Warn: Kekerasan! Bahasa kasar! Boyxboy or Yaoi, OOC (maybe), Typos, Bad EYD, dan kekurangan lainnya. DLDR!

Kurobas Belongs to Tadatoshi Fujimaki-sama

Danger Line by Me

AoKaga slight MidoTaka

Rate: T+

Genre: Romance/Suspense/crime/sedikit gore!

Yoshh Enjoy!

.

.

.

"Kecintaannya terhadap bola mata, membawa seorang Aomine Daiki berada di garis bahaya"

Remaja belasan tahun beranugrah bola mata sewarna darah menyapa senyuman seorang wanita di sebrang sana. Menguap kecil sebagai tanda bahwa tidurnya kurang maksimal, namun aroma roti panggang bercampur keju menguar penciuman dan mengalahkan niatan untuk menarik selimut.

Dia berjalan kearah wanita yang mengulas senyuman di bibir merah tanpa oles lipstick, tapi dalam sekejap pandangan terhadap eksistensi itu lenyap. Wanita itu menghilang.

Merasa tidak ada yang aneh, dia menarik kursi dan mendaratkan bokongnya menghadap hidangan di atas meja beralas kaca. Tidak tahu siapa gerangan yang menyiapkan, satu tangan terjulur untuk meraih gelas berisi likuid susu coklat panas. Bersamaan dengan bertiupnya angin melalui celah jendela yang terbuka, ia menyesap minuman itu hati-hati seolah tidak akan pernah merasakannya lagi.

Ciuman dengan bibir gelas dilepas, ia ganti dengan lahapan roti panggang. Sungguh, mulutnya akan menjadi bekerja lebih keras jika ia sudah bergemul dengan makanan. Punggung tangan naik mengusap lumeran keju yang menetes di bibir bawah.

Dia senang … namun …

Byurrrrrr!

Jdak!

"Sial, bangun bocah!"

Kagami sontak kaget, menegakkan diri dan memepet tembok yang tidak tau rupa karena cetnya sudah mengelupas dan banyak tumbuh lumut, mungkin disebabkan ruangan ini memiliki udara yang begitu lembab. Ia memeluk dirinya sendiri mencari kehangatan setelah diguyur seember air oleh seseorang tinggi besar di hadapannya.

Meringis tertahan, ia menggigit bibir bawah yang sudah bengkak berdarah merasakan betapa sakit punggungnya akibat tendangan yang dilakukan oleh orang-orang ketika membangunkannya.

"Makan ini supaya kau tidak mati."

Terlihat pintu besi berkarat dibanting kuat dan digembok kembali setelah orang yang bertugas memberinya makan hari ini keluar. Lalu ia mendengar gaung tertawaan setelahnya.

Kagami menunduk, mengusap perih bibirnya dengan jari tangan. Selepasnya ia melihat capan cairan merah yang terlukis. "Akh!" ia menjerit kecil.

Pandangannya lepas pada makanan yang tersaji di lantai kotor. Ia menghela napas, bahkan, makanan itu tidak layak untuk binatang sekalipun.

Ia tidak mengharapkan makanan semewah mimpinya tadi, segelas susu coklat panas dan roti panggang berlumer keju. Itu makanan orang mampu, sedangkan ia hanya anak yang hidup di bagian terkecil gerlapnya cahaya dunia. Cukup dengan segelas air putih dan nasi tanpa lauk, sungguh ia akan bersyukur. Bukan makanan seperti muntahan babi yang terhidang di depan matanya.

Dia ingin menangis dan berteriak berdeklarasi pada dunia, adakah keadilan walau hanya sedikit saja untuknya. Apa yang salah dengan dirinya, takdir yang dikutuk dewa atau nasib yang tersirat. Biarkan ia menjadi bagian kecil tak terlihat dari salah satu pengisi planet.

Makanan di tendang tersisih ke pojokan ruangan bersama semut yang sudah bergerumul. Lebih baik ia tak makan, mungkin mati sebuah pilihan.

….

Siku menancap di meja, telapak tangan menumpu kepala. Satu tanganya lagi lihai memegangi batangan berkebul mengedarkan asap putih dan meninggalkan zat nikotin dalam tubuh. Seraya membuang abu yang sudah panjang, ia berkata, "Mana dia?" katanya kepada pemuda raven yang baru saja menghidangkan kopi hitam.

"Tadi masih di dalam laboratoriumnya, mungkin sekarang dalam perjalan menuju ke sini," jawab si pemuda raven. "Tuan, kurasa kau tidak bodoh dan sudah membaca larangan untuk tidak merokok di ruangan ini," dia berkata tegas.

"Hah, tentu saja aku tidak bodoh," katanya menyeringai. "Tapi tentang peraturan itu memangnya aku peduli." Dia membuang puntung rokonya ke lantai dan menggilas menggunakan sepatu hitam mengkilat yang membalut kedua kaki.

Si pemuda hanya diam memandang tak suka pada klien tuannya yang datang pagi ini. Memangnya dia siapa seenaknya sendiri. Ia akan mengumpat pedas jika saja–

"Yo, Aomine,"

–Tuannya tidak datang.

"Lama sekali, kacamata. Aku bisa menjamur keriput menunggumu," cuapnya, melingkarkan kedua tangan di dada dan terkekeh kecil. "Kecuali kau hidangkan gadis agresif dan sexi," lanjutnya. "Oh, jangan lupa dada yang bes–"

"Itu tidak mungkin, Aomine," celanya. Pria seumuran yang dijuluki kacamata melemparkan amplop coklat ukuran sedang kepada pria navy di sebrang meja. Kemudian bergulir melihat pelayannya. "Takao, enyahlah," titahnya.

Orang yang merasa punya nama Takao mengerjap. "Baiklah, Shin-chan." Meninggalkan ruangan dengan senyum menghias bibirnya.

Aomine di sebrang mendongak, urung membuka amplop di tangan. "Oi, Midorima, apa-apaan dengan panggilan itu," ejeknya sembari melepaskan tawa yang membuat sang empu kesal.

"Diamlah, Aomine, tidak ada yang lucu, nanodayo." Seraya menaikkan kacamata ia menarik kursi dan duduk rapi.

"Eh, pelayan baru? Kurasa aku baru melihatnya sekarang," tanyanya, menarik cangkir kopi dan menegaknya sedikit.

Midorima meletakkan tangannya di meja, dia menjawab, "Bisa dibilang begitu, aku memergoki dia masuk ke dalam kantor beberapa hari lalu. Kemudian dia meminta pekerjaan, dan tentang panggilan itu sebenarnya aku merasa kesal, namun ada banyak pekerjaan yang lebih penting daripada terus-terusan menegurnya."

Aomine menyipit dan menatap manik Midorima. "Kau memberinya pekerjaan semudah itu?" Aomine tidak paham. "Tidakkah kau curiga, bagaimana jika ia menggulingkan dan membocorkan pekerjaanmu pada kepolisian?"

Pria berambut hijau terang bagai daun di musim semi itu melukis senyum ringan seolah tak ada beban dalam hidupnya. "Kaukira aku idiot, Aomine," katanya. "Tentu saja aku waspada tentang itu, nanodayo. Sudah kusiapkan 'sesuatu' jika dia berani melakukan hal yang kaukatakan tadi," jelasnya dengan senyum licik.

Aomine hanya mengedikkan bahu mendengar penjelasan rekan yang dapat memenuhi hobinya itu. "Terserah, intinya jika kau diseret polisi jangan bawa-bawa namaku, itu saja," tuturnya, menyesap cairan hitam yang masih lumayan penuh dalam gelas. Menghentikan obrolan sejenak, dia teralihkan oleh amplop yang gagal dibukanya tadi.

"Barangnya sangat bagus sesuai seleramu, kuyakin kau pasti akan tertarik." Midorima berucap sembari merogoh ponsel dari dalam saku jas lab putihnya. Mengetik beberapa nomor kemudian menekan tombol hijau. Terdengar nada sambung dan tak lama suara yang diharapkan berbicara, dia bertanya, "Miyaji, kau sudah memberinya makan?"

"Sudah, Tuan."

Midorima puas akan jawaban tegas anak buahnya di telpon. Menutup sambungan setelah memberi peringatan untuk menjaga barangnya dengan baik.

"Kagami Taiga, umur limabelas tahun, berjenis kelamin laki-laki." Aomine membaca selembar kertas yang bertanda tangan Midorima setelah ia keluarkan dari dalam amplop. Bola mata sapphire bergulir melirik si zamrud. "Laki-laki?" ia bertanya seakan tak puas dari tulisan yang tercetak.

Midorima memasukkan ponselnya. "Ya, kurasa tak masalah perempuan atau laki-laki." Midorima membalas tatapan Aomine santai. "Yang terpenting memiliki bola mata yang indah. Perhatikan baik-baik fotonya."

Kelereng sapphire kembali mengalihkan atensinya pada kertas putih di atas meja. Ia memperhatikan dengan seksama, mulai dari rambut yang berwarna merah tua, uniknya bergradasi hitam di bagian bawah. Kedua alis yang bercabang, membuat ia menukikkan bibir. Dan di sana titik yang ia cari, bola Kristal sewarna batu garnet merah. "Oke, tidak buruk," ucapnya.

Midorima terkekeh mendengar pujian sealakadarnya terhadap barang yang ia miliki. Kadang klien yang merupakan teman SMA-nya itu tak pernah punya selera humor yang bagus. Ya, meski ia pun sebenarnya begitu. "Pastinya, Aomine, kau jangan meremehkan seleraku juga, atau…" terhenti, perkataannya menggantung di udara.

"Tsk! Atau apa?" Aomine berdecak tak suka menunggu.

"… atau … jika kau tidak tertarik biar aku yang mengoleksinya," katanya meloloskan ucapan yang terhenti.

Mahluk berkulit dim berbalut kemeja senada warna surainya meledakkan tawa. "Yang benar saja kacamata, kau mau bermain curang, hh?" ledeknya. "Tidak bisa, seberapapun buruk barangnya tetap akan kuambil, karena kali ini giliranku, kan?"

"Ya ya," respon seadanya. "Cepat habiskan kopimu dan kita ke belakang melihat barangnya." Ia berujar, melihat arloji di pergelangan tangan yang sudah menunjukkan waktu untuk kembali ke laboratorium.

Aomine membebaskan udara dan mengeluarkan sebungkus camilan dalam saku, menarik satu batang dan menyundutnya, kepulan asap putih kembali memenuhi ruangan. "Tsk, aku tak suka kopinya," katanya. "Terlalu manis, kau tahu."

Midorima mengibaskan tangan untuk mengusir asap rokok yang sengaja dihembuskan Aomine kearahnya. Mengeluarkan masker dari saku jas dan langsung dipakai menutupi indra penciuman. Berdiri dari kursi dan mulai melangkah.

Begitupun dengan Aomine, ia merangkul pundak Midorima yang lebih tinggi darinya beberapa senti, kemudian berbisik, "Hidupmu berat sekali, kawan."

Sang empu berdecak dongkol, menepis lengan Aomine kasar. Mereka berjalan bersampingan menelusuri lorong minim cahaya.

Aomine tidak paham maksud dari tujuan meminimkan cahaya tersebut, apakah untuk menghemat listrik atau ada maksud lain. Ya, ia tahu markas penelitian Midorima begitu luas dan juga digabungkan dengan tempat tinggalnya. Jika ia berjalan sendirian, mungkin akan kesasar untuk kembali.

Selepas keluar dari lorong, cahaya matahari menyambut menyilaukan mata. Mereka harus melewati halaman luas tanpa atap untuk menuju ruang sekap. Aomine menguap bosan. "Mengapa kau tidak buat kendaraan untuk berjalan dari kantormu menuju ke sini," protesnya.

"Hah, berjalanlah sedikit, itung-itung olahraga, Aomine."

"Apa? Aku tak butuh olahraga, beginipun aku sudah sehat," membuang rokok yang sudah sampai nasib, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dasar hitam.

"Ya, sehat. Kau tidak tahu tiba-tiba kolestrolmu tinggi, kemudian kau terserang struk, lalu setelah itu kau mati," celetuknya. "Aku akan jadi orang pertama yang menertawakanmu-nanodayo."

"Tidak akan, umurku bahkan masih tigapuluhan," tolaknya.

Midorima tak menanggapi lagi ocehan Aomine, memang susah berbicara kepada orang yang otaknya kurang, ia tahu itu karena mereka SMA berada dalam satu kelas yang sama.

Mereka masuk ke dalam sebuah bangunan yang sangat kecil. Dan bangunan itu terpisah dari kebanyakan bangunan lainnya.

Aomine bergidik, rasanya sangat dingin tetapi tidak menyegarkan. Ia melihat anak buah Midorima cekatan membuka pintu kamar berteralis di sudut kanan. Aomine menghindari bersentuhan dengan pintu besi itu ketika masuk, karena begitu kotor dan berkarat penuh. "Padahal diluar panas, mengapa di ruangan ini begitu lembab," tanyanya heran.

"Oh, aku sudah mengatur sedemikian rupa supaya tempat ini selalu lembab dan dapat menyiksa tawananku," jawab Midorima lugas.

"Heh, kejam sekali."

"Itu, kan, yang kita suka."

Aomine menyeringai, pandangannya berbelusuk ke ruangan yang baru ia kunjungi. Bertahun-tahun ia bekerja sama dengan Midorima, baru kali ini diajak ke ruangan yang sangat berbeda dengan yang lain. Tempatnya sama sekali tak terawat, banyak kecoa juga semut berkeliaran, apalagi lumut-lumut yang tumbuh di dinding.

"Cepat periksalah, Aomine, aku masih banyak kerjaan penting, nanodayo." Midorima bertitah.

Pihak yang disebut mengulum senyum. Sebelum memeriksa target, ia menyesap rokok mentolnya untuk menghangatkan tubuh. Kemudian berjongkok menyetarakan mangsa yang sedang memeluk kedua lutut dengan tangan terborgol. "Hey, bocah," katanya menyapa, dia menyibakkan rambut merah yang menghalangi kening. Aomine berjengit, ia tertawa kecil. "Kukira alis cabang itu hanya editanmu, Midorima."

Midorima berkedut. "Rendah sekali harus berbohong seperti itu."

Aomine menyemburkan asap rokok tepat di wajah bocah lusuh di hadapannya, dan ia semakin menaikkan oktaf tawa ketika bocah yang ia ingat bernama Kagami Taiga terbatuk-batuk.

Kagami menahan paru-parunya yang sakit. Darahnya bergolak, cukup ia diperlakukan tidak adil semacam ini. Walaupun keselamatannya hanya nol persen setidaknya ia dapat membalas meski hanya dengan pukulan kecil. "Akhhhhh!" ia berteriak kencang saat lelaki dim menyundutkan rokok ke alisnya.

"Oi, Aomine," geram Midorima. "Hati-hati kau bisa melukai matanya."

Aomine menghiraukan, ia fokus pada bola mata merah yang melotot seakan ingin memakannya. Mata itu penuh ambisi membunuh, entah apa jadinya kalau tangan anak itu tidak diborgol, mungkin Aomine sudah mendapat tonjokan yang dapat membuat bibirnya dower. Ia mengembangkan senyum. "Sudah berapa lama bocah ini kau kurung?" tanyanya tanpa mengalih dari fokus.

"Sekitar empat hari berikut hari ini," jawab Midorima di belakang.

Kagami benci, terlalu naïf untuk bisa memukul orang tua yang sedang memeriksa matanya, entah apa yang sedang dia cari. Harusnya Kagami tak mencoba memberontak tadi pagi, sehingga harus menerima kenyataan bahwa tanganya sudah tak bebas, ia mendapatkan borgolan. Sekarang harus bagaimana? Apa hanya menggeram saja.

Sekarang Aomine memeriksa mata bagian kanan Kagami, dia menganggukkan kepalanya. "Dari mana kaudapatkan bocah ini?"

"Anak buahku menemukannya di tumpukkan sampah kota Seirin," melirik jam. "Bergegaslah, aku harus mengamati penelitianku," katanya, memperingati kembali.

"Oke-oke," gerutu Aomine, memandang intens hiasan indahnya. Ia menjulurkan telapak tangan dan mengelus pipi Kagami, kemudian…

Cuh!

Midorima terbelalak.

"Bangsat!" umpat Aomine dalam sembari memejamkan mata, karena Kagami baru saja meludahi wajahnya. Alih-alih mengelap liur menjijikan, Aomine lebih memilih menekan kedua pipi Kagami menggunakan satu tangan sampai membuat mangsa tersakiti. "KAU….!" Katanya penuh penekanan.

Anak buah Midorima yang berjaga terdiri dari Miyaji Kiyoshi dan Shinsuke Kimura, greget dan membuat tubuhnya panas ingin menendang atau menyiksa bocah sialan itu seperti tadi pagi. Miyaji yang memiliki surai blonde maju terlebih dahulu, akan memelayangkan kakinya dan semoga tulang rusuk Kagami patah kali ini.

Kagami tetap memelototkan mata, berjanji pada diri sendiri sesakit apapun ia tidak akan berteriak.

"Matilah kau nak!" teriak Miyaji semangat. Namun, ia terkaget dan tak percaya ketika Aomine dengan cepat menangkap pergelangan kakinya. Ia dihentakkan, untung masih bisa menjaga keseimbangan kalau tidak ia sudah terjengkang.

Kagami membola sama tak percayanya dengan Miyaji.

"Kuperingatkan kalian," kata Aomine dingin. "Jangan kalian siksa lagi bocah ini," ia melirik Miyaji beserta rekannya juga Midorima secara bergantian.

Mendapat pesan secara tidak langsung, Midorima angkat bicara, "Tidak kuperbolehkan lagi kalian menyiksanya, paham!"

Perintah itu disauti dengan tegas.

Aomine keluar setelahnya dengan diikuti Midorima di belakang. Miyaji dan Kimura bertugas mengunci kembali ruangan itu dan berjaga, meninggalkan Kagami dalam kesendirian dan kegelapan.

Midorima tersenyum memperhatikan temannya yang sekarang sedang membasuh wajah di keran, yang memang ia sediakan untuk mencuci tangan setelah keluar dari ruangan lembabnya. "Tidakkah kau serakah, Aomine?"

Aomine mengusap wajah beceknya. "Serakah?" bertanya balik sebab ia tak mengerti pertanyaan rekannya di samping.

"Aku tahu modusmu, teman. Kau tidak memperbolehkan anak buahku menyiksa bocah ingusan itu, karena kauingin menyiksanya seorang diri, bukan?"

Pria dim yang harusnya sudah mulai menata kehidupan itu tertawa hingga memamerkan giginya. Ia lakukan sebagai jawaban, "Ya." Melangkah dengan seringai kemudian ia bertanya, "Kapan mulai oprasinya?"

"Dua hari lagi."

.

.

TBC

.

Salam AoKaga,

Zoka