Disclaimer: Om kishi-muach (bejeked xD)
Warning: AU, lil bit Gore, char death, typos bertebaran, tanda baca nyasar, cerita awut-awutan, gajeness, absurdness, OOC-ness dwwl.
-NaruHina Present-
Terinspirasi dari komik 07-Ghost. Ya alloh, itu kenapa si Labrador imut kali yak ?(woy, napa cerita itu? dan ini bukan A/N dodol - -a)
-Three Wish by Akemi M.R-
Menganut asas kepentingan kita bersama yaitu DLDR alias Don't Like Don't READ!
So, Here we go. Happy reading :D
-ooo-
Summary: Menghadapi Ayah temperamental dan pemabuk sudah cukup buruk. Apalagi ditambah dengan pacar yang selingkuh dengansahabat sendiri dan mereka bahkan sudah tak menganggapnya ada!/"Ada hal yang takkan pernah kembali bagaimapaun kita berjuang. Ada pula keputusasaan yang tak dapat berakhir"
-ooo-
"Hinata, jadilah gadis yang baik, sayang. Teruslah berusaha dan berdo'a"
Itu wasiat sang Ibu kala menghembuskan nafas terakhir. Beliau meninggal akibat luka-luka dalam disebabkan sayatan benda tajam yang mengenai hampir sekujur tubuhnya.
Hinata selalu mengingat kata-kata Ibunya. Dulu saat ia masih lugu dan polos, ia akan mematuhi setiap patah kata Ibunya tanpa banyak bicara. Tapi sekarang?
-ooo-
Title: Three Wish
Main pair: Naruto x Hinata, slight itaHina
Genre: hurt/comfort, trgedy, suspense dll, dkk, dsb, dst (boriong aja semuanya - -a)
Fic dedicated for NHDD#3
-oo-
PRAANGG
"Aku ingin minum. Bawakan sekarang juga, sialan!" gelegar seorang pria paruh baya. Menyalurkan kekesalannya dengan melempar satu persatu botol bir kosong disampingnya secara bergilir ke tembok hingga pecah dan berserekan di lantai.
Gadis bersurai indigo hanya menghela nafas pelan dan sesekali mendengus kasar menghampiri sang Ayah. Hinata tak tau kapan tepatnya. Berangsur-angsur keluarganya menjadi tak tertolong lagi. Kematian Ibunya menjadi pukulan terberat dalam hidup sang Ayah begitu juga baginya dan keluarga kecilnya. Tapi, cinta Ayahnya pada sang Ibu begitu besar. Seolah memenuhi hatinya hingga tak mampu lagi menerima cinta dari Hinata dan Hanabi.
Hingga tak menyadari kasih sayang yang selalu mereka tampakkan.
Hingga membuat mereka berdua menyerah untuk meraih cinta sang Ayah.
"Sudah habis"
"Beli, Dasar Bodoh!"
"Aku tak punya uang"
"Cari!" bentak Hiashi. Otot-otot disekitar mata Hiashi menyembul seakan ingin keluar dari kulitnya.
"Ayah, sudah cukup! Ayah hanya akan menyakiti diri Ayah sendiri. Apa yang sebenarnya Ayah inginkan?"
Itu sama saja dengan memprovokasi Ayahnya. Hinata tau itu. Tapi, Hinata ingin mengatakan hal yang selama ini ia pendam. Jika Ayahnya tak pernah memberi ruang dan waktu untuk menyerukan perasaan itu. Lama kelamaan perasaan itu pun akan lumpuh lalu mati. Dan Hinata tak ingin hal itu terjadi.
Maka, sekaranglah Hinata akan mengatakannya. Tak peduli ketepatan waktunya. Tak peduli apapun resikonya. Toh, pada akhirnya sama saja. Dirinyalah yang jadi pelampiasan amarah Hiashi. Ironis, bukan?
PLAKK
Satu tamparan.
Tapi, tamparan itu lebih menyakitkan daripada pukulan fisik macam apapun yang pernah diterima Hinata.
"Aku hanya ingin Hikari kembali"
Baru kali ini seorang Hiashi Hyuuga menampakkan kesedihannya walau hanya dari air mukanya saja. Namun, itu sudah cukup untuk membuat hati Hinata terkoyak teringat kesedihan dan kenangan pahit yang ingin dilupakannya.
"Ibu tak mungkin kembali, Ayah"
SREK
Pintu geser yang membatasi ruangan itu dari ruangan lain berderit terbuka pelan menampakkan seorang gadis kecil yang terlihat terlalu takut untuk masuk. Hinata berbalik dan menghampiri gadis itu.
"Nee-chan, Ayah kenapa?" Tanya Hanabi -gadis kecil itu- dengan suara lirih bergetar. Dari sudut matanya yang cekung dan berkedut tampak jelas Hanabi sedang menahan tangis. Hanabi takut dengan teriakan keras, ia menjadi panik saat mendengar volume suara yang cukup keras dan menangis sesudahnya. Entah apa penyebabnya, mungkin trauma masa lalu.
"Ayah tidak apa-apa, Sayang"
Hinata menepuk punggung Hanabi sambil memeluknya erat. Mecoba menenangkan sesenggukan pelan adiknya dan itu terbukti berhasil seperti biasanya.
"Aku takut Nee-chan"
"Sudahlah sayang, semuanya baik-baik saja"
Tidak! Pada kenyataannya semuanya tidak baik-baik saja dan takkan pernah baik-baik saja. Hinata sudah mengetahuinya sejak , mencoba untuk terus berharap bahwa ini semua hanya mimpi yang akan segera berlalu. Lalu menghilang.
'Kami –sama, aku sangat lelah. Sungguh!'
-oo-
Hinata pernah menjadi gadis seorang gadis polos. Hinata pernah menjadi gadis seorang gadis lugu. Hinata pernah menjadi gadis seorang gadis ceria. Tapi, kehidupan perlahan merenggut semuanya hingga terasa habis tak bersisa. Bahkan Hinata lupa bagaimana cara tertawa lepas atau tersenyum tulus. Hingga ia juga lupa caranya marah dan bersedih atau mungkin saking seringnya hingga hatinya telah mati oleh perasaan itu. seperti saat ini.
Sudah tak terhitung lagi berapa kali gadis itu menangis dalam diam saat menyadari jika dIrinya hanya dijadikan 'batu loncatan' pemuda yang dicintainya untuk mendapatkan sahabatnya, Shion Yakushi.
Bukan salah Shion jika terjatuh dalam pesona pria itu. Salahnyalah yang terlampau mencintai pemuda itu hingga tak sanggup untuk kehilangannya. Jangankan kehilangan, melupakannya saja tidak.
BRUUK
"Ittaaaii"
Hinata terlalu larut dalam dunianya sendiri Hingga tak menyadari jika ia telah menabrak seseorang.
"Hontou ni gomenasai"
"Kau tak apa, 'kan?" Tanya seorang pemuda pirang pada gadis yang baru Hinata tabrak. Gadis blonde itu menggeleng pelan sebagai tanggapan atas pertanyaan retorik si pirang. Sebenarnya tak perlu itu pun Naruto sudah dapat mendeteksi keadaan kekasihnya mengingat ringis tertahan yang disembunyikan gadis itu.
"Apa yang kau lakukan, hah? Shion baru saja sembuh dari kecelakaan"
DEG
"Sudahlah, Naruto-kun! Ayo pergi"
"Tapi.."
"Ayo! Katanya kau janji akan membelikanku ice cream?"
"Baiklah!"
Sungguh apa ini balasan yang patut diterimanya setelah selama ini bersikap diam atas kelakuan dua orang yang pernah disayanginya –dulu?
Rasanya sangat menyakitkan. Entah kenapa seperti ada sebuah tangan tak kasat mata yang mencengkram paru-parunya kencang. Matanya memanas. Padahal dirinya sudah mencoba mengikhlaskan keduanya. Tapi, sial!
Hatinya masih menyimpan perasaan laknat itu.
Hei, melihat kemesraan sahabat dan mantan kekasihmu di depan mata kepalamu sendiri bukan hal yang ingin kau alami pada pagi hari yang cukup rumit seperti saat ini, bukan?
-ooo-
Siksaan baru saja dimulai.
Semakin hari, Naruto makin gencar melancarkan aksinya pada Shion tanpa memandang Hinata sekalipun.
Dan Shion sama saja. Bukannya menjaga perasaan Hinata, malah terlena oleh bujuk rayu mulut manis Naruto.
Sialan!
Segalanya menjadi rumit. Semakin rumit kala keduanya mengumumkan acara pertunangan mereka yang rencananya akan dilangsungkan tepat setelah malam perpisahan sekolah.
Hati Hinata hancur saat mendengarnya. Malah mungkin sudah tak berbentuk lagi saking seringnya. Oh Naruto, pernahkah kau membayangkan terpuruknya Hinata saat ini? Jangankan membayangkan Naruto tak pernah sekalipun memperdulikannya. Bahkan saat mereka masih menyandang status sebagai SEPASANG KEKASIH.
Apalagi, sekarang. Saat mereka bahkan seperti musuh -well, salah satu menganggap yang lain musuh.
-ooo-
Hinata tau apa itu neraka.
Neraka itu, sorot mata yang dingin, ramput perak mencuat, kacamata tanpa frame yang angkuh dan niat yang jahat. Jadikan satu paket dan rangkai hingga membentuk satu kesatuan. Maka itulah neraka yangakan dialami Hinata. Well, apalah arti satu masalah dalam kubangan penderitaan yang menjerat Hinata saat ini.
"Diamlah, Gadis Kecil! Kau hanya menyengsarakan adikku dan kau pantas mendapat balasannya"
Pemuda bersurai perak menjambak rambut Hinata hingga mendongak dan membuat matanya segaris lurus dengan iris amethyst terluka Hinata. Ingin rasanya Hinata melawan. Tapi, bagaimana? Dengan tangan dan kaki terikat? Jangan bercanda!
"Ada kata terakhir sebelum aku membekap mulutmu?"
"Pergilah ke neraka!" desis Hinata.
Ia tau itu hanya akan memprovokasi pemuda itu agar segera melancarkan niatnya. Persetan! Hinata tak peduli.
"Setelah ini semua berakhir. Kau akan berterima kasih padaku"
Hinata terlampau faham bahwa perlawanannya akan sia-sia saja dihadapan tiga musuhnya. Disamping kalah jumlah, jelas ia juga kalah dalam segi kekuatan. Mengingat ketiganya bergender laki-laki.
Inilah saatnya ia harus berpisah dari raganya. Berpisah total agar ia tak harus merasakan segala kepedihan yang akan dihadapinya. Raga yang sebentar lagi bukan menjadi miliknya. Hinata benar-benar putus asa. Tuhan pun tau.
'Kami-sama, aku tak rela jika ragaku ternodai oleh tangan kotor mereka. Jikalau itu benar terjadi, lebih baik kau ambil saja nyawaku. Aku tak ingin hidup dalam rasa bersalah atas dosa mereka'
TES
Setetes air mata jatuh menuruni pipinya bercampur peluh membasahi tanah yang dipijaknya.
"Sebelum kunikmati tubuhmu. Ada baiknya kau tau namaku. Kabuto Yakushi, ingat itu!"
Seolah Hinata dapat melupakannya saja!
-ooo-
Hinata sudah hancur.
Satu-satunya hal yang dapat kau banggakan dalam tekanan ekonomi yang menghimpitmu adalah harga dirimu dan apa orang miskin tak pantas mempertahankannya? Harga dirinya adalah satu-satunya hal yang masih dimiliki dan akan terus Hinata jaga jika ia bisa. Sayangnya, kini telah hancur.
Jadi, untuk apa lagi ia hidup?
TES
Itu mungkin adalah tetesan terakhir air menjadi sangatlah kacau. Dan Tuhan pun tau, Hinata sudah BENAR-BENAR putus asa menjalani hidup ini .
'Kami-sama'
Disini, di gedung tua kosong yang akan menjadi saksi bisu akhir penderitaan Hinata, karena ia akan bunuh diri disini. Saat ini juga.
Hinata menggenggam pisau lipat yang tadi ditinggalkan oleh tiga orang yang telah sukses menghancurkan masa depannya. Mungkin untuk inilah mereka meninggalkan benda ini. untuk menyempurnakan rencana mereka dan Hinata akan mengikutinya dengan senang hati.
"Ada hal yang takkan pernah kembali bagaimapaun kita berjuang. Ada pula keputusasaan yang tak dapat berakhir"
Sebuah suara menggema menjadi gaung dan memenuhi ruangan gedung tua itu.
TING
Pisau lipat itu terpelanting menjauh dan sesosok bayangan menyeringai tampan didepannya. Dasar sial!
'Belum cukupkah semua ini?'
"Apa maumu, hah?"
Kembali kata-kata itu bergaung.
".. Hinata Hyuuga, aku akan membantumu mewujudkan tiga keinginanmu dan tukarlah dengan jiwamu"
Pria itu tiba-tiba menngeluarkan sayap hitam dari punggungnya dan sebuah sabit berwarna serupa dalam genggaman. Aura disekeliling secara misterius berubah mencekam. Hinata jelas terkejut hingga tak kuasa mengucapkan apapun yang ada dalam ucapannya tertahan di lidah.
"Memintalah! Jangan takut dan aku akan membantumu mewujudkannya"
Berbanding terbalik dengan wujudnya. Ekspressi makhluk itu jelas menyiratkan ia melihat semuanya, memahami segalanya dan telah melewati seluruhnya.
Persetan!
Dipikir lagi, apa gunanya ia bunuh diri? Toh, itu tak akan merubah apapun. Dan mereka yang menghancurkan hidupnya akan tertawa riang diatas jasadnya. Jadi, apa salahnya?
"Baiklah, aku ikut."
TBC = tuberkolusis
A/N: holla, akemi holic dan akemi licious dimanapun anda berada. Yo yo yo, ketemu lagi dg akemi disini (Jebreeet XD) dg bangga bercucur peluh darah dan air mata akemi mempersembahkan fic ini. jika kurang berkenan di hati anda, jangan salahkan saya. Saya kan polos ga tau apa-apa (buagh). Apakah ini tidak melanggar aturan? Apa saya nge bash Shion atau Kabuto. Well, saya emang niat ngebash Naruto sih (dibantai Narutic XD). Anw, itu kata-kata yang aku culik dari manga black butler loh *ga tanya
Dan Kalo emang melanggar saya rela kok dengan ikhlas menghapus ini fic.
Maafkan daku Hina sayang, aku mah Cuma ikut-ikutan jadi jangan salahkan daku atas penderitaan yang kau alami T.T#KABOOORRR XD
So, bye-bye! See yaa in d'next chapter
Hontou ni gomenasai
Dan
Arigatou gozaimasu
Salam hangat penuh cinta lagi
Akemi M.R
Sign out,
