "Masak sendiri makananmu, Taehyung-hyung!"

Dan ia berlalu sambil mengumpat pelan yang masih bisa didengar oleh Taehyung. "Hyung payah, menyebalkan, tukang perintah. Masak sendiri sana. Aku tidak peduli."

Sejurus, Taehyung hanya bisa terkekeh. Setidaksuka apapun ia pada kehidupan barunya, pada dasarnya… dalam hati ia bisa menerima kehadiran namja ini.

Jungkook. Kookie.

Namja imut yang suka menggerutu tepat ketika ia menyuruhnya; dalam hal pekerjaan, atau dalam kehidupan keluarga mereka.

.o.o.o.o.

Cahaya pendar keemasan mengetuk pelan kelopak mata yang tertutup rapat dari pancaran sinar matahari. Gorden kamarnya sudah terbuka, entah siapa yang melakukannya. Kim Jungkook terbangun lalu merenggangkan badan, mengumpulkan nyawa yang masih melayang. Matanya melirik ke seluruh penjuru ruangan, tak ada tanda-tanda orang lain di sana. Dalam hati Jungkook selalu bertanya siapa yang pagi-pagi begini sudah dengan rajin membuka tirai kamarnya?

Ah, siapa peduli. Hari ini pun ia harus kembali bekerja. Di bawah pimpinan hyung menyebalkannya itu.

Terlalu asik melamun mengembalikan kesadaran dengan sesekali bertanya dalam hati, tak menyadari jika pintu kamarnya diketuk makhluk lain penghuni rumah. Saat menoleh mendengar pintu yang terbuka, Jungkook langsung cemberut melihat wajah kakaknya.

"Mwoya, hyung?"

"Sarapan."

"Hah?"

"Buatkan sarapan."

Jungkook mendengus. "Buat sendiri."

"Heh. Kau ini adik macam apa sih. Buatkan sana."

Taehyung masih memerintah. Jungkook masih menolak. Keduanya saling pandang sama-sama memberikan tatapan mematikan kebanggaan. Tapi pada akhirnya, Jungkook mengalah. Tak kuat melihat betapa menjerumuskannya mata sang hyung.

Ia menghela napas pasrah. Lelah terus menentang karena pada kenyataannya ia sudah menjadi bagian keluarga ini. Menyebalkan, hanya itu yang bisa ia rasakan. Setelah berperang pada batinnya untuk melakukan apa yang hyungnya mau, Jungkook bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan melewati kakaknya. "Arraseo, kubuatkan makanan."

Dan Jungkook berani bersumpah bahwa ia mendengar hyungnya mendengus pelan.

"Oh, berubah pikiran untuk jadi adik yang baik?"

Simpan kesabaranmu lagi, Jungkook. Untung hyungmu tampan. Kalau tidak siram wajahnya dengan air panas. "Neee~ sekarang hyung pergi sana."

Taehyung tidak menjawab. Hanya mengikuti apa yang dikatakan Jungkook. Namja berambut hitam anggota baru keluarga Kim itu kadang bertanya. Sejujurnya, Taehyung itu sosok yang seperti apa? Selain menyebalkan dan tukang perintah atau kadang dingin, dia itu… bagaimana?

Jungkook tidak pernah mengerti tentang kepribadian kakaknya. Di kantor, sosok itu selalu bertingkah professional, dan menyebalkan. Berwajah dingin dan suka seenaknya. Jungkook harus selalu menyetok kesabaran kalau sudah menghadapinya. Tetapi di rumah… figure itu terkadang bersikap beda.

Mana yang asli? Seperti apa Taehyung yang dikenal semua orang dan tidak pernah dikenalnya?

Taehyung yang dingin saat di kantorkah dirinya yang asli?

Atau Taehyung yang berusaha untuk mendapatkan perhatiannya ketika mereka di rumah? Atau pertanyaan barusan ia terlalu percaya diri?

Ah, entahlah.

Jungkook tidak tahu dan tidak peduli. Dia siapa? Dirinya hanya adik tiri. Pendatang baru di rumah ini. Tak perlu mencari tahu bagaimana Taehyung yang asli. Karena menurutnya tak ada arti.

Tidak, aku berbohong… Jungkook membatin sembari memasak sarapan. Pikirannya nyalang ke mana-mana. Banyak kebohongan yang ia buat. Untuk apa? Dirinya sendiri pun tak tahu. Perasaan ini… betapa terkutuknya ia yang kadang terpesona akan penampilan kakaknya.

Tidak boleh kan… sekalipun tidak sedarah… mereka satu keluarga sekarang. Ah…

"Lama."

Tsk, Jungkook berdecak mendengar komentar itu. Memang salah siapa? Di rumah sebesar ini tak ada pembantu. Atau mungkin ada tapi semuanya kabur karena tak tahan akan sikap Tuan Mudanya.

"Sampai kapan."

"Tunggu saja, hyung. Cerewet."

"Che. Bukannya kau yang cerewet?"

"Berisik, hyung."

"Tidak sopan."

"Ne, ne. Mianhamnida, sajangnim," Jungkook mencak-mencak dalam hati. Menyebalkan, menyebalkan, menyebalkan. Pagi-pagi ia harus menghadapi sikap moody kakak tirinya ini. 'Umma… kapan pulang?' batin Jungkook sedih.

"Tidak akan selesai kalau melamun terus, kan?"

"Hyung bisa diam tidak? Duduk dan tunggu saja kenapa, sih."

"...oke."

Dan hening meraja. Jungkook melirik ke arah sosok itu. Duduk bersandar pada kursi meja makan. Membuka koran yang entah kapan ia ambil dari teras depan. Namja imut itu tak peduli. Jangan peduli, kata hatinya.

Jungkook tidak boleh terus terlena akan penampilan hyungnya. Tidak boleh. Ia selalu berpikir demikian. Dan pemikiran itu menyebalkan. Pemikiran itu selalu menjengkelkannya. Kenapa dia harus berpikir seperti itu? Apa yang salah dengan… mengagumi kakak sendiri? Walau sosok itu sosok yang suka membuatnya kesal?

Entahlah. Selalu kata itu yang datang setiap kali Jungkook bertanya pada dirinya. Ia tidak mau mengerti. Dan terlalu malas untuk memahami.

Jungkook meletakkan sarapan mereka di meja di depan hyungnya. Taehyung menyimpan korannya dan mulai makan. Tanpa melirik Jungkook sama sekali, dan tanpa mengucapkan terima kasih, Taehyung menikmati santapannya.

Jungkook hanya mendesah pasrah. Siapa mereka? Hanya masing-masing orang asing yang berusaha saling mengerti karena harus hidup sebagai saudara. Tapi rasa aneh yang selalu mengganggu Jungkook belakang ini menyiksanya.

Kenapa Taehyung harus sebersinar itu? Kenapa ia harus terlihat sempurna di matanya? Takdirkah? Menyebalkan.

"Terima kasih makanannya dan…" Jungkook tidak tahu kalau pada akhirnya sosok itu akan berterimakasih. Ah, tapi pada kenyataannya, dia memang hanya sosok yang menyebalkan. Karena setelah itu Taehyung menambahkan, "…jangan sampai telat ke kantor, Kookie."

Lalu mengucapkan nama panggilan dari ibunya dengan suara yang lembut. Jungkook terpaku. Terlalu lambat untuk bereaksi. Taehyung sudah menghilang di balik pintu dapur. Meninggalkannya sendiri yang tergugu.

Ah, bodoh… kenapa semua ini semakin sulit saja?

Bagaimana ia harus bersikap nanti?

.o.o.o.o.

Jungkook tidak tahu cinta itu seperti apa? Bagaimana bentuknya? Bagaimana rasanya dan mengapa setiap orang merasa bahagia ketika merasakan perasaan tersebut? Jungkook selalu bertanya-tanya apa yang membuat perasaan itu sangatlah spesial.

Tetapi terkadang orang bilang perasaan tersebut bisa saja datang tiba-tiba, tanpa sebab namun meninggalkan akibat. Rasa sakit, kecewa dan semacamnya. Itulah yang ditinggalkan cinta. Dan apa dia harus juga ikut merasakan hal yang sama?

Selama ini yang dia terima memang cinta. Dari ummanya. Satu-satunya orang berharga untuknya yang tersisa setelah kematian appanya. Jungkook tidak mengerti jika seseorang bisa jatuh cinta lagi setelah kehilangan sosok yang berarti.

Kenapa? Untuk apa? Apakah itu hal yang diperlukan?

Jungkook tidak mengerti. Dan tetap tak mau memahami.

Namja imut itu menghela napas lelah sambil berjalan menyusuri koridor kantornya. Lagi-lagi, kakak sekaligus bosnya menyuruhnya ini-itu. Padahal… sosok itu memiliki sekretaris bukan? Tetapi kenapa Jungkook yang selalu jadi korban? Apalagi hal yang disuruh oleh sang hyung adalah hal di luar kantor. Benar-benar…

Me-nye-bal-kan.

"Yo, Jungkook-ah."

Seseorang menepuk pundaknya. Jungkook menoleh, mengerjap sesekali sampai akhirnya membiasakan diri dan mengenal siapa yang menyapanya. Jungkook tersenyum pada orang itu. "Ah, Hoseok-hyung."

Namja bernama Hoseok itu tertawa kecil membalasnya. Kemudian merangkul Jungkook, membawanya ikut berjalan bersama dia. "Kenapa? Kau terlihat lesu sekali? Apa itu?" Hoseok melirik kantong yang dibawa namja yang dirangkulnya.

Jungkook hanya mengangkat bahu dan berjalan bersama rekan sekantornya itu. Menyusuri koridor gedung bertingkat sambil sesekali bercerita. Tak menyadari jika sedari tadi ada yang memperhatikannya.

Terlalu tak peduli.

Bahkan tak mau mengerti.

Pun mengenai hatinya… yang terus berteriak menyuarakan keresahannya.

.o.o.o.o.

Deru angin musim gugur mengayun lembut. Hawa dingin musim putih hampir datang. Jungkook merapatkan jaket yang ia kenakan sembari berjalan menyusuri distrik kota Seoul, berniat pulang ke rumah.

Sejujurnya, Hoseok menawarkan tumpangan padanya. Pun Taehyung yang juga menawarkan hal yang sama. Tetapi Jungkook memilih pulang sendiri.

Ia memilih untuk menjejaki jalanan kota di bawah langit musim gugur yang indah. Walau dingin, jaket yang ia kenakan sudah cukup mengurangi itu semua.

Sesekali matanya yang tertutup poni mengintip ke arah langit sewarna daun yang layu, kemudian tersenyum saat mengingat betapa indahnya pemandangan itu. Memberikannya rasa hangat yang ia sendiri tak tahu harus bereaksi bagaimana selain bersyukur kepada Sang Pencipta.

Jungkook menghela napas setelahnya. Terus berjalan di bawah jatuhnya dedaunan pohon yang berubah orens. Dan ketika dering ponsel menyapanya, Jungkook berhenti; mengambil smartphone-nya dan melihat pesan yang masuk ke dalamnya.

Ah… dari ummanya.


From : Umma

Subject : Umma dan appa akan pulang besok

Kookie baby. Besok appa dan umma akan pulang. Kau dan hyungmu baik-baik saja, kan? Kalian tidak bertengkar, bukan?

Bagaimana dengan pekerjaanmu?


Ah… seandainya dia bisa bilang kalau hyungnya itu menyebalkan sekali. Ditinggal ke luar negeri untuk urusan bisnis. Dan ditinggal berdua dengan sosok yang seperti itu sangatlah membuat Jungkook meringis. Namun untunglah ia bisa melewati itu semua.

Sejurus kemudian, Jungkook mengetik sederet kalimat balasan yang dibumbui kebohongan kepada ibunya.

Terkadang… membohongi hati itu menyakitkan kan, umma?

.o.o.o.o.

Jungkook ingin tahu apa yang dirasakannya ini. Jungkook ingin tahu mengapa setiap kali ia melihat hyungnya, yang ia rasakan adalah rasa menggebu yang meluap. Yang seolah meminta dikeluarkan dan ditunjukkan. Seolah dirinya ingin terus dilihat.

Tidak… mungkin Jungkook ingin lebih dari sekedar dilihat.

Untuk apa?

Mungkin jika ia bertanya pada ummanya, ia hanya akan digoda. Mungkin jika ia jujur pada perasaannya dan mau membuka mata, ia hanya akan kecewa.

Tidak tahu. Apa yang harus dilakukannya? Ini sulit, Jungkook pikir begitu. Mengapa sekalipun ia berpikir bahwa sang hyung menyebalkan, namun ia tak pernah bisa mengabaikan eksistensi orang itu.

Kenapa?

Kenapa?

"Berhenti melamun, Jungkook-ah." Sebuah tepukan mendarat di atas kepalanya membuat Jungkook tersadar dari lamunannya.

Jungkook cemberut ketika melihat orang itu duduk di sampingnya, di atas ayunan kayu di belakang rumah yang menghadap ke arah kolam renang kediamannya.

Mereka diam. Saling menyimpan suara. Tak ada satu pun yang bergerak atau berniat membunyikan pita suara mereka. Terlalu hening… sunyi yang meraja membuat suasana semakin dingin. Apalagi ini sudah malam, duduk terbengong di depan kolam renang terkadang bukan hal yang menyenangkan, bukan?

"Kau ada masalah?" Taehyung bertanya. Jungkook meliriknya kemudian mengangkat bahu. "Kau boleh cerita padaku kalau kau mau."

Bukan begitu…

"Gwenchanayo, hyung. Hanya butuh refreshing udara malam."

"Tsk. Itu hanya akan membuatmu masuk angin, pabo."

"Mwo? Jangan mengajak bertengkar, dong, hyung. Sudah cukup hari ini hyung menghabiskan stok kesabaranku dengan menyuruhku ini-itu di kantor."

"Makanya kalau kerja itu yang gesit, Jungkookie."

"Ish. Aku sudah secepat itu masih diprotes? Maumu apa sih, sajangnim?"

Taehyung mengangkat bahu. "Entahlah." Dan jawabannya berhasil membuat Jungkook kesal lagi.

Kedua tangan namja mungil itu pun mendorong-dorong sosok yang duduk di sampingnya agar beranjak pergi. "Sudah sana hyung pergi saja. Aku mau sendiri."

Pun akhirnya Taehyung hanya mengiyakan. Ia membawa dirinya menjauh dari si namja imut yang kembali terduduk sambil melamun di atas ayunan. Sebelum benar-benar menghilang di balik pintu ke dalam rumah, namja tampan bermahkotakan brunette berucap, "Jangan sampai telat besok, Kookie."

Dan sekali lagi… meninggalkan Jungkook yang tergugu dalam sepi.

Terlalu lembut. Saking lembutnya ia tak bisa lagi membedakan mana nada godaan, mana nada perhatian sungguhan.

.o.o.o.o.

Waktu terus berjalan dengan tak tahu malu. Terus mengembangkan perasaan yang Jungkook pikir akan berakhir seiring berlalunya waktu. Namun bukannya mengikis, rasa asing itu justru semakin terpupuk rapih di dasar hatinya.

Ia kesal. Dan ini menyebalkan.

Jungkook tidak mau terus terlena seperti ini. Apa yang dilakukan kakaknya juga tak ada arti. Tapi kenapa ia terus dan terus terlena lagi?

Memang benar belakangan Taehyung menjadi agak hangat padanya. Kenapa? Ia juga bertanya. Namun tak ada jawaban yang masuk akal untuknya. Mungkin saat itu Taehyung sedang sakit, mungkin saat itu Taehyung sedang gila sampai-sampai terlalu mengkhawatirkan dirinya karena pulang terlalu larut. Dan memarahinya yang diantar pulang Hoseok malam itu.

.o.o.o.o.

Flashback

Malam itu bintang semakin bersembunyi. Dan Jungkook masih dalam perjalanan ke arah rumahnya dengan diberi tumpangan oleh sang rekan kerja, Jung Hoseok.

Mereka hanya pergi keluar dengan beberapa teman kantor juga. Makan malam diselingi obrolan khas pemuda. Namun karena terlalu asik, Jungkook sampai lupa waktu. Dan berterimakasihlah ia pada panggilan telpon dari sang umma dan juga kakak tiri tersayangnya yang berkali-kali membunyikan ponsel pintarnya.

Ketika mereka sampai di depan rumah mewah milik keluarga baru Jungkook, Hoseok sekali lagi mengatakan bahwa ia meminta maaf atas keterlambatan Jungkook pulang ke rumah. Namja manis itu tak keberatan karena ia pun menikmati acara mereka. Dan setelah saling mengucap salam perpisahan, Hoseok pun membawa mobilnya meninggalkan Jungkook sendirian di sana.

Jungkook berjalan masuk agak terkantuk-kantuk karena sudah terlalu larut. Saat akan sampai di depan pintu dan ia hampir terjatuh, ia merasakan seseorang menopangnya dan menuntunnya masuk. Jungkook berdoa semoga saja sang umma sudah tidur. Namja imut itu belum mau mendengar ocehan ibundanya. Mungkin besok saja.

Tetapi apa yang tak disangkanya terjadi. Sesaat melewati pintu masuk rumah, suara menyebalkan kakak tirinya menggema. Pelan, namun sarat akan tekanan karena amarah.

"Ke mana saja kau sampai malam begini, Jungkook? Kau pikir kau bisa berlaku seenaknya di sini? Tolong pikirkan orang lain sebelum melakukan sesuatu."

Dan rasa kantuknya hilang. Jungkook berdiri tegak menatap lawan bicaranya. "Oh, hyung. aku sudah besar dan aku hanya pergi keluar, makan bersama teman. Apa salah?"

"Ya. Kalau kau lupa rumah, tentu saja salah."

"Kami hanya terlalu asik mengobrol. Mana mungkin… aku lupa rumah. Walaupun bukan rumahku seutuhnya." Jungkook menggigit bibir bawahnya. Ada setitik rasa berat saat mengucapkan hal itu. "Apa hyung sebegitu tak sukanya padaku di sini?"

"HA? Jangan bercanda. Kalau aku tak suka sudah kumusuhi kau sejak awal."

"Tapi…"

"Kalau aku tak suka kehadiranmu, tak mungkin kau masih ada di sini sekarang."

Dan Jungkook terdiam. Ia berharap ia mengerti. Sejujurnya ada apa dibalik semua ini?

Jungkook ingin bicara lagi. Ia ingin menjawab lagi. Namun seolah ada yang menahan suaranya untuk tak keluar. Membiarkan bibirnya terbuka tanpa mengayunkan kalimat apapun. Dan Taehyung kemudian hanya berlalu dengan sebelumnya mengusap kepala Jungkook halus; lembut—sampai rasanya Jungkook bisa benar-benar merasakan betapa hangatnya tangan itu.

"Jangan buat… umma… khawatir lagi. Jalja."

Dentang jam pun kemudian berbunyi. Sekali lagi, Taehyung benar-benar meninggalkan Jungkook terpaku di sana. Matanya terbelalak dengan bibirnya yang digigit.

Ah… sakit.

Entah bagaimana, Jungkook bisa mendengar nada khawatir di dalam setiap kata yang Taehyung ucapkan.

Ini menyakitkan.

Kenapa… begini?

Flashback End

.o.o.o.o.

'Hyung… waeyo?'

Jungkook melamun lagi. Tangannya mencengkeram dadanya yang terus berdetak setiap kali ia memikirkan sang hyung. Atau ketika sosok itu ada di dekatnya. Atau ketika seseorang menyebut namanya. Seolah jantungnya terus bekerja abnormal. Dan Jungkook tidak tahu bagaimana cara membuatnya normal kembali.

Ini membingungkan.

Haruskah ia mempertahankan perasaan terkutuk ini?

"Kookie?"

"Ah, umma?"

Namja bermahkotakan langit malam itu menanti sampai ummanya duduk di tempat kosong di sampingnya. Di ruang keluarga Kim yang saat itu hanya terdiri atas dia –dan ibundanya.

Nyonya Kim duduk di samping Jungkook kemudian mengusap rambut coklat putra satu-satunya yang ia lahirkan. Mengelusnya lembut membuat Jungkook bersandar padanya. Kepalanya ia letakkan di bahu sang umma. Bermanja… seolah hal ini bisa menyampaikan kegalauan hatinya.

"Waeyo, Kookie? Kau sedang ada masalah?"

Jungkook langsung menggeleng. Benar, bukan? Ini bukan masalah. Ah… entahlah.

"Mian ne, waktu itu membuat umma khawatir karena Kookie pulang malam."

Sang umma hanya tertawa. Ia memaklumi sambil bercanda mungkin Jungkook sudah memiliki seseorang yang berarti di luar sana. Mungkin saja kemarin itu ia tengah berkencan dan lupa waktu. Dan wanita cantik itu terus menggodanya seolah sungguh menikmatinya. Seolah apa yang ia ucapkan benar adanya.

Karena selama ini dia tahu, putranya ini… mungkin tak pernah menyukai seseorang. Dan kalaupun sekarang saatnya, ia akan sangat senang. Namun Jungkook menyangkal. Ia mengatakan bahwa tak ada yang dikencaninya kini. Namja itu bilang bahwa ia ingin fokus pada pekerjaannya membantu sang ayah dan kakak tiri.

Sejujurnya, Jungkook sudah menerima semua itu. Dan lagi, ia ingin tak menambahkan kata tiri ketika menyebut mereka berdua. Namun tetap saja… mereka orang asing untuknya. Butuh waktu tak sebentar untuk merelakan segala sesuatunya. Seperti kehidupan yang pernah Jungkook miliki dulu.

Namun bohong kalau ia… tak bisa benar-benar menerima Taehyung. Jungkook sudah menerimanya. Sungguh. Tetapi… bagaimana jika ia menerima Taehyung sebagai orang lain? Bukan sebagai kakaknya? Namun sebagai… orang lain… yang diinginkannya lebih dari seorang kakak?

Apa yang harus… ia lakukan?

"Kau tidak harus menyimpan masalahmu sendirian, chagi."

"Gwenchana umma. Hanya sedikit… pusing?"

"Kalau begitu istirahatlah. Ini hari libur bukan? Atau Kookie mau umma buatkan sesuatu?"

"Ah, anniyo. Begini saja… sudah cukup, umma."

Dan kehangatan yang ia dapatkan dari orang paling berharga untuknya… benar-benar menenangkan Jungkook sampai rasanya ia ingin terus bermanja seperti itu. Sejenak melupakan setitik rasa gundah akan perasaannya yang meluap-luap. Pun sebagaimana Jungkook berusaha mengabaikan hatinya yang berdebar kala retina matanya kembali melihat sosok sang hyung melewati tempat di mana ia bersantai.

Ah… sepertinya… memang tidak mungkin, kan?

Tidak mungkin ia lepas dari seluruh rasa itu.

.o.o.o.o.

Seluruh staf di bawah pimpinan Kim Taehyung berpesta. Pesta akan keberhasilan sebuah tender yang menguntungkan mereka semua. Sebenarnya Taehyung tidak begitu menyukai ini. Namun temannya, Namjoon, menyarankan dia untuk mengadakan pesta kecil-kecilan, atau mungkin sekedar makan malam bersama.

Akhirnya, di sinilah dia. Duduk bersama para rekan kerja seperjuangannya dengan berbagai hidangan di meja. Dan juga ada beberapa botol soju di atasnya.

Taehyung hanya memperhatikan sekitar. Melirik para bawahannya yang masih larut dalam euforia. Pun matanya tak melewatkan begitu saja keberadaan adik tirinya, Jungkook. Duduk diapit Hoseok dan Jimin yang terus bicara padanya. Entah membicarakan apa.

Matanya terus menyipit, berusaha mencuri dengar apa yang mereka bicarakan. Tapi, ah, percuma. Memang apa pedulinya? Berusaha menampik rasa khawatir yang menggerogoti hati, Taehyung bangkit berdiri dan menghilang di balik pintu kamar mandi.

.o.o.o.o.

Sekembalinya ia dari kamar mandi yang berujung hanya berdiam diri sambil menenangkan pikirannya yang terus berasumsi macam-macam, Taehyung mendekati lagi kerumunan bawahannya yang –beberapa di antara mereka sudah tumbang karena mabuk. Termasuk adiknya, si namja imut bernama Kim Jungkook.

Taehyung menghela napas dan mendekati namja berambut hitam itu. Ketika tangannya bersinggungan dengan lengan Jungkook yang terbalut kain kemeja, sosok mabuk tersebut melihat ke arahnya. Matanya menyayu menatapnya. Taehyung langsung tersentak, seolah ada sesuatu yang menjalari dadanya dan ia tidak mengerti.

Namja brunette itu membawa adiknya berlalu setelah memanggil pelayan dan membayarkan bill mereka. Taehyung menggendong Jungkook dengan bridal style. Si namja yang lebih muda menggeliat lalu bernyaman diri dengan melingkarkan tangannya pada leher namja yang lebih tua darinya.

Taehyung menoleh lagi ke arah Jungkook. God… cobaan apa ini?, batinnya bertanya.

Sejurus ketika berhasil menaruhnya di kursi penumpang dalam mobilnya, secepat kilat Taehyung memutar dan masuk ke kursi kemudi. Kemudian tancap gas dan hilang membelah jalanan di malam hari yang cukup dingin itu.

Ah… musim putih…

.o.o.o.o.

Taehyung membawa Jungkook ke kamarnya dan menaruh sang adik dengan begitu hati-hati. Selama perjalanan adalah hal yang paling berkesan untuknya. Entah bagaimana sosok yang selama ini terlihat enggan padanya terus berceloteh tentang dirinya yang terlalu; sempurna? Kharismatik? Atau tampan pun disebutkan oleh Jungkook.

Taehyung hanya terkekeh pelan ketika namja itu bilang; sebagaimana dia berusaha menolak kesempurnaan yang dipancarkan Taehyung, tetap saja ia tak bisa mengalihkan matanya. Dan Taehyung benar-benar dibuat diam karena itu.

Dan sekarang, oh! Bagaimana dia harus mengurus namja kecil ini? Namja imut yang sedang menggeliat tidak jelas di kasurnya. Namja imut yang sejak awal mengambil alih kewarasannya.

Taehyung duduk di pinggiran ranjang sang adik setelah membuka sepatu namja itu. Ia kemudian membuka dua kancing teratas kemeja Jungkook, melihat Jungkook yang agaknya kegerahan padahal AC kamar menyala.

Taehyung juga membetulkan posisi bantal agar Jungkook merasa nyaman. Yang tanpa sadar membuatnya memperhatikan setiap lekuk wajah sosok itu. Membuat Taehyung berpikir lagi, apakah ia benar-benar jatuh pada namja ini?

Tetapi kemudian Taehyung tertawa pelan sebelum akhirnya mengusap keringat yang mengalir di pelipis adiknya. Menyampirkan helaian rambut Jungkook, membuat namja itu membuka matanya dan bertemu pandang dengan manik miliknya.

"Hyung…" Jungkook mengigau pikirnya. Namun kenapa mata itu… melihat seolah ia benar-benar lelah telah menyembunyikan sesuatu?

Sudah lama Taehyung juga selalu bertanya hal yang ia pikir tak perlu ia pikirkan. Semisal bagaimana Jungkook selalu kesal ketika ia menyuruhnya? Atau bagaimana ia yang suka sekali menggoda namja imut itu. Sampai pada… kekhawatirannya di malam itu, saat Jungkook pulang terlalu malam dan Taehyung menggunakan sang ibu tiri sebagai tameng… agar Jungkook tak menyadari rasa khawatirnya.

Ah… sejujurnya… tak bisakah ia terlepas dari perasaan yang menyempitkan dadanya ini? Dan rasanya begitu sakit.

Taehyung terlalu larut dalam pemikirannya dan ia seolah memutus koneksi dengan keadaan di sekitar, namja tampan itu tak menyadari bahwa Jungkook sudah terduduk di tempat tidurnya. Menggenggam erat tangan milik Taehyung yang tadi mengusap dahinya dengan lembut.

Sejurus kemudian mereka saling tatap. Jungkook menatapnya dengan pandangan yang ia sendiri bingung mengartikannya. Wajah mereka hanya berjarak beberapa centi. Taehyung dihadapkan langsung pada mata yang selalu melenakannya. Ia merasa ia bisa berkaca di sana. Dan ketika hidung mereka saling bertabrakan, Taehyung refleks berdiri, sekilas menatap wajah memelas Jungkook lalu membuang pandangannya ke luar jendela.

Ah, Tuhan… apa yang barusan terjadi?

Dan ketika ia berniat meninggalkan sosok itu sendiri, tarikan pada ujung lengan bajunya membuat Taehyung kembali berpaling. Sekali lagi –ia dihadapkan pada pilihan yang begitu berat.

Ah… mengapa ia jadi berpikir bahwa Jungkook seolah mengundangnya ke sana… ke tempat tidurnya.

Kemudian setitik kalimat yang Jungkook ucapkan, berhasil membuat Taehyung membuang semua pertahanannya. Karena sejak awal… dia memang menganggap Jungkook berbeda, bukan?

"Hyung… stay… please…"

Salahkanlah manusia yang takkan pernah bisa memerangi hawa napsu. Dan kali ini… Taehyung rela menapaki kerikil dosa yang tak pernah ada akhirnya. Hanya untuk Jungkook… adik yang takkan pernah bisa benar-benar menjadi adik untuknya.

.o.o.o.o.

Jungkook menggeliat ketika merasakan berat di atasnya. Ia mengernyit ketika membuka mata lagi, mendapati sang hyung menyebalkannya tengah memainkan lidahnya di perpotongan bahunya yang terbuka.

Rasa panas menghantam Jungkook sampai keseluruh tubuh. Kepalanya refleks bergerak, ia mendongak memberikan kemudahan bagi Taehyung yang tengah menciumi lehernya, dengan tangan namja itu yang berusaha membuka semua kancing kemejanya.

Napas Jungkook tertahan. Ia merasa oksigen menjauhinya, membuatnya tercekat tak bisa napas. Jungkook mendesah ketika lidah Taehyung menyapa nipple kemerahan miliknya yang sudah mengeras, menjilatnya kemudian menghisapnya sampai rasanya Jungkook merasa ia tengah menyusui.

Tangannya yang sedari tadi diam bergerak menjambak rambut coklat Taehyung, bibirnya terus terbuka –walau sejujurnya ia berusaha melawan desah yang ingin mengudara. Ia masih bisa mengontrol itu semua di batas-batas kesadarannya.

Taehyung kemudian menurunkan jajahannya lagi sampai ke perut, menggelitik permukaan abdomen milik Jungkook dan menjulurkan lidahnya pada pusar sosok itu. Jungkook langsung menggeliat geli diiringi erangan tertahan. Intensitas jambakan tangannya makin meningkat, dan Taehyung balas menggeram karenanya.

Setelahnya, Taehyung kembali membawa wajahnya ke hadapan Jungkook, mengecup dahi dan kedua kelopak mata adik yang tak pernah bisa ia terima statusnya. Kemudian bibir itu mengklaim bibir yang sedari tadi mengeluarkan desahan, melumatnya penuh. Memagutnya lapar, panas dan seolah tak ingin menyisakan apapun lagi.

Jungkook memeluk erat leher Taehyung sebagai balasannya. Ia merasa tak mampu menandingi permainan bibir yang Taehyung lakukan padanya. Ia merasa pasrah, dan ia merasa mungkin sudah waktunya ia menyerah. Mengenyampingkan segala akibat yang akan datang. Melenyapkan dulu barang sebentar wajah ayah dan ibunya.

Jungkook mendesah lagi ketika ciuman Taehyung semakin meluluntahkan pandangannya. Matanya berair karena terlalu menikmati apa yang dilakukannya bersama sang hyung. Apalagi ketika jari-jemari Taehyung bergerak melepas sabuk dan menurunkan zippernya, Jungkook merasa bahwa ia telah kalah lagi. Pada perasaannya, juga pada hatinya yang terus berteriak untuk jujur. Kalau dia memang mencintai sosok yang tengah mencumbunya ini.

Maka tanpa sadar, dengan lirih Jungkook berucap, "Love you… Tae-hyung…" dan empat kata tersebut membutakan Taehyung akan segala hal yang ada.

Hal itu membuat Taehyung semakin yakin menyentuh sosok di bawahnya. Hal tersebut membuat Taehyung semakin –dan semakin berpikir bahwa ia juga mencintai Jungkook. Selalu. Dari pertama kali ia melihatnya, sampai sekarang sosok itu berada dibawah kendalinya.

Taehyung pun akhirnya meningkatkan intensitas ciumannya pada bibir Jungkook, mengeksploitasinya. Menyapa langit-langit dan mengabsen setiap gigi yang lidahnya temui. Begitu juga tangannya yang bergerak merayap pada kesejatian sang adik. Menyentuhnya, memijatnya. Menyirami tubuh tak berdaya itu dengan dosa mereka.

Tak peduli… jikalau malam menjadi saksi. Dinginnya lantai kamar juga kerutan seprai yang menghiasi. Sebagaimana bibir yang ia tawan berusaha mendesah dan ia meredamnya.

Malam terlalu indah, namun mereka menodai malam berbintang itu dengan dosa yang kini mereka lakukan. Dengan bibir yang saling memagut, kedua tangan yang melingkar erat, dan tangan Taehyung yang bermain mengurut apa yang selama ini tertutupi kain berserat.

Mereka berdua terlalu larut dalam napsu yang semakin dalam semakin memenjarakan mereka kepada dosa yang mereka sendiri tahu bagaimana akhirnya. Namun begitulah manusia, manusia takkan pernah bisa memerangi napsu yang sudah pada puncaknya. Apalagi ketika mereka kala itu sudah mengeluarkan seluruh perasaan yang menghimpit. Tak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain melampiaskan hal itu. Selain menumpahkannya.

Dan di sinilah Taehyung juga Jungkook, larut dalam jurang dosa yang mereka buat sendiri. Karena cinta… mereka percaya. Cinta datang tanpa mereka bisa memprediksi. Karena cinta tak bisa memilih. Cinta punya caranya sendiri untuk mendiami masing-masing hati yang terpilih.

"Love you too, Kookie…"

Itulah cinta. Menjerumuskanmu ke dalam jurang yang melenakanmu.

Ya…

Itulah cinta.

.

.

.

The End

Yumi's Note :

Btw ini ff hasil remake dari ff lama Yumi, pairingnya JunSeob, mungkin dah ada yang pernah baca? Entah kenapa kepikiran ngerubah jadi VKook. Wkwk.

So, gimana pendapat kalian? Review?

Lav,

Yumi.