Hubungan Ayah dan Anak angkat

Levi menerimanya, sebagai seorang anak.

Eren menerimanya, sebagai seorang Ayah.

.

.

.


Shingeki no Kyojin © Hajime Isayama

Eltern © Ourie Chrome

Warning : AU, OOC, RiRen, ada unsur-unsur pedo, Romance, Family, mungkin Humor, Yaoi, mungkin non-baku, mungkin typo(s)

Rate : T yang menyerempet.

Enjoy it~


.

.

.

Berawal dari ia yang menyelematkannya

.

.

.

Chapter 1 : Vater

.

.

.

Karbon Monoksida melayang di udara yang semakin samar di tiup olehnya. Batang yang terbungkus kertas putih itu di bawanya ke dalam asbak dan kemudian membuang serbuk hitam yang di anggap tak berguna. Mengambil nafas panjang sejenak, mencoba melahap kenikmatan sensasi pagi hari. Rokok yang masih menjepit di antara telunjuk dan jari tengah kembali di bawa ke bibirnya dan menghisapnya penuh nikmat—sekali lagi di hembusnya ke udara.

Surai hitamnya tergerak, ia memutar lehernya ke arah samping. Alisnya bertaut garang. Bukan, objek penglihatannya bukanlah tumpukan dokumen yang pastinya membuat sakit mata kaum awam tepat di sampingnya itu, bukan.

Bayi mungil yang masih terbungkusi kain-kain dengan coraknya yang terkesan anak-anak, entahlah, sang pria tak mengenal karakter dua dimensi yang menghiasi warna polkadot kain tersebut. Sang bayi tak bersuara, tak merengek, tak menangis. Matanya terpejam dan masih khidmat menjelajahi mimpi indahnya. Sebutlah pria itu Levi—yang diam-diam bersyukur di dalam hati.

Mengingat sebentar kejadian satu jam yang lalu, perjalanan menuju minimarket dan kemudian menemukan boneka bernyawa dalam kardus di pinggir jalan, Levi terkekeh. Di tekukannya lututnya, mengambil sikap jongkok. Mencoba membuktikan bahwa yang yang ia temukan ini benar-benar memiliki nyawa. Ah, hangat dan lembut saat jemari kekarnya membelai pipi si kecil. Nafas tenang mengudara. Dada naik turun dengan teratur. Dan selanjutnya bocah itu menguap lebar, oh—hidup rupanya.

Secarik kertas tergeletak di atas si kecil. Lima kalimat yang tertera dalam kertas tersebut sanggup membuatnya tertawa, biarlah sesekali ia bersikap lain dari karakter aslinya. Mau bagaimana lagi? Sang penulis alias yang tega meletakan bayi tanpa dosa ini membuat usunya tergelitik.

"Siapa saja, ambilah anak ini."

Hah, entah siapa orangtua bocah ini. Entah alasan apa yang membuat mereka melakukan tindakan begini hina. Apapun itu motifnya, dosa besar untuk mereka yang menelantarkan anak mereka yang bahkan tampak belum menginjak umur satu tahun.

Alangkah beruntungnya si kecil yang masih di sayang sang pencipta. Mungkin keputusan Levi untuk berbelanja sebentar adalah arahan dari yang maha kuasa—untuk menyelamatkan bayi telantar itu.

Ia bangkit. Rokok mentholnya di tinggalkan di asbak. Kaki kiri ke depan dan kemudian bergantian dengan kaki kanan. Mendekat, mendekat ke arah si kecil. Oh ya, tidakkah dia jahat meletakan bocah belum satu tahun ini di atas sofa ruang tamu? Dan lagi, ini Februari. Levi menatap instens wajah damai itu sejenak sebelum niat membawa bocah itu ke kamar di laksanakannya.

"Entah hari ini hari keberuntungan ataupun kesialan untukmu, bocah." Ucapnya, walau tahu yang di ajak bicara tak mungkin merespon.

"Sialnya kau di buang oleh orangtuamu. Beruntungnya, aku datang menjadi pahlawanmu."

Levi mencubit pelan pipi si lawan bicara yang tampak berisi. Di lanjutkan dengan menyisir surai kayu si bocah.

"Aku harus memanggilmu apa?"

Benar juga, orang tua bocah itu tak meninggalkan jejak apa-apa sama sekali, termasuk nama sang bocah.

Aktivitas menyisirnya berhenti. Mata yang tadinya terpejam kini membulat, menampilkan cahaya hijau yang terpantul dari manik sang bocah. Hijau dan berkilau, menatap ke arah hitam menusuk. Pandangan sang bayi tampak kosong, seakan mengisyaratkan kebingungannya. Tampak tak mengerti akan kondisinya sekarang. Dimana dia? Siapa pria itu? Dimana ayah ibunya?

Kekosongan dari warna hijau itu langsung terisi. Levi mengecup pelan dahinya kemudian mencubit hidung si kecil.

"Bagaimana dengan 'Eren'?"

Kilauan hijau masih senantiasa terpancar, menatap manik obsidian Levi. Levi terlalu memakan banyak jarak di antara mereka, membuat bocah itu dengan mudahnya meraih pipinya.

Bukan pandangan takut, bukan pandangan khawatir. Sekalipun wajah Levi bisa di katakan cukup…..seram—

"Hei kau, aku mengirimnya untukmu bukanlah tanpa alasan."

Oh, tampak terjadi kontak batin ia dengan Sang Pencipta. Sang bocah mengerti, mengerti maksudnya.

Selama berada di pelukan Levi, maka tak perlu mengkhawatirkan apa-apa.

"Jangan biarkan jutaan ekspresimu pudar hanya karena pria pilihanku ini."

Sang bocah mendengarkan kontak batinnya dengan seksama.

"Tak ada yang perlu di takutkan."

Ah—iya—

"Dia siap melindungimu."

Benar—

"Sekarang, panggil dia."

"Pa..Pa.."

Suatu kejutan untuk Levi yang baru saja mengenal bocah ini dalam jangka waktu satu jam. Itu pun di habiskan dengan si kecil yang terus mendengkur. Levi tersenyum, tipis sekali.

Biarlah, toh—

"Selamat datang, Eren."

—dia siap menerima Eren.

.

.

.

15 TAHUN BERLALU

"Bocah."

BYUR.

Guyuran air yang mendarat di kulit ari wajahnya membuatnya otomatis membuka lebar mata. Mengerjap matanya berkali-kali, mencoba mencerna kondisi yang sedang terjadi. Basah dan kuyup. Ember tepat di atasnya yang masih meneteskan bola-bola air yang sempat tertinggal. Tatapan Eren horor seketika.

"Sudah kuduga kau membaca majalah mesum lagi tadi malam."

"A—Ayaah?!"

"Apa? Kau mau menyalahkan Kirtchein yang memaksamu membaca majalah bejat ini? Aku tak peduli. Cepat lihat jam dinding. Kau masih niat untuk melanjutkan pendidikan?" Levi, yang di panggil Ayah, menajamkan pandagannya. Alisnya bertaut garang. Sukses membuat pergerakan Eren kelu seketika.

"Ahaha, jam tujuh lewat lima—"

"Cepat mandi!"

"I—IYAA!" Eren melompat dengan penuh nafsu. Langsung mendarat dengan mengguling-gulingkan badannya ke arah depan dan merangkak lalu bangkit dengan sikap satu langkah untuk keluar dari kamar, gerakannya berhenti. Satu tangan menarik baju bagian belakangnya.

"Atau kau mau aku mandikan?"

Ngeeeng—suhu badannya naik seketika.

"A—aku bisa mandi sendiri ! Ayah lekas siap-siap, kau bisa telat juga kalau terus mengkhawatirkan—"

Cup.

"Handuk sudah ku siapkan."

"Hnn! Aku minta shampoo ya."

"Terserah."

Levi melangkah keluar duluan. Mengusap-usap dan menjilati bibirnya sendiri. Terdapat rasa manis yang tertinggal saat bibirnya mendarat di belahan bibir sang anak angkat. Eren menyusul dari belakang. Bersiul dan bersenandung dengan langkah kaki yang cukup cepat. Meraba bibirnya sejenak yang barusan di kecup sayang dari si Ayah. Ohohoho, ciuman selamat pagi dari Ayahnya memang nikmat seperti biasa.

Ohohoho—

Seperti biasa?

.

.

.

Mungkin sepengetahuan kita, orang-orang normal pada umumnya, bersama sang ayah, kita hanya akan berbicara seperlunya. Berbicara masalah sekolah, masalah nilai, masalah hubungan interaksi, atau masalah keingingan ini itu sang anak. Sarapan bersama dengan cara yang yah—biasa-biasa saja. Tak ada rutinitas spesial yang di lakukan. Selesai sarapan dan salim lalu berangkat kesekolah, paling-paling hanya itu, kan?

Enggak, yang seperti itu tak berlaku untuk dua kaum adam dengan hubungan anak-bapak ini.

"Ah, Ayah. Dasimu sedikit longgar."

"Hoh, luka apa ini? Kau berkelahi lagi dengan Kirtchein?"

"Uhm, begitulah."

"Sakit?"

"Sedikit. Bisa aku terapi, ayah?"

"Berikan tanganmu."

Cup.

Cumbuan Levi di jemari sang anak semakin membahana. Mengecupnya berkali-kali dan sesekali menjilatnya pelan. Terhirup aroma apel yang sama sepertinya—anak ini pasti menggunakan sabun miliknya. Ah, kesampingkan masalah itu. Levi fokus untuk melakukan terapi pada anaknya.

Terapi apa modus?

Memang rasanya sedikit aneh. Memar yang di lukiskan si muka kuda di jemarinya tempo hari sungguh mengerikan. Sakit dan ngilu. Memang bukan untuk penyembuhan. Tapi terapi ala Levi ini cukup membuat tangannya kembali nyaman dan rileks. Levi melepaskan tangan Eren dan mengusapnya pelan.

"Sudah lebih baik?"

"Terapi Ayah memang ajaib." Eren tersenyum simpul.

Eren kembali dengan aktivitas merapikan dasi sang Ayah. Berdiri tepat di belakang Levi dan memeluk dari belakang. Tangannya dengan anggun melepas lagi simpulan dasi tersebut dan menatanya dengan lebih baik. Kepalanya tepat di samping telinga Levi—guna memudahkannya untuk melihat proses simpulannya. Levi masih mengecap kopi sambilan membaca berita-berita terkini di koran. Dan jika ingin tahu, sambil-sambil merasakan sensasi seru nafas Eren yang menerpa jenjang lehernya. Aw—mantav.

"Kopinya sudah selesai? Akan ku bawa kebelakang." Levi mengangguk setuju. Cangkir kopi yang kosong di letakannya di atas meja dan di bawa lagi oleh Eren. Ia juga melangkah ke arah meja makannya barusan dan mengambil piring yang barusan di gunakannya saat mengonsumsi roti bakar.

Drap drap—suara langkah Eren yang makin lama makin menjauh dari telinga Levi. Tangannya melipat kembali koran itu dan meletakannya di atas meja. Kacamata berlensanya ia lepas, di simpannya kembali ke tempat semula. Terdengar bunyi percikan air dari dapur, Eren sedang mencuci piring tampaknya. Levi menyusul ke belakang, menghampiri Eren.

Hup—tangannya melingkar di pinggang Eren. Beginilah yang biasa ia lakukan kalau merasa bosan.

"Nilai mu baik-baik saja kan?"

"Ah, Ayah. Begitulah, tidak ada masalah."

"Dan tak ada masalah di sekolah."

"Um, tidak ada."

"Kirtchein?"

"Ah, itu lain soal kayaknya."

Levi terkekeh. Dagunya mendarat di pundak sang anak. Keheningan melanda. Levi menonton pertunjukan mencuci piring Eren yang tampak begitu lihai membersihkannya. Sesekali dagunya di geseknya kanan kiri—memberi sensasi menggelitik di pundak Eren. Ya, Eren tau. Itu tanda bahwa ia harus menyelesaikan tugasnya.

"Piring terakhir. Aku akan menyusulmu di mobil, Ayah."

Lingkaran tangannya melonggar dan lepas. Levi menarik dagu Eren.

Oh ya, lagi-lagi cup.

"Jangan membuatku menunggu lama."

"Heheh, baik-baik."

Levi melangkah mundur dan meninggalkan Eren yang tinggal mengelap piring terakhir. Meletakannya dengan hati-hati di tempatnya. Ototnya di renggangkan. Mencuci tangannya sebentar yang masih terasa licin dan buru-buru mengambil tas dari kamar.

Ya, beginilah kira-kira cara hidup mereka sehari-hari.

Yang lebih seperti pasangan suami-istri di banding hubungan anak-bapak.

Dan cerita mereka, masih berlanjut—tentunya.

.

.

.

TBC


Hahaha, apa maksudnya coba saya bikin benda full of ambigu begini? :))))
Gak, awalnya pengen hubungan keluarga yang manis. Tapi menyerempet menjadi hubungan keluarga yang menggairahkan.
Entalah, semoga pembaca di sana suka.
Maaf chapi pertama masih sangat sedikit. Jadi yah, gitu(?)

Bingung saya mau ngomong apa.

Langsung saja lah—

Terima kasih sudah membaca benda ini. Terima kasih yang sudi meninggalkan Review dan Favorite. Terima kasih sekali.

Berjumpa lagi di chapi berikutnya yoe.

Salam.

OurieChrome.