(Please go visit and read my profile, if you haven't. I made an important announcement. Hehe.)
Ahem. Halo halo semuanya, para pembaca yang baik dan budiman! Aku kembali dengan semangat dan jiwa yang baru. Hehehe.
Kali ini, sesuai dengan apa yang kujelaskan di profil, aku membuat edisi revisi dari fict-fict aku yang sebelumnya. Dan karena hal ini lah, maka tidak menutup kemungkinan, atau sudah bisa kupastikan bahwa aku akan menghapus beberapa fict-ku yang lalu, tidak terkecuali fict multichapter yang bahkan butuh waktu lama menyelesaikannya. Jadi, pada kesempatan ini aku berharap pengertian dari kalian yang telah membaca, atau bahkan mereview, bahwa dalam satu bulan ini, aku akan BENAR-BENAR MENGHAPUS fict tersebut. Sebagai gantinya, karena ini adalah fict revisi, aku akan berusaha menyajikan yang terbaik. Dan yang paling penting, berbeda dari sebelumnya.
Baiklah. Kita mulai dari chapter pertama. Silakan membaca dengan cantik.
Captain Tsubasa Fanfiction
Disclaimer: Captain Tsubasa belongs to Yoichi Takahashi-sensei. I don't own the original story, nor the characters. I only own this amateur fanmade fiction, including the plot and other OC(s)/OOC-ness.
Fourteen-Teller presents...
-The Story of A Broken Heart-
Chapter 1: Prologue: Beginning of June
Language: Sorry. For the time being only available in Indonesian.
Waktu itu tengah malam. Sebuah mobil melaju kencang di jalan raya, menembus deras hujan yang melumpuhkan gemerlapnya kota metropolitan Tokyo. Seorang pria muda tidak bisa membawa mobilnya di bawah 80 km/jam. Klakson berulang kali ia bunyikan, berharap mobil-mobil di depannya memberinya jalan. Biasanya ia sangat sabar. Namun, tidak ketika harus menyaksikan istrinya merintih-rintih di sampingnya, memegangi perut besarnya, yang memang di situlah rasa sakit itu berasal. Usia kandungannya hampir 38 minggu. Dan si calon bayi sudah tidak sabar untuk menyapa dunia.
Di dalam ruangan perawatan anak sebuah rumah sakit, seorang bayi perempuan, kira-kira berusia 3 bulan, menangis keras di gendongan ibunya. Demamnya belum turun. Namun, biasanya ia tidak rewel. Mungkin suara hujan dan gemuruh membuatnya terganggu. Mungkin juga takut petir. Bisa saja karena ayahnya belum kembali setelah menerima telepon yang katanya darurat. Atau mungkin karena alasan lain yang hanya mereka para bayi ketahui. Tapi, untuk urusan ini, Tuhan juga tahu. Dan Dia mengambil peran.
Wanita muda tadi hampir putus asa. Ia ingat beberapa puluh menit yang lalu, ia di dorong di atas stretcher oleh orang-orang berseragam putih. Itu adalah kehamilan pertamanya. Semua yang pernah ia bayangkan tentang kelahiran normal kini benar-benar ia rasakan. Paras ayunya bermandikan peluh. Ia susah bernapas dan merasakan sakit bukan main. Namun, ia berhasil. Telah lahir ke dunia, bayi laki-laki kecil yang cantik. Dan seperti sedang menyambut kedatangannya, alam semesta menjadi hening.
Sangat hening.
Hujan masih turun begitu deras, namun seperti tak terdengar. Semuanya diam. Begitu juga bayi perempuan tadi. Di ruangan terpisah, ia berhenti menangis.
Waktu itu, dini hari di bulan Juni.
Kini, 11 tahun kemudian.
"Aku berangkat!"
Seorang anak perempuan keluar rumah, mengambil sepeda yang ia siapkan sebelumnya di halaman, kemudian ia tuntun cepat-cepat menuju pintu gerbang. Kepalanya menoleh ke belakang.
"Satoshi, cepat, atau aku tinggal!"
Pagi itu matahari malas bersinar. Sudah beberapa hari ini hujan turun tanpa sekalipun absen. Beruntung, sepertinya kali ini masih ada waktu bagi mereka, anak-anak sekolah, untuk berangkat tanpa harus membasahi bajunya.
"Cepat! Keburu hujan nih!"
Gadis itu sudah menaiki sepedanya, hampir mengayuh pedal, kalau saja sang adik tidak buru-buru muncul dan meletakkan sebuah payung di keranjang depan.
"Dari ibu. Jangan lupa bawa payung lagi dong! Untung ada aku."
Anak laki-laki itu berkacak pinggang sembari menggembungkan pipinya. Tidak sadar, jika sang kakak setiap pagi uring-uringan hanya untuk menunggunya.
"Baiklah baiklah. Terima kasih. Cepat naik!"
Gadis itu menghela napas. Ia tahu, sebagai anak tertua, ia harus selalu mengalah, terutama karena sang adik baru duduk di kelas 2 SD.
"Oke! Berangkat!"
Dan sepeda itu melaju cukup kencang di jalanan yang habis diguyur hujan semalaman.
"Kyaaa! Kakak, pelan-pelang dong! Jalannya licin!"
"Tidak apa-apa. Sudah gerimis nih!"
"Ta-tapi…. Uwaaaa!"
Sang adik mengencangkan pegangannya, menutup mata rapat-rapat, dan terus berteriak. Sang kakak tersenyum, mungkin sangat percaya diri dengan kemampuannya mengayuh sepeda. Beruntung, jalan yang ia lalui cukup sepi, jadi ia tak perlu khawatir jika laju sepedanya akan membuat cipratan air ke orang-orang yang lewat. Gadis ini tidak pernah bercita-cita menjadi pembalap. Namun, ketika ia berhasil menyalip mobil di depannya, ia boleh membusungkan dadanya.
Angin menerbangkan rambut merahnya yang panjang. Namun, ia tak peduli. Ia terus mengayuh sepedanya. Rambut itu berkilau indah. Seperti matahari.
"Ck ck. Anak-anak jaman sekarang tampaknya sangat bangga dengan kecepatannya. Itu tadi bahaya, kan?"
Pria paruh baya berkata sembari menyetir. Dia berpenampilan rapi, hampir seperti pekerja kantoran. Di jalan kecil yang sempit itu, ia memang sengaja mengemudikan mobil dengan pelan. Pengalamannya menyetir selama lebih dari 30 tahun, membuat ia mengerti dengan baik pentingnya keamanan berkendara. Terlebih lagi, ketika ia harus selalu memastikan bahwa orang yang sekarang ia bawa, yang duduk di kursi belakang, sampai tujuan dengan selamat. Baginya, jika sampai ia menyebabkan orang itu terluka, meskipun hanya goresan tak bermakna, ia akan mendapat masalah.
"Refleksmu tetap bagus seperti biasa, Hideki-san."
Seorang anak laki-laki baru saja meletakkan PSP versi terbaru di sampingnya. Tadi, seperti biasa, saat dia bermain maka ia tak akan terusik oleh sekelilingnya, meskipun ia mengulang-ulang permainan yang sama dan selalu menang. Namun, ketika seseorang yang lebih tua berbicara padanya, etikanya menuntun dia untuk tidak diam saja.
"Anda baik-baik saja, tuan muda? Tidak terbentur sesuatu?"
Pria itu menoleh sedikit ke belakang. Ia sadar betul, karena terkejut, baru saja ia telah menyebabkan laju mobilnya tidak stabil. Kini, seperti yang ia duga, dibanding kemarahan, ia justru melihat wajah tersenyum tuannya.
"Tidak apa-apa. Aku masih utuh. Hehe."
Anak itu menyeringai. Dan ini membuat si pria paruh baya lega bukan main.
"Syukurlah."
"Selamat pagi, Haruka-chan, Nana-chan!"
"Ah! Selamat pagi, Yayoi-chan."
Gadis berambut merah baru saja mencapai loker. Adiknya, semenjak turun dari sepeda dan bertemu sebayanya, ia tinggalkan sang kakak. Gadis itu memberi temannya senyum ceria yang hangat, seperti biasa. Sudah dua bulan lebih ia menjadi murid baru sekolah itu, dan berkat pembawaannya yang natural dan riang, ia sama sekali tidak punya kesulitan dalam berteman.
"Selamat pagi, manajer."
Dia baru saja merunduk akan berganti sepatu, ketika seseorang menyapa. Ditolehkan kepalanya, dan ia mendapati anak laki-laki bertubuh tinggi sedang mengambil sepatu di loker tak jauh dari tempatnya.
"Ah! Selamat pagi, kapten."
Ia menegakkan badan menghadap lurus ke anak laki-laki itu, dengan hanya beralas kaus kaki yang ia cuci kemarin. Sepatu bersih yang hendak ia pakai, ia jinjing dengan satu tangan, dan secara sadar ia sembunyikan di belakang punggungnya. Sementara sepatu kotornya, dalam hitungan detik, segera ia kirim ke dalam loker. Tingkah polah gadis ini membuat anak laki-laki itu tersenyum.
"Hari ini cepat sekali ya, manajer?"
"Eh?"
Anak laki-laki berambut cokelat menunduk, mengganti sepatu. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh si gadis melakukan hal serupa. Ketika keduanya selesai, mereka berjalan bersama. Kedua temannya sedikit di depan mereka.
"Apanya yang cepat?"
"Sepeda."
"Eh?"
Yang gadis itu tahu, anak laki-laki itu terkadang suka melontarkan ucapan yang membuatnya bingung. Namun, ia segera sadar jika lawan bicaranya ini, tidak seperti anak SD sebayanya, ia memiliki cara tersendiri untuk mencapai sekolah, dimana hanya orang-orang kaya lah yang bisa melakukannya. Dia tahu anak itu kaya. Tiba-tiba, ia ingat mobil yang ia salip tadi.
"Apa tadi kita papasan?"
Gadis itu bertanya was-was. Sementara anak laki-laki itu hanya mengangguk.
"Eh? Benarkah?"
"Ya."
"Ah! Ya ampun! Apa aku mengotori mobilmu? Kecipratan ya? Maaf ya."
Tidak menduga akan mendapat reaksi panik seperti itu, laki-laki berambut cokelat tersenyum.
"Tidak."
"Eh? Tidak? Serius?"
"Ya. Hanya saja sopirku kaget dan mengomel."
"Eh?"
"Soalnya biasanya dia tenang."
"Uwaaah! Maafkan aku! Maafkan aku!"
Si gadis membungkukkan badan sambil terus berjalan. Si anak laki-laki tersenyum geli.
"Bercanda."
"Eh?"
"Tidak apa-apa."
"Benarkah?"
"Ya."
"Tapi, aku benar-benar minta maaf sudah membuat terkejut."
"Tidak apa-apa. Tapi, tadi itu bahaya sekali, manajer, kau tahu? Kau dan adikmu bisa jatuh, kan?"
"Ya. Aku tahu. Habisnya, keburu hujan turun. Kan repot kalau bawa payung. Hehe."
"Benar juga sih…."
Mereka menaiki tangga.
"Ah! Dengar?"
Gadis itu berhenti berjalan. Jarinya menunjuk ke atas.
"Apa?"
"Hujan lagi. Deras sekali."
"Ah. Benar…."
Melalui jendela di dekat tangga, ia bisa melihat pekatnya langit dan guyuran hujan, juga sesekali mendengar suara gemuruh.
"Ah…. Aku tidak suka bulan Juni."
Sembari mendesah, gadis itu mulai berjalan kembali. Anak laki-laki mengikuti.
"Kenapa?"
"Karena hujan turun tiap hari. Itu merepotkan. Kita juga tidak bisa bebas bermain di luar. Terus, kalau kehujanan, kita bisa sakit, dan-"
"Benar."
Anak laki-laki berambut cokelat itu mungkin akan mendengar temannya bicara panjang lebar, kalau saja tidak ia potong ucapannya. Ia tersenyum, seperti setuju dengan pendapat gadis itu, juga membenarkan ucapannya sendiri. Namun, sesuatu yang aneh, yang bahkan si gadis tidak ketahui, tersembunyi di balik senyumannya.
"Bikin repot saja ya…." Ia menambahkan.
Mereka terus berjalan.
-End of chapter 1-
Yak, sedikit untuk prolog. Berikutnya, aku akan berusaha. Terima kasih telah membaca. Silakan tinggalkan review, apapun pendapat kalian. Hehehe. :D
