Symphaty

Assassination classroom milik Matsui Yuusei

A/N: ini hanya fiksi. Fiksi ini bercerita tentang sudut pandang Karma yang mengagumi Nagisa. sudah lama tidak membaca ulang manga-nya, jadi jangan heran jika karakter disini OOC. Thanks for Hanimia sukio, who gave me inspiration.

Warn: KarmaNagisa hints. Mengandung spoiler.


Bagi Karma, Nagisa adalah orang yang kuat. Padahal, sejauh tiga tahun sekelas bersama Nagisa, ia merupakan orang biasa—sangat biasa, bahkan—tapi pemikiran Karma berubah saat ia dan Nagisa menduduki kelas dua di Kunigigaoka. Nagisa pernah menceritakan perlakuan ibunya yang terdengar—cukup—kejam hanya karena Nagisa lahir sebagai seorang laki-laki, bukan perempuan seperti harapan sang ibu. Nagisa juga menceritakan bahwa hal itulah yang membuat ia memanjangkan rambutnya seperti perempuan pada umumnya. Awalnya Karma hendak terbahak, tetapi ia urungkan ketika Nagisa menjelaskan tentang perlakuan ibunya—memukul, mengacuhkan, bahkan mengurungnya.

Karma mengakui bahwa dirinya mudah tersulut dan cenderung tidak percaya pada orang-orang disekitarnya—kecuali Nagisa, dia hanya mau mendengarkan Nagisa. Karma adalah orang yang pintar, tentu saja ia tidak terkejut begitu Kaede menceritakan bakat serta kecerdikan Nagisa dalam menyudutkan Koro-sensei, Karasuma-sensei sendiri setuju jika Nagisa memiliki sebuah bakat terpendam. Well, itu mengingatkan Karma dengan masa lalunya di kelas D. Karma teringat saat insiden di pulau Okinawa, dimana Nagisa terpaksa memakai baju perempuan untuk mendapatkan obat penawar. Saat itu akting Nagisa mampu membuatnya terpukau, mungkin berakting merupakan salah satu bakat alami Nagisa.

Di balik iris biru Nagisa, terdapat berbagai tak-tik dalam menjatuhkan musuh. Walaupun manik biru itu terlihat tenang, sebenarnya manik itu sedang menganalisis dan beradaptasi dalam situasi sekitarnya—mirip seperti ular—seandainya kelebihan itu digunakan untuk pelajaran, mencontek misalnya—oke itu bukan contoh yang baik, tetapi sebenarnya Nagisa bisa menjadi orang yang cerdas. Itu opini dari Karma.

Nagisa bahkan membuat sebuah jurnal yang berisi tentang kelemahan Koro-sensei—sedetail itukah ia memperhatikan? Bahkan ia menulis 'Koro-sensei tidak bisa tidur tanpa bantal pribadinya'—terlihat tidak berguna memang, tapi Nagisa menjelaskan bahwa ia bisa saja mengambil bantal pribadi koro-sensei sehingga sang empunya mencari bantal itu dengan gelisah, saat itulah ia akan menikam sensei dengan pisau khusus, keadaan mengantuk mampu membuat sensei menjadi kurang fokus apalagi jika ditambah gelisah tidak menemukan bantal pribadinya. Rencana yang bisa dibilang brilliant.

Hal yang membuat Karma membuka matanya lebar-lebar untuk seorang Shiota Nagisa adalah saat ia duel satu lawan satu dengan Takaoka-sensei. Iris biru Nagisa terlihat tenang, tidak ada ketegangan bahkan Karma hampir mengira bahwa tatapan itu merupakan tatapan tanpa emosi. Pergerakan tubuhnya bahkan tidak seperti orang yang siaga—cenderung ke berjalan santai—tapi Karma tahu. Nagisa saat itu sedang memburu. Memburu adalah hal penting dalam assassin. Memburu berarti memburu mangsa. Tentu saja mangsa yang dimaksud disini adalah lawan. Gerakan saat Nagisa memelintir tangan Takaoka-sensei begitu lugas, tidak terlalu cepat maupun tidak terlalu lambat. Sehingga dalam hitungan detik, Nagisa dapat merubuhkan Takaoka-sensei.

Sebuah seringai terlukis di wajah Karma, iris pucatnya seakan ikut tersenyum. Mungkin kali ini ia tidak salah memilih teman yang dapat ia percayakan. Surai merah darahnya mengikuti arah pergerakan kepalanya—Ah, teman-teman Karma telah menunggunya di lapangan. Nagisa sendiri tengah menunggu Karma dari kejauhan. Bagi Karma, Nagisa adalah orang yang kuat.


END