Disclaimer: Bleach is a registered trademark for Tite Kubo and Shonen Magazine. No copyright infringement intended. All rights reserved.
Elevator
Seorang wanita muda bersetelan kerja warna abu-abu melayangkan langkahnya pada koridor remang-remang lantai tiga belas. Tak ada yang terdengar selain kelotakan sepatu yang masuk ke telinganya. Rambutnya yang panjang, cokelat kepirangan seperti rambut jagung diikat membentuk sanggul. Tatanan rambutnya itu sudah hampir miring, tapi ia tak hirau. Begitu pula dengan lampu-lampu yang telah mati pada setiap ruangan yang dilewatinya, tak dipedulikannya. Atau pun kenyataan bahwa dia tinggal seorang diri di kantor ini, itu juga tak diacuhkannya. Wanita ini memang gemar kerja lembur. Tapi semua ini karena atasannya, yang selalu melimpahkan semua pekerjaan padanya.
Dia bangga dia bukan tipe pengeluh. Kalau tidak, sudah dari dulu ia resign dari pekerjaan ini.
Tapi malam ini semua sudah usai. Dia yakin. Bos berjambul yang selalu merapikan rambutnya setiap ada kesempatan itu tak akan bisa protes lagi. Mendadak wanita ini bangga akan dirinya. Menyelesaikan pekerjaan dan laporan penjualan hanya dalam satu hari kerja. Padahal bosnya memberikan tenggat seminggu. Bukankah itu artinya dia bisa bersantai di kantor dalam empat hari ke depan?
Mengulum senyum, wanita ini menekan tombol turun di dinding. Beberapa saat kemudian, elevator membuka. Mungkin sedikit kontras, karena kotak besi kecil itu sangat terang apabila dibandingkan dengan koridor yang gelap. Berkas-berkas sinar yang menembus sisi tubuh sintalnya berjatuhan di lantai marmer, menjadikan warna-warna tersingkap. Cokelat susu dan hitam. Namun, berhubung otak wanita ini tak memikirkan hal-hal artistik sedemikian, bahkan kilauan lantai bersih itu pun tak ditolehnya. Ia masuk, dan menekan tombol bertuliskan 'G'.
Meskipun demikian dia sedikit heran juga bisa melintasi koridor tadi, yang apabila dilihat dari dalam sini cukup pekat gelapnya.
Wanita ini menutup pintu lift tanpa menunggu suatu apa. Yang benar saja. Siapa lagi yang mau menaiki benda ini pada jam-jam sedemikian?
Dia melirik arlojinya. Sudah pukul sepuluh. Semoga saja pacar hijau toskanya tidak menekukkan muka ketika dia sampai di apartemen nanti. Kadang-kadang punya pacar stoik itu merepotkan, batinnya sambil meregangkan otot-otot. Muka mereka sudah kaku, dan ekspresi yang bisa dikeluarkan hanyalah memberengut. Mungkin profesi sebagai manekin—maksudnya model—membuat para pria tak bisa tersenyum lagi. Gelagat mereka cuma cemberut, cemberut, dan cemberut. Merepotkan.
Tapi wanita ini tetap sayang dengan pacarnya. Mau bagaimana lagi, cari pacar zaman sekarang kan sangat susah.
Beberapa saat kemudian, lift berhenti di lobi lantai dua. Tombol 'L2' yang tadi menyala di dalam, mati dalam sedetik. Hanya tombol 'G' yang masih menyala.
Tapi dalam kotak kecil itu sudah tidak ada siapa-siapa lagi.
###
[Berita Kazuki Shinbun Online, 22 Oktober 2012]
Potongan Tubuh Kembali Ditemukan di Arakawa
Menyusul penemuan potongan kaki dan tangan yang ditemukan di ilalang dekat Arakawa, publik Tokyo kembali dikejutkan dengan penemuan potongan tubuh di tempat yang sama, Sabtu (20/10) kemarin. Lagi-lagi, tidak ada identitas yang ditemukan bersama potongan tubuh yang telah membusuk ini.
Seperti dilansir Asahi Shinbun, Minggu (21/10) kemarin, potongan bagian lutut ke atas ini ditemukan di tempat yang sama dengan tempat ditemukannya bagian tangan dan lutut ke bawah seseorang, yang juga telah membusuk. Kuat dugaan potongan tersebut masih satu tubuh dengan potongan tubuh yang ditemukan sebelumnya. Seorang warga yang menemukan potongan tubuh ini untuk pertama kali kemudian melapor ke kantor polisi setempat.
Oleh aparat setempat, potongan tubuh ini kemudian dibawa ke rumah sakit terdekat. Hasil otopsi awal menunjukkan bahwa pemilik potongan tubuh ini merupakan seorang wanita dengan usia sekitar 20—30 tahun. Demikian sebagaimana dikatakan oleh Kisuke Urahara, Asisten Komisioner Divisi Satu MPD dalam jumpa persnya pagi tadi.
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, tidak ada dokumen identitas apapun yang ditemukan di dekat jasad tidak utuh tersebut. Ditambahkan Urahara, bagian tubuh dan kepala jasad tersebut juga masih hilang. Hasil investigasi awal menunjukkan, korban mungkin telah tewas selama beberapa hari, karena saat ditemukan jasadnya telah membusuk dan mengeluarkan bau tak sedap. Ahli forensik dan anjing pelacak juga turut dikerahkan guna menyisir TKP, tapi sampai dengan berita ini diturunkan, belum ada informasi yang bersedia dirilis ke media.
"Polisi masih menyelidiki bagaimana potongan tubuh ini berada di tempat yang sama dengan penemuan sebelumnya. Kami menduga pelaku sengaja membuang potongan tubuh ini dalam waktu yang berbeda, untuk mengelabui pihak berwajib. Ketika ditemukan, bagian tepi sungai itu tergenang karena hujan deras melanda pagi tadi," tutup Urahara.
Temuan potongan tubuh ini sempat menimbulkan berbagai macam spekulasi. Namun otoritas setempat menegaskan, potongan tubuh ini tidak terkait dengan kasus pembunuhan seorang wanita Kanada keturunan Cina oleh kekasihnya di Roppongi. Tubuh korban dalam kasus ini juga ditemukan tercerai-berai di wilayah pinggiran Shibuya. Pelaku dalam kasus ini telah ditangkap pada Rabu (17/10) lalu.
Terlepas dari spekulasi yang berkembang, MPD Tokyo memiliki pekerjaan rumah baru. Kasus mutilasi tampaknya kerap digunakan pelaku pembunuhan untuk menutupi diri dan juga korban. Tak heran, sejumlah kasus mutilasi belum juga terungkap. (Rei)
###
Sepenuh hati Rukia menekan tombol silang di layar tabletnya. Sial, umpatnya dalam hati. Betul-betul cara yang buruk untuk memulai hari ketiganya di divisi baru. Semestinya hari-hari di Divisi Kreatif adalah hari-hari menyenangkan, karena dia bisa bekerja di dalam kubikel lagi, bekerja di ruangan berpendingin lagi, dan tidak harus bekerja bersama laki-laki beringas di Bagian Set dan Properti. Kesempatan ini tak boleh disia-siakan, terutama untuk memerhatikan dirinya sendiri. Enam bulan di bagian kerja rodi itu sudah membuat kulitnya hitam legam terbakar matahari, dan urat-urat bermunculan di tangannya. Ia bahkan sedikit khawatir dirinya jadi berotot.
Meskipun begitu, kenapa satu hari membahagiakan itu harus dibuka dengan berita mutilasi wanita seumuran dirinya?
Wanita beriris violet itu bergidik. Tanpa disadari, bulu kuduknya meremang. Amit-amit, jangan sampai dia menjadi korban mutilasi dan ditemukan dengan tubuh terpotong-potong. Memangnya dia ayam, apa. Kalau dia mati, Rukia ingin dirinya dirias begitu cantik dengan gaun putih, mengenakan lipstik merah muda yang kalem, dan rambutnya ditata dengan model seperti sekarang. Belum lagi, peti matinya harus berwarna putih juga, dengan banyak kelinci di dalamnya. Dia kan suka kelinci….
Dan kenapa juga dia harus memikirkan kematian di saat umurnya baru 23?
Cepat-cepat Rukia mengusir pikiran tidak-tidak itu dari otaknya. Dia tidak mau mati muda…. Ditelungkupkan kepalanya sambil menatap tumpukan kertas di hadapannya sedih. Bibirnya membusur ke atas, menunjukkan suasana hatinya yang sedang bosan akut. Bekerja di Divisi Kreatif memang enak, tapi kalau tak ada pekerjaan seperti sekarang… rasanya membosankan. Di Divisi Properti dulu tidak ada waktu baginya untuk bersantai. Setiap saat harus bekerja. Membuat set panggung, mengangkat kayu-kayu, triplek-triplek, kursi, meja, dan lain-lain.
Tapi di sini, yang dilakukan Rukia sedari tadi hanya mengecek ejaan draf acara baru bulan November, dan itu sudah diselesaikannya setengah jam yang lalu.
Iris violetnya menyorot jam dinding di atas meja pemimpin divisi. Pukul sepuluh. Masih ada dua jam sebelum waktu makan siang. Mau pergi beli makanan, rasanya aneh. Sebenarnya kepala divisinya baik, pria rambut putih itu tak pernah protes kalau ada pegawainya yang memajukan jam makan siang. Tapi Rukianya saja yang tidak enakan. Dia sungkan kalau harus meminta izin pada Pak Ukitake.
Lamunannya soal Pak Ukitake dan makan siang terbuyarkan tatkala dinding kubikelnya diketuk tiga kali.
Rukia menoleh ke kiri kanannya. Ini pasti pekerjaan penghuni bilik sebelah. Kalau tak salah seorang wanita berdada tambun yang namanya Matsumoto.
Bingung dengan maksudnya, Rukia mengetuk dinding kubikelnya sekali.
Tiba-tiba terdengar suara. "Tadi malam aku mimpi aneh, Momo," kata Matsumoto.
Mata Rukia melebar. Momo? Seingatnya, namanya bukan Momo. Makin bingung, dia malah balik bertanya, "Ng… mimpi apa?"
Kepala Matsumoto tiba-tiba menyembul di tembok kubikel Rukia. "Oh, kau bukan Momo." Dari nadanya seolah-olah dia berkata untuk dirinya sendiri. "Kau… pegawai baru yang diceritakan Ukitake, ya? Anak properti itu?" Tatapannya sesaat seolah menilai. Wanita ini mengamati Rukia dari ujung rambut sampai ujung sepatunya.
"Eh… iya, aku Kuchiki, salam kenal," ujar Rukia seraya berdiri dan membungkuk sekilas. "Dan kau…," kali ini Rukia mengamati kancing kemeja Matsumoto yang terlepas di bagian dada. Mungkin karena kekecilan, "Matsumoto, kan?"
Lawan bicaranya mengangguk. Namun sorot matanya berubah sedikit kecewa. "Ya, aku Matsumoto. Kau bisa memanggilku Rangiku," katanya sambil berdesah pelan. "Rupanya Ukitake benar-benar memindahkan Momo, aku jadi tak punya teman bicara lagi," desahnya sambil kembali duduk di bangkunya. Mata Rukia mengikuti. Kata-kata itu jelas tidak dimaksudkan pada Rukia, tapi sedikit banyak bungsu Kuchiki itu tersinggung.
Tapi tentu saja dia tak mau mencari masalah. "Ng… kalau kau mau, aku bisa jadi teman bicaramu," tawarnya. Dia melongok ke dalam kubikel Rangiku, dan mendapati wanita teman barunya sedang bersolek, menyapukan kuteks merah darah ke kuku-kukunya. Sesaat Rukia merasa salah ucap, tapi mulutnya malah melanjutkan, "Kupikir… kita punya kegemaran yang sama. Lagi pula, aku sudah mendengar perkataanmu tadi. Meskipun itu ditujukan pada Momo. Katamu tadi kau dapat mimpi buruk?"
Rangiku mengembuskan napasnya, dan lagi-lagi menilai Rukia dengan tatapannya. Sampai salah tingkah Rukia dibuatnya. Semoga saja Rangiku mau mengobrol, batinnya meminta. Dia akan sangat bosan kalau sampai pukul dua belas nanti tak ada kegiatan, dan mengobrol ngalor-ngidul sepertinya pilihan tepat untuk menghabiskan waktu 120 menit penuh.
Akhirnya Rangiku menutup kuteksnya. Tatapannya beralih ke layar komputer yang gelap—dan mendadak sayu. "Yah, tadi malam aku mimpi buruk," ulangnya. "Apartemenku dibakar api, dan aku ada di dalamnya. Yang aneh adalah aku sama sekali tak berpikir apa pun untuk memadamkannya. Kubiarkan saja. Soalnya aku tidak merasa panas. Dan aku terbangun ketika mukaku sudah dijilat-jilat api. Kira-kira artinya apa, ya?"
Rukia mengerjapkan matanya beberapa kali. Nah, dia tak tahu-menahu soal mimpi dan keluarganya. Baginya mimpi merupakan kembang tidur, tapi apakah Momo, orang yang dimaksud Rangiku, akan mengatakan hal yang sama? Itu yang membuatnya bingung… tapi sudahlah. Sekarang rekannya ini sedang bertanya padanya, bukan pada Momo, jadi pendapatnyalah yang berlaku di sini.
"Apa ya?" Rukia pura-pura berpikir. "Aku… tidak begitu tahu soal mimpi, sih. Bagiku mimpi cuma bunga tidur, tidak lebih. Tapi karena kau bertanya… maka jawabanku adalah: hati-hati dengan api, dan jangan menonton berita kebakaran sebelum tidur," kelakarnya sembari tersenyum lebar. Kemudian Rukia terkekeh kecil, namun tawanya langsung sirna karena menyadari Rangiku tidak tertawa. Malah raut mukanya berubah serius.
"Ya, mungkin juga…," desahnya.
Senyuman Rukia langsung salah tingkah melihat air muka teman barunya. Dia kan cuma bercanda tadi. Cepat-cepat dia berusaha meralat ucapannya, tapi namanya keburu dipanggil Pak Ukitake. Akhirnya dia cuma mohon diri dan langsung melesat ke ruangan kepala divisi. Pulang-pulang dia sudah membawa setumpuk dokumen baru untuk diperiksa.
Dia menghela napas. Cara yang tidak buruk untuk menghabiskan waktu, batinnya sambil mengamati sibuknya Rangiku memoles kukunya dengan cat merah.
###
Rukia melirik jam tangannya resah. Lima menit sudah lewat dari pukul satunya yang berharga. Dan dia belum makan siang. Akibatnya langkah kakinya setiap detik semakin dipercepat, sampai setengah berlari. Untung saja elevator terbuka hanya beberapa detik setelah dia menekan-nekan tombol turun seperti orang kesetanan.
Kakinya terlangkahkan menuju dalam kotak besi kecil yang membawanya ke kafetaria, di basemen. Rukia menekan tombol bertuliskan 'LG'. Berhubung dia tak menjumpai siapa pun untuk naik ke dalam liftnya, Rukia memiringkan bibir dan menekan tombol untuk menutup pintu.
Pintu hampir saja tertutup sempurna ketika sebuah tangan besar menahannya kasar. Rukia sampai hampir memekik. Dalam hati dia bersyukur bahwa si pria yang baru saja masuk tak sadar dengan kepanikannya. Untuk mengalihkan perhatian, dia pura-pura melihat jam tangannya, meskipun matanya sekali-sekali mencuri pandang ke arah orang yang baru bergabung bersamanya, mencoba mengamat-amati.
Lift tertutup… dan membawa mereka berdua menuju tujuan masing-masing.
Hal pertama yang diamati Rukia adalah bahwa pria ini… hening. Tak ada suara terdengar dari bibirnya. Dilihat dari seragam dan benda yang dibawanya, nyata terlihat kalau dia adalah petugas kebersihan. Kali ini ia menyeret bak pel sekaligus alatnya. Sekali Rukia melihat ke dalam bak itu. Tak ada isi apa pun, hanya air kecokelatan.
Tipe pekerja keras yang tak banyak bicara, batinnya membenarkan.
Dentingan halus menyinggahi telinga Rukia, dan pintu lift terbuka. Tahu-tahu mereka sudah ada di basemen. Oh, rupanya tujuan si pria juga sama dengannya. Sadar karena pria ini belum bergerak, Rukia berjalan cepat. Kalau tak salah dia melihat Rangiku masih duduk di sebuah meja kafetaria itu…
Sayang kakinya tersandung bak pel si petugas kebersihan dan membuat benda itu terjungkal.
Air tertumpah ke mana-mana.
"Oh, maaf, maaf," gumam Rukia serba salah sambil membungkuk-bungkuk. Kini lantai basemen di depan lift sudah berubah warna menjadi abu-abu pekat, dengan buih yang membuat segalanya jadi tambah licin. "Maafkan aku, aku benar-benar minta maaf," Rukia berusaha menegakkan kembali bak pel yang kini sudah kosong.
Tapi tangannya ditepis tiba-tiba oleh si petugas kebersihan. "Jangan."
Selama sejurus, Rukia tersentak. Topi biru yang dikenakan pria itu terjatuh ke lantai dan ikut basah. Rukia memungutnya, namun saat dia mendongak untuk memberikannya pada pria itu tanpa sadar dia bergidik ngeri.
Ada bekas luka memanjang di dahi pria itu yang membuat Rukia tak bergerak selama beberapa detik.
Pria botak itu menarik paksa topinya dari tangan Rukia, lagi-lagi membuat wanita itu mundur selangkah.
"O-oh, m-maaf…"
"Kuchiki!"
Rukia tertegun dan menoleh. Matsumoto berjalan ke arahnya dengan kening berkerut dalam. Tanpa menunggu, wanita berdada besar itu langsung menarik Rukia dan mengajaknya menjauh dari si petugas kebersihan. Meskipun matanya masih menangkap sesuatu dalam tatapan pria tak berambut yang menurutnya tidak nyaman.
Mata itu menatap mereka benci.
"Ada apa?" Rukia meminta penjelasan pada wanita yang masih saja setia menggamit tangannya, tak mau melepaskan. "Aku belum minta maaf pada orang itu," sambungnya ketika mereka telah berhadapan.
"Sebaiknya kau tidak usah dekat-dekat dengan CS itu," ingat Rangiku. Suaranya serius.
"Lho, kenapa?"
Rangiku memilin rambut panjangnya sebelum menjawab, "Momo bilang… pria itu auranya hitam."
Bola mata Rukia berputar. Baiklah, Momo lagi, Momo lagi. Momo dengan segala pengetahuannya soal okultisme. Dan itu membuat Rukia penasaran. Memang, pria yang barusan berurusan dengannya adalah orang yang misterius. Rukia akui, dia tak akan terlalu senang berlama-lama bersama pria itu dalam satu ruangan. Tapi mendengar orang mengatakan bahwa aura si pria kehitaman, itu hal baru.
Sebenarnya apakah Momo ini memang bisa melihat warna aura seseorang?
"Aku ingin mengenalkanmu pada Momo," kata Rangiku gembira.
Oh bagus, batin Rukia skeptis. Dia ingin tahu siapa gerangan Momo yang menjadi panutan tetangga kubikelnya dalam menyikapi hal-hal supranatural. Jadi setelah berjanji akan duduk bersama Rangiku nanti dengan nada suara yang diusahakan penuh minat, Rukia memesan makan siangnya.
"Menu biasa," katanya pada pria berambut merah di balik etalase makanan.
"Biasa? Aku tak tahu apa yang biasa kau makan," sahut si pria cepat. Dia membenarkan letak topi kokinya yang menjulang tinggi.
Rukia mendelik. "Abarai," katanya, berusaha sabar. Renji tentu tak akan mau membuat emosinya hari ini semakin campur aduk.
Tapi pria yang dipanggilnya Renji hanya tertawa. Beberapa detik kemudian, Rukia sudah berjalan sambil membawa makan siangnya. Semangkuk nasi, salad, dan dua potong tenpura. Dia melihat sekeliling sebelum sadar Rangiku sudah melambai padanya berulang-ulang sambil meneriakkan namanya. Entah kenapa dia tak mendengarnya, sampai beberapa saat yang lalu.
Rangiku memang tak sendiri. Di hadapannya sudah duduk seorang wanita muda yang… sangat rapi, kalau menurut Rukia. Rambutnya yang hitam dicepol kiri kanan. Matanya yang bulat besar seolah memandang apapun penuh kesedihan. Sesekali tangannya gemetar saat memegang sumpit. Dia selalu bergumam sebelum menjatuhkan makanannya.
Pikir Rukia, pasti ini yang namanya Momo. Gadis manis. Pasti lebih muda darinya.
Tapi mengapa gerak-geriknya sangat tidak wajar?
"Kenalkan, ini Momo Hinamori yang sering kuceritakan," kata Rangiku senang. "Momo, ini Rukia, pegawai yang menggantikanmu. Dia enak diajak bicara lho," pujinya.
Diam-diam Rukia tersipu. Enak diajak bicara tentu saja pujian yang baru sekali ini didengarnya. Biasanya dia sering dikatai 'mulut kotor' atau 'lidah mertua berbisa' oleh rekan-rekannya di bagian properti dulu, lantaran perkataannya yang kadang-kadang asal cetus saja, tak sempat dipikir.
"Salam kenal." Rukia membungkuk sekilas, kemudian menarik kursi dan duduk. Salamnya dibalas oleh teman barunya sedikit hati-hati. Suara gadis ini juga cukup manis, batin Rukia. Tapi matanya seperti tak terfokus. Sekali-sekali, dia memandang ke belakang Rukia. Atau ke pojok lain ruangan. Atau ke dekat meja kasir tempat Renji biasa bertugas. Hanya beberapa detik dia menyapukan penglihatannya pada orang yang berbicara dengannya. Ingin rasanya Rukia membahas hal itu, namun perasaannya seolah mengingatkan untuk jangan terlalu banyak bertanya dulu.
Tiba-tiba suara kecil Momo tertangkap pendengarannya.
"Boleh aku menjabat tanganmu, Rukia?"
Rukia menurunkan sumpitnya. Keningnya mengernyit. Berjabat tangan? Baiklah, ini sudah mulai aneh.
Dia baru akan bertanya, tapi Rangiku sudah memotong, "Ayolah Rukia, Momo ingin membaca auramu," katanya penuh minat. Matanya pun menyiratkan minat yang kian membesar terhadap aura Rukia.
Membaca aura. Ngomong-ngomong soal aura, tadi dia dengar dari Rangiku kalau petugas kebersihan misterius itu beraura hitam. Baiklah, dia penasaran. Diangsurkan tangannya pada Momo. "Baiklah," gumamnya pelan. Matanya memerhatikan pergerakan gadis muda bercepol itu, yang kini memejamkan mata sembari memegang tangannya. Tak ada hal spesial dirasakan Rukia, selain fakta bahwa tangan Momo dingin. Dia kira akan ada sengatan listrik atau hawa dingin bertiup di tengkuknya, tapi tak ada yang terjadi.
Rukia mengelap tangannya yang entah mengapa berkeringat setelah Momo melepas pegangannya. Dengan mata yang dipaksakan memandang sahabat barunya itu penasaran, Rukia menanti. Di sebelahnya, Rangiku sudah kepalang tak sabar. Dia terus mendesak Momo untuk mengatakan apa warna aura Rukia—atau dengan kata lain, orang seperti apa si bungsu Kuchiki ini.
"Jadi?" Rukia memecah berondongan pertanyaan Rangiku.
Momo cuma tersenyum.
"Kau… tidak percaya akan semua ini, kan? Bahkan kau tak percaya padaku."
Tak sadar mata Rukia melebar sedikit. Dari mana gadis ini tahu? Kekesalan dalam hati Rukia mulai terbit, tapi wanita ini berusaha untuk tidak melabrak Momo di tempat itu. "M-maksudmu apa?" Dia coba mengabaikan tatapan Rangiku yang seolah menuduh, tapi bercampur dengan rasa penasaran.
Momo menarik napasnya. "Kau terlalu kuning untuk menerima secercah indigo yang ada dalam dirimu. Tepatnya, kau berusaha untuk menjadi kuning. Padahal kalau kau mau menerimanya," dia menatap lekat-lekat mata Rukia, "kau juga bisa membaca aura sepertiku."
Senyuman yang keluar dari bibir Rukia seperti salah tingkah. Tapi dia tak berkata apa-apa. Otaknya sibuk mencerna apa yang diucapkan Momo barusan. Kalau diartikan dengan kalimat yang mudah dimengerti kaum awam, dengan menghapus nama-nama warna tadi, artinya adalah bahwa Rukia juga punya bakat untuk menjadi cenayang. Hanya saja Rukia tidak mau menggunakannya—lebih tepatnya menolak kenyataan bahwa dia punya bakat dalam hal-hal semacam ESP.
Cenayang? Dia? Yang benar saja. Melihat setan saja Rukia tidak pernah. Jangan sampai. Amit-amit. Dan kini orang yang baru dikenalnya mengatakan bahwa dia punya bakat untuk melihat hal-hal astral. Demi Tuhan. Dia jauh lebih memilih bakat menulis atau bakat menyanyi atau bakat melukis ketimbang bakat berinteraksi dengan makhluk gaib.
Tidak percaya, Rukia melirik penyebab kekacauan dalam otaknya. Momo malah balas mengebor matanya dengan pandangan penuh arti, seolah berkata bahwa dia sudah menduga kalau Rukia akan semakin tidak percaya dengan kata-katanya tadi. Akhirnya Rukia lebih memilih melengos. Dia tak mau semua rahasianya ketahuan di sini.
Mendadak dia jadi tak nafsu makan.
"Jadi sekarang kau bekerja di bagianku, Rukia?" tanya Momo.
Rukia baru akan menjawab, tapi Rangiku sudah mendahului. "Ya, Momo. Dia bahkan duduk di tempat yang sama denganmu."
Ah, Rukia hampir saja membuka mulutnya. Fakta ini menjelaskan banyak hal. Seperti cermin yang dipasang di luar. Jimat-jimat dari berbagai kuil yang tertempel di belakang monitor. Atau hiasan macan yang menggantung manis di dekat kursi. Mulanya Rukia itu hanyalah hiasan biasa, sampai dia menemukan kertas jimat kecil tersumpal di dalam hiasan itu.
"Ah, iya. Tapi maaf, aku sudah banyak mengubah kubikelmu itu. Kupikir ada banyak benda yang… tidak kuperlukan. Kalau kau mau mengambilnya, akan kuantarkan ke ruanganmu. Mungkin kau membutuhkan cermin itu—aku heran kenapa benda itu bisa dipasang di luar," katanya setengah tertawa.
"Kau tidak boleh memindahkan cermin itu, Rukia!"
Sontak senyuman di bibir Rukia musnah. Dia bisa melihat Momo melebarkan matanya, menatapnya ketakutan. Hei, apa barusan dia mengatakan hal yang salah? Rukia menggigit bibirnya, sangat heran dengan tingkah gadis ini. Kenapa dia sangat marah ketika tahu Rukia memindahkan cermin itu? Apa ada rahasia di sana?
Melihat dua temannya diam dan sedikit kaget mendengar Momo membentak akhirnya membuat gadis bercepol itu meminta maaf. "M-maafkan aku," katanya pelan. Dia menatap Rukia lagi. "Tapi kumohon, Rukia, pasang lagi cermin itu di tempatnya. Kubikelmu itu tusuk sate—membawa pengaruh buruk. Energi buruk akan berkumpul di tempatmu bekerja kalau kau tak menangkalnya. Pasanglah cermin itu. Ini demi kebaikanmu sendiri."
Tak sempat Rukia merespons kata-kata itu karena Momo keburu bangkit. "A-aku pergi dulu," katanya. Bahkan sebelum Rukia sempat menahannya untuk meminta penjelasan, gadis itu sudah berjalan cepat-cepat. Cuma pandangannya yang bisa mengekor sebelum Momo akhirnya lenyap di balik pintu.
"Apa yang salah dengan dia?" tanya Rukia gusar. Matanya menatap Rangiku tajam. "Kami baru saja saling kenal dan dia sudah berani membentakku tentang soal omong kosong seperti cermin dan tusuk sate atau apalah namanya itu? Memangnya dia siapa—Cassandra Trelawney?" Mendadak Rukia merasa salah sudah keceplosan seperti itu. "M-maaf," ralatnya cepat. Mestinya dia ingat kalau Rangiku adalah sahabat baik Momo.
"Ah, seperti kau tak tahu saja orang-orang seperti itu."
Hah? Rasa-rasanya nada suara orang ini mulai berubah. "Maksudmu?"
Rangiku malah tertawa. "Ternyata bakat aktingku belum hilang," katanya. Dia menikmati tatapan heran yang dilayangkan Rukia sebelum melanjutkan, "Aku juga sebenarnya tidak percaya soal itu, Nona Kuchiki. Tapi yah, kadang-kadang bagus juga kalau aku memintanya meramal. Daripada aku membeli majalah yang harganya mahal, lebih baik aku bertanya padanya. Gratis," katanya penuh percaya diri.
"Tunggu dulu," sambar Rukia cepat. "Jadi kau tak percaya dengan segala kemampuan dan pembacaan aura yang dilakukan Momo tadi?"
Malah ganti Rangiku yang menatap Rukia heran. "Halo, Rukia?" Dia melambaikan tangannya di depan muka Rukia. "Kau pikir sekarang abad berapa? Lima belas? Tujuh belas? Sekarang abad 21! Meskipun apa yang dikatakannya akan menjadi kenyataan, mana mungkin aku bisa percaya? Kau pikir aku mau bersusah payah naik tangga dan menghindari lift hanya karena kita bekerja di lantai empat? Omong kosong sekali!" serunya.
"Jadi selama ini kau hanya bersandiwara dengannya?"
Rangiku mengangkat bahu dan memilih menatap arah lain. "Sebagian besar… mungkin. Tapi kalau kadang aku penasaran… ya aku tanyakan saja apa yang mengganggu pikiranku padanya. Kadang-kadang jawabannya cukup rasional—meskipun harus aku sendiri yang memikirkannya matang-matang. Yang aneh adalah bahwa dia selalu—selalu—tak bisa menyatakan apa pun dengan bahasa yang bisa diterima akal sehat. Bawaan cenayang, mungkin."
Rukia menusuk tenpura-nya dengan garpu plastik. Berbicara tentang orang bermuka dua, ini dia contohnya.
Suara Rangiku terdengar lagi. "Kau tak berpikir untuk percaya pada semua yang ia katakan tadi, kan?"
Lawan bicaranya melahap tenpura dengan satu suapan.
"Kau saja tak percaya, bagaimana mungkin aku bisa percaya?"
###
Rukia menekan tombol G di lift secepat yang ia bisa. Sudah malam, dan tak mungkin ada orang lain di kantor ini. Koridor-koridor yang dilaluinya tadi pun telah gelap, bahkan dia yang tadi mematikan lampu di ruangannya. Oh, Ukitake sialan, rutuknya dalam hati. Memberi tugas pada saat-saat yang begitu tanggung—sepuluh menit sebelum jam kantor berakhir, dan tugas itu harus selesai hari ini. Kenapa dia tak bilang tadi-tadi, saat Rukia santai? Kenapa dia malah membiarkan pegawainya ini mati bosan, dan memberi pekerjaan tepat sebelum pulang? Dasar atasan, selalu tidak bisa melihat bawahannya senang.
Bunyi dentingan membuyarkan pikiran Rukia. Dia mengerutkan kening. Rasa-rasanya perjalanan ke lantai dasar tidak secepat ini, batinnya. Dia melirik panel angka penunjuk lantai di sisi kanannya.
Tombol L2 yang tadi menyala baru saja padam.
L2? Seingatnya tadi dia menekan tombol G…
Tombol lantai tujuannya masih menyala. Ah, pikir Rukia skeptis, pasti ada kesalahan barusan. Dia menekan tombol yang akan menutup pintu lift. Di luar sana sudah gelap. Satu-satunya sumber cahaya hanyalah elevator tempatnya berada sekarang dan penunjuk tangga darurat di sisi lain koridor yang berpendar kehijauan.
Pintu lift beranjak menutup.
Mendadak ekor mata Rukia menangkap sekelebat bayangan hitam melintas di luar lift.
Dan pada detik yang sama, bulu tengkuknya meremang.
Bayangan itu bukan apa yang Rukia pikir, kan?
.
.
to be continued.
2012.11.26 10.56 am.
Catatan: Republished bro dan sis. Well, what do you think? Apa yang perlu "dibagusin" dari tulisan saya? Terima kasih banyak :)
