Important Notice : kalau anda reader baru, saya sarankan untuk baca dulu prekuel dari serial ini, yaitu Himitsu no Uta (silakan cek profil author)
Rhapsody of Secret ~秘密の狂詩曲
by Mizumori Fumaira
Disclaimer : Vocaloid © Yamaha corp.
Genre : Drama, Hurt/Comfort, Romance (as subgenre)
Rate : T (some gore scene, mention some mental abnormality, people with disability)
Warning : typo(s), some uncannons (cannons based on Hiyama Kiyoteru' profile from Ice Mountain fanbook)
Hatsune Miku menggenggam erat tangan yang bertautan dengan jemarinya. Biasanya, sedingin apapun suhu lingkungannya, tangan gadis itu selalu hangat. Namun, Hiyama Kiyoteru seolah menggenggam kenop pintu di malam hari di tengah bulan Desember.
Selain itu, Kiyoteru menyadari kalau Miku terlalu banyak mengenakan warna putih—mantel, sepatu, dan bahkan ikat rambut yang dipakai di kedua kuncirannya pun menggunakan pita putih. Gadis itu bilang itu warna keberuntungannya hari ini.
"Tenang saja," ujar Kiyoteru. "Kau sudah berusaha keras."
"Aku tahu, tapi..." Miku melangkahkan kakinya semakin pelan, "yang lain juga kayaknya berusaha lebih keras dariku."
Tanpa sepengetahuan Kiyoteru, Miku merupakan seorang penggemar otoge selain suka membaca manga dan novel nonfiksi. Dan gadis itu bahkan sempat memainkan beberapa game hingga tamat selama masa persiapan ujian. Belum lagi, ia juga baru kerajingan jenis game lain, yaitu RPG yang bergenre horor.
"Bagaimana plan B-mu? Rasanya aku belum mendengarnya."
"Eh, itu..." Miku terbata, "sebenarnya aku sudah diterima di fakultas kedokteran universitas swasta N, tapi biayanya..."
Kiyoteru mengangguk paham. Gadis itu benar-benar tidak ingin memberatkan orang tuanya soal biaya kuliah. Maka dari itu, ia benar-benar berusaha untuk masuk universitas negeri. Ia memilih jurusan farmasi sebagai pilihannya—gadis itu tidak yakin nilainya akan cukup untuk masuk jurusan kedokteran, karena gadis itu sangat berminat di bidang medis.
Tidak aneh karena Kiyoteru tahu kalau Miku jadi seksi kesehatan kelas selama 3 tahun berturut-turut.
Keduanya melanjutkan perjalanan menuju papan pengumuman. Sengaja Kiyoteru menjemput pagi-pagi agar bisa melihat dengan jelas tanpa berdesakan dengan orang lain yang juga ingin melihat pengumuman.
Sampai di depan papan pengumuman, Miku mengeluarkan secarik kertas. Kartu ujian yang memuat foto, data diri, dan nomor ujiannya.
"1204, ya?" Kiyoteru tertawa kecil. Miku jadi agak malu juga.
"Bahkan sampai nomor ujian pun..." gadis itu bergumam. Keduanya melihat satu per satu daftar nomor ujian yang dipajang di papan pengumuman.
1000...1100...1200...1201...1205
Berulang kali Miku melihat di titik yang sama. Tidak ada nomornya, dari 1201 langsung ke nomor 1205.
Pandangannya tiba-tiba terasa kabur. Kepalanya terasa berdenyut dan napasnya terasa sesak.
"Miku..."
Miku baru menyadari kalau ia menangis ketika Kiyoteru menghapus air mata yang sudah mengalir deras di pipinya.
"Ma...af..." bahkan kata itu tak mampu mengekspresikan rasa penyesalan gadis itu, "maaf... sensei... maaf..."
Kiyoteru menarik Miku ke dalam pelukannya. Ia tidak tahu harus bagaimana, tapi sakit yang juga ia rasakan bukan karena gadis itu mengecewakannya—hell, dia sama sekali tak mengecewakannya hanya karena gagal ujian masuk, tapi karena ia tidak bisa melihat Miku menangis karena mimpinya hancur setelah segala hal yang gadis itu lakukan.
"Kau sudah berusaha... tidak perlu meminta maaf..."
Miku mendekap erat pria yang membiarkannya menangis di dadanya. Dari semua orang di dunia ini, Kiyoteru termasuk orang yang sama sekali ia tak ingin kecewakan. Padahal pria itu selalu menyempatkan waktu untuknya, menyemangatinya—bahkan memecut semangatnya, ketika ia putus asa, membuatnya tersenyum, menerima telepon dan emailnya jam berapa pun ia menghubunginya...
Bagaimana ia bisa membayar semua itu dengan kegagalannya?
Kiyoteru menemukan dirinya bernyanyi beberapa bagian lagu rock barat yang dipilih Miku. Sebenarnya gadis itu sudah meminta Kiyoteru untuk membiarkannya pulang sendiri tapi karena Kiyoteru ingin menemani Miku yang sedang berada dalam kondisi terburuknya, Miku akhirnya membawanya ke tempat ia biasa melepas stres—sebenarnya kebiasaan baru yang ia mulai setelah menyukai beberapa musik rock karena pengaruh Kiyoteru.
"Nanti sensei ilfeel kalau lihat kelakuanku ketika terpuruk."
"Try me. Apapun yang kaulakukan, itu normal," balas Kiyoteru dengan senyuman penuh arti yang sama sekali tak dimengerti Miku.
Jadilah gadis itu membawanya ke tempat karaoke tempat ia biasa melepas stresnya. Beberapa lagu One OK Rock, Amano Tsukiko—penghayatan gadis itu luar biasa ketika menyanyikan lagu berjudul Ningyou, Avril Lavigne, Evanescence, Avenged Sevenfold, dan Linkin Park jadi pilihannya. Di luar dugaan, gadis itu punya suara yang bagus dan kuat menyanyikan lagu-lagu rock selama sejam lebih.
Alunan instrumental menghentikan nyanyian Miku. Gadis itu segera mengambil ponselnya yang ia simpan di saku mantelnya. Mungkin dari orang tuanya karena ia belum mengabarkan hasil ujiannya.
"Nomor tidak dikenal?" gumam Miku yang terdengar oleh Kiyoteru. Pria itu menghentikan lagu yang terputar di bilik karaoke mereka.
"Biar kujawab," perintah Kiyoteru serius. Karena kejadian stalker itu cukup membuatnya trauma dan ia tak ingin Miku merasakan ketakutan yang sama seperti waktu itu.
"Tidak, kurasa bukan dia. Ini seperti nomor telepon kantor," tolak Miku.
"Loudspeaker."
Miku menurut saja karena Kiyoteru tampak begitu menakutkan.
"Selamat siang, Hatsune Miku di sini," sapa Miku pada sang pemanggil.
"Ah, selamat siang Hatsune-san. Saya Kurosaki, ketua panitia ujian penerimaan universitas S."
"O...oh..." Miku agak terkejut, "a...ada yang bisa saya bantu?"
Kiyoteru menatapnya heran sementara Miku hanya nyengir aneh. Memangnya dialog yang tepat itu apa?
"Begini, Hatsune-san. Saya menemukan ada catatan penting pada berita acara ujian di ruangan anda yang bersangkutan dengan anda. Saya ingin anda memberi keterangan detail pada kami karena ini menyangkut kelulusan anda dan seorang lagi. Jadi, bisakah anda datang ke sekretariat kami di gedung 5 universitas S?"
Kiyoteru kali ini memberi Miku tatapan tajam yang kurang lebih berarti ada-yang-harus-kaujelaskan-padaku. Miku hanya tersenyum simpul untuk membalasnya.
"Baiklah. Satu... tidak setengah jam lagi saya akan sampai di sana," jawab Miku dengan sedikit ralat setelah melihat gerakan tangan Kiyoteru.
"Baik. Terima kasih, Hatsune-san. Kami menunggu."
"Kejadiannya sedikit mirip dengan saat aku ujian masuk di Utaunoda," ujar Miku memulai penjelasannya pada Kiyoteru yang mengemudi dengan lincah agar mereka lebih cepat sampai di universitas S. Pasalnya, tempat mereka karaoke tadi memang cukup jauh dari kampus maupun rumah mereka.
"Maksudmu mengambilkan isi tempat pensil peserta ujian yang duduk di belakangmu?" potong Kiyoteru.
"Hanya sebuah penghapus saja. Itu pun jatuh di dekat kakiku. Karena aku khawatir ia tak bawa cadangan maka kuambilkan," jelas Miku, "sepertinya pengawas mengira kami bekerja sama atau apalah..."
Kiyoteru menghela napas panjang. Gadis itu dan kepeduliannya, itulah salah satu hal yang membuat ia menyukainya. Tentu saja kalau waktu itu yang mengawas bukan dia, gadis itu pasti tak akan lolos ujian di Utaunoda.
"...Sensei marah padaku?" tanya Miku saat pria itu terlihat mencengkram erat kemudi mobilnya.
"Aku marah pada pengawasnya," balas Kiyoteru tajam.
"Sensei memang terlalu baik padaku waktu itu," Miku tertawa garing. Kiyoteru menatapnya tajam.
"Dari satu ruangan yang kuawas saat itu, menurutku hanya kau yang pantas lulus."
Miku tersenyum lembut ke arah Kiyoteru. Kalau ayah dan ibunya tahu masalah ini ia pasti dimarahi karena melakukan hal bodoh seperti menolong orang saat ujian.
"Terima kasih."
Kiyoteru bersumpah hanya orang bodoh yang tidak mengakui gadis itu. Ia menggenggam erat tangan gadis itu, mencoba meyakinkan gadis itu—juga dirinya sendiri, bahwa semua akan baik-baik saja.
Miku menegakkan punggungnya, menatap satu per satu panitia yang meminta keterangannya. Rasanya seperti terdakwa kasus pembunuhan di tengah sidang.
Sementara di sebelahnya, gadis pemilik penghapus tampak gugup. Ia tak berhenti memainkan jarinya. Peserta dengan nomor ujian 1203 itu sesekali menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya.
"Baiklah, saya mulai penjelasan dari sudut pandang pihak panitia. Hatsune-san, selain karena anda mengambilkan penghapus milik Amano-san, yang menjadi masalah adalah Amano-san terlihat menggunakan ponsel saat ujian, sehingga anda dianggap mengenal Amano-san dan mendapat jawaban darinya," jelas Kurosaki.
Miku membulatkan matanya. Jadi orang yang ia tolong berbuat curang dan ia dianggap terlibat?
"Saya hanya murni menolongnya," ujar Miku akhirnya, "penghapusnya jatuh di dekat kaki saya dan saya tidak ingat bahwa mengambilkan barang peserta lain yang terjatuh merupakan suatu larangan."
"Tapi tindakan anda bisa termasuk dalam kerja sama," balas salah seorang panitia yang merupakan salah satu pengawas di ruangannya yang menuliskan di salah satu berita acara bahwa ia bekerja sama dengan gadis pemilik penghapus. "Selain itu, Amano-san tampak dekat dengan anda sebelum ujian dimulai."
"Itu karena saya menjelaskan beberapa hal mengenai ujian padanya. Dia datang dari kota lain dan belum tahu tipe ujiannya seperti apa. Ia juga tidak tahu adanya sistem minus, jadi supaya fair saya menjelaskan padanya," balas Miku lugas. "Selain itu, kami tidak hanya berdua saat pembicaraan itu. Ada sekitar empat orang lain yang juga bertanya padaku di waktu yang sama."
Yang benar saja, masa ia disalahkan karena mengobrol dengan orang lain? Harus ia bagaimanakan kepribadainnya yang ekstrovert itu?
"Apa benar yang dikatakan Hatsune-san, Amano-san?" tanya Kurosaki.
Gadis itu menatap Miku sekilas, lalu kembali menunduk.
"Be...benar. Sa... saya sangat berterimakasih karena Hatsune-san mau menjelaskan pada saya, makanya..."
Miku menatap tajam gadis itu sementara sang pengawas ujian tertawa pelan.
"Saya rasa ini sudah jelas, Kurosaki-sensei. Keduanya tidak pantas diterima di..."
"...tapi saya tidak melihat mereka berkomunikasi saat Hatsune-san menyerahkan penghapus pada Amano-san," sanggah pengawas ruangannya yang lain. Berkebalikan dengan pengawas yang tadi menuduhnya dan terus tersenyum mengejek, pengawas satu itu tampak begitu berwibawa dan bermata tajam bagai elang, "saya yakin Hatsune-san tidak melakukan kesalahan apapun. Amano-san, tolong jangan memberikan pernyataan yang bisa merugikan orang lain."
"Tapi kalau hanya aku saja yang tidak diterima, ini tidak adil!" seru gadis itu, "di bungkus penghapus itu aku menulis jawaban untuknya! Dia juga berbuat curang!"
Berbeda dengan Ayako yang ia tolong dahulu dan menjadi sahabat baiknya selama SMA, gadis ini sepertinya bermaksud menyeretnya ke neraka.
"Saya bahkan tidak melihat warna bungkus..."
"Cukup, Hatsune-san," potong Kurosaki. "Apa yang dikatakan Hara-sensei benar, kau punya peluang ikut melakukan kecurangan."
Miku bangkit dari kursinya, "anda sama sekali tidak mempertimbangkan pendapat saya. Untuk apa saya kemari, untuk membuat saya mengakui kesalahan yang sama sekali tidak saya perbuat? Mengetahui saya tidak diterima di sini sudah membuat saya ingin terjun dari Tokyo Tower, apa anda ingin melihat saya terjun dari puncak Burz Khalifa?" Miku menatap satu per satu dari mereka, menghela napas dan melanjutkan, "apa yang dikatakan Hara-sensei bukankah hanya kemungkinan belaka? Ia sama sekali tak menghampiri kami, bagaimana ia bisa begitu yakin?"
"Saya menyarankan untuk membandingkan jawaban kedua peserta," usul salah seorang panitia yang bertindak sebagai notula—satu-satunya panitia perempuan di sana, "dengan begitu bisa terlihat..."
"Dia bisa saja membedakan jawabannya!" seru gadis pemilik penghapus itu. Miku rasanya ingin menghajar gadis itu tapi itu akan membuatnya semakin bersalah.
"Tidak, itu bisa jadi bukti," sanggah sang pengawas yang membela Miku, "saya akan membawakan kedua lembar soal dan jawaban mereka."
"Silahkan, Himuro-sensei," putus Kurosaki.
Tak sampai tiga menit, Himuro membawa dua tumpuk kertas. Ia kemudian mengambil lembar pertama dari masing-masing kertas dan menyerahkannya pada Kurosaki.
"Dari sini saja sudah terbukti kalau mereka tidak mungkin bekerja sama, bukan?"
Kurosaki tampak terkejut. Ia berdeham pelan dan menjelaskan,
"Meskipun keduanya sama-sama memilih lima mata pelajaran dari sepuluh, mereka memilih mata pelajaran berbeda," sekali lagi ia melihat kedua kertas itu, "Hatsune-san memilih matematika 1, sains 1, sains 2, Bahasa Inggris writing, dan Bahasa Jepang. Sementara Amano-san memilih ilmu sosial, kewarganegaraan, sains 3, Bahasa Korea, dan Bahasa Jerman."
Miku tersenyum lega. Ia membungkuk kepada para panitia.
"Terima kasih atas kerja keras anda semua. Maaf karena telah merepotkan," ujarnya.
"Kami meminta maaf atas hal ini Hatsune-san," Kurosaki balas membungkuk. "Walau begitu, meski nilai anda memadai tapi karena kasus ini saya tidak yakin..."
"Fakultas farmasi dengan senang hati menerima anda, Hatsune-san," potong Himuro, "setelah ini tolong lihat pengumuman lebih lanjut di papan pengumuman fakultas kami."
Miku menatap pria bermata tajam itu tak percaya, lalu menyunggingkan senyum terbaik yang ia miliki. Pria yang kira-kira seumuran ayahnya itu memberi sebuah senyum simpul. Miku tak bisa menggambarkan rasa bahagia yang ia rasakan saat itu. Rasanya seperti…
"UHUK!"
…rasa besi yang menguar begitu saja di mulut Miku tentu saja bukan penggambaran yang tepat. Namun, bersamaan dengan rasa nyeri yang amat sangat yang menjalar dari punggungnya, Miku mengeluarkan cairan berwarna merah begitu saja dari mulutnya. Miku merasakan dunianya berputar cepat.
Ingatan terakhirnya adalah suara tawa yang tak jauh berbeda dengan tokoh antagonis di RPG Horror yang ia mainkan malam sebelumnya, sebelum kegelapan menarik kesadarannya yang kian memudar.
(A/N) :
*lari karena takut ditimpuk gegara ending super hurt begini*
halooo~~ akhirnya berkat dukungan dari beberapa reviewer, saya berusaha mencoba membuat sekuel dari Himitsu no Uta yang berjudul "Rhapsody of Secret". sedikit *padahal banyak* curhat, saya sempat bingung memilih judulnya : pingin ada kata 'himitsu' (rahasia/secret) dan ata kata yang ngambil dari istilah musik. Dan jadilah... Rhapsody of Secret~秘密の狂詩曲 (romaji : Himitsu no Kyoushikyoku). Kenapa rasanya pas? soalnya kanji kyou (狂) dari kyoushikyoku bisa berarti kegilaan atau seseorang yang punya mental abnormality. Jadi temanya pas, 'kan? Heheheh...
terima kasih kepada para reviewer, follower, favoriter dari seri sebelumnya yang memberi saya keberanian buat publish fic ini. Fic ini gak akan se-fluffy fic sebelumnya *nunjuk genre hurt/comfort* karena saya pengarang yang nggak puas kalo nggak liat charanya kesiksa mueheheh.. tapi semoga saja saya bisa menuliskan ending yang bagus untuk mereka tehehee
ah kepanjangan! sudah dulu, ya! Ja ne~~~!
