Unquenchable Flames | 消せない炎

My Hero Academia © Horikoshi Kouhei

Story © Panda Dayo

AU. Mungkin OOC. Female!Izuku

Pair menyusul tapi mungkin bakal ada hint tododeku duluan lol

Bakal slow update karena butuh referensi banyak.

Don't like don't read! I've warned you~~~~


"Bersulang!"

Hari ini adalah perayaan kemenangan Kerajaan Talavara. Banyak orang bersuka cita sembari bertukar cawan di atas meja. Bar dipenuhi oleh prajurit yang berceloteh betapa hebat diri mereka saat menumpas lawan. Rakyat pun turut bersuka cita atas kemenangan telak kerajaan mereka kali ini.

Penari paling cantik dan seksi disewa demi memeriahkan suasana pesta. Melenggokkan tubuh dengan anggun dan menggoda. Uang koin dilempar sebagai bayaran. Makanan diboyong ramai-ramai kesana kemari, tidak ada perayaan tanpa makanan.

Kerajaan Talavara terletak di barat, berbatasan dengan gurun di selatan dan lautan di utara. Sisi timur negeri mereka adalah hutan lebat di bawah jurang yang konon katanya bekas sebuah negeri. Tetapi hutan tersebut tidak boleh dikunjungi, menjadi cerita pengantar tidur orang tua Talavara kepada anaknya saat malam.

Musik masih dimainkan, seluruh negeri tertawa bahagia. Perang kali ini memang cukup panjang dibanding sebelumnya, melawan Cleddyf yang juga pintar siasat cukup menguras waktu. Tapi tentu saja, Talavara lebih unggul di atas mereka. Korban tewas dalam perang ini di bawah angka seribu, itu adalah hasil terbaik.

"Tidak menikmati pesta, Shouto?"

Nyatanya, ada juga orang yang jengah dengan tetek bengek perayaan tak bermakna dan menghambur-hamburkan anggaran seperti ini. Dia menyendiri di sudut ruang sambil melihat pedang miliknya, apakah masih cukup tajam atau tidak.

"Aku ingin di sini saja. Kau bisa menikmati tanpaku."

"Hei, jangan bilang begitu. Kita juga takkan bisa menang tanpa bantuanmu sebagai salah satu jendral terpercaya."

"Kau berlebihan."

"Tidak, ayo."

"Aku menolak, Denki."

"Todoroki Shouto yang terhormat, setidaknya kali ini nikmati jerih payahmu."

Shouto diseret, lengannya ditarik lelaki berambut pirang jabrik. Namanya Kaminari Denki, dulu teman satu pelatihan sebelum resmi menyandang gelar Ksatria. Dia punya tekad besar untuk menjadi seorang prajurit. Dan hal itulah yang telah mengantarkannya menjadi salah satu Ksatria terbaik negeri ini. Dia juga Jenderal sama seperti Shouto.

Kerajaan Talavara dikenal akan seni pedang mereka. Banyak laki-laki maupun perempuan banyak yang mendaftar sebagai prajurit demi bisa mengabdi kepada negara. Denki pun melakukannya karena mengagumi ksatria pendahulu mereka.

Sedangkan Shouto tidak.

Dia tidak akan menjadi Ksatria kalau saja bukan karena surat wasiat almarhumah ibunya. Ibunya adalah seorang pelukis istana, ketika dia meninggal, sebuah surat untuk Shouto ditemukan di meja nakasnya. Memintanya untuk mengabdikan hidupnya sebagai seorang Ksatria.

Kandas sudah impian kecilnya. Cita-citanya dulu adalah menjadi saudagar, lalu berkeliling dunia. Bukan terjebak dengan perang setiap tahunnya. Bagaimanapun, dia tidak mungkin pergi dari sini, Shouto juga mencintai Talavara sebagai tanah airnya. Meskipun dia tidak berminat, tetapi dia peduli terhadap nasib kerajaan ini.

Talavara selalu diserang karena melimpahnya sumber daya di negeri ini. Salah satunya adalah Ross, sebuah negeri yang terletak selepas gurun di arah selatan Talavara. Ross juga memiliki banyak pasukan yang handal. Mereka sangat ahli dalam urusan memanah, mungkin memang itulah kekuatan mereka. Perang kemarin pun, Talavara berhasil menang melawan mereka. Tapi Shouto tidak begitu yakin untuk lain waktu. Mereka selalu bertambah kuat.

"Shouto, jangan melamun dong! Nih, makan!"

Denki menyodorkan piring dengan kalkun utuh yang sudah diberi kecap. Aroma daging panggang terhirup, namun Shouto hanya mampu menggeleng. Dia benar-benar tidak merasa lapar.

"Aku pamit dulu. Ada yang harus aku lakukan."

"Shouto, penarinya cantik-cantik, tega kamu!"

Shouto melepaskan diri dari Denki. Dia hanya tidak mau terusik saat ini, dia ingin sendiri.

Shouto pergi seorang diri tanpa siapapun menemani, dia melewati kerumunan orang di jalan. Beberapa yang melihatnya memberi hormat lalu lekas melanjutkan perjalanan. Menjadi salah satu Ksatria dengan pangkat tinggi cukup merepotkan. Tidak jarang wanita yang juga berlalu lalang rela menatapnya sejenak penuh minat. Shouto tidak bermaksud sombong, faktanya dia selalu kerepotan karena ini.

Ada tiga Ksatria Terkuat di Negeri ini, terkenal dengan sebutan Tiga Jenderal. Dirinya, Denki, dan seorang perempuan bernama Jirou Kyouka. Saat ini mereka adalah Ksatria yang berhak memberikan komando di medan perang, serta dapat memberikan arahan langsung pada seleksi calon prajurit baru yang diadakan setiap tahun.

Sepanjang jalan yang dilalui, hanya ada pesta di mana-mana. Mereka semua tertawa, tidak seperti Shouto yang merasa hampa. Perang tidak selalu membawa kabar menyenangkan meski menyandang status pemenang, terutama bagi yang sanak saudaranya menjadi korban jiwa. Tidak luput pula dari ingatan Shouto, dimana ayahnya, Todoroki Enji turut menjadi pahlawan. Beliau dipanah oleh seseorang dari pihak Ross ketika lengah, tepat mengenai kepalanya.

Shouto yang semula berjalan kini mengalihkan kaki dalam lari. Tak peduli dia akan menabrak orang. Beberapa mengaduh, tapi langsung memaklumi begitu tahu siapa yang baru saja lewat.

"Sepertinya Tuan Shouto sedang ingin ke suatu tempat. Mungkin urusan yang penting?"

"Mungkin saja!"

Terserah. Kemanapun itu.

Shouto berhenti di sebuah tempat. Ia menyadari bahwa ia sudah berlari jauh dari ibu kota dan berada di tempat yang sunyi. Dia berlari ke timur, Shouto dapat menyimpulkan demikian karena ia kini berdiri di dekat tepi jurang.

Di seberang sana ada hutan lebat yang dibatasi sungai, Shouto dengar itu adalah hutan terkutuk. Tidak ada seorangpun dari Talavara yang mau ke sana. Sejauh mata memandang, Shouto bahkan tidak bisa melihat ujung hutan, terlalu luas.

Shouto mendesis, memilih duduk tenang di sini sambil melihat langit malam. Tidak gaduh seperti jalanan ibu kota. Shouto merebahkan diri, merasa lelah karena tadi sempat berlari. Bintang-bintang di atas sana terlihat menyilaukan, namun pandangannya tak bisa berpaling. Kapan terakhir kali Shouto merasa damai seperti saat ini?

Mungkin saat ia kecil dulu, didongengi oleh sang ibu mengenai para penyihir hebat dari sebuah negeri bernama Malcolm. Shouto sangat menyukai dongeng tersebut, karena penyihir adalah sebuah mitos di masa ini—di dunia yang penuh dengan peperangan. Kisah pengantar tidur yang kadang muncul dalam ingatannya. Mungkin kalau ibunya masih hidup, Shouto akan meminta dibacakan lagi, dan lagi. Kemudian sang ibu membelai rambutnya dengan lembut hingga ia terbuai dan tertidur lelap.

Hingga suara ranting patah membuat Shouto menoleh, membuka mata dan memastikan telinga untuk mengetahui darimana asalnya. Lelaki itu bergegas berdiri, bersiaga dan siap menarik pedang yang tersemat di pinggangnya kapan saja.

"Tunjukkan dirimu!"

Shouto sebenarnya tidak habis pikir, siapa yang berada di sini selain dirinya. Teritori ini dekat dengan kawasan terlarang, apakah warga sipil yang tersesat?

Tidak ada yang muncul, Shouto memutuskan untuk memeriksa pepohonan di belakangnya. Jangan-jangan dia seorang mata-mata?

"Akh!"

Dug!

Suara jatuh terdengar, Shouto merasa ia semakin dekat dengan sumber suara. Tak perlu waktu lama, netranya menangkap sesosok asing dalam gelap. Berbekal cahaya seadanya dari rembulan, Shouto harus mendekat untuk memastikan.

"Aduh ... sakit."

Seorang ... wanita. Apa yang dia lakukan selarut ini, di tempat seperti ini?

"Nona, apakah kau tersesat? Akan kuantar pulang." mana mungkin Shouto membiarkan seorang perempuan sendirian di sini? Tempat ini dekat dengan area terlarang, lebih baik dia segera membawa wanita ini ke wilayah penduduk Talavara.

Perempuan itu terlihat kaget, dia lekas menjauh meski kakinya masih terasa sakit karena jatuh. Dia tak sengaja melihat simbol kerajaan pada sarung pedang milik Shouto.

"Kau—pergi!"

"Hei, kau mau kemana? Kakimu terluka!" Shouto setengah berteriak. Perempuan itu gigih, bangkit dan melanjutkan larinya yang terhenti meski terseok.

Shouto tidak mengerti apa yang terjadi, tetapi dia tak bisa membiarkannya. Apalagi saat wanita itu justru hendak melompat menuju jurang. Shouto berusaha menyelamatkannya secepat yang ia bisa. Ia berhasil menahan tangan, meski pihak yang hendak ditolong justru meronta minta dilepaskan.

"Kau akan jatuh! Jangan banyak bergerak!"

"Lepaskan tanganku!"

Karena gravitasi dan ulah si perempuan itu, justru Shouto yang tertarik. Tubuhnya sudah tak lagi berada di atas tebing, dan kini sedang terjun bebas ke bawah bersama orang yang tidak jelas identitasnya.

Walau demikian, Shouto berusaha memeluknya dan memosisikan dirinya di bawah. Dengan begini wanita itu tidak akan terlalu merasakan sakit ketika mereka jatuh menimpa aliran sungai di bawah. Entah bagaimana nasib mereka setelah ini.

"Plu!"

Perempuan itu meneriakkan sesuatu. Shouto merasakan ada sesuatu yang aneh, tubuhnya terasa ringan. Tunggu, bukankah harusnya mereka sekarang jatuh ke sungai?

"Tirio!"

Shouto mengerjap. Tubuhnya bergeser tanpa ia ingin, menuju tepi sungai. Shouto masih belum dapat mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya, ia bahkan tak sadar saat wanita itu melepaskan diri darinya.

"Um, maaf Tuan. Bisakah kau rahasiakan pertemuan kita ini? Aku akan menerbangkanmu kembali ke atas."

Shouto bangkit, menatap aneh kepada perempuan berambut hijau ikal. Panjang, namun diikat menyamping ke sisi kiri dengan menggunakan pita putih. Pakaiannya cuma terusan sederhana berwarna senada. Tingginya—sepertinya tidak lebih tinggi dari Shouto.

"Siapa kau sebenarnya?!"

"Tynnwch y cof!"

Hening. Si hijau terlihat kesal, lalu mengulangi lagi.

"Tynnwch y cof!"

Shouto mencoba menghubungkan segala sesuatu yang terjadi kurang dari dua menit. Perempuan asing, jatuh dari tebing, dan terdampar di—astaga!

Shouto menoleh ke kanan. Ada pepohonan lebat di hadapannya. Dia baru saja menginjakkan kaki di area terlarang. Gawat, dia harus kembali sebelum ada warga Talavara yang melihatnya dari atas sana!

"Aku tidak tahu siapa kau, tapi kuharap kau bersedia untuk diinterogasi." ujar Shouto. Dia akan menyerahkan wanita ini ke bagian catatan sipil. Mungkin saja dia adalah warga Talavara yang tersesat, atau sedang mencari sesuatu di dekat sini.

"Aku tidak bisa membiarkanmu. Mungkin saja kau membocorkan identitasku. Llosgi allan!"

Sebenarnya, Shouto tidak paham bahasa apa yang sedari tadi coba diucapkannya. Ia mengernyit, alisnya tertekuk. Mungkin tidak salah jika dia menilai bahwa wanita ini mengalami gangguan jiwa?

"Sialan, bodoh sekali aku harus di sini. Aku harus pergi, aku tak peduli padamu!" dengusnya. "Broom yn hedfan!"

Sebuah sapu datang secara misterius dengan melayang. Shouto baru ingat, tubuhnya juga tadi merasakan hal seperti itu. Tapi ... tidak. Itu hanya cerita fiktif karangan orang tua agar anaknya menjauh dari tempat berbahaya. Tidak mungkin itu benar.

"Kau ... seorang penyihir?"

Shouto menahan lengannya, mencegah agar tidak pergi. Rasa-rasanya ia masih di alam mimpi, tapi ini semua terlalu nyata. Tangan ini nyata, embusan angin malam pun demikian. Shouto ingin kebenaran.

"Lepaskan!"

"Tidak sebelum kau menjawab pertanyaanku."

"Lepas!"

"Tidak."

"Kau—"

Perdebatan mereka masih belum selesai saat tiba-tiba saja terdengar suara mengerikan dari arah dalam hutan. Terdengar dari gemanya, sepertinya ia sedang mendekat kemari.

"Lepas!" tanpa diduga, perempuan itu menggigit tangan Shouto yang menahannya. Lelaki itu jelas mengaduh sakit dan refleks melepas genggaman. Perempuan itu tersenyum remeh, lalu menaiki sapu terbang dan meninggalkannya seorang diri.

Oh ... gawat.

Shouto tidak punya pilihan selain harus bertarung terlebih dahulu dengan seekor babi hutan besar yang mendadak muncul. Dia akan mencari wanita itu lagi nanti.


"Huh, siapa sih laki-laki tadi? Gawat kalau aku sampai tertangkap oleh Talavara."

Sapu terbang menukik turun, sepasang kaki mendarat sempurna pada dataran yang cukup jauh dari tempat lelaki itu. Menghela napas, ia merapikan rambutnya yang acak-acakan. Lalu mengambil air dari sungai untuk diminum.

Hari ini sangat melelahkan. Ia tidak tahu ada orang lain yang akan ke sini, lain kali dia harus berhati-hati. Bisa gawat kalau identitasnya terbongkar karena letak rumahnya tidak jauh dari perbatasan Talavara.

Eh. Tunggu. Pemuda itu sekarang berada di sini. Bulir keringat dingin menetes. Bagaimana jika Talavara mencari pemuda itu dan justru menemukannya di sini? Ia harus mengembalikan pemuda itu secepatnya!

Tapi, apakah dia tidak akan membocorkan hal ini? Ia bahkan tahu bahwa dirinya seorang penyihir. Apa yang harus dia lakukan? Dia juga tidak bisa memakai mantra manipulasi ingatan. Semua sama beresikonya.

Bagaimana dengan memberi sebuah ancaman? Tapi, apa?

Ia pun akhirnya memutuskan kembali ke tempat lelaki itu berada. Dia tetap harus membungkamnya entah bagaimana. Sapu terbang ia naiki kembali dan bergegas. Hanya butuh satu menit perjalanan, dan dia justru terhenti saat melihat lelaki itu berhasil menaklukkan babi hutan yang besar seorang diri. Hewan itu ditusuk oleh sebilah pedang, yang sangat ia yakini adalah milik orang asing itu.

"Kau kembali lagi?" tanyanya. Ia mencabut pedang lalu membersihkannya di sungai.

"Kau dari Talavara, 'kan? Apa kau seorang mata-mata?" perempuan berambut hijau menyorotinya dalam satu garis lurus. Shouto mendengus,

"Aku seorang Ksatria, kebetulan saja aku ke sini dan bertemu denganmu."

"K-kau bukan Spellcaster, 'kan?"

"Kau bisa lihat sendiri. Apa aku tampak seperti seorang Spellcaster?"

Di dunia ini ada banyak macam makhluk hidup. Tiga terbesar di antaranya adalah manusia biasa, Spellcaster, dan Siluman.

Manusia biasa mendiami teritori yang masih bisa dihuni dan digunakan bercocok tanam. Spellcaster adalah sebutan untuk manusia yang menguasai ilmu hitam, mereka biasanya menjadi dukun; kemampuan mereka untuk menciptakan sesuatu sangat tidak masuk akal.

Dan yang terakhir adalah siluman, mereka ada di benua siluman, tempat tinggal mereka sendiri. Tempat itu penuh dengan bencana, dan tidak pernah ada manusia yang kembali hidup-hidup dari sana.

Manusia dan Spellcaster terkadang bisa selaras, namun tidak dengan siluman. Mereka adalah makhluk tak berwujud manusia yang kuat dan memilih untuk membentuk wilayah mereka sendiri. Tidak ada catatan mengenai benua siluman; itu hanya sebuah misteri.

"Kau tidak bohong, 'kan?"

"Untuk apa aku berbohong?"

Perempuan itu terlihat gelisah, sebelum akhirnya dia menatap Shouto malu-malu. "M-maaf. Aku mencurigaimu sebagai Spellcaster. Um, aku Midoriya Izuku."

Shouto menyarungkan kembali pedangnya yang telah bersih dari darah. "Todoroki Shouto."

Izuku tidak tahu harus bicara apalagi. Dia tahu betul yang di hadapannya saat ini hanyalah manusia biasa, tapi auranya sangat besar. Sampai mampu membuatnya berkeringat dingin seperti ini. Izuku merasa bila ia melakukan kesalahan sedikit saja, manusia di depannya tidak akan segan menebas kepalanya.

"Aku akan menerbangkanmu kembali."

"Apa kau bukan penduduk Talavara?"

"Tentu saja bukan. Tapi, bisakah kau rahasiakan keberadaanku?"

"Kau belum menjawab pertanyaanku yang tadi. Apakah kau adalah seorang penyihir?"

"Itu tidak penting. Plu!"

Shouto merasakan tubuhnya terangkat perlahan. Kakinya sudah tidak lagi menapak tanah. Perempuan itu tersenyum sambil melambaikan tangan.

"Selamat tinggal, Todoroki!"

"Tung—"

Shouto sampai di atas tebing tanpa luka. Lelaki itu kemudian menengok lagi ke bawah sana, namun wanita itu sudah menghilang tanpa jejak.

"Todoroki! Apa yang kau lakukan di sini?! Yang Mulia Katsuki mencarimu, tahu. Aku juga capek disuruh menemukanmu, hah."

Shouto menoleh ke arah belakang, Denki ternyata. Dia datang bersama kuda miliknya dan berbekal obor sebagai penerangan. Mungkin tadi ia bertanya kepada penduduk setempat dan mengikuti arahan yang mereka katakan hingga dapat menemukan dirinya di sini.

"Ada apa Yang Mulia mencariku?" tanya Shouto.

"Menemaninya ke Khamr. Sesuatu tentang lamarannya pada Lady Ochako. Naik bersamaku." ajak Denki. Shouto tidak punya pilihan selain kembali bersama pria berambut pirang menuju istana.

Midoriya Izuku, ya.

Akan Shouto ingat nama itu hingga takdir mempertemukan mereka kembali.

( Entah kapan dan di mana. )


Bagian Satu : Kemunculan Misterius


A/N : i'm trying. Susah banget nulis genre ini. Untuk mantera aneh2 saya ambil dari bahasa Welsch nantoka. Pokoknya itu wwwww. Gaada ide #plak.

Judul fanfiksi diambil dari lagu mba-mba SKE48-Kesenai Honoo/Unquenchable Flames (masuk single 12-gatsu no Kangaroo, performed by Team S). Lagunya bagus banget dan gabosen didengerin berulang kali. Lirik di bagian akhirnya yang paling saya suka "soredemo ii, soredemo ii, soredemo mata moyase!" (even so, even so, even so burn again!)

thanks for read

siluman_panda