Antara

By: Lixryth Rizumu

-Diantara dua pemuda-

Vocaloid © Yamaha Corp

Words: 3013 (Story Only)

Pair: Kagane Rei, Kagamine Lenka, and Kagamine Rinto

Rate: T

Genre: Romance

Warning: OOC, Typo, EYD berantakan, sudut pandang orang ketiga.

Musim salju datang. Hampir seluruh jalan sudah tertutup dengan salju-salju berwarna putih, sampai-sampai beberapa orang kesusahan untuk melewati jalan tersebut. Lenka, dengan santainya berjalan melewati salju yang tidak terlalu tinggi. Tangan kanannya menggenggam erat tas sekolahnya, sedangkan tangan kirinya menggenggam tangan kanan milik kekasihnya, Rei.

"Kau tidak kedinginan?" Rei membuka suara dan menatap Lenka dengan khawatir.

Lenka tertawa kecil dan mengangkat kedua bahunya. Sudah sekitar dua puluh tujuh bulan atau bisa dibilang dua tahun setengah Lenka dengan Rei berpacaran, hubungan mereka masih lancar-lancar saja, tanpa ada gangguan. Bahkan di sekolah, mereka terkenal dengan pasangan yang paling harmonis.

Napas Lenka terdengar begitu berat dan dingin. Rei melepaskan syal putih bersih yang dikenakannya dan melilitkannya di leher Lenka yang tidak terlindungi apapun. "Kau bisa mati kedinginan," ujar Rei dengan lembut.

Genggaman tangan Lenka terhadap Rei makin erat. "Ayolah, aku tidak akan mati hanya karena kedinginan." Lenka tersenyum kecil. "Lagipula kalau Rei menggenggam tanganku erat seperti ini, aku merasa hangat."

"Kalau begitu jangan lepaskan tanganku satu detikpun." Rei tertawa kecil dan mencubit ujung hidung mancung Lenka yang memerah.

Hanya dengan kedekatan seperti itu saja, Rei dan Lenka sudah merasa puas. Mereka tidak seperti pasangan kekasih yang harus kencan setiap hari, mengucapkan kata-kata cinta setiap hari, atau semua hal yang sering dilakukan oleh sepasang kekasih lainnya.

Ada yang pernah bertanya kepada Lenka, sejauh apa yang sudah dia dan Rei lakukan, tapi Lenka hanya menjawab berpegangan tangan. Yah, begitulah kisah cinta mereka, hanya pernah berpegangan tangan saja, tidak ada ciuman selamat tinggal atau ciuman selamat pagi, tapi hanya genggaman tangan saja. Simple, bukan?

"Jadi, apa ada kejadian yang menarik di kelasmu?" lagi-lagi Rei yang membuka suara.

Lenka menggeleng pelan. "Tidak, hanya saja aku tidak mengerti dengan materi matematika yang baru saja diajarkan," jawab Lenka dan mengerutkan alisnya. "Lama-lama rumus matematika atau pengetahuan alam membunuhku!"

Suara tawa milik Rei pecah. "Kalau begitu kau bisa belajar di rumahku, aku akan mengajarimu."

Rei memang termasuk anak yang pintar. Meskipun sifatnya sangat nakal di hadapan orang lain, tapi di depan Lenka dia tidak pernah menunjukkan sifat nakalnya sama sekali. Maka dari itu semua teman Rei takjub dengan Lenka yang bisa membuat Rei yang dulunya hanya pintar saja, menjadi orang yang baik―meskipun hanya kepada Lenka―dan juga pintar.

Lenka menggaruk tangannya dengan kikuk. Sepertinya dia sudah mempermalukan dirinya sendiri di depan kekasihnya. "Mungkin lain kali aku akan main ke rumahmu lagi," ujarnya. "Aku juga tidak sabar untuk bertemu dengan Ibumu, aku rindu dengannya."

Kedua bola mata hitam Rei yang sedang memandang Lenka, kini beralih kepada sebuah rumah sederhana yang atapnya tertimbun dengan banyak salju. "Sudah sampai." Rei melepas genggaman tangannya terhadap tangan Lenka. "Sampai jumpa besok, Lenka."

Lenka sedikit mendengus ketika tersadar kalau mereka berdua sudah berada di depan rumahnya. "Mm, sampai jumpa besok, Rei."

Rei menatap ekspresi wajah Lenka yang berubah. Senyum kecilnya mengembang dan tangannya terulur ke wajah Lenka. "Lenka," panggilnya, dan pandangan Lenka langsung tertuju kepadanya. "Jangan lupa makan, nanti kau mati," ujarnya sambil menyibak poni Lenka lalu mengecup dahinya pelan.

"Rei!" Lenka terkejut, sangat. Ini pertama kalinya dia merasakan kehangatan bibir Rei di keningnya. "A―ku tidak akan mati karena tidak makan!" Lenka mencoba mengalihkan pandangan Rei terhadap wajahnya yang sudah terbakar.

Pemuda berambut hitam itu terkekeh dan melambaikan tangannya, lalu berjalan ke arah yang sama dengan arah dia dan Lenka datang. Rumah Rei dan juga Lenka memang tidak satu arah, tapi dia selalu rajin mengantar Lenka pulang ke rumahnya.

Lenka menahan senyumannya, dan langsung memasuki rumahnya. "Aku pulang!" serunya seraya melempar sepatunya ke sembarang arah. "Ma! Makan malam kali ini apa?"

"Lenka! Pelankan suaramu!"

Lenka mendengus sebal. Padahal Ibunya juga berteriak, kenapa marah-marah seperti itu? Lenka menghentakkan kakinya saat sedang berjalan. Pandangannya menyapu seluruh ruangan hingga bola matanya terpaku kepada satu titik―atau bisa dibilang kepada satu orang―yang sedang duduk manis di ruang tamu. "E―eh, ada tamu, ya?"

Pemuda yang menjadi pusat perhatian Lenka itu tersenyum kecil dan berucap, "Selamat sore."

Merasa kikuk untuk kedua kalinya, membuat seluruh wajah Lenka memerah menahan malu. "Ma! Kenapa tidak bilang dari tadi kalau ada tamu? Laki-laki, lagi!"

"Mama tidak mau melewatkan kejadian saat kau sedang malu berat, Lenka…" Ibu Lenka tertawa kecil dan duduk di samping tamu tersebut. "Namanya Rinto, mulai saat ini dia akan menjadi manager Mama. Kau tahu bukan, kalau bekerja tanpa seorang manager itu menyiksa?" tanya Ibu Lenka.

Setelah menaruh tasnya di atas kursi panjang yang berhadapan dengan kursi yang diduduki Ibunya dan juga pemuda yang disebut sebagai 'manager' baru Ibunya, Lenka menaruh seluruh perhatiannya kepada tamunya itu. "Lalu, kenapa dia ada di rumah?" tanya Lenka.

"Ah, maaf untuk tidak memberi tahu." Lelaki bernama Rinto itu mulai berbicara. "Mulai hari ini aku tinggal di sini untuk belajar menjadi manager yang baik."

Mulut Lenka menganga dengan besar, bahkan mungkin sepuluh ekor lalat bisa masuk ke dalamnya. "Ma! Apa maksudnya ini?" Lenka menghentakkan kakinya kepada lantai, sampai kakinya terasa sangat sakit. "Setelah Papa pergi, mama ternyata mengincar brondong?" Lenka memijat pangkal hidungnya.

Ayah Lenka sudah meninggal dunia satu tahun yang lalu, tetapi keluarga Lenka masih baik-baik saja. Ibunya sudah berjanji kepada Lenka kalau dia tidak akan menikah dengan pria lain, dan tentu saja Lenka menyetujuinya.

"Apa yang membuat Mama menyukai brondong?" Lenka memperhatikan Rinto dari atas sampai bawah. "Memangnya dia umur berapa?" Alis Lenka berkerut.

Rinto menjulurkan jari telunjuk di tangan kirinya, dan jari telunjuk dan jari tengahnya di tangan kanannya dan berucap, "Dua puluh satu."

"Astaga, dua puluh satu?!" Lenka melepas ikatan rambutnya dan membiarkan rambutnya yang mencapai punggungnya tergerai bebas. "Selera Mama adalah pemuda yang hanya berbeda umur tiga tahun di atas Lenka?"

Kini giliran Ibu Lenka yang memijit pangkal hidungnya. Sedari tadi dia sangat ingin mencegah semua ucapan yang meluncur dari bibir tipis milik Lenka itu, tapi dia selalu tidak mendapat kesempatan untuk berbicara dan membiarkan Lenka terus menerus mengoceh tanpa henti.

"Lenka, dengarkan dulu Mama." Ibu Lenka menarik napas panjang. "Rinto hanya menginap karena dia ingin menjadi manager Mama, dan bukankah Mama sudah pernah berjanji dengan Lenka kalau Mama hanya akan jatuh cinta kepada Papa?"

Senyuman kecut terbentuk di bibir Lenka. "Baiklah, aku mempercayai Mama." Kedua bola mata berwarna birunya berputar malas. "Tapi meskipun pekerjaan Mama sebagai model memang membutuhkan seorang manager, aku tidak akan mempercayai Paman berwajah anak-anak ini!"

"Kau bisa memanggilku Rinto, kita hanya berbeda tiga tahun saja, bukan?" Rinto mengulurkan tangannya di depan wajah Lenka, dan Lenka langsung menerima uluran tangan itu dengan terpaksa.

Tas sekolah yang tadi ditaruh di atas kursi kini berpindah tempat menjadi di genggaman Lenka. Lenka melangkah dengan lebar menuju kamarnya yang berada di lantai dua, dan langsung menghempaskan badannya di atas kasur.

"Jangan hiraukan dia. Dia hanya sensitif kalau di dalam rumah ada laki-laki selain pacarnya." Ibu Lenka kembali berjalan ke dapur untuk mengambil teh manis yang baru saja dibuatnya.

Rinto menyisir beberapa rambutnya dengan jari-jari tangannya. "Hee, dia punya pacar?"

"Tentu saja punya. Dia adalah anakku yang paling cantik."

Rinto tertawa renyah. "Tentu saja dia adalah anakmu yang paling cantik." Rinto mengambil napas kecil. "Dia 'kan satu-satunya anak yang kau punya?"

Ibu Lenka ikut tertawa kecil dan duduk di hadapan Rinto dengan secangkir teh manis di tangannya. Pandangan Ibu Lenka tidak bisa berhenti memperhatikan Rinto. Bukan karena jatuh cinta, tapi karena kagum. Tentu saja, siapa yang tidak kagum dengan pemuda berumur dua puluh satu dan sudah menjadi seorang manager dari model terkenal sepertinya?

"Sudah berapa lama dia berpacaran?" tanya Rinto tiba-tiba.

Gelas yang berada di tangan Ibu Lenka langsung ditaruh di atas meja. "Hei, yang harus kau ketahui adalah segalanya tentang diriku, bukan anakku." Ibu Lenka tersenyum geli. "Kau tidak sedang mengincar anakku, bukan?"

"Mungkin."

Di kamar.

Lenka memainkan ponselnya terus menerus. Dimulai dari melihat isi galerinya, isi pesannya dengan Rei, sampai membanting-bantingkan ponselnya di atas kasur. Setelah berguling ke kanan dan ke kiri di atas kasurnya, Lenka menghela napas panjang. Dia bosan, sangat bosan.

"Aah, bosan!" Lenka memainkan ponselnya lagi. "Aku ingin bertemu Rei…"

Rambut Lenka yang masih terurai melilit di badannya, terlihat seperti menyelimuti badannya. Helaan napasnya meluncur bebas dari celah bibirnya. Sudah sekitar lima menit dirinya menunggu pesan masuk dari Rei untuknya, dan sampai sekarang masih tidak ada pesan dari kekasihnya itu.

Biasanya, Rei tidak akan telat mengirim pesan kepadanya. Meskipun dia tidak memiliki pulsa―oh, tidak, Rei selalu memiliki pulsa. Maka dari itu Lenka sangat resah saat ini. Apa mungkin baterai ponsel Rei sedang habis? Atau mungkin ponsel Rei sedang rusak hingga tidak bisa dipakai untuk mengiriminya pesan?

"Haah! Kau membuatku gila, Rei!" seru Lenka seraya mengacak-acak rambut panjangnya. Tangan panjang miliknya meraih poni pendeknya dan menyibaknya pelan. Wajahnya memanas seketika, mengingat kejadian saat bibir Rei bertemu dengan keningnya.

Kejadian itu sangat mengejutkan dan juga sangat langka untuk terjadi. Lenka tahu kalau sebenarnya Rei merupakan anak nakal, tapi Rei tidak pernah berani untuk melakukan apapun yang lebih daripada berpegangan tangan. Rei selalu takut jika dia akan melukai Lenka, baik fisik maupun batin.

"Humph! Lama-lama aku makin bosan saja!" Lenka bangkit dari tidurnya dan menatap pintu kamarnya yang tertutup dengan rapat. "Mari kita lihat apa yang Paman itu bisa lakukan untuk menghiburku," ujarnya disertai dengan senyum jahil.

Pintu kamar Lenka terbuka dengan lebar, membuat beberapa cahaya lampu dari luar memasuki kamarnya yang gelap gulita. Rambut pirang panjangnya yang tadi sangat acak-acakan kini ia ikat dengan asal-asalan namun lumayan rapih.

"Akhirnya kau keluar juga dari sarangmu itu."

Lenka tersentak dan menolehkan kepalanya. Pemuda yang tadi dia cari kini sudah berada tepat di hadapannya. "Apa yang kau lakukan di depan kamar perempuan?" tanya Lenka sambil melipat kedua tangannya.

Kedua bahu Rinto terangkat pelan. "Hanya ingin menjelajahi rumah ini saja, memangnya salah?"

Kini giliran Lenka yang mengangkat kedua bahunya malas. "Hei, Paman, ayo hibur aku!"

Rinto mengerutkan keningnya dengan bingung. "Hibur? Dan, hei, berhentilah memanggilku Paman! Aku masih segar bugar dan muda!"

Lenka tidak menghiraukan ucapan Rinto dan tersenyum lebar. "Tidak bisakah Paman lihat kalau di hadapanmu ada gadis remaja yang kesepian?" Lenka memainkan jari telunjuknya di depan wajah Rinto. "Coba tunjukkan apa keahlian Paman! Apa Paman bisa menghilangkan rasa kesepianku?"

Pemuda itu memijat pelipisnya dan menghela napas panjang. "Maaf saja, gadis remaja, tapi keahlianku hanyalah membuat wanita jatuh cinta terhadapku!" ujar Rinto dengan bangga.

"Kalau begitu buat aku jatuh cinta terhadapmu!" tantang Lenka.

"Aku memang mengatakan kalau keahlianku itu membuat wanita jatuh cinta terhadapku, tapi itu tidak berlaku untuk gadis remaja yang sudah memiliki pacar!" tukas Rinto.

Tawa Lenka meledak. "Kau hebat, Paman, Kau membuatku tertawa!" ujar Lenka disela tawanya. "Dan, dari mana kau mengetahui kalau aku sudah memiliki pacar?"

"Tentu saja dari Ibumu. Aku sudah menanyakan banyak hal tentangmu kepada Ibumu, jadi aku tahu segalanya."

Lenka berjalan menuju ruang makan, diikuti oleh Rinto yang berjalan di belakangnya. "Whoa! Jadi selain menjadi manager, pekerjaanmu adalah sebagai penguntit, ya?"

Rinto mendelik kesal. Rasanya jika menghabiskan waktu bersama gadis di hadapannya itu, dia bisa kehilangan semua tenaganya. Tidak bisa dibayangkan bagaimana rasanya menjadi pacar seorang perempuan yang pintar mengoceh seperti Lenka.

"Oh, ayolah, karena aku akan tinggal di rumah ini untuk beberapa lama, aku harus mengetahui teman serumahku seperti apa, bukan?" Rinto mendesah kesal.

Gadis berambut panjang itu menghentikan langkahnya dan menjentikkan jarinya. "Ah, ya! Aku lupa kalau kau akan tinggal di sini!" Lenka kembali tertawa, namun kali ini suara tawanya sangat kecil. "Enak sekali kau, tinggal gratis di rumah orang lain!"

Rinto melepaskan beberapa napasnya dari mulut. "Jadi, apa misiku untuk menghiburmu selesai, Nona?"

"Ya! Terima kasih, ternyata kau orang yang menarik, Paman!" Lenka tersenyum lebar dan menjulurkan tangannya di depan Rinto, sedangkan Rinto hanya menaikkan alisnya dengan bingung. "Perkenalkan, aku Kagamine Lenka, mohon bantuannya, Paman!"

Rasa bingung Rinto hilang seketika. Benar juga, sedari tadi Lenka memang belum pernah menyebutkan namanya di depan Rinto. Sedari tadi juga sebenarnya Rinto belum mengetahui nama Lenka, meskipun Ibunya selalu menyebutkan namanya berkali-kali. Yah, intinya mereka berdua belum berkenalan secara resmi, bukan?

"Aku Kagami Rinto, senang berkenalan denganmu, Lenka…"

Esok hari, di sekolah.

"Hee, jadi di rumahmu ada satu orang pemuda yang menginap?" ujar Rei mengulangi apa yang baru saja diucapkan Lenka kepadanya.

Lenka memutar sedotan bergaris merah yang berada di genggamannya. "Ya, begitulah, jadi saat ini aku merasa tertekan karena aku sudah terbiasa hidup tanpa ada pria di rumahku," ujar Lenka seraya menyeruput jus mangga yang dibelikan Rei untuknya.

"Apa lelaki itu mengganggumu? Kalau dia mengganggumu, akan kuhajar dia!"

"Whoa, whoa! Tahan amarahmu itu, Rei. Aku baik-baik saja, kau tidak usah khawatir." Lenka tersenyum kecil melihat sifat kekasihnya yang sangat overprotective itu. Ternyata hanya dengan meminum minuman dingin saat pulang sekolah, sama sekali tidak membuat amarah Rei turun.

Sebenarnya Rei tidak mempermasalahkan jika ada pemuda yang tinggal di rumah Lenka, tapi jika pemuda itu melukai Lenka meskipun hanya dengan membuat Lenka menangis, Rei tidak akan memaafkan pemuda itu seumur hidupnya.

"Kalau pemuda itu melukaimu sekecil apapun, kau harus memberitahuku!" Rei menyeruput habis jus mangga miliknya dengan penuh napsu. "Itu adalah perintah!"

Lenka memajukan bibirnya dengan kesal. "Bagaimana aku bisa memberitahumu? Kemarin aku mengirim pesan saja, tidak dibalas!"

Raut muka Rei yang tadinya marah, kini menjadi penuh rasa bersalah. "Maaf, Lenka, ponselku dijatuhkan adikku ke dalam bathtub yang penuh dengan air, jadi aku tidak bisa menggunakannya untuk menjawab pesan darimu." Rei meraih tangan Lenka dan mengelus-elus punggung tangannya. "Memangnya kemarin kau mengirim pesan apa?"

"Aku ingin bertemu denganmu, Bodoh! kalau aku tidak punya kerjaan di rumah seperti kemarin, aku ingin bersama Rei!" Lenka menarik tangannya yang digenggam oleh Rei dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Tapi kau malah tidak berusaha untuk menghubungiku. Jadi aku bermain dengan Paman itu saja!"

Seketika, raut muka Rei berubah lagi. "Lenka, kau tidak akan menyukai Paman itu, bukan?" tanya Rei dengan tiba-tiba.

Lenka tertawa kecil dan mengacak-acak rambut Rei. "Tentu saja tidak! Bukankah saat ini yang menempati hatiku adalah Rei?" ujar Lenka singkat, membuat senyuman kecil mengembang di wajah Rei. "Ayo, kita pulang. Aku lelah, ingin istirahat."

Rei mengangguk kecil dan menarik pelan tangan Lenka dan meninggalkan area sekolah untuk berjalan pulang, tentunya. Rei mengangkat kepalanya dan menatap salju yang masih saja turun dari langit tanpa berhenti. Lalu pandangannya beralih kepada kekasihnya yang sedang bersenandung seraya mengayunkan tangannya yang berada di genggaman Rei.

Kalau boleh jujur, saat kemarin adiknya memasukkan ponselnya ke dalam bathtub, Rei ingin langsung bertemu dengan Lenka saat itu juga. Bukan hanya Lenka, Rei juga merasa tersiksa jika tidak sempat mengirim Lenka pesan singkat, dan juga meneleponnya. Jadi, sepertinya Rei harus berterima kasih kepada orang yang disebut 'paman' oleh Lenka, karena sudah menghibur Lenka kemarin.

"Lenka, apa kau senang kemarin?" tanya Rei tiba-tiba.

Lenka memiringkan kepalanya dengan bingung dan menghentikan senandungnya. "Senang karena apa?" Kedua bola mata Lenka berputar seperti sedang berpikir. "Maksudmu senang karena kehadiran Paman?" tanya Lenka kembali.

"Aku tidak menanyakan masalah itu." Rinto melirik Lenka dari ujung matanya. "Memangnya kau benar-benar senang karena kehadiran Paman itu?"

Lenka tertawa kecil. "Jangan membalik-balikkan pertanyaanku, Rei. Sebenarnya apa yang ingin kau tanyakan?"

"Aku ingin menanyakan apakah kau senang ketika aku mengecup dahimu?" Wajah Rei terlihat memerah, dan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.

Kini wajah putih milik Lenka ikut-ikutan memerah. "Yah, kalau boleh jujur, aku senang." Hembusan napas keras keluar dari bibir tipis milik Lenka. "Habisnya, ini pertama kalinya ada laki-laki yang menciumku. Dan laki-laki itu adalah pacar pertamaku, jadi aku sangat senang."

Pemuda berambut hitam itu tertawa kecil. "Jadi, apa aku harus melakukannya kepadamu setiap hari saat kita berpisah di sore hari?" tanya Rei lagi.

Lenka mengangguk kecil dengan sedikit tersipu-sipu. Di dalam hatinya, Lenka sangat ingin berteriak sekeras yang dia bisa karena dia sangat senang, tapi tentu saja Lenka tiak akan berteriak di hadapan Rei. Sebenarnya Lenka sudah merasa bingung saat Rei mencium keningnya kemarin, tapi Lenka juga tahu kalau Rei sudah ingin melakukannya sedari dulu, namun ditahannya.

"Aku bisa gila karena senang jika aku melakukannya setiap hari," ujar Rei seraya memainkan tangan kecil Lenka yang ada di dalam genggamannya.

Lenka tersenyum kecil dan mencubit pipi Rei dengan gemas. "Kalau Rei gila karena senang, aku bisa pingsan karena senang!" Suara tawa geli yang renyah keluar dari bibir Lenka. Gadis itu melangkah dengan cepat seraya menarik tangan Rei agar Rei mengikuti kecepatan langkahnya.

Pemuda berambut hitam itu menahan rasa gemasnya yang berlebihan terhadap Lenka―sampai-sampai ingin menggigit pipi gemuk milik Lenka―dan mengikuti arah langkah Lenka dengan pasrah.

"Yo, Lenka!"

Kedua bola mata milik Lenka dan juga Rei bergulir ke kiri, menatap seorang pemuda berambut pirang seperti Lenka yang melambaikan tangannya dengan ramah.

"Ah, Paman!"

Kini kedua bola mata milik Rei menatap Lenka dan juga pemuda berambut pirang tersebut secara bergiliran. Awalnya Rei ingin menanyakan siapa pemuda tersebut kepada Lenka, tapi begitu Lenka mengucapkan kata "Paman", Rei langsung sadar, pemuda tampan itu adalah orang yang baru saja diceritakan Lenka kepadanya.

Lenka masih tetap menggenggam tangan Rei, dan menarik Rei menuju pemuda berambut pirang tersebut. "Sedang apa Paman disini?" tanya Lenka dengan cepat.

"Sedang berjalan-jalan saja. Aku tidak terlalu hapal dengan daerah di sekitar sini," jawab pemuda pirang tersebut seraya melihat sekelilingnya, hingga pandangannya bertemu dengan Rei yang sedang menatapnya. "Pulang dengan pacar?" ujar pemuda tersebut―Rinto.

Secara reflek, Rei melepas genggamannya dengan Lenka dan mengulurkan tangannya di hadapan Rinto. "Ah, aku Kagene Rei, salam kenal."

"Hee, ternyata kau pacarnya Lenka." Rinto memandang sejenak tangan Rei yang terulurkan kepadanya, dan membalas uluran tangan Rei. "Kagami Rinto, salam kenal juga."

Rei tersenyum kecil tanpa melepaskan pandangannya terhadap Rinto. Dia tidak menyangka kalau orang yang selama ini diceritakan oleh Lenka ternyata memiliki wajah yang masih bisa dibilang muda, dan bisa saja menarik hati Lenka. Apalagi saat ini mereka tinggal di satu atap. Sambil memandang Rinto dengan sinis, Rei mengeratkan genggamannya terhadap Rinto.

Rinto sedikit tersentak. Tapi begitu menyadari pandangan sinis Rei kepadanya dan juga aura cemburu yang mengelilingi tubuh Rei, Rinto tertawa geli di dalam hati. Tangan besar milik Rinto ikut mengeratkan genggamannya terhadap Rei seraya tersenyum dengan manis.

Sementara Lenka hanya menatap kedua pemuda yang masih berjabat tangan secara bergantian. Keduanya sama-sama mengeluarkan aura hitam yang tidak enak, dan juga senyuman manis yang entah kenapa terlihat sangat menyeramkan dan juga bisa membuat bulu kuduk siapapun berdiri dengan tegak.

"Mohon kerja samanya, 'Paman'," ujar Rei seraya menekan beberapa kata pada ucapannya.

"Kau tidak perlu repot-repot, panggil aku Rinto saja. Umur kita tidak beda jauh, kok," ujar Rinto seraya mengibas-ngibas tangan kirinya di depan dadanya. "Dan, mohon kerja samanya juga, Rei."

Lenka tersenyum lebar dengan penuh semangat. "Ah, kalian sudah sangat akrab!"

To Be Continued.

Lagi-lagi fic multichap yang hancuuuuur! X9

Ah, kali ini pair yang aku gunakan adalah ReiLenkaRinto! Fic ini aku persembahkan untuk kalian semua, terutama untuk Reynyah dan juga Shiroi Karen yang me-request fic ini! Semoga kalian semua suka! XD

Karena kemarin aku bikin multichap cinta segi… err, empat? Sekarang aku bikin cerita segitiga! :9 setelah fic multichapku yang sebelumnya tamat, entah kenapa kerasa seeepiiii banget. Maka dari itu, aku bikin multichap lagi. Hehe… yah, semoga fic ini sukses juga seperti cerita yang sebelumnya. Mohon bantuannya, ya! :3

Yosh, karena sekarang UN sudah selesai, aku mau rajin-rajin bikin fic (kalau bisa). Sebelum UN engga ada waktu luang untuk berinspirasi, sih… XD

Ada kemungkinan fic ini updatenya lama karena lagi kurang ide… mohon ditunggu dengan sangat sangat sangat sangat sabar untuk chap ke-2nya, ya… X3

Oke, segini aja dari aku, berminat untuk me-review? :3