Ketika rintik air hujan mengikuti gravitasi untuk meringankan beban dari awan kelabu, derap sepatu pun akan pergi. Ketika rintik air hujan itu sampai ke bumi, ia akan menghapus jejak yang terlukis dari telapak kaki yang mengecap tanah basah. Juga memori yang tercipta, saat langkah itu datang dan pergi.
A Step When The Rain Comes
A Fanfiction
Presented By Rose Breznska
Disclaimer : Isayama Hajime
Warning : T++, Alternative Universe, Out of Characters, standard warning applied
.
Hujan turun menuruni udara yang berhembus kencang. Menanti waktunya sambil melayang bebas di udara sebelum mencium dunia yang berbanding terbalik dengan tempatnya berasal. Namun perkiraan itu pupus, ketika rintik air itu mendarat pada tubuh seorang gadis yang berlari kencang menerobos hujan.
Tubuh gadis itu hanya terbungkus kemeja putih dengan rok selutut dan sepasang sepatu coklat juga kaos kaki setengah betis. Tas sekolah berwarna merah tua pun ikut menutupi rambut coklatnya yang diikat satu, meski hal itu tidak berarti sama sekali untuk melawan hujan. Hari sudah beranjak sore dan gadis itu terlihat sangat terburu-buru.
Tipikal.
Langkah gadis itu melebar, ketika dilihatnya tempat tujuan yang ia cari lewat iris cokelatnya. Sebuah halte bus. Matanya berbinar, ketika dilihatnya tempat itu kosong melompong. Terbayang dalam imajinasinya, dirinya sedang duduk sendirian dan memakan isi kotak bentonya yang belum tersentuh sama sekali –mengingat bahwa saat istirahat tadi, ia menerima hukuman untuk membersihkan halaman sekolah karena ketahuan ngemil saat pelajaran-. Ia tahu, memakan makanan berat di tempat umum terasa tidak sopan. Maka dari itu, ini adalah kesempatan langka, untuk dirinya makan.
Another hobby? Yes, maybe.
Namun ketika selangkah lagi untuk maju, imajinasinya harus terhapus, lantaran dilihatnya ada tiga orang anak laki-laki yang juga mengincar halte itu sebagai tempat berlindung. Mood gadis itu langsung drop 180 derajat. Terlebih saat mereka tiba lebih dulu di dalam halte.
Rain is the worst time ever!
"Hey Sasha!"
Salah satu dari mereka memanggil dari dalam halte sambil melambaikan tangannya. Pemuda itu berkepala nyaris gundul. Tubuhnya yang kecil ikut bergerak ketika tangannya bergerak. Seorang pemuda berambut hitam dengan bintik di wajahnya juga ikut tersenyum dan melambaikan tangannya. Dengan terpaksa, gadis bernama Sasha itu tersenyum dan melambaikan tangan kanannya. Mengabaikan rutukan hati kecilnya ketika ia tahu impian terbesarnya –makan bento di halte- harus berlalu begitu saja.
Air yang menggenang terpijar ketika sol sepatu gadis itu memijak kuat pada trotoar menuju halte. Dengan satu tolakkan, ia melompat masuk untuk berlindung di dalam tempat tujuannya. Nafasnya tersengal. Ia hanya menatap nanar pada dua temannya sambil tersenyum terpaksa sebelum mendudukkan dirinya di kursi tunggu yang tersisa.
Beberapa menit berlalu untuk menenangkan paru-parunya yang terasa terbakar, berbanding terbalik dengan tubuhnya yang menggigil, hingga Sasha mulai menegakkan tubuhnya dan memfokuskan pendengarannya.
It's cold, isn't it?
"Woy, perasaan saja atau tadi Keith-sensei memang menyeramkan ya?
"Ah, tiap hari juga memang begitu!"
"Yaah tapi setidaknya hari ini mukanya terlihat lebih horor dari biasanya."
"Masa sih?"
"Ya sudahlah, lupakan si botak itu!"
"Heh, kalau orangnya mendengarmu bisa mampus kau besok di tiang bendera!"
"Bodo amat!"
"Yang benar saja! Hahahaha.."
Sepintas, pembicaraan ketiga orang itu terdengar melalui telinganya, dan sangat menarik dalam benaknya. Gadis itu berniat untuk ikut melibatkan diri dalam obrolan santai ketiganya, namun terurung ketika ia melihat bis sudah datang untuk mengangkut penumpang. Tanpa menunggu lebih lama, Sasha berdiri dan melompat ke dalam bus.
Sesaat, gadis itu berdiri mencari kursi kosong. Dan entah kebetulan atau bagaimana, hari itu hanya ada 4 tempat yang kosong di baris hampir belakang. Sasha langsung memilih sebuah kursi kosong di dekat jendela yang akan menghadap langsung trotoar. Ia mendesah pelan.
"hey..."
Sasha merasa terpanggil. Suara itu seperti suara laki-laki. Namun tidak familiar di telinganya. Dengan cepat ia langsung menoleh ke arah datangnya suara itu.
Deg...
Ada perasaan aneh, ketika kedua pasang mata itu saling beradu. Gadis itu merasakan perutnya seperti dipenuhi kupu-kupu yang berontak ingin terbang bebas. Jantungnya berdetak lebih cepat ketika sepasang mata coklatnya memandang kedua iris coklat terang milik pemuda yang tak dikenalnya.
What is this?
Hal yang sama terjadi pada pemuda berambut cokelat susu itu. Ada sesuatu yang berbeda ketika ia menatap gadis asing yang tengah duduk di samping kursi yang masih kosong. Rambut coklat tua yang jatuh digelayuti air hujan. Wajah polos yang menatapnya dengan ekspresi yang sulit diterka. Pipi yang diselimuti rona kemerahan...
She's...
"Ahem!"
Sebuah deheman jahil keluar dari mulut pemuda gundul yang sudah curi start mengambil kursi di seberang sementara pemuda berambut hitam itu ikut mendudukkan dirinya di samping pemuda gundul itu, dengan disertai senyum jahil. Mengejutkan kedua insan yang sedang saling menatap dalam lamunan sepi mereka.
Pemuda berambut cokelat susu itu berbalik sambil berdecak kesal pada dua makhluk –yang notabenenya teman sekelas barunya- yang tengah tersenyum jahil ke arahnya. Kulit putih wajahnya bersemu menahan malu.
"Apaan sih, Connie?! Kalian ini!"
Pemuda gundul itu mendecikan lidahnya sambil menggendikkan bahu dan menggeleng.
"Ckckckck... Tidak apa-apa, urusan anak muda, iya kan Marco?" ucapnya sambil menoleh pada teman di sebelahnya. Pemuda bernama Marco itu pun mengangguk sambil mengacungkan jempolnya, menatap mata pemuda berambut cokelat susu itu seolah berkata lewat telepati 'semangat, Jean!'.
Jean mendecih sebal ke arah mereka dan berbalik kembali ke arah gadis itu seolah kedua temannya tidak pernah ada disana. Pemuda itu kembali menatap gadis yang masih bengong di depannya.
"Err... boleh aku duduk di... sebelahmu?"
Satu detik. Dua detik. Tiga detik, Jean menunggu respon gadis itu. Namun objek yang ditanya masih terbuai dalam lamunannya. Tangan Jean yang gemetaran perlahan terjulur ke arah pundak gadis itu.
Pluk..
"EH?!" gadis itu terkejut, lamunannya pecah dan ia tersedot kembali ke dalam dunia nyata. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali, bagaikan baru tersadar dari mimpi. Kedua bola matanya kembali menangkap wajah pemuda yang belum pernah ia kenal sebelumnya, yang baru saja menjadi objek imajinasinya. Darahnya yang berdesir memanas dan mengalir ke pipinya, membuat wajahnya memerah seperti kepiting rebus.
"Huaaa...!" Sasha menutup wajah dengan telapak tangannya sambil menggeleng-geleng panik dan berteriak. Beberapa pasang mata menatap Jean dengan curiga dari berbagai posisi. Sedangkan Connie dan Marco memegang perut sambil menahan tawa jahil yang hampir lolos dari seringaian mereka.
Cih! Sialan!
"He.. hei! Kau ini kenapa?!" Jean berbisik panik pada gadis itu. Kemudian teriakannya terhenti. Ia melepaskan tangannya yang menutupi hampir seluruh wajahnya secara perlahan. Ia tidak ingin pemuda itu melihat wajahnya yang memerah malu.
It's your fault!
"Aaa..? Ah maaf! Iya boleh saja!" Sasha menjawab cepat. Ia bergeser lebih merapat pada pojok kursinya dan memalingkan wajahnya ke arah pemandangan di luar kaca. Jean segera mendudukkan tubuhnya di samping Sasha. Tubuhnya entah mengapa tidak bisa rileks. Terutama jantungnya yang masih berdetak kencang, seolah berpacu dengan derasnya hujan yang tak kunjung mereda. Jean mulai memejamkan mata untuk menenangkan dirinya.
Bis pun melaju perlahan, tepat kedua bola mata Jean tertutup sempurna. Suara deruman mesin berbunyi halus, mengisi keheningan yang sempat canggung. Sasha menatap halte bis itu, yang mengecil seiring jarak di antaranya tercipta. Perasaan aneh itu masih tersisa di lubuk hatinya. Sesuatu yang baru pertama kali ini dirasakannya.
Is this what we called love at the first sight?
Rintik air pun berjatuhan, menggenang di trotoar menuju halte bis dan perlahan menghapus jejak pertama mereka.
Waktu terus bergulir, mengiringi menipisnya intensitas air yang jatuh ke bumi. Jean menatap lurus ke depan. Masih mengontrol detak jantungnya yang berbunyi menyiksa. Ia menarik nafas dalam dan membuangnya sambil mendesah berat. Iris cokelat terang miliknya tak ingin berkompromi dengan perasaanya. Kedua bola matanya perlahan melirik pada gadis yang masih fokus pada pemandangan di luar jendela –yang sebenarnya masih tenggelam dalam imajinasinya-. Menelusuri tubuh gadis yang membelakangi tubuhnya.
Matanya menatap kepala gadis itu. Rambut cokelatnya yang terikat satu masih jatuh dibebani tetesan air. Beberapa tetes air itu terjatuh, menuruni leher jenjangnya. Sebagian terjatuh mulus dan merembes pada bagian pundak kemeja putihnya. Matanya bergerak turun, seiring dengan aliran setetes air yang mengalir di tubuh gadis itu. Pundak kecilnya basah. Lalu matanya kembali bergerak turun, menelusuri lekuk tubuh yang tercetak lewat kemeja putihnya yang basah.
corps de déesse...
Matanya bergerak naik kembali ke pundak, ketika ada satu hal yang ia lupakan. Ia memicingkan matanya, untuk memperjelas fokus objek pandangannya. Di balik kain tipis yang menempel pada tubuh gadis itu, samar-samar ia dapat melihat sebentuk tali tipis berwarna hitam menggantung di pundaknya. Nafasnya tercekat. Pandangan matanya bergerak menelusuri tali itu, mencari tempatnya bermuara. Ia meneguk ludahnya ketika matanya menangkap sesuatu di balik kemeja putih yang transparan terkena air hujan.
segaris kain hitam yang melekat melintang di punggungnya, dengan kaitan pada bagian tengahnya dan dua tali tipis yang melekat seimbang pada bagian kiri dan kanan. Ujung kain itu melebar dan melingkari tubuh bagian atas gadis itu yang membentuk bukit. Jean melongo.
Mother of God...
'Shit!' Jean mengumpat dalam hati. Mengenyahkan pikirannya yang mulai beranjak pada sesuatu yang tidak aman. Ia menggelengkan kepalanya keras-keras.
Sementara kedua coretkecebongcoret pemuda yang memperhatikan dari kursi seberang mulai kembali menahan tawa. Si gundul Connie mulai mengetik pesan di telepon genggamnya dengan cepat dan langsung diserahkan pada Marco.
'Lihat wajahnya, pasti dia sedang berpikir yang iya-iya!'
Marco mengangguk mengiyakan. Ia mengambil telepon genggam miliknya dari dalam tas dan ikut mengetik cepat sambil tersenyum.
'Yah setidaknya wajahnya tidak murung frustasi seperti beberapa hari belakangan..'
Connie pun sependapat. Memang sejak beberapa hari lalu, wajah Jean yang biasanya annoying –menurutnya- mendadak sering murung sendiri dan tertekuk juga jarang tertawa.
Baguslah kalau begitu!
"Nih!"
Jean memberikan jaket yang baru saja dikeluarkannya dengan asal dari dalam tas selempangnya pada Sasha. Tanpa menolehkan kepalanya. Gadis itu memutar kepalanya, menatap jaket itu dan Jean bergantian.
Eh?
"Sudah pakai saja sana!" Jean menyodorkan tangannya dan menggerak-gerakkannya asal. Sasha langsung mengambil jaket itu tanpa curiga. Setelah beberapa waktu berlalu, gadis itu tidak kunjung memakai jaket yang diberikannya. Jean sweatdrop ditempat sambil memukul jidatnya sendiri.
Kau berniat menggodaku ya?!
Sementara gejolak batin antara malaikat dan setan dalam diri Jean bertarung sengit, Sasha mulai mengenakan jaket itu. Saat kain cokelat tebal itu menyelimuti tubuhnya, hidung mancungnya menangkap bau maskulin yang menguar dari jaket itu. Membiusnya.
You make me crazier!
Suara rem berdecit. Menghentikan laju bis yang tanpa mereka sadari telah melambat sejak lama. Connie dan Marco pun berdiri, hendak meninggalkan bus dan turun di halte tepat di tempat bis yang mereka naiki berhenti.
"Sasha, kami duluan ya!"
Suara Marco rupanya sama sekali tidak membuyarkan hipnotis yang ditimbulkan aroma maskulin dari tubuh Jean. Marco hanya menggeleng sambil tersenyum penuh arti, akhirnya ia menyerah dan balik mengucapkan kalimat perpisahan pada Jean.
Pluk..
"Kami pulang duluan ya! Hehehe..." ucap Connie sambil menepuk pundak dan nyengir lebar pada Jean.
"Iya bawel! Pergi sana!" Jean mengusir Connie dengan beringas. Yang jadi objek pengusiran malah tersenyum jahil dan lari tunggang langgang karena dilihatnya tas Jean sudah hampir siap melayang mendarat di kepalanya yang licin.
Bis mulai melaju kembali, meninggalkan bayang-bayang Connie dan Marco yang menghilang bersama biasan hujan dan jarak yang kembali tercipta. Jean mendesah pelan, lega karena akhirnya kedua coretkecebongcoret teman dekatnya semenjak pindah ke kota ini sudah tidak nyengir jahil kearahnya –setidaknya sudah tak terlihat, mungkin saja mereka masih nyengir kuda di halte-. Kepalanya ia tengokkan ke arah gadis di sampingnya. Gadis itu terdiam kaku dan menatap lurus ke depan.
Beberapa waktu berlalu, hingga Jean mulai bingung dengan gadis itu, yang tak kunjung bergerak ataupun berkedip semenjak Connie dan Marco turun dari bis. Jean memberanikan diri menepuk pundak gadis di sampingnya. Gadis itu tersentak kaget dan refleks menengokkan kepalanya ke arah pemuda di sampingnya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Jean. Gadis itu menggeleng cepat.
"Ti- tidak, aku tidak apa-apa..." jawab Sasha terbata-bata. Jean bergumam.
"hnn... baguslah.."
Singkat. Padat. Tidak jelas.
Jean hendak menyandarkan tubuhnya dan menutup mata. Baru saja sejenak iris matanya tenggelam, telepon genggamnya berdering.
And if your heart stops beating, i'll be here wondering. Did you get what you deserve? The ending of your life! And if you get to hea –
Pip!
Message
From : Si Gundul
'Sukses ya kencannya, hehe'
.
.
Kampret!
.
.
Belum selesai Jean membalas pesan dari Connie, ringtone itu kembali terdengar. Ada pesan lagi ternyata.
Pip!
Message
From : Marco
'Sukses ya, aku mendukungmu!'
.
.
.
Jean hening ditempat. Ia mendesah berat kembali, lalu memasukkan telepon genggamnya ke dalam tas. Keadaan kembali canggung seketika. Jean melirik tempat duduk kosong bekas Connie dan Marco beberapa saat yang lalu. Pikirannya kembali berkecamuk.
Pindah... Jangan... Pindah... Jangan...
Belum selesai dengan pilihannya untuk pindah tempat duduk atau tidak, sebuah tangan yang lebih kecil darinya terulur di depannya. Membuatnya mengurungkan niat untuk pindah.
"A- aku Sasha, salam kenal!"
Jean memperhatikan sesaat tangan yang mengajaknya bersalaman. Akhirnya ia mengangkat tangannya dan meraih tangan Sasha
"Je m'appelle Jean, enchanté.."
Bibir Sasha melengkung, membentuk senyuman yang sangat manis di mata Jean. Perasaan hangat menjalar di dadanya. Udara air conditioner yang dingin bahkan tidak terasa di kulitnya, seiring dengan kehangatan yang juga menjalar dari genggaman tangan keduanya. Bibir Jean ikut melengkung, membalas senyuman gadis di sampingnya.
Terkadang hujan tidak selalu menghapus memori bahagia, tapi juga ikut merekamnya.
Beberapa menit berlalu, hingga bis bergerak melambat di pemberhentian selanjutnya. Rintik air hujan sudah tak nampak turun deras, hanya beberapa tetes gerimis dan bau tanah khas yang menguar. Sasha melepas genggaman tangan Jean dan berdiri dari kursinya lalu memakai tas sekolahnya.
"Jean, aku turun duluan ya!"
Namun ternyata Jean ikut berdiri dan memakai tasnya. Kepalanya aga sedikit menunduk untuk menatap gadis yang lebih pendek darinya itu. Ia menatapnya heran.
"Lho? Aku juga turun disini." Ucapnnya seketika.
.
.
.
Jean menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, untuk mengatasi canggung yang kembali datang. Sedangkan Sasha menundukkan kepala. Tangannya memainkan ujung bawah jaket Jean yang panjangnya hingga setengah paha. Gelisah.
"Ahem.. kalau begitu... ayo kita pulang bersama.."
Sasha mematung. 'Pulang... Bersama...?' batinnya. Rasanya seperti ada perasaan aneh yang menggelitik perutnya. Ketika pemuda yang baru saja dikenalnya membuatnya merasa begitu melambung bahagia tanpa alasan yang jelas. Perasaan ini berbeda jauh dengan pertama kali Marco dan Connie mengajaknya pulang bersama. Ini sungguh berbeda!
Is this a fate?
"Ahem!"
Suara deheman seseorang memecahkan kecanggungan mereka. Jean dan Sasha melirik bersamaan ke asal suara. Ternyata itu kondektur bis. Pria paruh baya itu tersenyum ke arah mereka. Sasha yang sadar lebih awal langsung meminta maaf sambil membungkuk pada kondektur bis itu.
"Ayo!" Jean yang panik secara refleks menggenggam tangan Sasha dan menariknya keluar dari dalam bis. Seluruh penumpang tersenyum-senyum sendiri, melihat kedua pasang anak muda yang berlari menjauh dari bis dengan tangan yang saling menggenggam erat.
Dasar, anak jaman sekarang!
Mereka berhenti berlari dan mulai berjalan, tatkala bis mulai pergi menjauh menuju pemberhentian yang lain. Kedua pasang kaki itu berjalan di atas trotoar yang masih basah, menciptakan cetakan basah langkah kaki di atasnya. Jalanan terasa sangat sepi. Hanya satu dua mobil yang berlalu saling berlawanan arah. Tangan keduanya masih belum terlepas satu sama lain. Pikiran kedua insan itu lagi-lagi bimbang. Di satu sisi, ada berbagai alasan yang mendorong mereka untuk melepaskan tangan satu sama lain. Namun di sisi yang lain, secara naluriah tubuh mereka tidak berbandung lurus dengan berbagai alasan masing-masing.
It's complicated!
Belasan menit berlalu dengan tanpa terasa mereka telah sampai di persimpangan jalan. Mereka terdiam, hingga Sasha mendadak melepaskan genggaman tangan mereka.
"Maaf Jean, sampai disini saja. Rumahku belok ke kanan, hehe." Ucap Sasha. Tangannya meraih risleting pada bagian kerah jaket milik Jean dan membukanya.
Gerakan risleting itu seperti slow motion yang berputar sangat lambat di mata Jean. Sedikit demi sedikit risleting itu turun. Menampilkan leher jenjang Sasha yang mulai terekspos. Kemudian kerah kemejanya yang basah kuyup. Dan kemudian kancing bagian atas yang terbuka. Dan kemudian kain hitam itu...
Jean menelan ludah.
"Ah! Tidak usah! Kau bawa saja jaketku!" ucap Jean cepat. Jika saja gerakan Sasha tidak berhenti detik itu juga, mungkin setelah ini ia perlu mencuci otaknya dengan detegent juga butuh 'pelampiasan'.
Shit!
"Lho? Nanti mengembalikannya bagaimana?" tanya Sasha polos, ia bahkan tidak menyadari bahwa ekspresi Jean sudah menggambarkan imajinasi R-18+.
Kau sengaja ya?!
"Nanti saja di sekolah! Aku pulang dulu, sampai nanti!"
Jean berbalik dan berlari menjauh dari persimpangan sepi itu. Meninggalkan Sasha yang merona di tempat, ketika disadarinya bahwa ia bisa membawa satu kenangan hari itu bersama Jean ke rumah.
"Hati-hati, Jean! See you!"
Sasha melambaikan tangannya bersemangat. Tak peduli jika Jean terus berlari menjauh dan tak menggubris teriakannya.
Hari itu, hujan menjadi katalis diantara mereka, yang terus tumbuh seraya langkah kaki itu bertolak dan berbalik menjauh.
To Be Continued
Author's note :
corps de déesse : body of a Goddess
Je m'appelle Jean, enchanté : My name is Jean, Nice to meet you
Yeah! Setelah seminggu berlalu, saya ketagihan nulis JeanXSasha! Muhehehehe *nyengirkudaalaConnie*. Lagi-lagi saya nulis-nulis fict rating T++. Ya habisnya, menurut saya sendiri bahasa dalam fict ini udah ga aman di T, tapi kalo maju ke M juga ga mungkin kayaknya. Jadi saya nulisnya T++ *alibi!*.
Pleeeeaaase! Saya request dong sama yang baca A/N ini *itujugakaloadayangbaca*, bikin fict JeanXSasha! Huhuhu saya ngebet banget soalnya TAT
Minna, thanks for reading my fict. Dan saya berharap review dari anda semua untuk membuat keputusan...
Should I kept this fict and continuing it or just delete it?
chapitre bonus
Sasha menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Kejadian di bis dan perjalanan pulang membuatnya tersipu malu sampai detik ini. Bahkan ayahnya sendiri bingung ketika melihat putri semata wayangnya tersenyum sendiri dengan pipi merona. 'Mungkin ia mabuk kentang.' Asumsinya asal.
Sometimes I get so weird. I even freak myself out. I laugh myself to sleep. It's my lullaby. Sometimes I drive so fast. Just to feel the danger. I wanna scream. It makes me feel alive. Is it enough to love?-
Telepon genggamnya berdering. Ia pun meraih telepon genggam di saku roknya. Ternyata ada pesan.
Pip!
Message
From : Connie
"Hey Sasha, bagaimana kencanmu? Oya, nanti 'hati-hati' ya, hehe"
.
.
'Hati-hati' apa?
.
.
Sasha mengetik balasan dengan cepat.
To : Connie
"Apaan sih?! 'Hati-hati' apanya ya? Hehe..."
.
Send
.
Sasha pun melanjutkan kegiatannya berguling, beberapa detik kemudian, telepon genggamnya berbunyi lagi. Kali ini ia mengeceknya dengan cepat.
Pip!
Message
From : Connie
"Ah tidak, Cuma mengingatkanmu saja, jangan pulang malam-malam nanti ada 'sesuatu'. Nanti juga kau tau laaah..."
'Sesuatu apa sih?!' batin Sasha gemas. Namun bukannya ia membalas pesan itu, ia malah melempar telepon genggamnya sembarangan di atas kasur.
Setelah berguling-guling di atas kasurnya untuk melampiaskan rasa bahagianya, ia pun mulai beranjak berdiri dan berjalan riang menuju kaca besar di dalam kamarnya. Ia menatap refleksi tubuh tingginya pada kaca. Tubuh kecilnya yang masih berbalut jaket berwarna cokelat milik Jean yang panjangnya mencapai setengah pahanya.
Deg.. deg... deg...
Perlahan jemarinya meraih risleting jaket itu dan menurunkannya perlahan. Leher jenjangnya yang basah mulai terekspos, kemudian kerah seragamnya, kemudian kancing atas kemejanya yang terbuka, dan kemudian ia menyadari satu hal.
Di balik kemejanya yang tembus pandang karena air hujan, ia dapat menangkap 'sesuatu' tercetak samar di balik kemejanya. Berwarna hitam, dengan dua tali yang menggantung...
Ia ingat ketika Jean mendadak panik saat Sasha mulai membuka jaket itu. Ia ingat jelas Jean yang tidak menatapnya saat memberikan jaket itu. Ia ingat jelas ketika Jean menyuruhnya membawa pulang saja jaket itu...
That's the 'something'!
.
.
.
.
.
KYAAAAAA!
Really TBC
