Mari ramaikan fandom GrayLu XD!
Cover by Milady666 *gasempet minta ijin hehehehe*
Fairy Tail isn't mine.
Oke, ini two-shots kok... aku ga bakal ngerepotin lagi para penunggu multichappie ku yang lain.
Ini ku replace namanya dari fict buat temenku... jadi kalo ga ada yang make sense maaf ya!
Enjoy.
"Amamu yapa?"
"Lucy…amu apa?"
"Kita… akan selalu bersama, kan, Lucy?"
"Ahh, aku ingin sekali dekat denganmu selalu, Gray!"
"Janji ya?"
"Ya!"
Lelaki yang satunya membuat mahkota dari ranting-ranting. Senyumannya tidak lepas dari wajahnya ketika dia mendekati perempuan yang berlari-lari di sekitar perbukitan itu. Lelaki itu melambaikan tangannya, mencoba mengejar si perempuan. Perempuan itu tertawa dan tergelak, menjulurkan lidahnya. Matanya bersinar, dan dia tampak sangat bahagia. Dan si lelaki, dengan senyuman paling menawan, menaruh rangkaian mahkota ranting itu di kepala si perempuan. Keduanya tertawa bersama, dan mereka saling menggenggam tangan masing-masing. Adegan yang sangat klise dan romantis, tapi ini—sebuah momen yang tidak terlupakan. Untuk kedua insan itu.
"Gray—Apa itu… jatuh cinta?"
"Hm, sesuai di buku, cinta bisa membuat orang menangis, tertawa, mulas, dan banyak hal lain. Aku tidak begitu mengerti. Memang kenapa?"
"Enak ya, punya cinta. Tapi seram sekali, kenapa menangis?"
"Itu 'kan artinya kau membuat hubungan spesial dengan orang lain, Lucy. Kadang mungkin saja orang lain itu tidak membalas."
"Oh… aku takut dengan Cinta, Gray. Sepertinya sangat menyeramkan!"
"Aku tidak akan menyakitimu Lucy. Gray akan jadi pangeranmu!"
"—walaupun itu artinya si pangeran menikah dengan si putri, bukan putri duyung?" Lelaki itu terkejut. Gadis itu melanjutkan, "Karena aku putri duyung."
Gadis kecil dan lelaki itu berlari-lari bersama. Mereka benar-benar tampak berbahagia. Senyum terbentuk di wajah mereka berdua. Tangan saling bertautan. Mata mereka saling menatap, dan senyum terbentuk di wajah mereka. Mata yang penuh kepolosan, dan kasih sayang yang betul banyak luar biasa. Walau usia mereka berdua bisa dibilang sangat muda.
"—Lucy!"
"Hn?"
"Kita selalu bersama, kan?"
Gadis itu tersenyum. "Kita sudah janji!" Jari kelingking mereka bertaut.
Cinta Masa Kecil
©Jellal/Myst29/Aria
This story is mine.
One-Shot.
Warning : Some trash Indonesian's Song, I got the inspiration from Heart.
Enjoy.
"—Hari ini aku ada latihan sepak bola, Luce! Jadi, seperti biasa kau akan menungguku latihan, kan?" Tanya Gray, menaruh tasnya di loker. Pandangannya memicing ke arah perempuan berwajah cantik itu; Lucy. Sedangkan si perempuan hanya bisa mengangkat alis, lalu mengangkat bahu. Tangannya sibuk menggenggam lebih dari lima buku.
"Baiklah, kalau kau memaksa. Tapi habis itu kau harus traktir aku di restoran!" Ancam Lucy, dan menyeringai licik. Gray memajukan bibirnya. Dia paling benci ketika Lucy bisa membuatnya kalah seperti ini.
"Baik—tapi kau harus bantu aku dengan PR kimia ini!" Seru Gray, menjulurkan lidahnya balik. Lucy tidak bisa berkata apa-apa, dan memukul Gray. Lelaki itu langsung lari tunggang-langgang sebelum dia masuk rumah sakit karena Lucy memukulnya dengan keterlaluan. Begitulah, hubungan mereka berdua yang sahabat dari kecil. Mereka sangat akrab, terkadang lebih akrab dari sahabat sesama jenis mereka.
"Geez, aku benar-benar tidak menyangka bahwa lelaki itu sangat merepotkan!" Lucy menghela napas berat. Namun, tidak ada yang benar-benar memperhatikannya. Lucy sedang berjalan menuju lapangan sepak bola, seperti biasa menunggu latihan Gray.
"Ayo Gray! Kau pasti bisa!" Teriak Lucy spontan, ketika Gray menggiring bola menuju gawang. Gerakan Gray terhenti sesaat dan dia terkesima sejenak, lalu terpeleset jatuh. Bunyi yang cukup keras, diiringi Lucy yang memukul kepalanya sendiri. Dengan gerakan secepat kilat, Lucy mendekati Gray yang jatuh.
"Gray, kau baik-baik saja?" Tanya Lucy khawatir. Dia mendekati Gray, memeriksanya. "Kalau nggak bangun-bangun juga, nanti kucium, loh!" Seringai Lucy. Gray, ajaibnya langsung membuka mata. Tapi jawabannya tidak seperti yang di duga Lucy.
"Coba saja kalau berani!" Jawab Gray, yang di sambut oleh wajah memerah Lucy. "Tapi kakiku sepertinya agak terkilir. Aku tidak bisa lanjut bermain." Lanjut Gray. Lucy membantunya berdiri sampai akhirnya mereka berada di mobil keluarga Lucy.
"Pak, ke Caffe Late ya!" Pesan Lucy, sebelum akhirnya membaringkan Gray di sisinya.
~LucyGray~
Rasanya, ayam bakar itu sangat menggiurkan. Apalagi lelehan mentega yang berada di atasnya, benar-benar menggoda. Kesegaran jus jeruk yang tengah di siapkan juga membuat rasa lapar Gray makin menjadi-jadi. Karena dia sangat lapar sekarang.
"Kau rakus," komentar Lucy ketika melihat Gray langsung melahap ayam bakar dan sayurannya ketika pelayan baru menaruh itu di meja. Gray memutar matanya, dan mendelikkannya balik pada Lucy. Perempuan itu hanya cengar-cengir saja, menganggap kalau dirinya sama sekali tidak salah.
"Lagian, inipun aku yang bayar kok!" Balas Gray kesal. "Kau juga jangan pesan yang mahal-mahal!"
"Eh?" Seringai Lucy tambah lebar. "Baru saja aku mau pesan yang paling murah. Tapi karena di bolehin, yasudah aku pesan ice cream deluxe."
"Lucy!" Protes Gray, mengangkat tangannya untuk mencegah Lucy memesan sesuatu yang lebih parah. Namun Lucy hanya terkekeh pelan, memanggil pelayan yang langsung datang dengan sekali jentikkan. Lucy membisikkan sesuatu di telinga pelayan itu, dan pelayan itu tampak berseri dan mengangguk. Gray benar-benar curiga bahwa Lucy telah memesan makanan yang benar-benar mahal, maka dari itu pelayan itu benar-benar senang. Gray mendesiskan kata-kata sindiran.
"Jangan lupa, PR kimia-ku!" Gray memelotkan matanya. Lucy tertawa renyah. Dia mengangguk, mengedipkan matanya. Dalam sekejap mata, kertas berlembar-lembar telah berada di depan mata Lucy. Lucy membuka perlahan-lahan kertas itu. Dia menepuk dahi, lupa kalau kimia adalah salah satu pelajaran kelemahannya. Dengan menggerutu, dia mengambil pensil dan berusaha untuk menyelesaikan beberapa soal. Terlalu, pikir Lucy. Ternyata ini betul-betul menyiksanya. Dia tidak tahu kalau ternyata pelajaran Kimia adalah pelajaran yang sangat susah. Tapi rasanya, kalau ada Gray yang berada di sampingnya, pelajaran ini—bisa terasa sangat enteng. Dan entah kenapa, pelajaran Kimia menjadi pelajaran yang cukup mudah. Woahh, Lucy! Ada apa denganku? Pikir Lucy, lalu sibuk menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan yang lain.
"Sudah selesai." Lucy menaruh pensilnya di sebelah kirinya, ketika dia selesai mencorat-coret idi kertas. Lucy lalu beranjak dari tempat duduknya, lalu melihat pelayan telah datang. Senyum kembali mengembang di bibir Lucy. Dia lalu datang lagi pada Gray. Lucy menyerahkan apa yang ada di tangannya, es krim.
"I…ini?" Gray terkejut.
"Eh Lucy, Lucy!" Panggil Gray pada Lucy. Gray kecil mengerjapkan matanya penasaran, dan Lucy mendekat. Gray menunjuk pada etalase toko. Di dalamnya, ada waffle es krim yang tampak menggiurkan.
"Ada apa, Gray?" Respon Lucy. Gray lalu menunjuk pada waffle itu. Lucy mengangkat alisnya bingung, karena dia tidak mengerti maksud Gray dengan menunjuk waffle itu. Benar-benar abstrak.
"Roti itu—sepertinya enak, ya Vy!"
"Kau benar." Komentar Lucy datar, kemudian dia melihat harganya. Ternyata harganya mahal sekali. Lucy bungkam. Dia ingin menyenangkan Gray, tapi harganya mahal sekali. Kemudian, Lucy berbalik, menghadap Gray.
"Gray," ucap Lucy serius. Gray menoleh, memberi tanda kalau dia mendengar apa yang Lucy ingin katakan. "Kalau aku tidak bermain denganmu beberapa hari ini, tidak apa-apakan?" Tanya Lucy. Gray tampak bingung, tapi di tengah kebingungannya itu dia mengangguk. Lucy menghela napas lega. Semejak itu, beberapa hari kemudian, Lucy jarang bermain dengan Gray. Saat Gray bermain sepak bola sendirian, Lucy muncul dari belakangnya, mengagetkannya.
"Gray!" Seru Lucy dari belakang, tersenyum lebar.
"Lucy!" Teriak Gray kaget. Dia bersungut karena Lucy mengagetkannya. Dia mengerucutkan bibirnya. Lucy kemudian menyerahkan sesuatu. Terbungkus plastik dan harum. "Apa itu?" Gray menjulurkan kepala ingin tahu.
"Untukmu," bisik Lucy. "Karena aku sayang Gray," lanjut Lucy. Mata Gray berbinar-binar. Gray segera melahap waffle itu.
"Enak?" Lucy tersenyum lebar. Gray mengangguk.
"Syukurlah," ucap Lucy.
"Waffle ini sepertimu, deh Lucy. Es krimnya dingin sepertimu, tapi waffle-nya mengimbanginya. Waffle itu plain dan polos, sepertiku. Tapi—" Gray berhenti sejenak, dan Lucy terpaku. "Es krim itu manis, kan?" Gray tersenyum keren. Beberapa detik kemudian, Lucy menyikut Gray.
"Plain dan polos, eh? Siapa bilang?" Ejek Lucy. Muka Gray memerah padam, dan detik kemudian dia menjejalkan sepotong waffle ke mulut Lucy.
"Kau tahu dari mana kalau aku suka es krim?" Tanya Gray.
'Ternyata dia tidak ingat. Memang, seharusnya aku pesan waffle.' Pikir Lucy, kemudian dia menepis kemungkinan-kemungkinan yang ada. Lucy menghela napas panjang.
"Sudah, makan saja. Gampang, kan? Aku sudah membantumu membuat tugas kimia, jadi cepat selesaikanlah makananmu, dan kita pulang," Gumam Lucy, lalu dia duduk tanpa melihat sekilas pada Gray lagi. Gray heran, tapi kemudian angkat bahu.
~LucyGray~
"Ehh? Lucy, kau tidak bisa? Menyebalkan!" Gerutu Gray ketika mengetahui bahwa Lucy tidak bisa menonton pertandingan sepak bolanya.
"Ya, maaf, Gray! Soalnya hari ini aku harus belajar—besok ada ujian, ingat?" Lucy mengingatkan Gray.
"Damn! Aku tidak ingat ada ujian besok?" Suara Gray dari seberang ponsel terdengar cemas. Lucy tergelak tertawa. Dia mengusap air mata yang keluar dari sudut matanya ketika mengatakan itu.
"Maksudku, ujian untuk anak jurnalis sepertiku, Gray. Kau, kan bukan anak jurnalis. Jadi kau tenang saja, ya. Duduk yang manis," goda Lucy. Gray cemberut, dan Lucy bisa merasakannya. "Lagian, bukan ujian juga, kok. Tapi karena penting, sekalian aja aku bilang ujian." Jadi Lucy mengacak rambutnya, mencoba berlaku keren—seperti cowok. DIa nyengir. "Sudah deh, Gray. Aku tahu kau sedang memajukan bibir lima sentimeter," cemoh Lucy, walau bercanda tentunya.
"Kalau begitu, kau salah," tukas Gray dari seberang ponsel. Lucy menekuk alisnya.
"Oh, ya? Coba kau jelaskan, tuan muda besar Gray. Apa yang salah? Aku tahu kau dari kecil, dan aku tahu gelagatmu kalau lagi senewen karena di goda oleh putri cantik sepertiku. Keganteng—maksudku kejelekanmu akan langsung tambah parah." Lucy membusungkan dadanya.
"Huh," Dengus Gray, yang walaupun pelan bisa terdengar Lucy di ponsel saat itu. "Tuh, buktinya saja, 'kan kau tidak tahu!" Ejek Gray. Lucy tersinggung, tentu dalam konteks yang baik.
"Aku tahu banyak tentangmu! Ayahmu, ibumu, kakak sepupumu, nenekmu, kakekmu, temanmu, teman kita, sepupumu, adik sepupumu guru lesmu, gurumu, sainganmu, guru TK-mu, guru renangmu, sustermu, ka—"
"Stop!" Seru Gray, lalu dia hanya menggelengkan kepalanya. Terdengar gesekan dari seberang, jadi Lucy bisa memperkirakan bahwa Gray sedang menggelengkan kepalanya.
"Lalu?" Tanya Lucy, melipat satu tangannya, sedangkan tangannya yang satu mengenggam ponsel itu agar tetap merapat ke telinga.
"Kau, 'kan tidak tahu kalau bibirku maju enam sentimeter," sombong Gray. Lucy melongo untuk beberapa detik. Sambungan telepon terasa sunyi. Lalu, Lucy tergelak.
"Gray, kau ngelawak! Sumpah! Dan apa maksudmu dengan enam sentimeter? Perkembangan terbaru?" Ledek Lucy, masih tertawa.
"Kan hebat, ada perkembangan," kata Gray bangga. Lucy bisa menangkap nada ceria di suaranya.
"Perkembangan yang sangat signifikan," sindir Lucy, tetapi setelah itu tidak ada yang bicara. Semuanya diam.
"Lucy?"
"Ya?" Jawab Lucy, mengalihkan pikirannya dari sofa kuning yang sedang di duduki anjingnya—Latty.
"Jadi kau tetap tidak bisa menemaniku untuk bermain bola? Kau, 'kan jarang absen. Kau absen kalau kau sakit, dan itu pun—" Lucy mendengar Gray menghela napas. "Aku tidak ikut pertandingan dan tetap berada di sampingmu sewaktu kau sakit." Lucy tertegun. Dia masih ingat, dia memang tidak pernah absen untuk menonton pertandingan Gray. Kecuali waktu dia sakit, dan Gray turun tangan, dia tidak main dan mendampinginya. Perasaan bersalah melanda hatinya.
"Gray, baiklah. Aku akan berada di sana," ucap Lucy akhirnya, menyunggingkan senyum terbaiknya.
"Benar? Benarkah Lucy?" Tanya Gray mempertanggung jawabkan kepastian.
"Iya, iya." Jawab Lucy, menganggukan kepalanya. Padahal, jelas sekali bahwa seorang Gray tidak bisa melihatnya. Tapi toh, tetap saja Lucy berniat menganggukan kepalanya itu.
"Janji?" Tanya Gray lagi. Lucy merutuk kesal. Masalahnya, Gray memintanya berjanji. Tapi, melihat suara Gray yang benar-benar antusias, Lucy menjawab.
"Iya Gray…! Ya ampun, ngotot banget, sih!" Komentar Lucy sewot, dan tertawa rendah. Gray tertawa di sebrang. Dia lalu melambaikan tangan, walaupun jelas dia tahu Lucy tidak akan tahu. Dan selanjutnya, sambungan telepon mereka terputus. Lucy menggelengkan kepalanya, berdiri dengan kakinya menyilang.
Bukannya Lucy tidak mau, sih. Tapi, hanya saja dia harus kumpul dengan klub jurnalis. Klub jurnalis? Sejak kapan seorang Lucy Fu Nakamura suka dengan sesuatu yang berbau dengan tulis-menulis? Semejak Nara marah gara-gara namanya di masukkan di cerita konyol mereka? Ah—tentu saja tidak. Ternyata, di klub jurnalis itu ada sesuatu yang membuatnya tertarik. Seorang lelaki bernama Jellal Fernandes.
Memang, sejak awal bertemu dia tidak langsung terperangah oleh pemuda berparas tampan ini. Kemampuannya bermain olahraga, pintar dalam pelajaran, dan serba bisa tidak membuatnya seseorang yang gampang saja disukai oleh perempuan berselera tinggi. Karena yang dilihat oleh perempuan-perempuan berkelas adalah sifatnya, bukan? Sayang sekali pemuda ini sifatnya bisa dibilang sangat jelek.
Tetapi kemudian Lucy makin penasaran dengan pemuda ini. Kemudian dia mengikuti kemanapun pemuda tampan ini pergi. Dia baru tahu kalau pemuda ini suka game online Ressa Reya! Pemuda ini tahu kalau Lucy mengetahuinya dan mengancam harus masuk ke klub jurnalis agar bisa 'mengawasinya.' Iseng-iseng, Lucy mulai mendaftar di situr Ressa Reya atau bahasa inggrisnya Racer Reya. Ternyata itu sama sekali bukan game yang terlalu feminin. Seperti balap mobil, tapi ada dialog-dialog yang seperti opera sabun dank au harus memakaikan jbaju pada orangnya. Benar-benar imut untuk game cowok. Lucy mendaftar sebagai Venus_21.
~LucyGray~
"Jadi, Gray, si pacarmu nggak ke sini?" Tanya Loke, men-juggling bola. Pandangannya mengarah pada sekitar lapangan bola itu, mencoba mencari gadis berambut sedada.
"Tidak, Loke. Lagian, kau ngapain nyari dia? Pas dia ada juga, kau malah bertindak aneh!" Gray mengomentari, sambil mengangkat bahu. Loke hanya nyengir, lalu menggiring bola sampai ke tengah lapangan.
"Ayo, Gray. Kita orang pertama yang datang ke sini. Harusnya, kita mempergunakan waktu ini untuk latihan!" Ajak Loke semangat, lalu mulai menggiring bola lagi. Tidak kurang dari tiga detik untuk Gray menyanggupi tawaran Loke itu. Dengan santai dia berlari mengejar Loke, mencoba untuk merebut bola dari Gray. Kadang dia berposisi sebagai keeper untuk mencoba menangkap bola yang di tendang Loke, atau kadang jadi striker. Pak Gildarts, si pelatih datang ketika Gray benar-benar sedang semangatnya berlatih.
Setelah pemanasan dan bimbingan dari pelatih dan kapten tim, Ken, mereka siap bertempur di lapangan hijau. Sebelum menepakkan kaki di rumput, Gray melirik ke bangku penonton sekilas. DI dalam hatinya, dia benar-benar berharap bahwa Nakamura Lucy berada di sana; duduk manis menunggu Gray dan menyorakinya. Kilasan-kilasan tentang janjinya kemarin kembali terulang.
"Janji?"
"Iya Gray…! Ya ampun, ngotot banget, sih!"
Entah kenapa, itu membuat hatinya lega. Dengan begini, dia akan bertanding dengan semangat empat lima. Dia membuat gol-gol spektarkuler dan umpan yang benar-benar bagus, kapten tim, Ken benar-benar terpesona akan kemampuan Gray yang benar-benar berkembang setelah beberapa minggu ini. Ken adalah lelaki berposisi sebagai penjaga gawang, dan dia sangatlah hebat. Gawang mereka belum kebobolan. Di babak selanjutnya, tim lawan mulai berhasil menyusul. Mereka menduduki posisi 3-3. Posisi imbang. Padahal ini sudah babak kedua dan waktu sudah hampir habis. Sudah jelas artinya—babak perpanjangan waktu. Gray mengambil istirahat. Peluh terus mengalir deras lewat pelipisnya dan jatuh. Dia meminum air sebanyak yang ia bisa, karena dia bisa dehidrasi. Gray terkejut ketika tidak menemukan handuk di tasnya.
"Mencari ini?" Tanya suara lembut. Gray menoleh. Seorang gadis cantik—berambut biru dan bermata hitam mengkilau. Gray benar-benar terperangah. Sosoknya yang cantik nan bidadari, tubuhnya yang benar-benar langsing—membuat Gray melongo. "Ha…halo?" Perempuan itu melambaikan tangannya. Gray cepat-cepat sadar dari dunia fantasinya.
"Eh-Ap—oh, iya. T-terima kasih," ucap Gray, mengangguk dan menerima handuk yang di serahkan gadis itu. Dia mengelap peluhnya sembari meminum air putih. Suasana canggung. "Kenapa canggung ya?" Celetuk Gray, dengan polosnya. Perempuan itu menoleh pada Gray, mata hitamnya menelusuri setiap lekak-lekuk wajah Gray. Kemudian seorang manusia cantik di sebelah Gray itu tertawa, mengatupkan mulutnya. Dia menarik otot-otot mulutnya agar bibir itu melengkuk, terlepas. Seakan itu adalah hal yang tidak pernah di lakukannya sedari dulu, seakan itu hal yang tidak pernah dia lakukan semejak dia belum lahir. Karena saat ini, dia benar-benar sangat bahagia. Tertawa karena lelucon aneh yang di ciptakan Gray, walau itu sebenarnya bukan lelucon.
"Kau lucu," gumam gadis itu ketika selesai tertawa. Gray nyengir meminta maaf, karena dia sebenarnya tidak bermaksud untuk berlagak jadi pelawak dadakan seperti itu.
"Siapa namamu? Kau baik sekali. Jarang lho, ada cewek yang mau nonton pertandingan bola seperti ini!" Seru Gray, lalu mengulurkan tangannya. Ya, kecuali Lucy. Tambahnya dalam hati. Dia berseri-seri menatap gadis itu, karena gadis itu paling tidak tertawa.
"Namaku, Juvia ," kata Gadis itu, menyambut uluran lelaki itu. Mereka berdua berjabat tangan, kemudian Gray bangkit. "Haha, padahal berkenalan denganmu itu bukan pilihan lho Gray. Kewajiban." Dia membereskan seluruhnya, termasuk tasnya yang dia sudah acak-acak dan handuk yang baru saja di berikan oleh GiaJuvia itu.
"Sebaiknya kita cepat. Pertandingan hampir di mulai!" Gray memperingati, dia berlari-lari cepat.
"Oh oke. Ayo!" Seru Juvia tersenyum ramah. Mereka berdua bergandengan tangan menuju lapangan.
~LucyGray~
Hati-hati kalau kau berkeliaran saat musim hujan di Jepang. Di Jepang, udara seperti ini akan membuatmu sakit. Sistem tubuh akan menjadi tidak fit, dan TADA! Kau sakit, deh. Tapi ada kalanya kau tidak sakit, tapi tiba-tiba saja jadi bersin.
"HATCHHUUU!" Seru Lucy, bersin. Semua anggota klub jurnalis segera menolehkan kepala padanya, sedangkan Lucy kalang kabut mencari tissue.
"Duh, musim kayak gini masih di paksa dateng buat bikin laporan," gerutu Lucy, membersihkan hidungnya. Levy, yang juga ikut klub jurnalis menoleh dan juga tertawa.
"Lagian, kenapa juga kamu gabung, Luvy? Kamu kan tidak tertarik dengan hal tulis menulis!" Tawa Levy, lalu mengetik kembali sesuatu yang sepertinya sudah di corat-coret Bu Bisca, pembimbing klub mereka.
"Eh it-itu…" ucap Lucy, mencoba mencari alasan. "Kamu juga! Image-mu nggak cocok banget, Levy! Anak paling populer sesekolah, ikut klub jurnalis? Kepalamu sinting?" Tanya Lucy, sepertinya mengalihkan pembicaraan. Namun Levy tidak keberatan, dan dia malah tertawa renyah.
"Ini hukuman dari Evan, adikku karena memakan roti bakarnya yang paling spesial. Golden choco latte smoke bake. Itu mahal dan rare banget, tapi malah aku habisin." Levy angkat bahu, lalu melanjutkan, "makanya ibu marah banget. DIa hukum aku untuk ikut jurnalis tiga bulan ini. Kalau sampai nggak, mau di tendang dari rumah kali!" Gurau Levy, beranjak dan mulai memotong-motong kertas. Jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat Lucy berada, sehingga Lucy tetap bisa mengobrol dengannya.
"Ya ampun, hanya gara-gara roti?" Lucy membelalakkan matanya, tidak percaya.
"Emm," jawab Levy mengangguk malas. "Parah banget, kan? Tapi aku ikhlas kok, di hukum. Salahku juga," kata Levy, lalu mulai duduk di kursinya lagi.
"Levy, inii tolong di edit. Tulisan tentang angkatan sembilan!" Seru Bu Bisca dari jauh. Levy bangkit dari tempat duduknya dan tampak terburu-buru. Langkahnya ia percepat, karena setahunya Bu Bisca bukanlah guru yang bisa entengnya di cuekin. Lucy mencoba melihat kertas yang di bawa Levy. Tebal, seperti sepuluh halaman. Dengan muka penasaran, Lucy bertanya.
"Ini apa sih, Levy?" Tanya Lucy. Levy mengangguk, menunjuk kertas yang sedang ia pegang.
"Oh, ini? Daftar-daftar murid angkatan sembilan, yang harusnya angkatan sembilan, dan alumni angkatan sembilan," jelas Levy, membolak-balikan kertas itu. Lucy masih memasang tampang tidak mengerti hingga Levy harus duduk dan menarik secangkir kopi, menjelaskan tentang data mentah—tidak mentah juga, bu Bisca sudah mengolahnya sedikit menjadi bentuk artikel walaupun berantakan—tentang angkatan sembilan ini. Tapi tentu saja tidak. Levy cukup waras untuk tidak berlari ke hadapan gurunya dan berteriak 'Miss, kopi satu!' akan membuatmu di hadiahi PR menumpuk dan detensi.
"Lucy yang cantik, manis dan baik," Levy memulai, menunjuk kertas itu. "Itu daftar siswi angkatan sembilan, yang lahirnya tahun dua ribu. Tapi, kayak Jellal, dia lahir tahun 1999 tapi angkatan sembilan. Ada juga yang lahir 2000 tapi angkatan sepuluh. Mereka yang begitu masuk daftar 'yang seharusnya angkatan sembilan,'" Jelas Levy sabar. "Alumni—itu seperti orang yang pindah. Natsu, misalnya. Dia tetap ada kok."
"Oh," Lucy memberungut, lalu matanya menangkap jam. Iris matanya melebar. "Sudah jam segini? Aku harus menonton Gray!" Seru Lucy, langsung berlari. Dia tidak memedulikan teriakan Levy ataupun suara tegas Bu Bisca. Yang di pikirannya sekarang hanya Gray, Gray, dan Gray. Sebentar lagi pertandingan akan selesai—oh tidak! Janji itu terngiang di kepala Lucy.
"Janji?"
"Iya Gray…! Ya ampun, ngotot banget, sih!"
TIdak peduli dia berhasil atau tidak, Lucy keluar dari kompleks sekolahnya. Ada satu bis yang berhenti, tetapi dia ragu untuk naik, karena Lucy adalah si anak rumahan yang tidak pernah naik bis. Tapi akhirnya Lucy mencoba. Dia menyerahkan uang secukupnya dan bis melaju. Ketike melihat lapangan yang biasa Gray pakai untuk pertandingan, Lucy turun. Hanya Gray yang di cemaskannya sekarang. Tapi Lucy berhasil. Dia melihat Gray mencetak gol dan peluit panjang berbunyi. Air mata keuar dari pelupuk mata Lucy. Tim mereka menang! Lucy ingin berlari ke lapangan, memeluk Gray Fullbuster saat itu juga. Tapi seketika itu juga, ada yang berlari dan memeluk Gray. Seseorang dengan rambut biru dan tinggi. Lucy membeku.
Levy populer? Juvia OOC? Ok maaf. Ini sebenernya settingnya di Indo tapi aku ganti deh. Lol XD... oke twoshots!
