Disclaimer : Hetalia Axis Powers / Hetalia World Series © Hidekaz Himaruya

Genre: Tragedy, Hurt/ Confort

Rating: T

Warning : OOC, Boys Love, KALIMAT KASAR, Dark Italy

Special: Fujoshi Independent Days

Enjoy.. -w-

Little Promise

Dihari kepergianmu, kau meninggalkan satu jaminan padaku, janjimu padaku. Aku yang ketika itu masih tak lebih tinggi dari sebuah sapu, percaya pada janjimu. Setiap hari aku berdoa bahwa kau akan menepati janjimu. Berulang kali aku menitikkan air mataku, memohon agar aku bisa melihat senyummu lagi. Berjuta kali angin datang menerpa kepercayaanku pada janjimu, namun aku kembali berdiri menunggu, dengan setia.

Aku memilih berdiri dalam badai perubahan hidup yang kejam, demi menunggumu mengatakan "aku pulang," padaku. Kaki-kaki harapanku mulai runtuh ketika perang usai tanpa kembalinya dirimu. Kucoba merakit kembali harapan yang mulai rusak akibat guncangan dari sang waktu. Namun, perekat itu tak cukup kuat untuk menahan beratnya kabar yang disampaikan Prussia-san padaku pada hari itu…

Beberapa puluh tahun lalu, Italy kecil

Hungary menatap sedih melihat punggung Italy bergetar hebat sejak tadi. Ia mengalihkan pandangannya sejenak dari Italy dan menatap Austria, keadaannya tak lebih baik dari Italy. Ditatapnya kembali sosok kecil dengan apron putih yang sedang bersedih. Biasanya suara kecil Italy selalu bersenandung di sekeliling rumah. Hungary menghela nafas panjang. Ia tahu ia akan kehilangan keceriaan yang membungkus rumah ini untuk waktu yang lama.

Spain bahkan sampai repot-repot datang membawa Romano kecil untuk menengok adiknya. Adik kakak itu bertemu dan hanya duduk dengan jarak tanpa pernah mengeluarkan satu kata pun. Pembicaraan tak bersuara itu berlangsung cukup lama hingga akhirnya Romano kecil kembali pulang bersama Spain. Disanalah Italy duduk sendirian dengan tubuh yang bergetar hebat. Sekaranglah dimana Tuhan harus menurunkan keajaibannya.

Baru beberapa jam yang lalu, keadaan masih sama seperti biasa. Tak ada yang berubah, hanya kegiatan biasa yang dilakukan oleh Hungary, Austria, dan Italy. Hari pun terasa sangat sayang untuk dihabiskan dengan berdiam diri. Italy yang sedang membersihkan setiap sudut rumah, mendengar langkah kaki dari arah selatannya. Ia menoleh dan melihat Hungary sedang berjalan bersama lelaki berambut putih dan berpostur tubuh tinggi. Ia tak merasa kenal dengan lelaki yang berjalan dengan Hungary.

Hungary dan lelaki itu mengetuk pintu ruangan Austria. Tamu untuk Austria-san, itulah yang muncul di pikiran Italy. Ia kembali bersenandung kecil dan melanjutkan tugasnya. Tak lama sejak ia baru saja menjemur pakaian, Austria memanggilnya dari kejauhan.

"Italy," seru Austria-san.

Italy menoleh ke belakang dan mendapati sosok Austria yang sudah berdiri menunduk di belakangnya. "Ya?" jawab Italy.

Austria membetulkan posisi kaca matanya dengan sikap canggung. "Prussia datang membawa kabar untukmu. Hampirilah dia di ruang tamu," ujarnya. Austria menatapnya lewat kaca matanya, entah ada yang aneh atau hanya perasaannya saja tapi ia melihat sosok dirinya ditatap dengan pandangan kasihan oleh Austria. "Cepatlah kembali pulih," ucapnya, sedikit berbisik.

Dengan bingung ia meninggalkan Austria-san dan mengikuti ucapannya, menemui Prussia. "Jadi namanya Prussia. Haruskah aku memanggilnya Prussia-san? Kenapa lelaki seperti itu hendak menemuiku?" gumam Italy sembari berlari dengan kaki kecilnya menuju takdirnya.

Ia sampai di depan ruang tamu. Dengan malu-malu ia membuka pintu itu. Lelaki bernama Prussia itu langsung mengadahkan kepalanya yang sempat ia letakkan di kedua kepalan tangannya yang tertekuk di atas pahanya. Ia tersenyum simpul pada Chibi Italy. "Halo, Italy," sapanya. Italy sempat terkejut namanya disebut. Ia menghampiri lelaki itu dan duduk di depannya. Dengan sedikit senyum pahit, Prussia mencondongkan tubuhnya ke depan. Ia menatap lurus ke Italy. "Aku ke sini untuk menyampaikan kabar," ujarnya. Prussia merogoh kantungnya dan menyodorkan sepucuk surat pada Italy. "Dari Holy Roman Empire, untukmu," ucapnya.

Italy terperangah mendengar nama Shinsei Roma disebut. Diambilnya pelan surat itu dan dipeluknya dengan erat. Ia sadar ada yang harus ia tanyakan. "Apa dia baik-baik saja?" tanya Italy. Prussia tersenyum kecut mendengar pertanyaan itu. "Dengar Italy," ujarnya pelan. "Itu surat permintaan maaf darinya. Ia tidak mendapatkan kesempatan untuk memenuhi janjinya padamu," ujarnya.

Beban itu adalah kenyataan yang harus kuhadapi. Dengan ini, harapan yang sudah kurakit, berubah menjadi abu, dengan sempurna. Bersama dengan kepergianmu.

Sudah beberapa puluh tahun sejak aku mengetahui keadaanmu. Kini aku menjalani hidup tenang, sendirian. Aku sudah tak lagi berada di tangan Austria. Kakak mungkin masih betah hidup bersama Spain. Tapi kini, aku memilih menjalani hidupku sendiri. Aku masih bertemu beberapa teman, kolega, musuh, dan berbagai orang. Namun aku sudah memilih topeng yang tepat untuk menghadapi semua orang. Agar aku tak perlu tersakiti lagi oleh sebuah kepercayaan.

Mungkin ini terlalu berlebihan. Tapi aku memilih untuk tetap sama seperti dulu tanpa perlu berubah. Tak perlu berubah karena sudah tak bisa berubah. Jam dalam diriku sudah berhenti berputar sejak hari itu tanpa bisa diperbaiki. Tak ada lagi yang bisa membuat hati ini berdetak kencang layaknya kepakan sayap burung. Kurasa semua orang cukup tertipu dengan topeng "orang bodoh" yang kugunakan pada mereka. Itu cukup membuatku terhibur.

Hungary, gadis pintar yang bisa melihat retakkan di topengku. Dia satu-satunya yang bisa melihat ke dalam topeng, kukira dia dukun atau semacamnya. Tapi kuharap, tak banyak orang pintar yang sama seperti Hungary. Satu saja sudah membuatku tertekan.

Hari ini terlalu indah untuk kubiarkan pikiranku melayang ke hal-hal yang menyedihkan. Tapi aku tak punya teman untuk diajak bermain. Jadi kuputuskan untuk berjalan-jalan, sendirian. Aku bertemu beberapa kucing dan sempat bermain dengan mereka. Aku juga bertemu dengan beberapa gadis cantik. Akhirnya, perjalananku sampai di sini, sebuah bangku taman di sisi danau.

Sudah delapan kali aku menghela nafas kecewa sejak duduk di bangku ini. Kupikir akan menyenangkan jika bisa duduk sendirian, menikmati semuanya. Memang menyenangkan. Tapi masih ada yang kurang. Menyenangkan bukan berarti membuat hati ini senang. Aku tak bisa tersenyum melihat burung yang berterbangan dengan indah. Melihat angsa yang membuat pola di air danau yang tadinya datar. Merasakan angin berhembus di rambutku pun aku tak merasakan apapun. Hanya, ah, ini menyenangkan.

Kuangkat tanganku dan kuletakkan di dadaku. Aku meremas pakaian yang menutupi. Di sini, pikirku. Aku tahu ada yang kurang. Di sinilah tempat dimana semua kebahagiaan menjadi biasa, tak spesial. Lubang hitam di hatiku yang menghisap semua kesempurnaan dari semua kebahagiaan. Bahkan sampai air mataku habis, lubang ini akan terus memakan semua kebahagiaan dalam diriku, merubahku menjadi inang yang hampa.

Selamanya, aku selalu bertanya-tanya, sampai kapan selamanya itu? Dapatkah diriku bertahan sampai selamanya berakhir? Aku tak tahu. Tapi aku percaya, takdir yang akan mempertemukanku dengan selamanya yang berada dalam diriku.

Kurengganggan cengkraman pada pakaianku. Aku menghela nafas untuk yang kesembilan kalinya. Aku menatap ke depan, sisi lain dari danau yang tak terlihat. Sebuah suara berbisik di telingaku. "Apa kau akan terus menghela nafas sampai dua puluh kali?" tubuhku mengerjang. Suara itu tertawa pelan melihat reaksiku. Aku menoleh dan mendapati seorang pemuda dengan rambut pirang yang ditata rapi. Sosoknya yang tinggi dan tegap membuatku harus mendongak melihat sosoknya. Bola matanya yang biru begitu indah terkena pantulan cahaya matahari. Dengan indah dia memamerkan senyum simpulnya padaku, "Hai," sapanya. "A-e-a, Hai!" ucapku, tergagap.

Senyumnya melebar. Dia bergerak—duduk di sampingku. "Hari ini terlalu indah hanya untuk dikomentari dengan helaan nafas berat," ujarnya. Aku tak menyahut. Kami tenggelam dalam kesunyian. Aku yang tak tahan, akhirnya mengangkat kembali sebuah pembincaraan. "Aku belum pernah melihatmu sebelumnya, ve~" ujarku. Dia menatapku, senyumnya hilang, bola matanya menatapku dengan dingin. Kucoba untuk tak runtuh terhadap serangannya. "Kau pasukan atau Negara kecil?" tanyaku. Dia masih menatapku, "kau tak mengenaliku?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Tapi kau mengingatkanku pada seseorang," ujarku. Seperti mendapat sekutu baru, bola matanya yang tadinya dingin, perlahan mencari menjadi hangat. Aku tersenyum, "Kau mirip dengan kucing yang berwajah seram," ujarku. Ia terlihat terkejut. Kemudian ia terbahak. Benar dugaanku, ia akan tertawa. Setelah tertawa agak lama, ia kembali menatapku. "Apa kau sedang menyukai seseorang?" tanyanya. Aku mengerutkan keningku tanpa sadar. "Oh, maaf. Itu pertanyaan yang aneh," ucapnya, dia memperhatikan ekspresiku.

Aku tertawa kecil. Kutatap sisi lain dari danau ini, kutatap lurus. "Apa kau bisa melihat ujung dari danau ini?" tanyaku. Dari sudut mata, kulihat ia menggeleng. Ujung mulutku tertarik ke atas. "Mungkin begitu juga takdir," gumamku. Kita tak bisa melihat bagaimana cerita hidup kita akan dihancurkan olehnya. "Jadi, kau sedang bertengkar dengan orang yang kau suka?" tanyanya. Aku langsung menatapnya. "Tidak. Kami tidak pernah bertengkar," jawabku. Dia mengangguk, mengerti. "Kau?" tanyaku. Dia menggeleng sembari tersenyum. "Aku belum bertemu lagi dengannya. Tapi aku yakin, dia kini sudah menjadi wanita yang sangat cantik. Lebih cantik dari ketika aku pergi," gumamnya.

Dia bahagia. Mungkin jika dia ada, aku bisa berekspresi seperti itu. Jika aku belum tahu kenyataannya, mungkin aku bisa bahagia. Kuenyahkan pikiran-pikiran yang berekor pada kemuraman itu. "Mungkin dia akan terbelalak ketika aku mendatanginya," gumamnya. Ah, dia memang benar-benar sedang jatuh cinta. Inikah yang dirasakan France pada England? Aku hanya membalas ucapannya dengan sebuah senyum, dan satu lagi orang yang tertipu dengan topengku

SEMINGGU KEMUDIAN

Sudah seminggu sejak aku bertemu dengannya. Kami selalu bertemu di bangku taman itu. Walau tanpa jam yang pasti, tanpa janji yang pasti. Tak ada janji yang mengikat kami. Tak seharusnya ada. Untuk apa ada janji jika nantinya diingkari? Kami banyak berbincang. Walau kadang singkat, kadang bahkan hanya bertemu, kami terus bertemu setiap harinya.

Aku berlari dengan kencang. Aku lari dari tempat itu. Kupacu langkahku menuju tepat lain. Jika perlu sisi lain dari tempat itu. Tadi itu France dan Spain. Mereka mengenakan pakaian serba hitam. Curiga, aku pun mengikuti mereka. Namun, apa yang kulihat? Penghianatan terbesar! Mereka mengunjungi makam Shinsei Roma yang mereka akui tak pernah tahu letaknya! Kupikir selama ini, bukan hanya aku yang tak tahu dimana ia diistirahatkan! Kupikir akulah yang akan pertama diberi tahu oleh Prussia. Aku!

Nafasku terengah-engah. Aku mengunci pintu rumahku, dan jatuh terduduk di depan pintu. Air mataku tak kuasa lagi kutahan. Aku memeluk lututku dan menangis sejadi-jadinya. Semuanya mengalir begitu saja. Air mata yang tak keluar pada hari itu, kini mengalir tanpa ampun. Pertahan diri yang kubangun bertahun-tahun, hancur begitu saja. Bagaimana bisa mereka mencoba menyembunyikan tempat terakhir orang yang begitu berharga bagiku? Bukahkah seharusnya aku juga diberitahu? Aku berhak tahu! Bagai cambuk api yang mengenai luka di hatiku, kini lubang itu memakan seluruh isi hatiku. "Apa yang harus kulakukan, Shinsei Roma?" rintihku.

Seseorang menggedor pintu rumahku. "Italy!" teriak Spain. "Keluarlah Italy! Aku tahu kau di dalam!" suara Romano mengejutkanku. "Si brengsek itu," kecamku. Dia benar-benar keterlaluan! Amarah membakar semua luka baru yang ditorehkan oleh mereka. Aku bangkit dan membuka pintu. Benar saja, Spain membawa kakak untuk membujukku. Ditambah lagi ada Prussia di belakangnya. Spain benar-benar memonjokkanku. Tapi persetan dengannya. Aku hanya butuh jawaban.

"Masuklah," ucapku lirih. Sesuai dugaan, si brengsek itu masuk terlebih dahulu, diikuti Prussia. Aku menatap Romano yang terdiam di depanku. Kakak-lah yang pasti merasa memberitahuku adalah tugasnya. Ia pasti merasa sangat bersalah. Ia selalu merasa begitu. "Kau tahu?" bisikku, membuang wajah—menutup pintu. Dia mengangguk saat aku berbalik. "Jadi kau bagian dari mereka," sindirku sembari berjalan meninggalkan Romano—menghampiri dua orang yang duduk di sofaku.

Mereka langsung menyerbuku dengan berjuta penjelasan. Tak ada yang mau mengalah untuk tampak tak bersalah. Aku hanya diam, mendengarkan apa yang bisa kutangkap, atau hendak kudengar. "…menunggu kau cukup kuat untuk melihatnya…" kalimat yang diucapkan Prussia membuat amarahku memuncak. Aku menggebrak meja di depanku. Mereka semua terdiam, Romano terlunjak di depan pintu. "BUKAN KALIAN YANG MENENTUKAN KAPAN AKU AKAN SIAP!" bentakku. Meeka terdiam. Nafasku terengah, kuputuskan untuk kembali duduk—kutundukkan wajahku. "Ita—" Spain hendak bicara, namun kularang dengan tanganku di depan wajahnya. "Silahkan keluar," ucapku pelan. Aku mengulang permintaanku sebelum Romano sempat bicara, "pintu keluarnya di sana," kutunjuk pintu yang mereka lewati sebelumnya. Walau butuh beberapa detik untuk bergerak, mereka akhirnya pergi.

Aku terpaku. Tak bergerak, tak menangis, tak melakukan apapun. Hanya bernafas. Rasa sakit di setiap tarikkan nafasku, merupakan hukuman untuk apa yang kulakukan tadi. Satu retakkan lagi tergores di topengku.

SEPULUH HARI KEMUDIAN

Matahari sudah dalam perjalanannya kembali ke barat. Di tempat yang sama, aku menunggu orang itu, di bangku taman ini. Baru kusadari beberapa hari lalu bahwa aku tak pernah menanyakan namanya. Baru hari ini aku kembali duduk di sini. Setelah kejadian itu, aku terus mengurung diri. Hanya Hungary yang beberapa kali mengunjungiku dengan gigih hingga aku bisa membuka diri padanya. Dengan baik hati, dia membalut luka hatiku tanpa segan.

Ia tak pernah bertanya. Kadang ia menjelaskan, menghibur. Ia selalu menungguku untuk menceritakkan padanya, sejujurnya. Dengan sikapnya yang blak-blakkan, membuatku nyaman bersamanya. Ia tak pernah mencoba menyembunyikkan perasaannya. Apa yang ia pikirkan, selalu ia katakan. Walau kadang itu buakn hal yang menyenangkan. Ia lah orang yang membuatku mulai berani percaya lagi, Hungary.

Aku sudah berada di sini selama setengah jam. Langit sudah berwarna mega. Tak ada yang seorang pun yang muncul. Dia tak datang, dengan memikirkan itu saja bisa membuatku tertawa kecil sembari menggeleng. Sejak kapan aku jadi menyedihkan begini? Kami tidak pernah menghubungi satu sama lain. Aku bahkan tak tahu namanya. Kuputuskan untuk menunggunya lima menit lagi. Namun, tak ada tanda-tanda kehadirannya. Dengan berat, kulangkahkan kakiku kembali ke rumah.

Lampu-lampu jalan sudah menyambut malam dengna hangat. Kumasukkan kedua tanganku di jaket dan aku berjalan sembari melihat pemandangan malam yang sudah cukup lama kulewatkan. Baru kusadari ada banyak hal menarik di kota ini. Aku biasanya tak menyadarinya karena selalu teralihkan oleh kucing yang sedang kubawa ke taman. Langkahku mengikuti alur irama yang teratur, satu-dua-tiga. Irama itu terhenti tepat di seberang toko bunga, yang menarik perhatianku. Kutatap toko bunga itu cukup lama. Akhirnya, kuputuskan untuk melangkah menuju toko bunga bernama Bella. Benar-benar frontal dalam memberi nama. Kubuka pintu toko itu dan diikuti dengan bunyi bel yang tersentuh oleh pintu yang terbuka.

Seorang gadis berambut coklat menoleh ke arahku. Ia memamerkan senyumnya. Aku pun membalasnya. Dia menghampiriku. "Kau pemilik toko ini?" tanyaku. Ia kembali tersenyum. Aku membelalakan mataku, terkejut dengan senyumnya yang terlihat indah dari jarak dekat. "Untuk kekasih?" suara yang amat lembut keluar dari mulut wanita cantik di depanku. Aku mengerjap beberpa kali, hilang konsentrasi akibat aroma tubuhnya. "Merangkai untuk sebuah pernikahan?" tanyaku balik. Dia menghentikkan pekerjaannya dan menatapku. "Ya,' jawabnya dengan senyum yang terlihat linglung.

Aku mengangkat bahuku. "Melati Madagaskar," ucapku. Ia sedikit terkejut namun kemudian langsung mengangguk. "Bisa bungkuskan aku Anemone?" tanyaku. Dia yang sudah memunggungiku terdiam. Kemudian ia kembali bergerak, mengambil pesananku. "Dia berulang tahun?" tanyanya sembari membungkus pesananku. Aku tertawa kecil. "Bukan," jawabku.

Aku menatap sekeliling toko, menunggu pesananku. "Kau memiliki koleksi yang cukup lengkap," gumamku.

"Kau tahu banyak soal bunga, tak kusangka," balasnya. "Hobi?" tanyanya.

"Tidak. Pelajaran masa kecil," ucapku sembari mengetuk kepalaku dengan telunjuk.

Dia mendekatiku. "One Lira," ucapnya sambil menyodorkan satu buket bunga Anemone padaku.

Aku merogoh kantong celanaku dan mengeluarkan uang bertuliskan one Lira. "Terima kasih," ucapku.

Saat aku hendak membuka pintu—keluar dari toko, ia bergumam. "Aku sering melihatmu membawa kucing ke taman di sana." Aku menoleh. "Lalu?" tuntutku. Senyum itu terpahat lagi di wajahnya. "Namaku Venezia. Sering-seringlah kemari. Sendirian di sini membosankan," ujarnya. Aku memejamkan mataku sedetik, menjawabnya. "Aku tak berjanji," seruku sebelum menutup pintu toko itu.

Kutatap Bunga Anemone di tanganku. "Tak ada lagi janji," gumamku. Kulangkahkan kakiku kembali. Anemone ini merupakan janji terakhir, yang tak pernah terpenuhi, gumamku dalam hati. Langkah kakiku menuntunku untuk pulang. Hari ini Hungary akan datang dan memasak makan malam. Dia membujukku untuk mengundang beberapa tamu, Romano, Spain, Prussia, dan Austria. Ini akan jadi makan malam yang heboh.

Cahaya matahari menyelimuti seluruh kamarku. Aku membuka mataku. Kukerjapkan beberapa kali untuk membuatnya benar-benar bekerja. Tubuhku terasa berat, gumamku dalam hati—masih malas bangun dari tidur. Kulirik ke samping dan kudapati wajah Hungary berada kurang dari sepuluh sentimeter dari wajahku—ia tertidur. Aku langsung bangun dan mendapati lima tamu makan malam tertidur di kamarku.

Hungary tidur dengan menimpakan kakinya pada wajah Prussia, kurasa ia akan bangun beberapa menit lagi begitu kehabisan nafas. Austria tidur tepat di samping Hungary, kurasa Prussia dengan sengaja menendang Austria ketika ia tidur. Spain, yah, dia tidur dengan berpunggung-punggungan dengan kakak. Aku tak ingat bagaimana makan malam bisa berakhir dengan acara menginap begini. Aku hanya bisa menghela nafas melihat kaki kakak-lah yang kurasakan di perutku.

Kusingkirkan kaki kakak dari tubuhku. Kurenggangkan tubuhku. Kemudian bangkit dan membuka tirai jendela, yang langsung membuat tamu-tamu acara menginap bersuara, lebih tepatnya mengeluh. Kutinggalkan mereka yang sudah tak lagi nyaman dengan tidurnya. Aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajahku dan membersihkan diri. Setelah selesai, aku mengambil jaketku dan membawa Bunga Anemone semalam bersamaku, untuk kuantarkan.

Butuh waktu yang cukup lama untuk sampai ke tempat tujuan. Kubuka pintu gerbang yang tadinya tertutup, masih terasa embun pagi yang menempel—membasahi telapak tanganku. Kucoba abaikan itu dan aku berjalan mengikuti ingatanku; belok kiri setelah pohon Eek tua dan berjalan lima langkah. Kutatap nama yang tertulis dan aku menghela nafas. Aku merunduk hingga setinggi dengan batu bertuliskan namanya itu. Kuletakkan bunga Anemone itu di depannya dan aku berdoa untuknya.

Mataku kembali membuka ketika selesai berdoa untuknya. Aku tertawa tanpa suara. "Yah, memang mustahil melihatmu dengan sosok yang berbeda tanpa menangis," gumamku. Kuusap air mata di ujung mataku. "Jadi, halo," sapaku. "Aku tak menyangka kau akan kembali dalam sosok seperti ini. Ini benar-benar di luar bayanganku." Aku menunduk, merapatkan bibirku, menahan emosi yang meluap-luap. Aku menatap ke depan. "Tahukah kau, begitu banyak air mata yang kucoba tahan berpuluh-puluh tahun lalu. Ketika mendengar kabar dari Prussia, aku bahkan tak menangis. Air mata itu tak keluar. Tapi, begitu melihat sosokmu… kini, semuanya bagai keluar begitu saja. Tanpa batas," kuucapkan kalimat terakhir dengan bisikkan.

"Sudah lama, ya. Sejak kita terakhir bertemu." Kutatap langit di atas. "Banyak yang ingin kuceritakan padamu. Yang ingin kubagi denganmu," gumamku. Kembali ku tatap tulisan namanya. "Tapi tidak dengan cara seperti ini." Kuulurkan tanganku—kusentuh ukiran namanya. "Waktu memang kejam. Tapi aku tak mau lagi terluka. Cukup Shinsei Roma saja yang terluka," ucapku. Tanganku bergetar—kutarik kembali tanganku. "Aku takkan melupakkanmu, tapi aku takkan hidup dalam bayanganmu. Aku takkan mencoba melupakkanmu, hanya menyimpannya rapat-rapat dalam hatiku. Kumohon maafkan keegoisanku ini, Shinsei Roma."

Aku berdiri dan tersenyum. "Aku akan sering-sering datang kemari, Shinsei Roma," gumamku. Kumasukkan kedua tanganku ke saku, dan aku memalingkan badan—meninggalkannya sendiri, diam bersama yang lain. Aku berjalan kembali ke rumah. Angin bersembus sepoi-sepoi, mengantarkan kepergianku dari makam. Akhirnya terpenuhi, satu janji yang kami buat dulu.

Kira-kira memakan waktu dua puluh menit untuk sampai kembali ke rumah. Aku masuk, dan semuanya sudah bergerak dengan gesit. Berbeda dengan terakhir kali aku melihatnya. Kuletakkan jaketku dan kubantu Hungary membersihkan rumah.

Ia menatapku. "Apa kau membuang bunga yang kemarin kau bawa?" tanyanya. Aku tak menggubrisnya. Aku tahu Prussia tahu dimana aku tadi, di sudut mataku dia merespon pertanyaan Hungary. "Sayang sekali, padahal bunga itu cantik," gumam Hungary.

"Anemone," ujarku. Kutatap Hungary. "Nama bunga itu Anemone, Hungary-chan."

"Anemone," gumam Hungary, mengingat. "Apa arti dari bunga itu?" tanyanya.

"Aku mencintaimu," ucapku. Begitu aku mengucapkannya, langsung ada serangkaian gerakkan dari para tamu. Kutatap Prussia, wajahnya sudah tak sabar ingin mengatakkan sesuatu. Begitu juga kakak. Spain mungkin tak mendengarkan. Austria tak memperhatikan.

"Kau mengingatnya dengan cukup baik," gumam Prussia, Ia berpura tak peduli. Tak tahu.

Aku mengangkat alisku. "Aku tak mengerti maksudmu, Ve~" aku kembali melanjutkan bekerja membantu Hungary.

Tadinya, Fic ini akan ditargetkan menjadi One Shot. Tapi karena kelewatan girang, jadi tanpa sadar, udah kebanyakan. Yang membaca dengan HP, bisa kelenger. Jadi saya putuskan menjadi beberapa bagian. Kalo bisa jadi dua aja. Kepanjangan kalo beberapa chapter. Jadi curhat. =_=

Terima kasih yang udah mau baca fic ini. Semoga anda bersedia memberi kritik dan saran untuk kemajuan saya sebagai penulis awam yang mungkin kurang memuaskan hasrat anda.