{Karena mereka tidak pernah tahu apa selanjutnya selain merayakan waktu.}

(How Far) We Go

Hetalia - Axis Power belongs to Hidekaz Himaruya. I do not take any advantages on this. Just for fun. Netherlands x Oc!Indonesia, AU!Collegelife, human name.

.

.

Ada keriuhan di belakang sana. Bunyi klik-klik mengudara, menyesaki. Satu kali lagi, atau dua, tiga. Beberapa orang teman melongok melihat hasil jepretan tapi mana Willem mau tahu. Di antara semua riuh rendah ini, direksinya jatuh pada seseorang. Saat sepasang mata itu balik menatap, Willem tahu mereka sama, terutama kaki-kaki mungil yang memisahkan diri dari kumpulannya, mendekat, untuk kemudian berhenti beberapa langkah di depan Willem.

"Terlalu berisik."

Ada tawa yang lolos. Willem yang kalaupun harus menutup mata sangat mengenalnya. Tawa halus yang jujur. Tawa Nesia.

"Memangnya apa yang tidak terlalu berisik untukmu, heh?" Sebelah alis yang menaik dan tangan berkacak pinggang itu terkesan menantang. Tapi oh, coba lihat, tidak akan lama, Willem bertaruh.

"Kau tampak menikmati semua ini."

"Aku memang. Coba nikmati saja."

Lalu Nesia memutari Willem dengan sambil menutup mata, menengadahkan kepala seakan mengatakan "Hei, Dunia, aku siap, apa selanjutnya?" Dan saat itu yang Willem tahu dunianya berhenti di seputar langkah kaki Nesia—ataukah, harus Willem sebut tarian?—tangan yang membentang, dan mata yang memejam itu. Nyatanya, sepasang kaki Willem tertarik mengikuti pergerakan Nesia. Nikmati. Bagaimana, Will, bisa kau rasakan? Willem terlalu sibuk mengamati. Perkataan Nesia hanya disahuti dengan gumaman singkat.

"Bagian mananya? Kau atau dunia ini?" Nesia berhenti dan ada sedikit nada kekecewaan dalam hati Willem.

"Aku adalah bagian dunia." Salah. Kau duniaku. Selamanya begitu. Tapi Willem tertohok di fakta bahwa dunianya harus menjauh.

"Ke mana setelah ini? Pulang ke Sulawesi, atau tetap di Belanda, atau apa?" Ada nada dan sorot mata menuntut di sana.

"Tidak tahu."

Dahi Willem mengerut.

"Mungkin kau akan menemukanku di antara sisa-sisa peradaban suku Maya, Maccu Pichu, kau tahu? Bisa jadi meneliti makam Firaun sampai gila, kemudian kau menemukanku mati dekil bersama tulang-belulang temuanku. Siapa yang tahu? Tidak ada yang tahu."

Bagian yang terakhir itu Willem tidak suka.

"Tapi di situ pulalah bagian yang menariknya." Willem mengiyakan Nesia dan pola pikirnya sendiri. "Setelah ini, mau ke mana kau, Tuan-Pencinta-Laut? Jadi ilmuwan gila di lepas pantai, mengukur arus-gelombang, atau berkencan dengan kadar angin laut? Tidak tahu, 'kan? Tapi inilah bentuk perayaan waktu. Mari rayakan waktu bersama, Will!"

Nesia benar tentang segalanya. Dan sudah, sudah Willem lakukan: saat tidak ada lagi jarak antara bibir keduanya, saat tak ada seorang pun yang melihat, atau ada, terserahlah. Ketidakpastian adalah kepastian. Dan satu-satunya yang pasti adalah Willem hanya ingin egois kali ini, dengan Nesia, dengan dunianya, mencium Nesia. Inilah bentuk perayaaan waktu itu.

"Selamat hari kelulusan, Nesia."
End.

A/N: Sudah lama memang ide tentang Nesia dengan arkeologinya dan Willem dengan oceanologinya ini dan akhirnya terealisasikan. So here my first fic, yeay! I'll be so glad if you review.