Disclaimer Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime
Image cover isn't mine. Credit goes to the artist
1
Eren mengobrak-abrik lemarinya dengan kesal. Tiket kereta yang sudah ia pesan berhari-hari yang lalu tiba-tiba menghilang begitu saja. Padahal ia yakin sekali, tiket keretanya itu tersimpan aman di laci lemarinya. Ia memeriksa setiap kantong celana atau baju miliknya. Namun yang ia temukan hanya beberapa lembar uang yang sudah lecek.
"Aargh!" keluh Eren frustasi dengan pencariannya yang tidak membuahkan hasil. Ia mengacak-acak rambutnya sendiri kemudian berteriak,"Mikasa!"
Mikasa datang kurang dari sepuluh detik. Ia berdiri di ambang pintu dengan satu tangan membawa panci. Matanya melebar ketika melihat baju-baju Eren yang berserakan di lantai. "Ada apa Eren? Pagi ini kau lebih gaduh dari biasanya."
"Kau lihat tiket keretaku?" Tanya Eren dengan wajah memelas. Mikasa terdiam sesaat, kemudian mengalihkan pandangannya dari Eren. "Entah…"
"Kau yakin Mikasa? Mungkin kau melihatnya di mesin cuci atau—"
"Tidak. Aku tidak tahu," potong Mikasa. " Segera bereskan semua ini, Eren. Aku akan melanjutkan memasak." Kemudian Mikasa melangkah pergi ke dapur tanpa menghiraukan Eren yang masih ingin protes.
Eren hanya bisa mengepalkan tangannya ketika dirinya diabaikan begitu saja oleh saudari tirinya itu. Ia meraih bantal kemudian melemparkannya ke lemari yang kini nyaris kosong itu. Seolah tak ada tenaga yang mengisinya, ia menghempaskan tubuhnya ke kasur dengan kedua tangan telentang. Matanya menatap kosong langit-langit yang sudah jamuran, saking seringnya terkena air hujan. Diingatnya kembali aktivitasnya minggu ini. Mungkin tanpa sadar ia menjatuhkan tiketnya di jalanan? Namun sepertinya tidak mungkin. Pekan lalu, seusai membeli tiket di stasiun, ia langsung pulang ke rumah dan ia mendapati tiketnya baik-baik saja. Ia menyimpannya di dalam laci lemarinya, di antara beberapa surat-surat berharga. Setiap hari, ia selalu memastikan pintu lemarinya terkunci dengan baik sebelum meninggalkannya. Eren menjaga tiketnya seperti seorang ibu menjaga bayinya. Mengingat semua hal yang telah ia lakukan, bagaimana bisa tiket itu menghilang seolah ia tak pernah membelinya?
Pandangan Eren beralih ke kalender yang tergantung di dinding kamarnya. Besok lusa, tanggal 13, adalah hari pelaksanaan tes tulis akademi kepolisian. Jika ia melewatkan hari itu, ia harus menunggu sampai tahun depan. Surat lamaran yang sudah ditulisnya dengan susah payah akan sia-sia. Itu artinya, ia terpaksa harus menganggur lagi karena tidak mungkin juga ia masuk universitas.
Eren menepuk kepalanya. Sial, apa tidak ada yang bisa kulakukan? Dengan uang yang ia miliki sekarang, jalur udara tidak bisa dijadikan alternatif baru. Pilihan yang tersisa adalah bis malam atau kereta malam. Ia menggigit bibir. Bis malam terlalu berbahaya untuk dinaiki meski harganya bersahabat.
Getar ponsel yang tiba-tiba membuyarkan Eren dari lamunannya. Ia mengambil ponselnya.
Armin.
Eren membuka pesannya. 'Hei Eren? Sudah di stasiun? Aku harap kau tidak ketinggalan kereta. Segera hubungi aku jika sudah sampai. Keluargaku bersedia menampungmu sampai kau diterima. Selamat berjuang. Armin.'
Eren menghela napas panjang. Mungkin aku harus naik kereta malam.
Mikasa mengetuk pintu kamar Eren, berniat memberi tahu bahwa makan malam sudah siap. "Eren…" panggilnya. Tak ada jawaban dari Eren. Mungkin dia sedang tertidur? Ia mengetuknya kembali, kali ini lebih keras. "Eren, kau di sana?" Masih tak ada jawaban. Rasa khawatir mulai terpercik di benaknya. Apa yang sedang Eren lakukan? Tanpa menunggu lagi, ia langsung membuka pintu kamar, yang ternyata tidak terkunci. "Eren!"
Eren menoleh. Wajahnya berkerut melihat kedatangan Mikasa yang tiba-tiba. "Sudah kubilang berapa kali untuk jangan seenaknya memasuki kamarku?"
Kali ini giliran Mikasa yang jengkel. "Aku sudah mengetuknya. Tapi kau tidak mendengarnya."
Eren mengedikkan bahu, tidak terlalu peduli dengan ucapan Mikasa. Ia kembali sibuk melipat pakaiannya yang tadi bertebaran di lantai.
"Eren, apa yang kau—" Tanya Mikasa, kebingungan melihat Eren yang sibuk mengepak baju ke koper. "Kau akan pergi ke mana?"
Eren memasukkan bajunya asal-asalan yang jika dalam keadaan biasa akan memicu omelan Mikasa. Namun Mikasa terlalu penasaran mendengar jawaban Eren, sehingga tak menghiraukannya. Eren memberikan pandangan aneh pada Mikasa. "Ke Sina, tentu saja."
Akademi kepolisian? Mikasa menggigit bibir. Bahkan setelah usahanya menyembunyikan tiket Eren, ia masih bertekad pergi ke sana? "Untuk apa? Masuk ke akademi kepolisian itu?" ujarnya dengan nada monotonnya yang biasa.
Eren tahu Mikasa tidak pernah setuju dengan kemauannya. Setiap kali ia menceritakan mimpinya, Mikasa selalu memberinya ceramah panjang lebar tentang betapa bahayanya profesi yang ia inginkan. Sayang, semua itu sia-sia. Keyakinan Eren tidak pernah goyah sedikitpun, apa pun yang Mikasa katakan tentang itu. "Iya. Itu cita-citaku sejak dulu." Eren melipat baju terakhir yang dibawanya, kemudian memasukkannya ke dalam koper. "Dan kau tidak bisa melarangku."
Mikasa melangkah mendekat. Kedua tinjunya mengepal. Penolakan Eren membuat hatinya terasa sakit. Dan, meski ia tahu mencegah Eren pergi berarti menyakitinya juga, ia tetap melakukannya. Ia tak ingin melihat satu-satunya anggota keluarga yang ia miliki, tewas terbunuh oleh kawanan vampire seperti orang tuanya. "Eren." Mikasa menggenggam tangan Eren. "Kau tahu betapa berbahayanya di luar sana? Kau tahu berapa banyak vampire yang akan kau temui di perjalananmu? Dan demi Tuhan, Sina adalah kota dengan populasi vampire terbanyak Eren!"
Begitu banyak emosi yang tersirat di balik kata-kata Mikasa. Ini pertama kalinya Eren mendengar Mikasa berbicara dengan emosional, tidak monoton seperti biasanya. Perasaannya menjadi tidak enak. "Aku akan tetap pergi Mikasa," ucap Eren, meski hatinya dirundung rasa bersalah. "Jangan meremehkanku Mikasa. Aku pasti sanggup menjadi seorang hunter. Aku tidak akan mati semudah itu."
Mikasa terdiam. Ia harus berani untuk melepaskan saudaranya. Membiarkannya terbang menggapai mimpinya. Tapi ia terlalu takut. Takut memikirkan masa depan seperti apa yang akan dilaluinya.
Gadis itu mempererat genggamannya. "Eren, apa kau benar-benar yakin—"
Eren membenturkan dahinya ke dahi Mikasa. Mikasa terkejut, genggamannya terlepas. "Apa yang—"
"Percayalah padaku Mikasa!" geram Eren. "Aku memang tidak memiliki bakat sepertimu. Dan aku juga sering mengandalkanmu. Tapi kali ini…" Eren menunjukkan sebuah belati perak yang sejak tadi ia sembunyikan di balik bantal. Ia menggenggam erat belati itu, berusaha membuat Mikasa percaya akan determinasi yang ia miliki. "Aku sanggup melindungi diriku sendiri dan aku tidak akan membiarkan mereka membunuhku. Tidak akan pernah."
Air mata merebak di pelupuk mata Mikasa. Ia tak sanggup membendungnya lagi. Eren mungkin adalah satu-satunya orang yang mengetahui sisi lemah Mikasa.
"Oi, Mikasa," ujar Eren yang tiba-tiba jadi merasa canggung melihat saudari tirinya menangis.
Mikasa mengabaikannya. Ia merengkuh tubuh Eren dan menangis di pundaknya. Mikasa tidak berkata apa pun, hanya menangis. Eren balas memeluk Mikasa. Mikasa adalah anggota keluarganya yang berharga. Ia tidak suka meninggalkannya juga. Meski begitu, Eren merasa ia harus tetap mengejar mimpinya. Dan ia akan memastikan bahwa ia tidak akan gagal. Suatu hari nanti, ia akan pulang dan memamerkan keberhasilannya pada Mikasa. Membuktikan bahwa kata-katanya salah.
Mereka berdua tidak bergerak ataupun berbicara. Hanya suara tangisan Mikasa yang mengisi kesunyian di antara mereka. Eren mengusap-usap punggung Mikasa, seolah berkata semua akan baik-baik saja.
Setelah tangisan Mikasa mereda, ia melepas pelukannya. Hidung Mikasa benar-benar memerah seperti hidung badut. Eren tersenyum geli melihat Mikasa. "Aku akan rutin mengabarimu."
Mikasa menghapus sisa-sisa air matanya yang membasahi pipi kemudian menjawab,"Aku akan datang setiap saat kau perlu bantuan."
"Oh, ayolah Mikasa." Eren mengambil jaket hitam yang tergantung di dinding lalu mengenakannya. "Aku bisa melakukannya sendiri."
Eren memanggul ranselnya sedangkan tangan kanannya membawa koper. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sudah saatnya Eren pergi. "Aku akan baik-baik saja." Ia melangkah menuju pintu depan dan Mikasa mengekor di belakangnya. Ia menoleh dan memberikan Mikasa lambaian kecil, kemudian melangkah keluar.
Mikasa membalas lambaiannya dan tersenyum tipis.
Tak lama, setelah sosok Eren sudah tak terlihat lagi, bulir air mata kembali jatuh menuruni pipinya. "Kau benar-benar egois, Eren."
Author note:
Kenalkan, saya author baru di sini uwu. Terima kasih banyak buat siapa pun yang meluangkan waktu buat baca fic ini. Dan maaf kalau jelek, saya masih newbie u_u. Omong-omong di chapter ini masih belum ada Ereri atau Jeaneren nya, tapi di chaper berikutnya dijamin ada kok :D
Sekali lagi terima kasih banyak~
