BTS – Big Hit Entertainment
Penulis tidak mengklaim apapun selain plot cerita.
AU. Produser Min Yoongi dan penyanyi idola Park Jimin yang melewati akhir Desember setelah empat puluh lima hari tak bertemu. Tak ada kembang api, hanya wangi pagi dan Jimin yang memakai kemeja Yoongi.
(REPOST)
.
.
.
Memang tidak biasanya dia bangun sepagi itu di hari Minggu, terutama dengan selimut tebal dan udara dingin dari jendela kamar yang agak terbuka di seberang sana. Tapi karena tak mendapati Jimin yang harusnya masih tertidur kelelahan usai kegiatan mereka semalam, mau tak mau Yoongi berguling turun dari tempat tidur. Kaki pucatnya menggantung di tepi, kepala dikibas ke kiri dan kanan beberapa kali, berusaha memulihkan pandangan seraya bertanya-tanya mengapa dia merasa butuh menemukan pemuda itu dan tak kembali terlelap saja sampai tengah hari. Tapi sudahlah, berunding solo terdengar jauh lebih bodoh dibanding kenyataan bahwa dia lupa membeli pengaman saat tiba di apartemen Jimin.
Sekali-sekali keluar di dalam tak ada salahnya.
Baiklah, ucapkan selamat pagi pada lamunan kotor dan Min junior yang mendadak berdenyut tak diminta. Yoongi melengos, berniat menampar dirinya sendiri meski urung terhalang bayangan jika sang empunya rumah akan mencecar seperti perkutut begitu memergoki pipinya membiru.
Bergeming kosong, Yoongi beringsut memasang celana yang berhasil diraih entah darimana. Sepasang mata berputar mengamati. Kemeja yang dipakainya semalam telah raib dari lantai, tersisa singlet putih milik Jimin di atas bufet. Opsi pertama, mungkin kemejanya teronggok di luar sana akibat ulah kekasihnya yang tak sabaran. Opsi kedua, mungkin sedang dipakai oleh Jimin, batinnya sembari menggaruk rambut dan berjalan terhuyung menuju wastafel. Diraihnya sikat, pasta gigi, juga mencuci muka sekenanya, sengaja tak bercukur meski bagian dagu mulai terasa kasar ketika diraba. Sebagai komponis yang lebih banyak menghabiskan waktu di ruang tertutup, tak ada aturan khusus mengenai penampilan. Jauh berbeda dengan penyanyi seperti Jimin yang dituntut untuk selalu sempurna dalam berbagai hal. Suara, cara berpakaian, air muka, gaya berbicara, hingga teknik memoles wajah. Meski Jimin sering menegur bila Yoongi mampir dalam kondisi belum mandi tiga hari dan rambut yang amat berantakan, tapi pemuda itu tak pernah mengusirnya pergi atau mengejeknya sebagai laki-laki usang yang tak menghargai tuan rumah. Jimin justru akan terkikik geli, mendorong Yoongi masuk ke kamar mandi, kemudian berkicau jumawa tentang orang-orang di luar sana yang merugi karena tak memiliki kesempatan menyaksikan Yoongi dalam keadaan bersih.
"Hyung cuma boleh terlihat keren di depanku."
Egois. Tapi manis.
Diputusnya sambungan dengan manajer Jimin selesai mengobrol beberapa saat. Hari ini tiga puluh satu dan tiket di samping lampu meja menunjukkan jam keberangkatan ke Beijing tanggal tiga Januari dini hari. Sepertinya Jimin sengaja mengosongkan jadwal dua hari ke depan, sesuai dengan janji untuk melewati tahun baru bersama-sama. Satu setengah bulan memangkas jarak antara Korea dan Inggris menggunakan telepon tentu tidak sama dibanding menatap Jimin dengan mata kepalanya sendiri. Jika lain waktu ada undangan narasumber dan tawaran pekerjaan di luar negeri, Yoongi akan memeriksa tenggat kontraknya penuh kewaspadaan. Tak boleh melebihi tiga puluh hari, atau dia bisa sekarat karena overdosis kopi.
"Tak bisa seenaknya dong, hyung," tegur Jimin suatu hari, "Klien adalah raja dan hyung harus bersikap profesional. Kalau hyung langsung mengiyakan waktu kutinggal tur berbulan-bulan, kenapa tidak menyanggupi hal serupa untuk pekerjaanmu? Supaya kita impas dan aku tak merasa bersalah sendirian."
"Aku percaya padamu dengan hidupku," Yoongi berujar santai sambil memainkan tuts piano bernada sembarang. Tanpa ekspresi, hanya senyum datar yang familiar, "Dan menonton Park Jimin menyanyikan laguku di televisi terdengar jauh lebih menggairahkan daripada duduk mengamati gadis berbikini di balkon hotel. Pantat hasil implan tak bisa dibandingkan dengan bokong pacarku yang luar biasa."
Dan setelahnya Jimin akan menendang kakinya berkali-kali dengan telinga memerah.
Wangi bacon yang menguar hebat menyambut Yoongi keluar dari kamar. Gontai, diseretnya kaki menuju dapur sembari mengedarkan mata ke ruang tengah tempat mereka menghabiskan sore dengan bergelas-gelas anggur dan setumpuk DVD. Sofa ditepikan di dinding, digantikan oleh karpet tebal serta bantal-bantal empuk bermotif hidung babi. Rencananya mereka akan mengadakan pesta barbekyu di beranda malam nanti, mengundang beberapa tetangga apartemen yang juga rekan kerja Jimin, dan manajer yang dihubungi sejenak tadi bersedia berbelanja agar keduanya tak perlu repot-repot pergi ke supermarket. Yoongi sudah terbiasa membungkus seluruh tubuhnya memakai setelan hitam, masker, juga berjalan kaku bak patung totem. Namun Jimin agak kurang bisa diandalkan soal penyamaran. Sehari-hari saja riasannya moncer dan suka memakai pakaian trendi, apalagi jika harus keluar rumah. Bisa-bisa wartawan berkumpul bak lalat di depan rak bahan segar demi menulis berita tentang Jimin yang terpergok memborong sirloin sapi. Sejak hubungannya tercium publik, Yoongi tak lagi leluasa menggandeng pemuda itu tanpa dibuntuti kamera. Selama tak membuat Jimin terganggu, Yoongi masih cukup punya hati untuk tak mengacungkan senjata api atau menghajar mereka sampai tak mampu bernapas lagi.
Kakinya melangkah memasuki dapur dan tersenyum miring mendapati apa yang dilihatnya di sudut. Jimin yang berdiri memunggungi, hanya berbalut kemeja milik Yoongi, betis dipamerkan tanpa bawahan, serta sedang berjinjit mengambil plastik roti dari salah satu lemari yang terletak agak tinggi. Penting ditegaskan bila panjang kemeja tersebut hanya mencapai paha, sehingga saat mengulurkan tangan, otomatis ujung kemeja turut terangkat dan garis pantat Jimin yang tak memakai celana dalam pun terpampang bebas di depan mata Yoongi. Pria itu bersandar di kisi pintu, tangan terlipat di depan dada dan memilih untuk menyaksikan pemandangan di hadapannya tanpa banyak bicara.
Seolah tak bisa diam, sebelah kaki Jimin ditekuk ke belakang untuk digesekkan ke betis kiri yang sedikit gatal akibat kedinginan. Yoongi terbahak tak bersuara, diamatinya punggung Jimin yang bergeser ke samping, lengan diturunkan dari lemari dan beralih pada teko di atas kompor, mengocok telur bercampur krim serta menuangnya di penggorengan sambil bersenandung. Jemarinya mengapit dua buah cangkir besar seraya mengamati motifnya dengan kepala bergoyang senang. Jimin bukan seseorang yang gemar berkutat dengan bumbu, apalagi meracik menu. Roti lapis telur adalah satu-satunya sarapan yang bisa disuguhkan pemuda itu tanpa harus menumpahkan sesuatu. Pernah satu kali Jimin nekat menggoreng nasi dicampur kimchi, dan berakhir dengan Yoongi yang tertelungkup di meja makan sambil mati-matian menahan tawa karena wajannya lolos dari pegangan tepat saat Jimin hendak bergaya membalik masakan.
Berjingkat, Yoongi memaksa kakinya bergerak dari pintu, mendekat sepelan mungkin supaya Jimin tak menoleh, dan sigap melingkarkan lengan di pinggang pemuda itu. Bibirnya menekan daun telinga Jimin, berdehem dengan suara yang belum pulih dari kantuk.
"Pagi, Jimin-ah."
Jimin reflek berjengit sebelum menyadari siapa pemilik lengan yang merengkuh pinggangnya tanpa permisi, dipukulnya pelan genggaman Yoongi sambil terkikik, "Selamat pagi, hyung."
Telunjuk Yoongi menarik kerah lalu menggigit pelan leher Jimin, "Kenapa bangun lebih dulu?" gumamnya parau, memperhatikan Jimin membentuk telur di penggorengan menjadi gundukan empuk di bagian tepi, "Jangan bilang mau pergi."
"Hm? Tidak," Jimin menaruh omelet setengah matang itu ke piring besar di sebelah mangkuk asinan, "Aku berniat mematikan telepon. Lagipula asistenku paham kalau tidak boleh ada pekerjaan sampai tahun baru selesai. Kopinya mau diberi gula?" selorohnya, menuding cangkir bagian Yoongi yang mengecup telinganya sebagai penolakan halus. Jimin meringis geli, memasukkan gula kembali pada kemasan lalu berpaling untuk menyambut ciuman Yoongi yang tiba-tiba memagut. Lengannya menarik Yoongi lebih merapat, membuka bibir sekilas dan menjauh perlahan sebelum Yoongi sempat memasukkan lidahnya ke mulut Jimin.
"Masih pagi, hyung," cengirnya saat pria itu mengeratkan pegangan sambil berdecak. Pun tak menepis tindakan Yoongi yang mengusap perutnya dengan sayang.
"Memangnya kenapa kalau masih pagi?"
Jimin melirik dengan kekeh penuh arti sembari menunjuk pekerjaan serta kompor yang masih menyala. Yoongi mengangguk-angguk lalu mundur tanpa disuruh karena tak mau kepalanya dipukul sendok kayu oleh Jimin.
Duduk di salah satu kursi, Yoongi mengambil sebutir apel dari meja makan dan menggigitnya tanpa mengalihkan mata dari Jimin. Sedikit berharap kemeja miliknya berubah tembus pandang agar dia bisa melihat lekuk tubuh kekasihnya lebih jelas. Namun melihat sang penyanyi bergerak dengan cukup sugestif, mondar-mandir menyibak rambut, juga berulang kali membungkuk sampai pantatnya menyembul, Yoongi tak bisa banyak mengeluh. Tentu saja.
Dikunyahnya apel itu lebih perlahan agar tak tersedak. Durasi enam jam masih terlalu singkat untuk menikmati dan menguasai Jimin. Selain karena cukup lama tak bertemu, foto-foto yang dimuat di akun jejaring sosial pemuda itu juga membuat Yoongi mengerenyit penasaran. Patut diakui, Jimin tampak semakin mempesona dari satu minggu ke minggu berikutnya. Yoongi menopang kepala lalu menggaruk dagu tak paham, sejenak mencari tahu penyebab perhatiannya tak bisa beralih dari Jimin sejak kemarin sore. Persetan dengan teriakan penggemar fanatik yang menggema di seluruh penjuru bandara ketika Yoongi datang. Konsentrasinya hanya tertuju pada pemuda dengan pipi merona yang duduk di kursi belakang mobil penjemput, bersembunyi dari kilatan pemburu berita sembari berucap 'selamat datang kembali' dengan satu kecupan di rahang kiri.
Rambut Jimin yang sejatinya gelap pun diwarnai merah stroberi, dipangkas rapi melampaui tengkuk dengan tekstur begitu halus, membingkai wajah dengan poni menghalangi pelipis. Yoongi tak ambil pusing untuk sekedar menyingkirkan anak rambut Jimin karena mata yang mengintip dari balik helai-helai itu terkesan nakal dan menggemaskan. Yoongi hanya perlu mengangkat alis, membiarkan Jimin menjambak rambutnya sendiri begitu nalurinya terangsang oleh segala bentuk sentuhan Yoongi. Menggenggam, menggerut, dan memanjakan Jimin dengan jemarinya.
Sepasang mata Jimin yang jernih dan nyaris selalu berubah menjadi garis ketika pemuda itu tertawa, turut berlapis lensa kontak kehijauan menggantikan alat bantu yang selama bertahun-tahun mengurangi minusnya. Alasannya sederhana, Jimin tak ingin repot melepas kacamata tiap berciuman dengan Yoongi, dan membuat pria itu termangu bodoh karena bingung harus menjawab seperti apa. Keberatan? Tidak. Lensa kontak memberi kesan redup pada mata Jimin dan Yoongi paling tak tahan dengan tatap sembab seolah minta ditiduri. Sulit untuk tidak menyambar Jimin dan memepet pemuda itu ke dinding seperti yang dilakukannya begitu memasuki apartemen.
Leher dan tengkuk Jimin juga terasa lebih manis dari biasanya, entah pengaruh wangi parfum atau deodoran yang dibubuhkan sebelum berangkat ke bandara. Yoongi menelan apelnya perlahan-lahan, memperhatikan bagaimana Jimin mengusap tengkuk selagi meneguk air hangat dari dispenser, beberapa tetes meluncur menuruni leher yang tampak mencolok dari balik dua kancing kemeja yang terbuka, dan Jimin tak terlalu peduli untuk sekedar mengusap bekasnya.
Yoongi menelan ludah, fokus berpindah pada pinggang Jimin yang ramping serta pinggulnya yang berlekuk, jauh lebih berbentuk dari terakhir kali Yoongi meraba. Semalam Jimin sempat tertawa menanggapi dan menyentuhkan hidung mereka sebagai ucapan terima kasih ketika dipuji. Kepalanya rebah di pangkuan, lantas bercerita bahwa dia sering berenang untuk mengisi waktu. Menjawab delik bingung Yoongi yang terperangah mendapati Jimin menjajari tingginya saat pemuda itu berdiri tanpa alas kaki.
"Sekarang kita hanya berbeda satu senti."
Ingatkan Yoongi untuk kembali mengonsumsi kalsium setiap hari.
Sepasang kaki Jimin yang jenjang juga tak luput dari perhatian. Lengkap ditemani betis yang kencang dan paha yang seksi, sangat mengundang untuk disentuh dan Yoongi berganti mengigit jari-jarinya sendiri, membayangkan bagaimana kaki itu mengait erat pinggangnya ketika Yoongi menekan masuk. Rasanya sudah lama sekali dan Yoongi hampir mabuk karena Jimin mencengkeram dengan kuat, memijat punggung Yoongi menggunakan tumitnya dan mendesis penuh kepuasan kala Yoongi mengerang panjang, bergerak lebih cepat, lebih dalam. Memberinya sensasi bertubi-tubi, merengkuh Yoongi mendekat, mengecupi rahang, kening, telinga, juga melenguh nikmat seraya menjepit Yoongi lebih kuat hingga pria itu mengumpat dan membiarkan dirinya meledak di dalam tubuh Jimin.
Bibir kemerahan yang basah dan bengkak, raut yang berpeluh, dada yang naik turun dengan tergesa, napas yang berat, lengan yang mengalungi leher beserta mata yang perlahan terbuka dan senyum lega yang mengembang di wajah Jimin, juga tawanya yang tenggelam di dada Yoongi ketika pemuda itu membenamkan muka, semuanya membuat Yoongi berpikir bahwa dia hanya butuh Jimin untuk selalu terjaga.
Jimin adalah cintanya. Jimin adalah rumahnya.
Menaruh apel yang tersisa setengah, Yoongi memutar duduk menghadap meja makan ketika Jimin datang membawa dua piring omelet, bacon dan asinan buah. Ditaruhnya di depan Yoongi yang menopang dagu sementara Jimin berjingkat-jingkat lucu selesai meletakkan cangkir kopi. Lengannya sibuk menggosok-gosok paha dan menggaruk pipinya sendiri. Yoongi menyeringai memergoki bekas gigitan di leher Jimin kala pemuda itu berbalik menangkup cangkir minuman untuk diletakkan hati-hati di atas meja. Baru berniat mengambil napas, Yoongi terlanjur menyambar lengannya dan merengkuh Jimin duduk dalam pangkuan. Yang bersangkutan pun berjengit dan spontan menyikut dada Yoongi karena membuatnya terkejut.
"Lepas, hyung. Nanti sarapanmu kumakan lho?" pintanya ketus sambil merebut sisa apel dari sebelah Yoongi, menggigit sekilas dan berkedik saat Yoongi mengulum daun telinganya, acuh.
"Makan saja."
"Benar?" Jimin berkedip sambil meringis, "Aku lapar sekali."
"Aku juga lapar."
"Makanya lepaskan aku dan kita sarapan, nanti keburu ding—adududududuh!" Jimin menjerit merespon gigi yang menancap kasar di kulit lehernya. Mendongak, dipelototinya Yoongi dengan dahi berkerut-kerut, "Hyung!"
"Makan saja," ulang Yoongi, menjilat bekas gigitan di leher Jimin sambil memeluk pemuda itu lebih erat, lantas menyelipkan satu tangannya masuk ke balik kemeja dan mengelus makin ke bawah, "Sebagai gantinya..." telapak tangan besar mengusap pahanya diiringi bisik rendah penuh dominasi, "Aku yang akan memakanmu."
Jimin menarik napas tajam. Telapak Yoongi terasa panas menjalari kulit dan sentuhan tangan Yoongi yang lain seperti membakar selangkangannya. Kuku-kuku kecil Jimin mencakar pergelangan tangan Yoongi yang bergerak leluasa, meremas serta memijat kejantanannya di titik-titik yang selalu membuat Jimin lupa diri. Punggungnya ikut melengkung dengan nikmat dan kepalanya terlempar ke belakang, mendesahkan nama Yoongi dengan suara melengking tinggi.
Yoongi menjilat bibir, menghunjamkan giginya sekali lagi ke lekuk leher Jimin yang putih dan hangat. Pinggul Jimin yang beringsut di pangkuan membuat bagian pribadinya melonjak antusias dan seolah mengerti, Jimin berinisiatif merapat dan menggesekkan kemaluan Yoongi ke celah pantatnya. Pria itu menggeram rendah, mengulum bagian tengkuk Jimin sementara tangannya bergerak makin cepat. Sudut bibirnya terangkat membentuk seringai lebar kala Jimin mengerang kencang dan tubuh eloknya menggeliat, meminta lebih.
Terengah, Jimin mengangkat satu lengannya untuk menyentuh sisi rahang Yoongi. Memaksa pria itu menatap lekat-lekat, penuh hasrat dan begitu mengundang. Jimin tercekat, nyaris melupakan kenyataan bahwa kekasihnya terlihat begitu tampan dan menggairahkan. Delikan Yoongi yang tajam memandangnya dengan sejuta binar yang selalu membuat Jimin mengalah dan menyerah. Sesuatu perlahan menyusuri perutnya dan naik ke dadanya, buncah perasaan yang membuat Jimin terkesiap dan tersengal-sengal. Lidahnya menjilat bibir, mendapati ekspresi Yoongi semakin gelap oleh napsu. Detik berikutnya pria itu menekan kuat di satu titik. Jimin kembali menggeliat liar, merenggut rambut halus di bagian belakang telinga Yoongi seraya melontarkan lenguhan kesekian.
"Hyung..."
Yoongi melumat bibir Jimin dengan rakus. Paham bahwa di saat seperti ini mereka tak perlu persiapan atau pemanasan yang terlalu bertele-tele. Dia bahkan tak berpikir untuk membopong Jimin ke tempat tidur, sofa, atau mungkin berbaring di karpet ruang tengah. Jimin mengangkat pinggulnya sekilas, cukup untuk memberi jarak agar Yoongi bisa memposisikan diri pada jalan masuk tubuhnya. Jimin menyatukan jari-jari mereka dan Yoongi balas menggenggam seraya menyerbu masuk dalam satu dorongan.
Teriakan Jimin sama sekali tak membuatnya mengambil waktu untuk berhenti sejenak. Jimin pun sepertinya tak peduli karena pemuda itu justru bergerak lebih dulu, membawa Yoongi makin jauh dalam kehangatan tubuhnya. Jimin mendekat ke sisi wajah Yoongi, bibirnya tepat berada di samping telinga pria itu hingga Yoongi bisa mendengar dengan jelas erangan merdu dan desahan napas Jimin yang memburu. Kelima indranya merasakan seluruh kejadian, cengkeraman erat tubuh Jimin, aroma tubuhnya yang menggoda, suara indahnya yang mengagumkan, kulit mulusnya yang berkilau, juga nama Yoongi yang bergulir penuh kesungguhan dari bibirnya. Yoongi menyusul terengah, segalanya mengenai Jimin selalu terasa memabukkan dan begitu mempesona. Bila dulu dia berpikir usia bukan hal yang harus dipusingkan, maka sekarang Yoongi berharap bahwa dia akan terus hidup, ingin terus melindungi Jimin, dan berusaha menjalani semuanya bersama pemuda itu.
Yoongi memejamkan mata, mulai tak sanggup menahan sensasi serta emosi yang melanda bertubi-tubi. Jimin tak membuat segalanya lebih mudah dengan menciumnya teramat lembut sembari membisikkan perasaannya langsung ke telinga Yoongi, sekaligus memberikan ijin pada pria itu untuk melepaskan seluruh hasratnya ke dalam tubuh Jimin.
"Aku mencintaimu, hyung."
.
.
Menyembunyikan senyum di balik telapak tangan, Yoongi melempar seonggok gumpalan tisu bekas bebersih ke tempat sampah di sudut dapur. Jimin masih terdiam di pangkuannya, memulihkan keadaan dari gemetar dan gelenyar yang membuat tumitnya kesemutan. Lengan Yoongi mendekap posesif, membiarkan Jimin merebahkan kepala pada dada pucatnya yang telanjang, bergelayut bak koala. Pucuk hidung mancungnya menusuk pipi empuk Jimin yang tak bereaksi, "Kenapa cemberut? Kesal karena aku lupa memakai pengaman lagi?"
"Bukan," rutuk Jimin, muka bulatnya merah sempurna, "Bobotku dan hyung tidak ringan, nanti kursinya cepat rusak."
Yoongi tertegun sesaat, mencerna kalimat Jimin lalu reflek terbahak sampai hampir terbatuk. Pun tetap tertawa walau putingnya dicubit sebal oleh pacar yang tersinggung, "Ow, maaf, aduh! Kursi makanmu tak akan rusak segampang itu. Lagipula kita jarang melakukannya di sini. Ow, ow, sakit."
Jimin mendengus. Meski begitu, dia mengangkat kedua kaki dan membulat malas di dekapan Yoongi. Wajah disusupkan ke bahu pria itu usai mencium sekilas dagunya yang menawan. Usapan sayang di punggungnya menerbitkan kantuk di mata Jimin, masa bodoh dengan sarapan yang dingin terabaikan. Laparnya lenyap entah kemana. Didengarnya suara tegukan disusul denting cangkir yang ditaruh di tatakan. Aroma kopi menguar dari napas Yoongi. Maskulin. Seksi.
"Hyung selalu bisa membelikanmu kursi baru, Jimin-ah," tutur Yoongi, membelai anak rambut Jimin yang mulai mendengkur, "Tapi sandaran senyaman ini hanya ada satu di dunia."
Tahu pasti jika pria itu tak biasa membanggakan diri, mau tak mau Jimin mengangguk sambil merapatkan pelukan, meresapi kekeh Yoongi yang balas menumpukan dagu di atas kepalanya. Lima menit, Jimin tak akan tertidur. Dia hanya ingin merasakan kehangatan Yoongi sedikit lebih lama.
Esok, lusa, mungkin seterusnya.
"Aku ingin jadi yang pertama mengucapkan ini, sebelum orang-orang datang dan mengacak-acak beranda," ujar Jimin serak, menyusuri lengan Yoongi sambil setengah mendongak, ditunggunya beberapa detik sampai pria itu berangsur menunduk dan menempelkan kening mereka. Mulut Yoongi terbuka seiring telunjuk Jimin yang mengusap bibir bawahnya dengan hati-hati, menatap penuh minat, menyukai bagaimana kontur bibir Yoongi yang tipis terasa begitu lembut ketika disentuh. Tawa Jimin bergema mengisi langit-langit dapur saat Yoongi mendadak meremas pergelangan dan berpura-pura hendak memakan jarinya.
"Selamat tahun baru, hyung," Jimin bergumam lirih, nyaris tak terdengar. Sepasang kelopak matanya mengatup perlahan, "Jangan pernah bosan padaku."
Tahu bila dia akan berakhir dengan membaringkan pemuda itu ke sofa terdekat, Yoongi balas tersenyum samar. Bahunya berkedik, kepala menggeleng pasrah. Sungguh bocah yang merepotkan.
"Tidak, Jimin-ah," sahutnya, mengecup pelan ujung telunjuk Jimin, "Tak akan pernah."
.
.
.
.
