"Hh, hh, hh, hh…!" terlihat seorang wanita yang tengah terengah-engah berlari karena dikejar seseorang dalam kegelapan. Nafasnya tersenggal-senggal dan keringat mengucur dari tubuhnya.
"Aaakh!" wanita itu merintih saat dia tidak sengaja terpeleset oleh genangan darah di anak tangga yang dilaluinya. Dahinya terbentur ujung tangga, darah segar mengalir dari dahi wanita yang terluka cukup banyak itu. Baju yang dikenakannya sudah penuh dengan darah dan robek-robek, rambut panjangnya pun terlihat acak-acakkan.
"Tidak! Kumohon! Jangan!" pinta wanita itu memohon saat orang yang mengejarnya ada didepannya. Orang itu memperlihatkan sebuah pisau yang meneteskan darah demi darah yang mengalir. Wanita itu terpojok, tidak bisa lari. Dia hanya bisa mundur menyeret tubuhnya.
"Tidak! Jangan! Jangan! Aaaaakh!" wanita itu berteriak saat orang membawa pisau itu membelah 2 kepalanya dengan cepat hingga organ-organ didalam kepalanya terlihat. Tubuh wanita itu bergetar, mulutnya mengeluarkan darah, otak-nya pun bahkan masih terlihat berdenyut namun lama kelamaan berhenti seiring berhentinya gerakan tubuh wanita itu. Pembunuh itu tersenyum dengan wajah yang terkena cipratan darah dari korbannya yang telah mati itu. Dia terlihat sangat senang dan puas. Petir pun mengiringi kematian wanita korban pembunuhan itu.
Twin Manor
.
.
.
.
Disclaimer © Tite Kubo
Rated :: M
Chapter 1:
Di sebuah universitas ternama di kota Karakura yang tentram namun dengan suasana mendung, lebih tepatnya di kantin kampus itu, seorang mahasiswi sedang duduk sendirian sambil membaca sebuah buku novel dan makanan juga minuman didepannya. Dia membaca buku tersebut lumayan serius, halaman per halaman dibacanya dengan seksama hingga ketentramannya diganggu oleh seseorang.
"Hai, cantik!" sapa seorang pria sambil mencolek pipi wanita itu dari belakang, membuyarkan konsentrasinya.
"Ichigo? Ngapain kau kesini?" cetus wanita itu dingin sambil mengerutkan alisnya.
"Hei, jangan marah gitu, dong! Entar kecantikanmu ilang, lho Rukia…" ucap pria bernama Ichigo atau Kurosaki Ichigo yang duduk didepan gadis yang digodainya, yang bernama Rukia atau Kuchiki Rukia, temannya. "Tau, ah!" Rukia membuang muka dan fokus lagi pada buku novelnya.
"Jangan marah, dong. Masa kau marah gara-gara semalem aku gak dateng…" Ichigo pun berusaha meluluhkan hati dingin teman wanitanya ini. Namun, ucapannya hanya dibalas dengan tatapan dingin dan kesal.
"Yah, Kuakui aku emang salah…Semalem aku enggak dateng karena ada urusan mendadak yang gak bisa ditinggalin…" lanjut Ichigo menjelaskan. "Bodo!" cetus Rukia tanpa menoleh.
"Hmm, kutraktir es krim strawberry, deh ntar pulang kuliah…" rayu Ichigo sambil mengedipkan sebelah matanya yang udah hafal kalo Rukia sangat suka segala macam makanan atau minuman berbau strawberry. Rukia melirik dan tersenyum perlahan-lahan.
"Fuuh, baiklah. Kali ini kau kumaafkan…" ucap Rukia sambil tersenyum simpul.
"Benarkah? Kau emang temenku yang paling pengertian!" senang Ichigo sambil mencolek pipi Rukia lagi.
"Kau ingkari janjimu lagi…temui aku di ruang klub kendo. Akan kuberi pelajaran khusus bagimu…" ancam Rukia pelan dan kembali membaca novelnya.
"Ah, O…Oke! Aku ngerti…" ucap Ichigo rada takut.
Tentu Ichigo ketakutan dengan ancaman Rukia. Wanita bertubuh mungil itu dengan cerdik dapat menyembunyikan kekuatan yang besar. Dibalik wajahnya yang manis dan terlihat lemah lembut, dia adalah satu-satunya wanita yang berhasil masuk ke babak final tingkat nasional pada kejuaraan kendo. Tapi, sayang dia kalah dan jadi runner up gara-gara tangannya terkilir saat hari pertandingan. Tangannya terkilir itupun karena malam sebelum pertandingan, Rukia ngamuk habis - habisan dan membating tubuh Ichigo karena saking kesalnya.
Tidak berapa lama, dua orang pria menghampiri meja kantin yang ditempat oleh Ichigo dan Rukia yang sedang bercanda ria dan sedikit adu argument.
"Woy! Pagi-pagi udah mesra-mesraan! Kurosaki, Kuchiki-san itu temen lu, lho…" ucap salah satu temannya yang bernama Ishida menghampiri Ichigo dan Rukia sekaligus memukul punggung Ichigo, mengingatkan pria oranye itu.
"Au, nih! Ketauan Byakuya baru kapok lo. Disabit pake meriam lu…" sambar Renji ikutan nakutin. "Apaan, tuh disabit pake meriam? Yang ada juga disambut dengan meriah..." ucap Rukia keheranan.
"Yaah, beda-beda tipis, lah..."
"Akh! Sialan lo pade! Hampir aja gw mati keselek biji…" kesal Ichigo memegangi lehernya.
"Ichigo, ih! Pagi-pagi ngomongnya udah mesum!" kesal Rukia berwajah sedikit merah mendengar ucapan Ichigo itu.
"Ah, em…maaf, deh. Keceplosan, nih…Bilang aja ngiri gara-gara incaranmu kagak dapet-dapet!" sindir Ichigo setelah sebelumnya minta maaf pada Rukia dengan wajah 'termanis'-nya.
"Najis gue, mah! Diingetin lagi! Jangan menertawakan rasa sakit di hatiku, idiot! Misi, aku pesan nasi goreng satu, ya!" setelah mengeluh dengan kesal, Renji memesan sebuah nasi goreng special dengan ayam goreng . "Segera!"
.
.
"Lho? Mana Inoue? Biasanya udah ada disini…" Ishida pun mulai angkat bicara. "Entahlah…" singkat Ichigo menyeruput jeruk Rukia.
"Ah! Jeruk-ku! Lagi-lagi kau meminumnya tanpa ijin!" dengus kesal Rukia sembari memukul kepala Ichigo karena sudah kebiasaan. Tidak berapa lama, yang bersangkutan datang. Dengan membawa beberapa buku, dia menghampiri Ichigo dkk.
"Selamat pagi…" sapa Inoue ceria. "Pagi, Inoue-san…" balas Ishida. Inoue meletakkan buku-bukunya di meja lalu duduk disebelah Ishida.
"Baru saja kami membicarakanmu…" lanjut Renji. "Ehehe, kenapa membicarakanku? Pantas aku bersin melulu…" kata Inoue sedikit melucu namun dengan wajah garing.
"Tumben kau datang jam segini, Inoue…" tanya Ichigo.
"Habis, pagi ini agak mendung. Pas aku liat keluar jendela, matahari belum cerah, jadi aku tidur lagi. Liat jam lagi, ternyata udah jam 9…jadinya aku telat bangun…" jelas Inoue sedikit mengeluh sambil melihat jam tangannya.
"Ngeles-nya pinter banget…" sindir Ichigo. "Ti…Tidak ngeles, kok!" bantah Inoue dengan pipi membulat, Ichigo hanya terkekeh-kekeh.
"Iya. Matahari bener-bener gak keliatan…Gue bilang bentar lagi turun hujan deres, deh…" tebak Renji sambil melihat langit mendung. Baru diomongin, hujan deras tiba-tiba turun tanpa pemberitahuan. Mahasiswa yang sedang bermain basket atau yang sedang duduk-duduk di lapangan serentak pada lari kedalam kampus seperti semut kena semprot.
"Baru diomongin…" datar Renji. "A…ahahaha…" Inoue tertawa garing.
"Ngomong-ngomong, Rangiku-san dan yang lainnya belum pulang? Mereka ada tugas diluar, kan?" tanya Ichigo memulai topik pembicaraan.
"Belum. Seharusnya mereka pulang hari ini…mungkin lagi di jalan…" jawab Inoue sedikit ragu.
.
.
Hujan turun sangat lama. Dari pagi hingga sekarang sudah sore, hujan belum tampak akan berhenti. Bahkan, para mahasiswa yang ingin pulang harus berdiam dulu menunggu hingga hujan berhenti. Kecuali bagi mahasiswa yang membawa mobil seperti Hisagi maupun Kensei.
"Mashiro, mau ikut, gak?" tanya Kensei, mahasiswa tingkat 2 sekaligus ketua klub tinju universitas ini. "Aku ikut, Kensei…" jawab Mashiro ceria sambil berlari kecil menuju Kensei.
"Berry-tan mau ikut?" tanya Mashiro polos pada Ichigo yang sedang bersandar ditiang menunggu hujan berhenti.
"Ah, enggak usah, Mashiro-san. Aku bawa motor, kok…" jawab Ichigo.
"Kalo gitu, kami duluan, ya…" pamit Mashiro yang masuk kedalam mobil sport biru navy. Kensei membunyikan klakson mobilnya, memberi tanda pada Ichigo bahwa dia akan pergi duluan. Ichigo hanya membalas dengan menaikkan tangan kanannya.
"Kuchiki-san, Kurosaki-san, kami duluan…" ucap Nanao menyambar dengan buku-buku ditangannya.. "Ah, Nanao-san pulang sama siapa?" tanya Rukia. "Hisagi-san membawa mobil, dia mengajakku bareng…" jelas Nanao sambil menunjuk Hisagi yang masuk kedalam mobil sedan hitam-nya itu.
"Apa kau mau bareng?" lanjut Nanao. "Eh? Tidak. Aku pulang sama Ichigo. Terima kasih tawarannya…" tolak Rukia. "Begitu? Kalau begitu aku duluan, ya. Mobilnya sudah datang…" Nanao berjalan menuju mobil sedan hitam itu.
"Kurosaki, aku duluan, ya…" ucap Hisagi sesaat sebelum pintu ditutup. "Ou…" singkat Ichigo, mobil Hisagi melesat.
"Emm, sejak kapan Nanao-san dan Hisagi-san dekat begitu?" heran Ichigo. "Entahlah…"
.
.
1 jam kemudian, hujan berubah menjadi gerimis dan para mahasiswa pun akhirnya bisa pulang. Ichigo segera menuju tempat parkir motornya bersama dengan Rukia.
"Inoue, aku duluan, ya…" ucap Rukia yang sudah memakai helmet dan telah melingkarkan tangannya pada pinggang Ichigo. "Iya…"
Ichigo dan Rukia melesat.
.
.
Malam hari telah tiba, suasana dingin dan aroma rumput basah masih terhirup dengan jelas di indera penciuman. Hujan bahkan mulai terlihat akan turun diiringi dengan angin yang sangat kencang. Di kediaman seorang wanita yang memiliki body besar atau yang biasa dipanggil Inoue Orihime, wanita itu keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut panjangnya menggunakan sehelai handuk.
"Aaah, suasananya dingin banget. Anginnya juga kenceng…" ucap Inoue sambil mengintip keluar jendela. Bulan purnama mulai tetutupi oleh awan gelap hingga cahayanya tidak tampak.
"Perasaanku tidak enak…" lanjutnya dengan wajah sedikit cemas.
*derrt derrt* sebuah ponsel yang diletakkan diatas meja bergetar, Inoue langsung berjalan menuju meja kecil itu.
"MMS? Siapa yang kirim MMS, nih?" tanya Inoue heran. Dia pun membuka MMS itu dan matanya membelalak kaget. Handuk yang mengeringi rambutnya terjatuh begitu saja karena kaget pada apa yang dilihatnya.
"I…Ini, kan…"
.
.
Besoknya, langit bersinar begitu cerah, berbeda dengan cuaca yang kemarin. Burung-burung berkicauan dengan meriah, tetesan hujan juga tidak tampak, hanya guguran daun yang tertiup oleh angin kencang tadi malam saja. Tertuju pada sebuah lorong yang tidak terlalu ramai, gadis berambut panjang tengah berlari menuruni tangga, menuju kantin. Dengan nafas tersenggal, dia berlari secepatnya.
"Teman-teman! Ini gawat!" seru Inoue berlari dari kejauhan menuju teman-temannya. "Hh, hh, hh, hh…" Inoue berusaha mengatur nafasnya saat sampai didepan teman-temannya. Dia letakkan kedua tangannya pada dengkulnya sebagai tumpuan tubuhnya, dia membungkuk karena terlalu lelah.
"Inoue, ada apa?" tanya Rukia menghampiri Inoue. "Hh, hh, hh, hh…" Inoue tetap berusaha mengatur nafasnya.
"Hei, atur nafasmu. Tarik nafas…tahan!" perintah Renji memberi aba-aba dan diikuti Inoue. "Oke, tahan terus! Aku mau pergi kekamar kecil…" lanjut Renji santai dan melambaikan tangannya dengan enteng.
"Aku bisa mati, dong Renji-kun!" kesal Inoue sambil membulatkan kedua pipinya. "Kehehehe, maap…"
"Hei, berhenti bercanda! Inoue-san, ada apa?" tanya Ishida. "Ah, ini…aku dapat sebuah MMS yang aneh…" jawabnya menunjukkan ponselnya. Mereka melihatnya dan agak terkejut. Itu adalah sebuah foto, namun foto itu tidak jelas karena goyang dan diambil ditempat gelap.
"Ini orang?" tanya Renji heran dan memiringkan kepalanya. "Kagak! Ini kucing kejepit!" kesal Ichigo pada kebodohan Renji yang MAX.
"Pengen banget suatu saat gue bunuh ni mahluk purba!" batin Ichigo yang memajukan gigi bawahnya karena kesal. "Mundurkan gigi bawahmu itu! menjijikkan, bodoh!" cetus Rukia.
"Hmm, aku juga enggak tau. Tapi kayak tubuh orang, deh…" jawab Ishida memperhatikan dengan serius gambar itu. "Yang ngomong badut siapa?" kesal Ichigo yang lagi-lagi memajukan gigi bawahnya, membesarkan lubang hidungnya. *duak*
"Nohok!"
"Berhenti memasang wajah seperti itu! Kubilang itu menjijikkan!" kesal Rukia setelah memukul wajah Ichigo dengan pukulan luar tangannya. "Ma…Maafkan aku…"
"Kapan dikirimnya?" tanya Renji. "Oh, kalo enggak salah pukul 21.12. Ada dibawahnya…"
"Ini sengaja dikirimkan pukul segitu atau kebetulan saja dikirimkan?" heran Rukia. Inoue menggeleng tidak tahu harus jawab apa.
"Daripada memusingkan MMS nyasar ini, sekarang lebih penting…dimana Rangiku-san?" tanya Ichigo yang mengacuhkan MMS tersebut sembari memegangi tissue untuk menyumbat darah yang keluar dari hidungnya.
"Oh, itu…" Inoue dengan alis berkerut sedih menceritakan. Tidak berapa lama, suasana meja itu jadi sedikit tegang setelah dengar perkataan Inoue.
"Ka…Kau yakin dengan ucapanmu itu, Inoue?" tanya Ichigo tidak percaya. Inoue mengangguk pelan.
"Kemarin aku ke kamar Rangiku-san dan menemukan sebuah buku kecil yang bertuliskan seharusnya dia kembali 2 hari yang lalu…" jelas Inoue cemas sambil menggigiti kecil jarinya.
"Kemana mereka pergi? Katanya mereka lagi melakukan sebuah pencarian, bukan?" sambar Renji yang duduk dengan tangan bersila.
"Ke sebuah manor dipedalaman hutan Kyoto…" jawab Inoue lagi. Mereka semua langsung melotot tidak percaya apa yang didengar. Pedalaman hutan Kyoto? Gak usah pedalaman, luarnya saja sudah terkenal angker.
"Pe…Pedalaman hutan Kyoto katamu?" ucap Renji kaget. Inoue mengangguk.
"Hei, hei, hei. Hutan Kyoto kan terkenal angker dan serem. Yakin kalo mereka pada kesana?" tanya Ichigo lagi. "Terakhir kudengar, mereka kesana karena mencari sesuatu…" jawab Ishida singkat.
Suasana di dalam kantin itu hening sejenak. Semuanya tidak percaya apa yang tlah didengarnya. Angkernya hutan di Kyoto itu bukan cuma omong kosong belaka, hutan itu memang terkenal angker sejak dulu. Dahulu, pernah ada kecelakaan di jalanan pinggir hutan itu. Terjadi tabrakan beruntun dan semua kendaraan tabrakan itu masuk ke dalam hutan itu seolah-olah diseret masuk. Dipastikan semua korban telah tewas, tapi para polisi tidak dapat menemukan mayat-mayat korban tabrakan itu. Mereka menghilang begitu saja. Yang tersisa hanyalah bangkai kendaraan yang telah hancur tidak berbentuk lagi. Setahun kemudian, terjadi kecelakaan dan situasinya sama dengan kecelakaan sebelumnya. Ditambah lagi, selalu ada peringatan pada para penjelajah yang mau masuk kedalam hutan itu 'Sekali masuk, kau takkan pernah keluar lagi…' begitulah kata para orang tua jaman dahulu.
"Sial! Apa yang harus kita lakukan?" tanya Renji menggebrak meja.
"Satu-satunya cara adalah mencari mereka, kan?" usul Ishida.
"Oke! Ayo kita susul mereka! Kita cari mereka…" seru Ichigo tanpa pikir panjang.
"Tunggu! Kita enggak bisa pergi begitu saja ke tempat yang tidak kita ketahui. Kita harus cari tahu dulu sejarah tentang manor yang dimasuki oleh Rangiku-san dan yang lainnya…" ucap Rukia.
"Aku yakin di perpustakaan kota pasti ada sejarah tentang manor di pedalaman hutan Kyoto itu…" jawab Ishida memberi usul. "Kita kesana!" ajak Rukia. *Tap, tap* 2 orang pria mengendap-endap ingin pergi.
"Lalu kalian mau kemana?" tanya Rukia yang membuat dua pria itu terpaku pada gerakannya. "Ka…Kamar mandi, Rukia-sama…" jawab mereka kompak.
"Daripada kamar mandi, kita ke ruang klub kendo saja, yuk…" ajak Rukia sambil memegangi pundak kedua pria itu dan tersenyum manis namun penuh aura penyiksaan.
"Y…Ya?"
"Kalian juga ikut!" bentak Rukia sambil memukul mereka berdua hingga mental. "Kami mengerti!"
.
Dengan pipi kanan memar dan darah yang keluar dari hidung, kedua pria itu menuju perpustakaan bersama teman-temannya.
"Sial, sakit banget…" rintih mereka sambil memegangi pipi masing-masing. "Makanya jangan macam-macam sama Kuchiki-san. Kena amuk masa, kan?" kata Ishida membetulkan kacamatanya.
"Cereweet…"
Sesampainya di perpustakaan, mereka berpencar layaknya killer hornet untuk mencari buku yang membahas sejarah manor itu. 1 jam mencari…1 setengah jam…beberapa saat kemudian…
"Teman-teman! Aku udah mendapatkannya!" seru Inoue yang membawa buku yang sudah usang dan terlihat sangat tebal.
"Gede banget!" shock Renji sampai jawdrop. "Diam kau! Cepat duduk!" Renji yang dimarahi Rukia menciut dan mereka pun duduk ditempat yang tlah disediakan.
Manor yang berada di pedalaman hutan Kyoto adalah bangunan tua yang dibangun lima puluh tahun yang lalu dan ditinggali secara turun temurun oleh keluarga yang sama. Manor itu adalah saksi bisu dari peristiwa tragis yang terjadi di manor itu 15 tahun yang lalu. Dulu, manor itu ditinggali oleh sebuah keluarga bangsawan yang kaya raya dan bahagia. Namun, malam hari 15 tahun yang lalu…bangunan itu terjadi pembunuhan secara sadis. Semua anggota keluarga bangsawan itu dibunuh secara tragis dan mayat-mayatnya entah dibuang kemana. Karena tidak ada yang berani membeli atau menghancurkannya, manor tersebut dibiarkan terperonggok dan tak dirawat. Keangkeran hutan Kyoto bertambah dengan adanya manor itu.
Semuanya menelan ludah saat mengetahui sejarah singkat manor itu.
"Emangnya lima belas tahun yang lalu ada pembunuhan?" tanya Inoue.
"Entahlah. Lima belas tahun yang lalu umur kita masih lima tahun…" jawab Rukia. "Rangiku-san benar-benar masuk kesana?" tanya Ishida. "Apa…yang harus kita lakukan?"
"Sudah jelaskan? Kita masuk ke manor itu!" seru Renji sambil angkat tangan bersemangat.
"Aaah, hidup jadi orang idiot kelihatannya tidak ada beban, ya?" ucap Ishida, Inoue dan Rukia mengangguk.
.
.
.
.
Mereka kemudian pulang ke rumah masing-masing dan bersiap-siap untuk besok. Mempersiapkan mental, fisik dan yang lainnya. Malam hari, di apartement Rukia…Ichigo dan Renji kebetulan sedang main…
"Besok, ya?" ucap Rukia yang terduduk di sofa depan tv sambil memegangi secangkir kopi dengan suara pelan.
"Jangan khawatir! Kita gak bakalan mati konyol di dalam manor itu…" Ichigo yang sedang berdiri di pinggir jendela, melihat kebawah dari ketinggian 5 lantai pun berusaha untuk menenangkan Rukia dari jarak segitu.
"Aku enggak takut mati, hanya saja…dapatkah kita bertemu dengan…Rangiku-san dan yang lainnya?" Rukia semakin menunduk sedih.
"Tenang! Kita pasti bisa menemukan mereka bertiga…" jawab Renji. Rukia tetap terdiam.
"Berhenti menghiburku! Jika kau yang bicara…rasanya akan terjadi sesuatu yang sebaliknya…" dingin Rukia yang membuat Renji 'membeku'.
"Kenapa Rukia begitu dingin padaku?" tanya Renji pundung. "Orang gila!" cetusan Rukia membuat Renji makin pundung.
"Aaakh! Aku kamar mandi bentar, yak. Rukia, pinjem kamar mandinya…" seru Renji yang segera pergi ke kamar mandi. Rukia hanya menjawab 'Ah' yang artinya 'Iya'…Ichigo pun duduk di sebelah Rukia dan memegang pundak Rukia yang sedang sedih.
"Hei, tenanglah. Kita gak bakalan mati disana…" hibur Ichigo memegang tangan Rukia.
"Kubilang aku enggak takut mati. Aku hanya cemas dengan Rangiku-san dan yang lainnya…" jawab Rukia menatap mata Ichigo. Suasana pun hening sejenak, hanya terdengar suara tv. Tatapan mata ke mata itu berubah menjadi mendekatnya kedua bibir pasangan sejoli itu. Kepala mereka saling miring dan saling menutup mata, saat tinggal sedikit lagi…
"Ah, leganya, leganya!" senang Renji memegangi perutnya. Ichigo dan Rukia reflek langsung berjauhan dan memalingkan wajah satu sama lain.
"Ng? Kenapa kalian?" heran Renji yang mendadak suasana jadi sepi. Tambah lagi, televisi yang tadi menyala sekarang telah mati.
"Ka…kagak napa-napa. Ayo pulang, Renji!" ajak Ichigo yang beranjak menuju Renji. "Cepet amat? Baru gw selese nyetor…" keluh Renji.
"Udahlah! Rukia juga butuh istirahat buat besok. Kita juga begitu…ayo!" sambil menarik paksa Renji keluar dari kamar Rukia.
"Oke! Sampai jumpa, Rukia! Daah…" ucap Renji yang menghilang bersama dengan tertutupnya pintu kamarnya. "Ya, sampai jumpa…" ucap Rukia pelan sambil memegang dadanya yang berdetak tidak beraturan. Selama 4 tahun dia temenan dengan Ichigo, baru kali ini jantungnya berdetak tidak karuan.
.
.
Besoknya, Ichigo dkk pergi ke hutan Kyoto itu. Mereka menuju Kyoto naik kereta api pada sore hari, sesampainya di stasiun…mereka menumpang pada sebuah truk menuju hutan dengar bayaran yang lumayan juga. Tapi, belum sampai di inti hutan, mereka diturunkan di pinggir jalan.
"Aku hanya bisa mengantar sampai sini. Aku tidak berani mengantar kalian sampai dalam sana…" ucap supir truk itu menurunkan Ichigo dkk.
"Kenapa? Kami kan udah bayar penuh untuk diantarkan sampai manor itu…" keluh Ichigo.
"Kalian gila! Jika kalian pengen kesana, kesana aja sendiri…gak usah bawa-bawa orang lain! Nih, uang kalian kubalikin! Udah gelap, ogah gue balik sendirian!" kesal supir itu mengembalikan beberapa lembar uang Ichigo dan pergi sambil meninggalkan kepulan asap karbon monoksida yang cukup kelap.
"Uhuk! Uhuk!" Inoue pun terbatuk-batuk dan Renji juga karena dia berada tepat di depan knalpot.
"Uohok! Mati aja sono lo, gendut sialan!" bentak Renji yang kesal pada supir yang melesat pergi itu. "Renji, jaga ucapanmu!" kesal Rukia.
"Sial! Berarti kita harus jalan ampe kedalam manor itu?" tanya Renji memanggul tasnya. "Apa boleh buat…" jawab Ishida.
Kemudian, terdengar suara-suara burung gagak dan tebasan sayap-sayap hewan terbang dari dalam hutan di depan mereka…
"Jadi…inikah hutan Kyoto?" tanya Inoue. "Lebih seram dari yang kubayangkan…" sambar Ishida membetulkan kacamatanya. "Ayo!"
Mereka pun berjalan menembus hutan Kyoto yang lebat dan pepohonan yang tinggi-tinggi, terkadang mereka mendengar suara-suara lain di dalam sana dan itu membuat suasana sedikit menyeramkan. 1 jam mereka jalan…2 jam mereka jalan…mereka heran kenapa tidak sampai-sampai.
"Hei, berapa lama…kita mesti jalan?" tanya Inoue yang membawa setongkat kayu karena terlalu lelah. "Cih, sepertinya kita tersasar…" ucap Ichigo santai.
"Te…Tersesat? Mudah sekali kau mengatakan kita tersesat, Ichigo!" kesal Rukia bercampur kaget.
"Rukia, kita ini ada didalam hutan. Mustahil kita enggak tersesat, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Lagipula, malam sebentar lagi tiba…bagaimana jika kita mendirikan tenda disini? Jalan pun tidak ada gunanya…kita justru akan semakin tersesat lebih jauh…" entah apa yang merasuki Ichigo, tumben-tumbennya pria dandelion itu mengatakan sesuatu yang bijaksana dan dewasa hingga tidak dapat dibantah oleh teman-temannya. Jika malam tiba, lebih sulit lagi menemukan manor itu. Mereka setuju dan menyebar mencari kayu demi kayu setelah mengutus Inoue untuk menjaga barang bawaan mereka. Tidak lama, api unggun menyala sekaligus dengan malam kelam yang tiba.
"Aaah, udah malem kok jadi tambah serem, sih?" tanya Inoue memegangi tangannya yang merinding.
"Namanya juga malem, di hutan pula…" jawab Renji yang melempar sebatang kayu.
"Rangiku-san…baik-baik saja, kan?" tanya Inoue lagi namun terdengar agak sedih sambil menatap api yang tengah berkobar itu. Ucapan Inoue yang pelan namun dapat didengar teman-temannya itu membuat suasana hening tiba-tiba. Rukia juga kelihatannya sedih namun tidak mengerutkan alisnya. Ichigo dan Renji hanya diam sambil bersila dada. Sementara itu Ishida yang ada disebelahnya memegang pundak Inoue dan tersenyum.
"Jangan khawatir. Rangiku-san kan wanita yang kuat. Dia pasti baik-baik saja…" hibur Ishida yang membuat Inoue sedikit tersenyum berharap. "Terima kasih, Ishida-kun…"
"Hei, lebih baik kita cepat tidur biar besok pas matahari terbit kita langsung pergi…" saran Ichigo yang memilih untuk tidur diatas pohon. Beralaskan dedaunan kering ditutupi lembaran baju, mereka pun tertidur. Saat mereka berbaring untuk tidur, sesosok pria bertubuh sedang dengan rambut panjang berwarna hitam tengah mengawasi mereka dengan pandangan menusuk. Semuanya sudah tidur pulas hingga tidak merasakan pandangan menusuk itu, hanya saja Inoue yang kebetulan masih belum memejamkan mata langsung bangkit dari tidurnya dan melihat kesegala arah setelah merasakan pandangan menusuk itu.
Inoue's P.O.V
"Perasaan apa…tadi? Menusuk sekali…" batinku dengan wajah pucat dan keringat dingin. *srak srak* semak-semak yang tidak jauh dari perkemahan kami bergerak-gerak dan menimbulkan suara aneh. Seperti suara seseorang tengah menggigit, mengunyah dan menelan sesuatu. Perasaan takut langsung menyelimutiku, aku melihat teman-temanku yang sudah terlelap tidur, Kurosaki pun juga terlelap tidur diatas pohon sana. Aku memutuskan untuk kembali tidur dan menutupi wajahku dengan tangan, menghadap punggung Ishida yang tidur disebelahku, berusaha mengacuhkan suara itu. Tapi, tiap aku berusaha mengacuhkan suara itu…suara itu tidak hilang dan justru malah membuatku makin takut bahkan penasaran. Dikumpulkanlah seluruh keberanianku, dengan perlahan aku mendekati Ishida yang tidur disebelahku, membuka tas yang terbaring disebelahnya dan mengambil sebuah senter dengan diam-diam dari kantong tas. Setelah mendapatkan senter, aku berjalan pelan menuju semak-semak itu. Kuletakkan tangan kiriku pada dadaku, mengatur denyut jantung yang tak beraturan sejak tadi. Keringat dingin menetes dari pelipis menuju daguku. Telapak tanganku terasa basah oleh keringat.
"Kumohon, buatlah ini hanya ilusi-ku saja…" batinku meminta. Aku bisa mengatakan diriku naïf, aku takut namun sok berani. Dilain pihak, semakin dekat aku dengan semak-semak itu, suara itu semakin menghilang. Aku pun heran.
'Jika kita mendengar suara-suara tak lazim, semakin dekat suara itu…berarti mahluk yang mengeluarkan suara tersebut semakin jauh. Sebaliknya, jika suaranya semakin menghilang dan mengecil…berarti mahluk itu makin mendekati kita…'
Teringat dengan tiba-tiba ucapan Ishida dalam kepalaku. Ishida mengucapkan kalimat itu sesaat sebelum berangkat kemari. Jantungku semakin berdetak tidak karuan. Aku serasa ingin menangis namun tidak bisa menangis. Tanganku bergetar hebat, cahaya senter juga menjadi goyah karena tanganku. Aku bahkan tidak dapat bernafas lewat hidung seperti normal-nya. Aku menelan ludah dan dengan perlahan aku menjulurkan tangan mendekati semak-semak itu. Saat sudah menyentuh semak-semak itu, tiba-tiba tanganku kaku tidak mau digerakkan. Alisku berkerut ingin menangis. Tapi, tanganku tetap ngotot ingin membuka semak-semak tersebut. Kubuka dengan cepat semak-semak itu dan mataku melotot kaget saat sesosok pria berambut panjang tengah mengunyah daging mentah. Disekeliling bibir dan tangannya penuh dengan darah. Namun dia tidak menyadari keberadaanku. Yang dimakannya adalah daging manusia karena ada sebuah potongan kepala disebelahnya.
"A…A…A…Ah…" aku ketakutan dan tidak bisa bicara apapun. Senter yang kupegang terjatuh bersamaan dengan diriku yang jatuh karena terlalu lemas dan shock. Aku mundur menyeret tubuhku, tiba-tiba tanganku menyentuh sesuatu yang basah namun kental. Kulihat kebelakang dan ada potongan tangan bekas gigitan juga belatung-belatung yang mengelilingi. Busuk! Itulah aroma yang kucium.
"U…Uuh…hu!" air mataku terjatuh karena aku benar-benar ketakutan, suaraku benar-benar tak bisa dikeluarkan. Ketakutanku semakin menjadi-jadi saat kulihat keatas, banyaknya organ tubuh yang digantung. Jantung, tangan, hati, paru-paru, kaki, pangkal paha, usus, bahkan otak dan kepala pun menggantung diatas sana, dikerubungi oleh lalat dan belatung. Darahnya menetes mengenai keningku yang mendongak keatas. Sosok pria yang tadi tengah memakan daging itu akhirnya menyadari keberadaanku. Dia membuang tangan yang tengah digigiti dan dikunyahnya tadi. Dia berdiri dan berjalan menuju kearahku, membawa sebilah pisau berlumur darah yang dicabutnya kasar dari kepala yang tergeletak disebelahnya.
"A…ah…A…Ah…" tubuhku bergetar sangat hebat, tidak mau digerakkan. Aku mengepalkan tanganku hingga telapak tanganku berdarah tertusuk kuku-ku sendiri. Dia ulurkan pisaunya dan bersiap menusukku…
"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaakh!" aku menjerit sejadi-jadinya dan menutup mataku saat dia mau menusukku. Namun…
"Inoue-san! Inoue-san!" aku mendengar suara Ishida-kun yang entah darimana asalnya. "Inoue-san!"
"Oh!" aku tersadar dan Ishida-kun tengah berada didepanku bersama dengan teman-teman. Ternyata yang tadi hanyalah mimpi. Sekarang matahari sudah terbit dan cahaya-nya menembus lebatnya hutan ini.
"Inoue-san kau kenapa?" tanya Ishida-kun memegang pundakku.
"Eh? Ah…" aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Otakku masih penuh dengan bayangan yang tadi kulihat. Benarkah itu mimpi? Atau apa? Aku terus bertanya dalam pikiranku. Keringat bercucuran dari tubuhku.
"A…Aku…" aku melihat kedua tanganku yang tadi berlumuran darah, namun sekarang sudah tidak ada. Bersih seolah-olah tadi aku tidak menyentuh darah.
"Ah…uh!" aku segera bangkit dan menuju semak-semak yang tadi kulihat hingga membuat Ishida-kun terjatuh. Tanpa basa-basi, aku langsung membuka semak-semak itu dan mataku membelalak kaget.
"Su…ngai?" tanyaku tidak percaya. Kemana potongan daging tadi? Kemana gantungan organ-organ tadi? Kemana pria kanibal itu pergi? Jutaan pertanyaan kuhujamkan namun yang ada didepan mataku sekarang hanyalah sebuah sungai yang jernih mengalir. Aku terhuyung lemas dan terjatuh namun Ishida-kun dengan cepat menangkapku.
"Inoue-san, ada apa?" tanyanya lagi. Aku tidak menjawab, kepalaku pusing. Entah apa yang harus kupercayai. Beberapa saat kemudian, aku lumayan baikan dan menceritakan apa yang kulihat pada teman-temanku. Kuchiki-san berkata dengan santai, 'Itu hanya mimpimu saja. kau pasti kecapean…'
Aku bingung. Benarkah hanya mimpi? Apa yang harus kupercayai? Percaya pada apa yang telah kulihat atau percaya pada perkataan Renji-kun?
Saat aku sedang bingung, Kuchiki-san memegang pundakku. Dia tersenyum padaku.
"Jangan dipikirkan. Itu hanya mimpimu saja…" ucapnya menghibur. Aku mengangguk kecil dan tersenyum walau sebenarnya aku masih bingung.
End Inoue's POV
Beberapa saat kemudian, saat mereka sudah siap-siap dan berkemas…mereka melanjutkan perjalanan menuju Twin Manor itu. Inoue berjalan tetap dengan lesu dan murung.
"Kau masih mikir yang tadi?" tanya Renji. "Eh? Ah…um…"
"Rukia bilang itu hanya mimpimu saja. sudahlah tak usah dipikirkan…" ucap Renji. "Aku mengerti, tapi…tetap saja terbayang dalam kepalaku…" balas Inoue pelan.
"Hh, terserah kau sajalah…nih, aku punya lollipop. Kau mau?" tawar Renji yang memberikan sebatang lollipop. Inoue pun menerimanya.
"Makasih, Renji-kun…" ucap Inoue sedikit ceria dan dibalas dengan senyum kecil Renji.
"Hh, dia pe-de-ke-te lagi ama target temen…" bisik Rukia pelan pada Ichigo. Ichigo hanya melirik saja dengan tatapan tanpa ekspresi.
"Demen banget dia ngambil target temen. Ishida, sabar, yak…" lanjut Rukia memegang pundak Ishida yang sedang berapi-api. "Abarai, kubunuh dia…" ancam batin Ishida.
"Orang marah susah diajak komunikasi…"
Mereka berjalan, saat melewati batu relief kembar di sisi kiri dan kanan jalan, tiba-tiba saja mereka dapat melihat tempat tujuan mereka. Namun entah kenapa atau bagaimana, ini aneh sekali…tempat ini begitu gelap. Suasana kawasan hutan disekitar manor begitu gelap layaknya malam hari, padahal sekarang waktu baru menunjukkan pukul 4 sore di jam Ishida. Apa ini karena lebatnya hutan pedalaman ini? atau emang ini sudah malam?
"Kita sampai…" ucap Ishida.
"Ya. Bangunan tua, saksi bisu dari pembantaian lima belas tahun yang lalu…Twin manor…" lanjut Renji.
Crims: Ah, anu…apa bloddy? Sadistic? Atau biasa aja…emm, Crims juga bingung. Gmana pendapat para readers atau author? Biar Crims tau jawabannya, tolong di review. Mohon Kerja samanya (_ _)
