HYAY! *girang sendiri*
Ini fic saia yang ketiga. ^^
Sejak saat saia lihat Kuroshitsuji 2 yang episode 7, saia jadi merinding-merinding gimana gitu. Saia suka aktingnya Alois saat ditusuk sama Ciel adikku tersayang *ditendang*
Apalagi pas teriaknya. Bulu kuduk saia langsung berdiri semua. Bahkan teman saia saja sampai tidak berani melihat walaupun dipaksa melihat *maksudnya?*
Tapi entah kenapa, saia jadi kepikiran bikin cerita antara dua pemuda itu yang saling akrab dan saling mengerti. Saia tahu kepribadian mereka hampir 180 derajat berbeda dengan latar belakang kehidupan yang berbeda pula.
Baru-baru ini, adik saia *adik yg asli* nonton balik film Titanic. Entah kenapa, lihat akting perjuangan Rose dan Jack yang berusaha menyelamatkan diri dari maut, telah mengisprirasi fic saia yang ketiga ini.
Fic saia kali ini berisi tentang persahabatan antara kedua pemuda yang tak lain adalah Ciel dan Alois, adik2 saia yang manis *digampar* di atas kapal naas Titanic. Di film, kapal ini berangkat dari Inggris menuju Amerika. Tapi, di fic ini saia balik dari Amerika ke Inggris. Ya… disesuaikan aja sama tokoh dan tempat tinggalnya. Mereka (Ciel n Alois) kan tinggal di Inggris. Betul, tidak? *niruin gayanya Aa' Gym*
Disclaimer: Kuroshitsuji itu punya sodara saia, Yana Toboso. Film Titanic punya sutradara James Cameron, sodara jauh saia.
Warning: Tragedy, Friendship.
Summary: "Hidup sebagai seorang bangsawan adalah neraka bagiku. Hidup serba diatur. Ini itu semua dilarang. Harus menaati tata krama konyol yang bagitu menyesakkan. Aku menginginkan kebebasan. Kebebasan yang benar-benar bebas. Persetan dengan yang namanya aturan!"
Okay! Enjoy this story… ^^
Without Words, We Are Meet
Chap. 1: First met
.
.
Amerika, 10 April 1912, 09.00 am
Sejak bagi buta, pelabuhan terbesar di Amerika , New York City, sudah padat dengan para calon penumpang kapal. Begitu ramai, begitu padat.
Dikabarkan, pagi ini, kapal terbesar di dunia, kapal yang katanya 'tak bisa tenggelam', Titanic, akan melakukan pelayaran pertama menuju Inggris. Semua orang bisa menaikinya asal memenuhi syarat. Tahu sendiri, kapal ini memiliki aturan-aturan yang ketat dan sangat menjaga kebersihan. Banyak dari penumpang adalah para bangsawan, yang dilayani dengan sangat terhormat di bagian kelas penumpang utama. Sedangkan orang biasa, akan dilayani di bagian kelas penumpang urutan kedua dan ketiga.
Kapal ini sangat besar dan mewah. Entahlah prang-orang pada zamannya itu membayangkannya seperti apa. Kapal penumpang raksasa ini dibuat oleh perusahaan White Star Line dan di bina oleh limbungan Harland and Wolf. Kapal Titanic ini dikabarkan bisa memuat 3.547 penumpang plus dengan awak kapalnya. Tapi kali ini hanya terisi 2200 mepumpang. Mungkin, hampir semua oran berpikir bahwa Titanic adalah kapal impian.
Ciel Phantomhive, kepala keluarga bangsawan Phantomhive Inggris, baru saja tiba di pelabuhan ini dengan menaiki kereta kudanya yang dikendarai oleh butler multi talentanya, Sebastian Michaelis. Ia baru saja ditugaskan Ratu untuk mengurus beberapa masalah di Amerika, dan baru hari ini dia bisa kembali ke Inggris. Bersama Bibinya, Angelina Burnet, yang selalu otoriter, mereka akan kembali ke Inggris. Hampir sebulan mereka tinggal di Amerika. Dan itu sangat membuat Ciel jenuh.
"Kita sudah sampai, Lady Angelina, Tuan Muda Ciel." Kata Sebastian sambil membuka pintu kereta. Ia mempersilahkan Lady Angelina turun dengan menggandeng tangannya. Lady serba merah itu turun dengan anggunnya. Topinya yang lebar ia naikkan sedikit agar matanya tak terhalang. Betapa takjubnya ia saat melihat kapal yang akan ditumpanginya nanti.
"Besar sekali kapal ini. Perusahaan White Star Line memang hebat." Katanya kagum. "Benar, kan, Ciel?" ia menoleh kearah samping, melihat keponakan tersayangnya yang baru saja turun dari kereta.
Pamuda berumur 14 tahun itu, mengenakan jas berwarna serba biru tua, dengan celana pendek selututnya, dan membawa tongkat hitam tengkoraknya, memijakkan kakinya di pelabuhan terbesar Amerika ini. Gayanya sangat cool dan berwibawa. Ia melepas topi hitamnya agar bisa melihat kapal megah di depannya dengan jelas. Wajahnya terlihat kagum, tapi datar. Matanya mengamati setiap inchi kapal tersebut.
"Kapal yang hebat." Katanya sambil tersenyum tipis. Ia pun segera berjalan menuju kapal tersebut.
"Ah! Tolong angkut barang-barang kami." Perintahnya pada petugas kapal yang menyapanya. Ia pun berjalan lagi.
"Kau tahu, Ciel? Orang-orang bilang, ini adalah kapal impian. Tak sembarang orang bisa menaikinya. Ohohoho" Angelina menutupi mulutnya dengan punggung tangan. Ciel hanya tersenyum sinis.
.
.
Alois Trancy, sang kepala keluarga Trancy, yang biasa di sebut dengan 'Laba-laba Ratu', tiba di pelabuhan ini sekitar 15 menit yang lalu. Ia terlihat berjalan dengan santai menuju kapal yang 5 menit lagi akan segera berlayar untuk pertama kalinya itu. Diikuti butler setianya, Claude Faustus, dan Pamannya, Arnold Trancy.
Pemuda berambut pirang itu tak henti-hentinya melempar pandangan kagum melihat begitu ramainya tempat ini dan begitu besarnya kapal yang akan ia tumpangi untuk pulang menuju negeri tercintanya.
"Howaahh… besar sekali kapal ini!" seru pemuda berumur 15 tahun itu sambil merentangkan keduanya tanganya tinggi-tinggi.
"Kuharap, di dalam nanti, kau tidak banyak berbuat usil, Alois." Gumam Pamannya datar.
Alois jelas-jelas mendengar gumaman dari Pamannya itu. Si orangtua cerewet dengan perut yang membuncit itu! Alois tidak begitu menyukai Pamannya itu. Orang yang hanya menginginkan kekayaannya. Alois hanya mendecakkan lidahnya sambil memutar bola matanya masa bodoh saat mendengar Pamannya berbicara.
Alois berpaling menoleh dengan wajah yang cerah kearah butlernya, Claude Faustus.
"Claude, ini sangat menakjubkan, bukan? Ini pertama kalinya aku akan menaiki kapal terbesar di dunia!" serunya girang. "Aku sangat senang!"
Claude hanya melirik Tuan Mudanya itu datar, dan kembali melihat ke depan. Menyadari ketidak pekaan butlernya itu, Alois menjadi sebal sendiri. Ia memanyun-manyunkan bibirnya.
Sekarang saatnya semua penumpang naik ke atas kapal karena beberapa saat lagi, kapal ini akan lepas landas. Alois berlari dengan girangnya menuju tangga naik menuju dek kapal khusus para bangsawan.
"Ayo, cepatlah! Sebentar lagi kita akan berangkat!" seru Alois sesampainya di atas tangga. Ia melambai ke arah Pamannya dan butlernya yang masih akan menaikki beberapa anak tangga. Angin semilir membelai tubuhnya rampingnya. Melambai-lambaikan jubah ungunya dan menyilakkan rambut pirang lembutnya. Setelah melihat Pamannya dan butlernya sudah sampai di tengah-tengah tangga, ia segera berlari masuk. Nampak penjaga menyambutnya dengan ramah. Alois tersenyum cerah.
Ia kagum melihat desain ruangan umum yang ia pijak ini. Sungguh mewah. Di kanan-kiri banyak terdapat ornamen-ornamen yang terbuat dari kayu berkualitas tinggi, perabotan mewah, dan perhiasan mewah lainnya. Pintu masuk yang ia masuki tadi saja mungkin berlapis emas. Pemuda berumur 15 tahun itu membelalakan matanya dengan girang dan ber-wah-wah ria. Ia melempar pandangan kesegala arah. Banyak para bangsawan berseliweran di sini.
"Paman!" panggilnya pada Pamannya yang barusaja masuk. "Aku akan ke dek atas, ya!" katanya sambil berlari.
"Ah? Oi! Alois! Hati-hati!"
Alois tidak mempedulikan seruan Pamannya dan langsung ngibrit ke dek atas.
Arnold hanya bisa mendesah melihat tingkah keponakannya itu, dan segera menuju kamar yang sudah disediakan oleh petugas kapal untuknya dan Alois. Ah! Claude tentu saja juga.
.
.
Alois segera berlari menuju pinggiran dek. Ia bisa merasakan kapal mulai bergerak. Angin pagi berhembus kencang. Sinar matahari yang terik mulai menghangatkan tubuhnya. Banyak para penumpang berkumpul di dek teratas ini untuk mengucapkan selamat tinggal pada orang-orang yang ada di pelabuhan dengan riang. Sekalian juga memamerkan rasa senanganya karena bisa menaikki kapal terbesar did unia pada zaman itu.
Alois menjinjitkan kedua kakinya agar bisa melambaikan tangannya tinggi-tinggi pada orang-orang yang berkumpul di pelabuhan, yang menyongsong kepergian kapal nomor satu itu melakukan pelayaran pertamanya. Wajah cerianya tak bisa ia sembunyikan. Iamelambaikan tangannya dengan semangat sambil berseru riang.
Setelah kapal mulai menengah, Ia menatap ke bawah. Begitu tingginya ia saat ini. Ia tak bisa memperkirakan berapa tinggi kapal mewah ini. ia melongokkan kepalanya ke bawah. Ia bisa melihat beberapa ekor lumba-lumba melompat ke permukaan air. Ia melihatnya takjub. Takjub, sih, takjub. Tapi kalau posisinya terlalu menukik ke bawah seperti itu, dia bisa jatuh! DX
Alois segera menegakkan tubuhnya setelah ia puas melihat lumba-lumba. Matanya yang masih berbinar-binar melihat keseluruh bagian dek. Banyak para penumpang sedang bersantai melihat keindahan laut. Ia merasa sangat bebas pagi ini. ia memejamkan matanya dan merasakan angin lembut membelai wajahnya. Ia tersenyum puas.
Alois berpangku tangan diatas pagar pembatas pinggiran dek. Ia tak lepas menatap birunya laut. Kepalanya ia goyang-goyangkan seakan menikmati irama gemericik air laut yang terbelah oleh laju cepatnya kapal. Ia tersenyum seakan menikmati.
Alois tak sengaja menolehkan kepalanya ke arah kiri. Seketika itu ia agak tercekat. Tak terpaut jarak yang jauh darinya, berdirilah seorang pemuda berambut kelabu pekat agak kebiru-biruan sedang termenung menatap lesu birunya laut di bawah. Ia bisa melihat jelas rona wajah anak itu karena di antara jarak yang memisahkan mereka, tak ada apapun yang menghalanginya. Alois nampak sedikit heran. Ternyata ada juga yang penumpang kelihatannya sedih diantara penumpang-penumpang lainnya yang banyak merasa sangat senang dan bangga bisa menaiki kapal impian ini. Bahkan mungkin hanya anak itu yang keihatannya tidak menikmati sama sekali pelayaran megah ini. Wajahnya terlihat murung. Hampir tak ada seulas senyum sama sekali.
.
.
Ciel berdiri terdiam di pinggiran dek atas. Ia biarkan angin sepi membelai wajah mulusnya. Tangannya ia tumpuk di atas pagar pembatas dek. Matanya menatap kosong laut lepas di depannya. Terdengar suara anak-anak girang melihat sesuatu di bawah. Sepertinya menakjubkan bagi mereka. Tapi tidak bagi Ciel. Semua yang ada di sini… sangat membosankan baginya. Ia tahu ini adalah pelayaran mewah pertamanya. Tapi entah kenapa, ia tidak akan bisa menikmatinya. Kembali ke Inggris bisa jadi malapetaka baginya.
Ciel mendesah keras dan mendecakkan lidah dengan kesal. Hidupnya serba diatur. Bibinya selalu saja bilang dan bilang, sebagai seorang bangsawan haruslah menjaga kepribadian yang terhormat dan penuh wibawa. Seorang bangsawan tidak bisa sembarangan bersantai. Seorang bangsawan harus menaati tata krama yang sudah melekat dan mendarah daging, dan yang pasti harus selalu tersenyum tulus dan menjaga sopan santun. Hanya itu dan itu saja. Bisakah seorang bangsawan merasa bebas sedikit saja? Ha? Apakah tidak bisa?
Ciel menolehkan kepalanya kearah kanan dengan lesu. Ia nampak tercekat saat mendapati sepasang mata memperhatikannya. Ia terbelalak. Sekitar jarak tiga meter darinya, seorang pemuda berambut pirang dan berjubah ungu terlihat sedang melemparkan pandangan kearahnya. Pemuda itu nampak membuka mulutnya sedikit. Entah karena dia heran atau takjub.
Untuk beberapa detik, mata mereka bertemu. Mata biru laut Ciel dan mata biru langit Alois pun bertemu. Alois menyelami mata biru laut Ciel perlahan. Begitu juga dengan Ciel. Sadar dengan kelakuannya, Alois pun sedikit salting. Ia menyapa Ciel dan melambaikan tangannya utnuk menutupi kesaltingannya.
"Oh! Ha-hai…" sapanya ringan sambil tersenyum salting. Walaupun senyum salting, tapi tulus, lho.
Ciel masih terdiam melongo. Tapi kemudian menyadari kalau orang di hadapannya itu menyapa. Melihat Alois tersenyum dengan… ehem… mungkin lebih tepat berkesan sok kenal, Ciel pun tercekat. Wajah Ciel pun merona merah. Ia pun membuang wajah karena malu. Sial! Siapa dia? Sok kenal begitu, pikirnya.
Melihat orang di depannya membuang wajah, Alois menjadi heran. Kenapa dia? Tapi ia bisa memahaminya karena sepintas ia bisa melihat wajah anak itu memerah. Alois tak bisa menyembunyikan senyumnya.
Tak selang beberapa menit, datanglah sesosok pria berpakaian serba hitam, tinggi jangkung, dan… yah… Alois tidak bisa memungkiri pria itu memang rupawan. Dan lagi. Pria itu memiliki bola mata merah semerah darah. Alois sedikit menganga melihat bola mata pria itu. Di dalam hatinya, ia menjerit 'Kereennn!'. Haha. :D
Pria itu terlihat sedang membisikkan sesuatu pada anak berpakaian serba biru itu, dan seketika itu pria berpakaian hitam dan anak itu berlalu meninggalkan tempatnya berpijak tadi. Sebelum benar-benar menghilang di balik kerumunan orang-orang di dek ini, Ciel sempat menoleh kearah Alois yang ternyata juga sedang menatapnya hingga Ciel benar-benar lenyap dari pandangannya. Seketika itu, angin laut pun berhembus lagi.
.
.
Pukul 20.00 pm, waktu kapal
Alois lagi-lagi berdiri terdiam di pinggiran dek. Malam sudah turun, langit menjadi gelap. Ia menengadahkan kepalanya. Matanya mengamati setiap inchi langit malam yang kelam. Ia berharap, malam ini ada bintang. Bintang… bintang… ah! Ada! Entah kenapa, sejak kecil, ia selalu kebiasaan melihat bintang di malam hari. Kalau ada bintang, ia selalu meluangkan waktu utnuk memandanginya dari jendela kamar hingga merasa puas. Kalau tidak, dijamin, tidurnya tidak akan nyenyak. Astaga… Dasar anak ini. Alasannya banyak sekali.
Ia memandangi bintang-bintang yang bertaburan di langit dengan tatapan kagum. Bintang, ya. Bintang selalu terlihat menakjubkan dan menenangkan hati, ya? Walaupun sinarnya hanya terlihat kecil-kecil, tapi bintang terus saja kokoh hingga pagi menjelang. Kelip-kelip berliannya membuat mata tidak bosan. Baginya, menatap bintang seperti ini adalah hal yang mengasikkan dari pada apapun yang ia kerjakan.
Sedang asyik-asyiknya ia menikmati kerlingan-kerlingan bintang yang sedang bermain mata, tiba-tiba ia dikagetkan dengan suara derap langkah. Ah, bukan. Mungkin lebih tepat disebut dengan suara orang yang sedang berlari. Suara sepatu yang beradu dengan lantai dek yang terbuat dari kayu itu membuat Alois tercekat. Suara itu perlahan mendekat dan semakin jelas. Alois pun membalikkan tubuhnya karena penasaran. Sesaat kemudian, melintaslah sesosok yang tak asing lagi di matanya, sedang berlari tergesa-gesa menuju buritan. Seseorang yang ia lihat tadi pagi untuk pertama kalinya, anak berambut kelabu yang tadi. Ia berlari dengan perasaan yang sepertinya sedang tidak tenang. Sepintas, Alois melihat butiran kristal bening jatuh dari pipinya.
.
.
Malam ini diadakan pertemuan antar bangsawan di ruang santap kelas utama. Banyak para bangsawan berkumpul dan bercakap-cakap di ruangan itu. Saura tawa yang kedengarannya elegan itu menbahana diseluruh ruangan.
Ciel hanya bisa terdiam di meja makannya. Di sekitarnya hanya dipenuhi orang-orang yang sedang bercengkerama, yang ia tidak tahu alurnya, musik klasik yang membosankan, dan tawa ala bangsawan yang membuatnya muak. Apanya, sih, yang tidak lebih waras dari pesta ini? Di ruangan ini, ia seperti patung yang tak dipedulikan. Kesabarannya pun habis dan ia pun berlari keluar dari ruangan.
"Ciel!" seru Bibinya berusaha mencegah. Tapi terlambat. Ciel sudah keluar dari ruangan. Seketika itu, seluruh mata tertuju padanya. Ciel, sih, masa bodoh. Di dalam ruangan itu yang ada hanya orang-orang tolol yang tak mengenal kata kebebasan. Kebebasan yang benar-benar bebas.
Di sudut ruangan, seorang pria setengah baya, dengan perut yang membuncit memperhatikan gerak-gerik Ciel yang berlari keluar ruangan dengan tatapan datar.
.
.
Ciel berlari dan terus berlari menjauh dari ruangan itu. Ia berlari tak tentu arah. Perasaannya seakan tertekan. Kenapa, sih, ia harus dilahirkan sebagai seorang bangsawan, yang malang, yang terpaksa menjadi kepala keluarga menggantikan sang Ayah yang sudah mendahuluinya, yang selalu haus akan kasih sayang seorang Ibu yang juga sudah mendahuluinya, dan kini harus terima diasuh dengan Bibinya yang sangat otoriter? Hidupnya hampir seperti tidak berjalan. Auranya seakan tidak terasa. Semua pendapatnya selalu tidak disambut dengan baik oleh Bibinya. Benar-benar hidup yang membosankan. Memang, sebagai seorang Earl, orang yang selalu dihormati dikalangan bangsawan memang mungkin hampir tidak tahu apa itu kata bebas. Ciel sangat ingin sebuah kebebasan! Setiap harinya ia hanya dijadikan pesuruh oleh Ratu, yang selalu menjaganya seperti anjing penjaga, dan apalah itu semua! Andaikan kedua orangtuanya tidak mendahuluinya sepagi ini, mungkin masa mudanya akan terasa lebih menyenangkan. Anak seumur dirinya harus berpikir dengan lebih dewasa, mengurus negara, mengurus keluarga, dan masih banyak lagi. Itu membuatnya stres bukan main.
Ciel memacu larinya hingga sepatunya tambah dasyat beradu dengan lantai dek. Tak terasa, ia malah berlari kearah buritan. Tapi ia tidak sekalipun berpaling kearah lain. Ia membiarkan kakinya membawanya.
Sesampainya di buritan, ia menyentakkan tubuhnya pada pagar pembatas. Napasnya terengah-engah. Pipinya terasa panas. Ia sadar bahwa airmatanya mengalir satu per satu. Ia merasa ingin mengutuk hidupnya karena tak ada satu pun yang mau mendengar keluhannya, pendapatnya, bahkan aksi protesnya. Kenapa?
Ciel menatap ke bawah, menatap air laut yang terlihat mengkilap memanpantulkan sinar lampu kapal. Ia berusaha mengatur napas dan emosinya. Angin malam bertipu kencang, menyilak-nyilakkan helai rambut Ciel. Laut ini pasti dalam sekali. Airnya pun pasti juga sangat dingin. Ciel terdiam. Agak lama ia terdiam sambil memegangi pagar pembatas dengan erat. Tiba-tiba, terbesit pemikiran gila di kepalanya. Walaupun gila, tapi hatinya mengiyakan dengan keras. Ia memanjat besi pagar pembatas dengan hati-hati dan melompatinya hingga ia sekarang berada di luar pagar sambil mencuri-curi pandang apakah ada orang yang melihat aksinya ini atau tidak.
Ia mencondongkan tubuhnya ke bawah, mengahadap air laut. Tangannya menggenggam erat pagar di belakangnya. Matanya menatap laut yang hitam itu kosong. Air laut itu pasti terasa sangat dingin. Jika kau menceburkan diri ke dalamnya, dalam sekejap kau mungkin akan langsung beku. Pas sekali untuk melakukan aksi bunuh diri malam ini. Dengan begitu, begitu ia terjun, ia akan langsung membeku dan takkan merasakan pahit dan begitu tidak adilnya hidup yang ia jalani.
Sesaat ia akan mengambil ancang-ancang untuk segera terjun, ia mendengar suara langkah mendekatinya.
"Sedang apa kau di situ?"
Terdengar suara seseorang di belakangnya. Suara itu seperti menggema seiring tiupan angin malam yang dingin.
Mendengarnya, bulu kuduk Ciel langsung berdiri. Tubuhnya menegang sejenak. Matanya terbelalak. Ia pun menoleh perlahan kearah belakang. Tak disangka, ia mendapati seseorang berambut pirang dengan mengenakan jubah ungu sedang berdiri menatapnya tajam sambil melipat tangan di depan dadanya. Tunggu! Dia kan…
"Kau mau bunuh diri?" tanya anak itu, yang tak lain adalah Alois, dengan nada datar.
Ciel terdiam. Napasnya pututs-putus seakan ia tak sabar ingin segera terjun. Tapi, ini dia. Ada halangan yang menyendat aksinya.
"Mau apa kau?" tanya Ciel. "Jangan ikut campur!" ucap Ciel bergetar sambil membuang muka. "Kalau kau mendekat, aku akan segera lompat!"
"Kalau kau lompat, aku juga akan lompat." Potong Alois.
Mendengar itu, Ciel terbelalak. Apa katanya?
Alois mendensah dan memutar bola matanya dengan ekspresi merendahkan.
"Hah! Kau ini bodoh, ya…?" kata Alois dengan nada menngejek.
Mendengar Alois berkata demikian, Ciel terasa tercetik. Antena emosinya langsung muncul. Ia menjadi geram. Apa-apaan anak itu? Seenaknya saja ikut campur masalah orang lain. Memangnya dia tahu apa tentang diriku! Batin Ciel. Ciel menoleh kearah Alois sekali lagi. Ah! Atau lebih tepatnya hanya meliriknya saja.
"Bunuh diri? Kau ini kampungan sekali, ya? Bunuh diri dengan cara seperti ini, sih… sudah ketinggalan zaman!" kata Alois. Kali ini, Ciel benar-benar menoleh sepenuhnya kearah Alois. Wajahnya sembab akibat menangis. Ia membiarkan angin malam membelai wajah pucatnya.
"Kau tahu?" Alois berjalan mendekat. "Kalau malam-malam begini, air laut pasti dingin sekali. Benar, kan?" Alois berkata dengan wajah polosnya. Ia berpangku tangan di sisi pagar yang jaraknya dekat dengan tempat di mana Ciel berdiri. Ciel menatap Alois datar.
"Kalau kau benar-benar lompat… ah! Tidak. Aku tidak yakin kau akan lompat." Kata Alois. Ciel mengangkat sebelah alisnya.
"Kalau kau lompat… begitu kau masuk ke dalam air, kau akan merasakan penderitaan yang lebih dari apapun." Alois terdiam. Ia mencoba menunggu Ciel apakah ia bisa mencerna perkataannya.
"Air itu sedingin es, kau tahu itu, kan? Kau akan merasakan tubuhmu dicabik-cabik. Di tusuk-tusuk dengan jarum yang tajam dan dingin, di sayat-sayat dengan pisau sekeras es. Setelah aku merasakan itu semua, kau akan mati. Lenyap dari muka bumi ini." kata Alois horor.
Ciel membuka mulutnya sedikit. Ia kembali menatap air laut.
"Aku yakin. Kau ini takut mati." Kata Alois tiba-tiba.
Ciel tersentak. Ia merasa terendahkan. Tapi hatinya sependapat dengan perkataan Alois tadi dan berhasil Ciel tak mampu berkata-kata.
"Tak perlu marah. Semuanya juga pasti takut mati, kok. Aku yakin itu. Aku sendiri juga begitu." Alois menoleh kearah Ciel sambil tersenyum. Wajah Ciel langsung merona. Ia pun memalingkan pandangannya.
"Jadi bagaimana? Mau dilanjutkan?" tanya Alois. Ciel menoleh kearah Alois yang kini berjalan kearah belakang, tepat di belakangnya. Ciel menunduk. Apa yang dikatakan anak berambut pirang itu benar. Awalnya Ciel agak ragu untuk berkata. Tapi tanpa pikir panjang lagi, ia pun mengutarankannya.
"Tidak. Aku akan kembali."
Mendengar itu, Alois merasa lega. Ia pun melempar senyuman puasnya pada Ciel. Ciel segera berbalik dan mulai memanjat pagar lagi dengan hati-hati. Dari dalam pagar, Alois menjaganya. Tapi, karena sedikit kesalahan langkah, Ciel pun terpeleset. Ciel dan Alois tersentak bukan main. Mereka menjadi panik.
"Ah!"
GRAANNGG!
"Eh? He-hei!" Alois tercekat tapi segera memegangi tangan Ciel. Posisi Ciel saat ini seperti bergelantungan. Ia sangat ketakutan.
"Tolong akuuu!" serunya.
Alois menaiki pagar beberapa tingkat dan segera menarik Ciel yang masih bergelantungan di luar pagar. Jangan sampai dia jatuh!
"Bertahanlah! Jangan bergerak lebih dari itu, atau kau akan jatuh! Cobalah kau pijak besi-besi pagarnya!" kata Alois yang tak kalah panik.
Ciel berusaha menapak satu besi pagar dengan mengayun-ayunkan tubuhnya. Satu tangannya ditarik oleh Alois, dan satu tangannya memegang erat besi pagar. Ciel berusaha memanjat dengan mengalahkan berat tubuhnya. Setelah berhasil memanjat besi pagar ketiga, ia pun terpeleset lagi.
"Aaakh!" Ciel mulai bergelantungan lagi.
"Astaga!" Alois yang sedang menarik tangan Ciel, seetika itu juga tertarik oleh Ciel yang terpeleset lagi. Tapi utnungnya, Alois masih tertahan pagar pembatas.
"Aku mohon… tolong akuuu!" seru Ciel panik. Sial! Karena memakai sepatu dengan sol yang terbuat dari kayu, Ciel terus-terusan terpeleset. Pagar ini licin!
"Teruslah… panjat…" kata Alois terputus-putus. Ia berusaha menarik tubuh Ciel keatas.
"Aku tidak bisa…! Aku tidak…"
"Kau bisa, bodoh! Jangan bilang kau tidak bisa! Kalau kau bilang begitu, sama saja kau mati! Cepat panjat! Aku tidak akan mampu kalau hanya menarikmu seperti ini…" potong Alois.
Dengan sisa tenaganya, Ciel kembali memanjat besi-besi pagar pembatas dengan hati-hati walaupun panik. Dan akhirnya ia berhasil sampai dan melompati pagar tersebut. Alois menarik tubuh Ciel hingga masuk ke dalam pagar. Karena bebannya berat sebelah, Alois yang sedang menarik langsung tertimpa tubuh mungil Ciel yang ternyata juga berat. ^^"
Mereka berhasil mendarat dengan selamat di lantai dek dengan posisi Alois berada di bawah, dan Ciel menimpanya di atas. Mereka sama-sama terengah-engah. Kejadian ketidak sengajaan ini sungguh membuat jantung mereka berpacu dengan cepat! Tadi itu bahaya sekali.
Posisi mereka terus begitu selama beberapa detik, hingga pertolongan datang. Tapi… ini, sih, telat namanya!
"Ada apa ini?" seru seorang awak kapal. Ia dan anak buahnya melihat posisi Ciel dan Alois yang sekiranya… tidak memungkinkan itu.
Sadar akan posisinya yang memalukan itu, Ciel dan Alois segera bangun. Wajah Ciel merah sekali seperti tomat karena malu.
"Ada apa ini?" tanya si awak kapal itu sekali lagi. Dari belakang, beberapa orang berlari menuju buritan.
"Ciel! Kau tak apa-apa?" terdengar suara panik seorang wanita, di ikuti beberapa orang di belakangnya.
"Bibi An…?"
"Oh, Ciel… Bibi mengkhawatirkanmu… untunglah kau tak apa-apa." Bibi Angelina berlutut di depan Ciel dan menglus kedua pipi keponakannya itu. Ia kelihatan sangat khawatir.
"Ah! Apakan Tuan… yang menyelamatkan Tuan Muda Ciel?" tanya seorang pria jangkung berpakaian hitam.
Alois segera menoleh cepat. Mata biru mudanya bertemu dengan mata merah rubi milik pria hitam itu yang tak lain adalah Sebastian, sang butler keluarga Phantomhive.
"Ah… begitulah." Kata Alois sedikit malu-malu.
"Benarkah?" Bibi Angelina sontak kaget. "Aku sungguh berterimakasih sudah menyelamatkan keponakanku…"
"Sama-sama." Alois tersenyum.
"Tapi kira-kira… apa yang terjadi sehingga menimbulkan keributan seperti ini, Tuan Muda?" tanya Sebastian.
"Ah… tadi itu…" Alois mencoba menjelaskan. Tapi seketika itu, Ciel mencubit lengannya.
"Aw! Sakit…" desisinya.
"Tak ada apa-apa. Aku hanya ingin melihat bintang di malam hari. Karena keasyikan, aku jadi iseng memanjat besi pagar penbatas. Dan tidak tahunya, aku terpeleset dan jatuh. Untung ada dia." Ciel melirik kearah Alois, dan berhasil membuat Alois tercekat. Semua mata tertuju padanya. Ia jadi salting.
"Haahh… kau ini. tolonglah kau berhati-hati. Bibi, kan jadi khawatir."
"Tak perlu khawatir pun…" Ciel menggantung. Ia memalingkan pandangannya kesamping.
'Kau juga takkan peduli padaku. Iya, kan…? Bibi An?'
"Ah… baiklah kalau begitu. Hari sudah malam. Sebaiknya kita masuk dan istirahat. Kejadian ini jangan sampai terulang lagi." Kata salah satu awak kapal. Mendengar itu, semua orang setuju.
"Benar. Tuan, saya sangat berterimakasih atas jasa Tuan." Sebastian menyilangkan tangan didada dan membungkuk pad Alois.
"Ah! Tidak…" Alois menggoyang-goyangkan kedua tangannya.
"Kalau begitu, kami permisi. Kau juga segeralah masuk. Angin malam tidak baik bagi kesehatanmu." Kata Bibi Angelina tersenyum lalu berjalan meninggalkannya di ikuti para awak kapal, Sebastian dan tentu saja Ciel.
Alois menatap kepergian mereka semua. Ia melihat Ciel menoleh kearahnya sambil menyinggungkan seulas senyum tulusnya. Alois tercekat melihatnya. Tapi ia pun segera membalasnya sambil melambai.
Sepeninggal Ciel dan yang lainnya, Alois kembali menengadah kelangit. Bintang mulai hilang satu per satu. Padahal, ini adalah puncaknya malam. Seharusnya para bintang bukannya perlahan menghilang, tapi perlahan muncul lebih banyak. Tapi tak apa. Ia sudah lumayan lama menikmati mereka semua. Alois pun tersenyum sambil mendesah.
"Tuan muda." Panggil seseorang. Alois menoleh.
"Oh! Claude!" serunya senang saat mendapati sosok hitam butlernya.
"Anda belum tidur?" tanya Claude datar.
Melihat ekpresi Claude yang datar, Alois jadi sedikit kesal. Ia memanyun-manyunkan bibirnya. "Yaah… aku akan segera tidur." Ucap Alois sambil berlalu.
"Saya akan membuatkan anda coklat hangan sebelum tidur." Calude sedikit membungkuk pada Tuannya yang kini sudah menjauh.
Alois tidak menghiraukan butlernya itu. Ia berjalan dengan santai sambil tersenyum puas. Ia menengadahkan kepalanya menatap langit seiring langkah yang ia ambil. Anak itu…
"Ah! Aku lupa menanyakan namanya!" katanya sambil menepuk jidatnya.
'Kali pertama bertemu. Kami tak saling tahu menahu. Tidak tahu akan kejadian-kejadian apa yang akan kami alami setelahnya. Kami hanya akan menjalaninya seiring waktu berjalan maju.'
.
.
Okey! Chapter 1 selesai.
Ah! Saia lupa menerangkan bahwa di sini, para butler, Sebastian dan Claude saia jadikan seperti manusia biasa dan bukan iblis. Yaah… itu aja, sih.
Saia tunggu reviewnya.
Yunoki touya ^^
