DILEMMA

CHAPTER 1

Disclaimer : JK. Rowling

Pair : Draco Malfoy / Harry Potter

Rating : M

Genre : Romance

Warning : SLASH, OOC, Modifiate Canon

Harry memandang nanar sosok didepannya yang menyeringai dengan begitu licik, dia tak dapat melawan karena satu ramuan yang dicampurkan pemuda didepannya itu kedalam air minumnya dan membuatnya terasa lemas tak berdaya saat pemuda itu menariknya kesini, ke menara astronomi.

"Brengsek, apa maumu, Malfoy?" tanya Harry lemah.

Pemuda yang ternyata adalah Draco Malfoy itu mendekati Harry dan duduk disamping pemuda berambut hitam yang berbaring lemas dilantai batu. Dia meraih kepala Harry dan meletakkannya diatas pangkuannya, "Aku hanya ingin 'kau', Potter," bisiknya ditelinga Harry.

Tubuh Harry meremang, dia benci reaksi ini tapi tak mampu melawan, "Pergi kau, tinggalkan aku sendiri," desis Harry marah.

Jemari panjang Draco membelai rambut hitam Harry dengan lembut, "Pergi? Kau menyuruhku meninggalkanmu, Potter? Setelah sekian lama aku mengharapkan ini?" tanya Draco sinis. Bibirnya mulai menyusuri pelipis Harry, dia tak peduli walau sekuat tenaga Harry berusaha menolaknya.

"Lepaskan aku, sialan," desis Harry lagi. Dia berusaha keras menahan getaran tubuhnya saat bibir Draco menggoda sudut bibirnya sementara tangan Malfoy muda itu mulai mengelus dadanya.

Draco tersenyum licik, "Perang sudah usai empat bulan yang lalu, Potter, dan kau adalah pahlawannya, lalu apalagi yang kau takutkan?" ejek Draco. "Perayaan dibawah terlalu ramai, aku ingin merayakan berdua saja denganmu disini."

Harry menggeram marah, tapi sekali lagi tenaganya seakan lenyap dari tubuhnya. Dia terlalu lelah sampai tak menyadari minuman yang disodorkan Draco saat makan malam tadi telah dicampur ramuan pelemas tenaga. Saat dia merasa semakin lemas dia pun tak sadar dan menurut saja saat pemuda berambut pirang itu mengajaknya keluar dari aula besar dan menyeretnya kesini, "Aku pikir sejak kau menyelamatkanku di Manor itu kau telah berubah, Malfoy," desis Harry lagi. Dia menggigit bibirnya saat Draco mulai menciumi telinganya dan jemari pucatnya melonggarkan jubah Harry dan melepaskannya begitu saja, "Stop it, Malfoy," tolak Harry sambil menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari pelukan Draco walau dia tahu kalau itu perbuatan yang sia-sia.

"Jauh sebelum itu aku telah berubah, Potter. Jauh setelah kau menerobos masuk kealam bawah sadarku yang membuatku tak berhenti memikirkanmu," jawab Draco diatas bibir Harry. "Ah, aku belum mengucapkan terima kasih atas kesaksianmu yang membebaskan keluargaku dari jerat Azkaban, aku akan membalas kebaikanmu itu sekarang."

Harry membelalakkan matanya saat bibir Draco turun dan menyentuh bibirnya, mengecupnya dengan lembut dan memanja bibir bawahnya dengan lidahnya. Tubuh Harry mengkhianati otaknya, dengan cepat tubuhnya bergetar menerima perlakuan Draco. Sekuat tenaga dia mengatupkan bibirnya dengan rapat, berusaha menolak ciuman Draco.

Menyadari kalau Harry berusaha menolaknya, Malfoy junior itu mencengkerang kedua pipi Harry dengan satu tangannya dan membuat pemuda bermata emerald itu mengerang. Kesempatan itu digunakan Draco sebaik mungkin, dia mencium bibir itu dengan dalam dan menyerang rongga mulutnya dengan lidahnya.

"Kau menipu dirimu sendiri, Potter. Lihatlah tubuhmu tak menolakku," ejek Draco dan membuat Harry semakin menatap marah pada musuh besarnya itu. "Kalau kau masih bersikeras begitu aku akan membuktikan padamu kalau kau pun menginginkan ini," bisik Draco di bibir Harry dan sekali lagi menenggelamkan kedua bibir yang setengah membengkak itu kedalam ciumannya yang terasa kuat dan liar.

Kepala Harry terasa pusing, pandangannya mengabur dan jantungnya berdentum dengan begitu keras. Dia marah, sangat marah karena Draco telah menginjak-injak harga dirinya. Dia marah karena Draco menggunakan cara yang licik untuk melakukan ini. Tapi dia juga bingung karena seperti kata Draco tubuhnya juga menginginkan ini. "Brengsek, lepaskan aku, Malfoy. Aku bersumpah aku akan terus membencimu," ancam Harry lemah saat bibir Draco meninggalkan bibirnya untuk mengambil oksigen.

Draco menyeringai, "Aku tak peduli, Potter. Aku hanya ingin kau menjadi milikku saat ini," jawab Draco dingin. Dengan cepat dia melepas kemeja yang dikenakan Harry, celana panjangnya tetap dibiarkannya terpasang di kaki Harry tetapi dengan kondisi semua kancingnya telah terbuka.

Harry menggigit bibirnya lagi, terdengar bunyi gemeretak dari gigi yang beradu akibat menahan amarah yang besar tapi tak dapat melakukan balasan apapun. Tubuhnya tersentak saat dengan cepat Draco menggoda titik sensitive di dadanya dengan lidah dan mulutnya. Sekuat tenaga Harry menahan erangannya, dia terus menggigit bibirnya walau dirasanya bibir itu telah terluka dan megeluarkan darah.

Draco menegakkan tubuhnya dan mengecup bibir Harry, "Jangan menyakiti dirimu sendiri, Potter, please," bisik Draco sambil mengusap darah yang mengalir dibibir Harry dengan jarinya. Lalu tubuhnya kembali direndahkan dan menciumi dada Harry seperti yang barusan dilakukannya. Ciumannya semakin kebawah hingga perbatasan celanan panjang Harry. Dia tersenyum saat merasakan gerakan tubuh Harry yang mulai gelisah. Dengan sekali ayunan tongkat seluruh pelindung tubuh mereka lenyap.

Hary membelalakkan matanya seakan tak percaya kalau Draco nekat melakukan ini. dia memalingkan wajahnya dari pemandangan didepannya. Dia tak mau melihat tubuh polos Draco. "Malfoy, gunakan akal sehatmu, jangan lakukan ini," desis Harry gemetar.

Draco mendengus, "Apa aku salah dengar? Pahlawan yang disanjung semua orang ternyata takut padaku?" ejeknya.

Mata hijau Harry berkilat marah. Tiba-tiba bibirnya mengeluarkan suara erangan yang sangat keras disaat Draco meraup tubuhnya dengan mulutnya, tubuhnya bergetar, jari-jarinya mencengkeram pundak Draco yang basah oleh keringat. Pebuatan Draco tersebut membuat Harry merasa semakin sakit tapi juga tak dipungkiri kalau dia juga merasakan suatu godaan yang indah untuk meminta lebih. Kembali digigitnya bibirnya yang terluka saat dia merasa dunianya meledak dalam satu pusaran yang membuatnya tenggelam semakin dalam.

Draco mengusap bibirnya, mata abu-abunya memandang Harry tajam, "Kau menginginkanku, Potter, kau telah membuktikannya barusan," kata pemuda berambut pirang itu sambil menyeringai.

Harry tercekat saat Draco mulai memposisikan tubuhnya, "No, Draco, please. Kalau kau sangat ingin aku memohon maka aku mohon jangan lakukan itu," kata Harry panik, suaranya terdengar begitu lemah.

Draco mencium bibir Harry, "Hanya untuk kali ini aku harus benar-benar bersikap kejam padamu, Potter, aku menginginkanmu, sekarang," jawab Draco yang langsung memeluk erat tubuh Harry disaat dia menjadikan Harry sebagai miliknya.

Harry menjerit sejadi-jadinya, tapi suara yang terdengar nyaris hanya seperti erangan saja. Jemarinya mencakar lengan Draco saat dia merasakan sakit dan panas yang mengoyak dan membakar tubuhnya. Sakit di tubuh dan sakit di hati membuatnya menangis, dia begitu membenci Draco yang tega melakukan ini padanya.

Draco menatap Harry, kali ini kilat matanya tak lagi dingin. Dia menciumi wajah Harry dan bibirnya seakan ingin membuat pemuda bermata hijau itu tenang.

Harry masih menangis tapi dia sedikit lebih tenang disaat dia merasakan Draco memperlakukannya dengan begitu lembut, memeluknya dengan begitu hangat dan menciumnya dengan penuh perasaan. Harry bisa mendengar erangan-erangan dari bibir Draco yang sedikit banyak membuatnya mulai bisa menikmati semua. Kepalanya semakin pusing dan dunianya berputar kencang saat gelombang panas menyeretnya menjauh dari akal sehatnya dan membuatnya semakin gila. Dia membalas pelukan Draco saat dirasanya ledakan yang tadi dirasakannya kembali menghampirinya dan menggodanya. Tapi harry salah, ledakan kali ini lebih kuat dan dahsyat yang membuat dunianya menjadi putih bersih dan bersinar terang, dia hanya mampu menjerit tertahan karena Draco dengan kuat meneggelamkan bibirnya dalam satu ciuman yang begitu possesive saat Harry merasakan kalau pemuda itu telah membaur menjadi satu dengannya.

.

Sekian lama hanya deru nafas yang terdengar akhirnya Draco melepaskan tubuh Harry yang sejak tadi dipeluknya. Dia mengambil tongkat sihirnya dan mengembalikan semua seperti semula. Dia memandang Harry yang terus memalingkan wajahnya, dadanya berkecamuk antara kesal dan menyesal. Perlahan dia mencium pipi Harry yang masih basah oleh air mata, "Maafkan aku, Harry," bisiknya. Lalu pemuda berambut pirang itu melangkah keluar dari menara meninggalkan Harry sendiri dalam gelap.

Air mata masih mengalir dari mata hijau Harry, tapi entah kenapa rasa sakit hatinya seakan hilang saat Draco memanggilnya 'Harry'.

Perlahan dia berdiri, sekujur tubuhnya terasa begitu sakit. Pengaruh ramuan yang diminumkan Draco masih terasa. Tubuhnya masih lemas, tapi dia harus pergi dari sini.

Dengan gontai dia berjalan menuju asramanya, pusing di kepalanya masih begitu kuat sampai akhirnya dia limbung, tangannya menggapai dinding batu koridor yang dingin. Dia terkejut saat ada tangan yang menopang tubuhnya, "Parkinson," katanya saat melihat siapa yang membantunya.

"Kau baik-baik saja, Potter?" kata gadis yang selama ini menjahatinya itu, kali ini entah kenapa nada bicara gadis itu terdengar cemas.

Harry hanya mengangguk lemah, dia membiarkan saja saat gadis berambut hitam itu mengalungkan lengannya dibahu kecilnya.

"Biarkan aku membantumu sampai ke asramamu ya?" tanyanya masih dengan nada cemas.

Harry tersenyum samar, "Thanks, Parkinson," jawabnya.

"Pansy, panggil aku Pansy saja," kata gadis itu sambil melangkah pelan dengan merangkul pinggang Harry.

Harry menatap gadis itu dan entah kenapa saat itu juga dia memutuskan kalau Pansy Parkinson telah berubah dan bisa dipercaya, "Thanks, Pansy." ulangnya dan melihat senyum Pansy sebagai jawabannya.

.

"Harry..." teriak Hermione dan Ron yang berdiri didepan pintu asramanya. Mereka cemas menunggu Harry yang menghilang saat makan malam tadi dan tak kunjung datang.

"Kau kenapa? Apa yang kau lakukan pada Harry, Parkinson?" tuduh Ron pada Pansy.

Harry menahan tangan Ron yang berusaha menariknya menjauh dari Pansy, "Ini bukan salah Pansy, Ron, dia justru membantuku, aku hanya tak enak badan saja," jelas Harry.

Ron dan Hermione tak percaya kalau sahabat mereka mulai memanggil gadis Slytherin yang jahat itu dengan nama kecilnya.

"Aku pergi dulu, sebaiknya kau segera beristirahat," kata gadis itu lalu meninggalkan trio Gryffindor yang menatapnya.

"Kita ke hospital wing saja," kata Hermione.

"Tidak," jawab Harry cepat, "Aku hanya butuh tidur saja, Mione."

Kedua sahabatnya itu saling berpandangan dan membantu harry sampai kekamarnya.

.

Tengah malam telah lewat tapi tak sekalipun Harry mampu memejamkan matanya, dia terus terbayang dengan apa yang dilakukan Draco Malfoy tadi padanya. Setetes air mata kembali mengalir merasakan perih di jantungnya. "Brengsek kau, Malfoy," desisnya pelan sambil meringkuk dan memeluk tubuhnya sendiri yang gemetar.

.

Suasana makan pagi dia aula setelah perang besar berakhir terasa begitu ramai, kementrian memutuskan kalau tahun ajaran kemarin harus diulang lagi mulai tahun ini, dan awal September ini para murid mulai kembali ke Hogwarts yang telah selesai diperbaiki segala kerusakannya.

Selesai perang besar Harry tak kembali kerumah keluarga Dursley ataupun ke rumah keluarga Weasley, dia memutuskan untuk tinggal di Hogwarts dan membantu membereskan sisa kekacauan yang terjadi saat perang berlangsung. Lagipula Hogwarts adalah tempat yang aman dari segala gangguan pencari berita semacam Rita Skeeter yang tak pernah menyerah untuk memburu berita tentang pahlawan dunia sihir itu.

Harry memandang ke meja kepala sekolah, ada Severus Snape di sana. Guru ramuan yang sejak dulu kejam padanya itu selamat dari racun ular Voldemort dan tetap hidup setelah sebelumnya sempat meminum ramuan penghambat racun ciptaannya sendiri. Harry terkejut saat mengetahui masa lalu Snape yang ternyata begitu mencintai ibunya dan berusaha melindunginya selama di Hogwarts dengan cara yang berbeda. Dan pembunuhan Dumbledore yang dilakukan oleh Snape ternyata adalah pembunuhan yang telah direncanakan oleh Dumbledore sendiri. Harry menganggap Snape lah pahlawan yang sesungguhnya, dilihat dari pengorbanannya membantu Dumbledore dengan pura-pura berpihak pada Voldemort.

Selama menghabiskan waktu empat bulan di Hogwarts, Harry dan Severus Snape perlahan mulai memperbaiki hubungan mereka yang dulu begitu buruk. Harry merasa senang karena dia seperti menemukan sosok ayah pada diri Severus yang yang sekarang.

Merasa diperhatikan Severus mengangguk kearah Harry, dia mengernyit melihat sorot mata Harry yang tak seperti biasanya, ada luka disana, 'siapa yang melukaimu?', Tanya pria yang menduduki jabatan sebagai kepala sekolah itu dalam hati. Sejak dulu dia sangat peduli pada pemuda yang memiliki warna mata dari wanita yang sangat dicintainya itu, tapi dia tak bisa menunjukkan perhatiannya dengan sikap lembut dan penuh kasih karena itu justru akan membahayakan nyawa Harry. Tapi kini Severus bertekat akan membayar semuanya, hanya dia yang dimiliki Harry setelah seluruh keluarganya tewas ditangan Voldemort.

Harry tersenyum pada pria berambut hitam sebahu itu dan mengalihkan pandangannya. Tanpa sengaja matanya bertemu dengan mata abu-abu Draco yang memandangnya tajam dari meja Slytherin. Mendadak dia merasa tubuhnya tegang dan gemetar. Dia semakin ingin membalas perlakuan Draco saat pemuda berambut pirang itu justru memalingkan wajahnya dan berusaha tak melihat kearahnya.

Kemarin saat para murid kembali ke Hogwarts untuk mengulang tahun ajaran mereka yang terabaikan karena serangan Voldemort, para pengajar mengadakan perayaan dibukanya tahun ajaran baru dan hidup baru dengan hancurnya Voldemort. Harry lah bintang utamanya. Semua bersenang-senang dan bergembira, rasa takut dan cemas berganti suka cita. Hal itu justru membuat Harry menjadi serba salah, dia menarik diri dari keramaian dan saat itu dia tak punya pikiran buruk pada Draco yang menghampirinya dengan sebuah gelas piala di tangannya. Draco mengucapkan terima kasih atas kesaksiannya di Wizengamot. Tak disangka kesempatan itu justru dipergunakan Draco untuk…

"Mate, kau masih sakit?" tanya Ron yang duduk disampingnya.

Harry tersentak dari lamunannya.

Hermione memegang tangan Harry, "Kau pucat sekali, sebaiknya kita menemui madam Pomfrey di hospital wing."

Harry tersenyum, "Tidak, aku baik-baik saja, aku hanya lelah."

"Wajar sih, empat bulan yang lalu kau mati-matian bertempur melawan Voldemort," kata Ron.

Harry mengangguk, "Bagaimana keluargamu?" tanyanya pada sahabatnya yang berambut merah itu.

Ron menunduk, "Mum masih terpukul dengan kematian Fred, kami semua juga, tapi semua harus tetap berjalan kan?"

Sekali lagi Harry mengangguk setuju.

.

Sore hari ini dipergunakan Harry untuk bersantai di tepi danau sendirian, dia membiarkan Ron dan Hermione menghabiskan waktu berdua mengingat hubungan mereka yang sudah lebih dari sekedar sahabat.

"Apa aku mengganggu kalau aku ikut duduk disini?" tanya sebuah suara yang mengejutkan Harry.

Harry tersenyum setelah melihat siapa yang datang, "Tidak, Pans, aku senang kau mau menemaniku," jawab Harry pada Pansy.

Gadis itu ikut tersenyum dan duduk disamping Harry, "Mmmh...Potter, aku,"

"Aku sudah memanggilmu 'Pansy', seharusnya kau juga memanggilku Harry saja," potong Harry.

Pansy tertawa pelan, "Baiklah, Harry, ... aku ingin meminta maaf padamu untuk semua kelakuanku selama ini, maafkan aku, aku sangat menyesal," kata gadis itu.

Harry tersenyum dan menggeleng, "Sudahlah, lupakan semuanya," jawabnya, "Aku menyesal atas apa yang terjadi pada ayahmu."

Pansy terdiam, "Biar saja, salah sendiri dia mau menjadi pengikut Voldemort. Aku tak menyesali kematiannya, justru aku dan ibuku merasa tenang karena terbebas dari tekanannya selama ini."

Harry menatap mata coklat gadis itu, "Apakah ayahmu menyakitimu selama ini?" tanya Harry.

Pansy tersenyum getir, "Dia menyakiti siapa saja yang ada didekatnya, bahkan ibuku."

Harry menggenggam tangan gadis itu, "Jangan bersedih, semuanya telah berlalu," hiburnya.

Pansy mengangguk, "Semua berkat kau, Harry. Kau hebat bisa mengalahkan Voldemort."

Harry menggeleng, "Itu hanya karena nasib baik berpihak padaku, pahlawan yang sesungguhnya adalah Severus Snape."

Sekali lagi Pansy mengangguk, "Aku dan semua orang terkejut mendengar kenyataan kalau selama ini Profesor Snape berada di pihak Dumbledore, benar-benar tak disangka." Jawab gadis itu.

"mmmh...Harry, kudengar kau telah memberikan kesaksian untuk keluarga Malfoy? Berkat kau mereka bebas dari hukuman," kata Pansy lagi.

"Tidak," jawab Harry cepat, "Merekalah yang menolongku, aku bisa tetap hidup berkat pertolongan Mrs. Malfoy dan ... putranya," jawab Harry sambil menelan ludah. Setiap mengingat Draco entah kenapa tubuhnya terasa panas, kejadian di menara astronomi itu terus menghantuinya.

"Draco maksudmu?" tanya Pansy. "Dia telah menceritakan semuanya tentang kesaksianmu, bahkan dia yang mendorongku untuk menemuimu disaat aku bingung apakah kau mau memaafkanku atau tidak."

"Dia?" tanya Harry tak percaya.

Pansy mengangguk, "Dia bilang kau pasti mau memaafkanku," jawabnya. "Aku sendiri juga terkejut karena selama ini belum pernah Draco berpikir positif terhadap orang lain, apalagi ini terhadapmu, musuh besarnya."

Harry tak menjawab, dia hanya menunduk. Jantungnya berdetak kencang setiap nama Draco terdengar ditelinganya. Tapi dia juga kesal karena tadi Draco justru tak mau menatapnya, 'kenapa dia memalingkan wajahnya dariku?', tanya Harry dalam hati.

"Harry..." panggil Pansy memecah lamunannya.

Harry tergagap, "M-maaf...apa kalian masih berhubungan? Mmmh...kau tahu maksudku," tanya Harry, entah kenapa dia sangat ingin tahu hubungan antara Pansy dengan Draco.

Pansy tersenyum, "Tidak, sejak dulu kami tak punya hubungan apa-apa. Draco tak pernah mencintaiku, dia hanya menganggapku sebagai teman. Lama kelamaan aku juga menganggapnya teman biasa, hanya saja memang cuma aku satu-satunya teman perempuannya, tak ada yang berani mendekati dia," jawabnya terkekeh.

Hati Harry terasa lega, 'Lega?, kenapa aku harus lega?', tanya hatinya.

"Sekarang pun dia lebih dekat dengan Blaise dan Theo," lanjut Pansy.

Entah kenapa Harry suka mendengar segala sesuatu tentang Draco yang tak dia ketahui.

Suara ranting patah dibelakang mereka membuat mereka menoleh ke sumber suara, ternyata orang yang sedang diceritakan Pansy ada disana.

"Draco... kemarilah," panggil Pansy.

Jantung Harry meloncat melihat mata abu-abu yang memandangnya tajam. Dia benci melihat pemuda itu tapi juga tak ingin mengalihkan pandangannya dari sosok yang telah menyakitinya. Dia tak ingin bertemu Draco tapi dia juga sedikit senang melihat Draco ada disini. Harry berdiri berhadapan dengan pemuda itu, dia tak berkata apa-apa hanya memandang Draco lurus.

Draco mendengus dan membalikkan badannya lalu pergi dari situ.

Hati Harry menjerit, 'brengsek kau, Malfoy, ternyata kau memang hanya ingin membuatku malu'.

"Aneh, kenapa dia diam saja? Jangan-jangan dia salah makan?" kata Pansy.

Harry mengangkat bahunya dan tersenyum getir, "Angin mulai dingin, sebaiknya kita masuk saja," sahut Harry.

Pansy memandang heran pada Harry yang telah berubah moodnya sejak kehadiran Draco, pansy mengangguk dan mengikuti langkah Harry didepannya.

.

Setelah makan malam Harry berjalan sendiri di koridor samping, dia mulai menikmati saat-saat sendirinya. Dia duduk disalah satu jendela besar disana dan memandang halaman samping yang kosong. Dia memejamkan matanya sejenak menikmati saat-saat damai yang ada. Mengingat orang tuanya, mengingat ayah baptisnya dan seluruh temannya yang telah terbunuh saat perang berlangsung.

"Memikirkanku, Potter?" tanya sebuah suara yang dikenalnya. Dengan cepat dia membuka matanya dan berdiri, dia terkejut melihat Draco telah berdiri didepannya. Kejadian malam itu muncul lagi dikepalanya, tubuhnya kembali panas dan bergetar hebat. Tadi dia berani menghadapi pemuda itu karena ada Pansy bersamanya, tapi disaat hanya berdua seperti ini Harry kembali teringat akan ketakutannya malam itu.

Draco miris melihat sorot mata Harry yang bersinar kalut dan takut juga marah, perlahan Draco mengulurkan tangannya untuk menyentuh Harry, dia terkejut saat Harry tiba-tiba menghindar. Draco tahu kalau apa yang diperbuatnya kemarin begitu membekas untuk pemuda itu, dan melihat wajah pucat Harry sekarang membuat Draco semakin merasa bersalah, dia telah merenggut senyum dibibir pemuda itu.

Bayangan kejadian itu terus berputar dikepala Harry, dia ingin berlari tapi kakinya terasa lemas. Matanya terus terbuka, dia tak ingin Draco menyerangnya lagi. Bayangan itu terus berputar dan berputar seakan terus mengejarnya, tubuhnya bergetar semakin hebat walau kedua lengannya telah memeluk tubuhnya sendiri. Keringat dingin muncul membasahi wajahnya yang memucat.

Draco tercekat, dia langsung memeluk Harry dengan erat dan mendekapnya didadanya.

Harry berusaha berontak dan melepaskan diri dari Draco, "Jangan, lepaskan aku, brengsek," desisnya, "Lepaskan..." katanya lagi kali ini dengan terisak.

Draco mendekapnya semakin erat, "Harry... Harry tenanglah, aku tak akan menyakitimu, aku janji," bisik Draco di telinga Harry.

Sekali lagi Harry merasa lumpuh, bisikan Draco yang menyebut namanya mengirimkan getar hangat didadanya, dia tak lagi merasa takut, dia justru ingin Draco terus mendekapnya dan menenangkannya. Tubuhnya semakin lemas dan akhirnya merosot ke lantai.

"Harry, kau tak apa-apa?" tanya Draco cemas dan ikut duduk disamping pemuda itu sambil terus mendekapnya.

Harry menggeleng sambil terus menunduk, dia tetap diam saat Draco mengusap wajahnya.

"Maafkan aku, Harry, maaf," bisik Draco.

Harry merasa semakin tenang, rasa takutnya berubah menjadi rasa nyaman yang terasa janggal. Perlahan disandarkannya kepalanya didada Draco dan memejamkan matanya, kali ini Harry yakin kalau dia akan bisa tidur setelah semalaman terjaga.

Draco tersenyum memandang wajah Harry yang tertidur, "Kau tak akan tahu betapa aku menginginkan ini sejak dulu, Harry. Aku begitu merindukanmu selama empat bulan ini," bisiknya pelan. Dia membiarkan saja tubuh Harry bersandar padanya sampai dia terjaga dari tidurnya.

*TBC*

A/N.

Sun-T mencoba kembali dengan multichap baru, masih dengan pair kesayanganku, DRARRY...*keprok2 sendiri*

Aku tergoda meneruskan ini karena bujuk rayu seseorang yang mempunyai ide yang sama denganku setelah beberapa waktu yang lalu aku menghentikan fic ini ditengah jalan, thanks Ness *hug*, maap yah kalau belum sesuai dengan apa yang kita bayangkan XD

Mohon maaf kalau masih ada kekurangan dan kesalahan, jadi... bersediakah meninggalkan ripiu? *melazbanget*