.
Where did you come from?
What a mystery, where are you going?
How old are you? Are you older than me?
Your face is so small and pretty
You look fresh like a salad, so smooth
Pretty eyes, pretty nose, you're so pretty
Just looking at you makes me happy
But where did you come from? You're so pretty
I need to approach you before someone else steals you
I will bite down on you first
Where did you come from?
Will you tell me your name?
I'm so curious
I'm really so curious
(Where did you come from? By BTS)
.
.
.
Namjoon melihatnya lagi hari ini. Pria yang tingginya nyaris sama dengan Namjoon, mengenakan sweater pink dan melangkah dalam balutan Nike pink limited edition yang gagal Namjoon dapatkan, warna rambutnya yang blonde sangat cocok dengan kulitnya yang putih mulus, juga bibirnya.. astaga kenapa bisa merah dan sepenuh itu?
Ia melewati Namjoon begitu saja yang berada satu lorong dengannya. Kira-kira dua minggu yang lalu juga sama. Lagi-lagi memasuki ruang kedisiplinan di ujung lorong, bersebelahan dengan ruang guru yang memang menjadi tujuan Namjoon. Perkiraan awal Namjoon, pria itu adalah salah satu wali murid yang bermasalah. Jadi Namjoon akan mulai mencari tahu siapa murid bermasalah tersebut lalu ia bisa mengenal si manis yang melewatinya tadi. Semoga saja seorang single parent -doa tulus Namjoon dalam hati.
.
"Kau tahu siapa murid yang bermasalah akhir-akhir ini?"
Pertanyaan yang di ajukan menghentikan kunyahan Hoseok pada daging panggang yang merupakan menu makan siangnya. Perhatiannya teralih sempurna pada sosok sang guru matematika di hadapannya.
"Ada apa memangnya?" Dengan nada heran yang jelas.
Sebab selama ini Namjoon bukan tipe guru teladan yang peduli pada keadaan anak-anak didiknya. Ia definisi profesionalitas yang sebenarnya. Dimana baginya tugas seorang guru hanyalah sebatas mengajar dan menjelaskan apa yang ia ketahui. Sangat menyebalkan bagi Hoseok juga beberapa siswa. Tapi mau bagaimana lagi, menjadi guru juga bukan keinginan dari hati Namjoon melainkan orang tuanya.
"Penasaran saja." Jawabnya singkat dan berusaha kembali pada prinsip ketidakpeduliannya. Jika memberitahu Hoseok jawaban yang sebenarnya itu sama saja bunuh diri. Hoseok menggunakan kemampuan berbahasanya kebanyakan untuk bergosip.
Dengan sabar Namjoon menunggu Hoseok menelan suapan terakhir, Namjoon juga ikut menghabiskan sisa jus jeruknya karena ia makan lebih cepat dari si guru Bahasa Korea.
"Kau bukan tipe orang yang penasaran pada hal-hal seperti ini."
Ah, menjengkelkan sekali. Kenapa sulit sekali mendapat jawaban dari guru favorit sebagian besar siswa sekolah ini. Namjoon jadi menyesal berteman terlalu dekat dengan Hoseok yang membuatnya jadi tahu segala tentang Namjoon.
"Kim bersaudara." Kejengkelan Namjoon lenyap seketika saat dua kata dari Hoseok terucap. Ia mengambil jeda dalam kalimatnya untuk sekedar mengelap area bibirnya dengan tissue. Sementara Namjoon tetap terfokus penuh padanya. "Kim Jimin kelas 3.B, Kim Taehyung kelas 2.D, dan Kim Jungkook di kelas 1.A"
Namjoon menyadari rasa ketidakpeduliannya sudah di atas normal, hingga tidak ingat sama sekali ada siswa dengan nama yang di sebut Hoseok. Atau sebenarnya wajar saja, ia mengajar di tiga tingkatan sekaligus dan hampir semua kelas dari A sampai D. Begitulah Namjoon masih bisa membela diri dalam hati.
"Mereka semua bersaudara?"
"Ya, dan sangat bermasalah. Hari ini sudah ketiga kalinya dalam sebulan kakak tertua mereka di panggil ke ruang kedisiplinan."
Oh, syukurlah hanya kakak.
.
.
Katakanlah cinta memang gila, tidak waras. Namjoon yang terkenal akan ketidakpeduliannya kini bahkan mau mencari tahu setiap detail terkecil dari tiga murid paling bermasalah di sekolah. Dari mulai bertanya pada beberapa murid hingga pendapat guru-guru lainnya. Ia melakukannya dengan hati-hati hingga tujuan utamanya tetap tersembunyi.
Hasil yang ia dapat adalah:
Pertama, Kim Jimin, yang paling tua dari dua lainnya. Namjoon baru ingat bahwa pernah ada interaksi di antaranya dan Jimin. Saat ia sedang mengajar, lalu Jimin datang terlambat. Seperti biasa Namjoon tidak mempedulikannya. Prinsip mengajar yang Namjoon pegang adalah murid yang membutuhkan guru jadi jika ia terlambat dan tertinggal pelajaran itu tanggungjawab sang murid. Tapi Jimin berbeda dari yang lainnya, ia mengangkat tangan untuk mengintrupsi penjelasan Namjoon tentang trigonometri.
"Saem, saya minta hukuman karena datang terlambat." Kerutan heran jelas terlihat di kening Namjoon. Menyempatkan diri membaca nametag di saku kiri sang murid kurang ajar yang mengganggu proses belajar di kelasnya. Kim Jimin tertera disana.
"Kalau begitu jangan mengikuti kelasku dua minggu ke depan."
Dan Namjoon melewatkan tatapan kecewa yang Jimin berikan.
Kasus pemukulan pada teman sekelasnya menjadi yang terparah dalam list masalah atas nama Kim Jimin, banyak versi yang Namjoon dengar tentang kasus ini. Satu yang menarik perhatian Namjoon yaitu Jimin hanya melampiaskan kekesalan karena merasa temannya itu telah menghina orangtuanya. Yang sudah meninggal lebih dari tiga tahun lalu. Jimin juga pernah mencuri buku tugas teman lainnya, sering bolos sekolah, mencederai temannya saat pelajaran olahraga, memaki guru, dan beberapa kasus kecil yang malas Namjoon ingat-ingat. Sungguh, bagaimana bisa anak seumurnya menciptakan masalah sebanyak itu.
Kedua, Kim Taehyung. Sedikit lebih baik dari kakaknya. Ingat, sedikit. Meski pada dasarnya mereka sama-sama pembuat masalah. Kasus-kasusnya tidak jauh beda dengan Jimin, hanya saja Taehyung tidak pernah sampai memukul seseorang.. atau belum lebih tepatnya, teman sekelasnya bilang bahwa emosinya seperti akan meledak kapan saja.
Terakhir ada Kim Jungkook, ia sedikit berbeda. Namjoon ingat beberapa kali mengajar di kelasnya, anak itu tampak tenang dan normal. Tapi ternyata, ia jauh lebih berpengalaman soal bertarung karena di umurnya yang masih lima belas tahun ia sudah menyandang gelar sabuk hitam taekwondo dan dari gosip-gosip yang beredar di sekolah menengahnya dulu ia adalah yang paling ditakuti, kabar lain juga mengatakan ia anggota salah satu gengster di Seoul.
Sialan, kalimat 'yang muda yang berbahaya' itu memang benar. Namjoon tidak habis pikir bagaimana ketiganya bisa jadi seperti yang di gosipkan di sekolah. Entah benar atau tidak, Namjoon berniat untuk menyelidikinya lebih jauh sebelum benar-benar percaya.
Dan yang lebih membuatnya penasaran adalah kakak macam apa yang mampu mengendalikan ketiga pembuat onar nomor satu di sekolah?
.
.
.
Esok harinya, Namjoon memiliki jadwal mengajar di kelas Jungkook. Jantungnya sedikit berdetak di atas normal saat berdiri di depan kelas seperti biasa. Ia melihat Jungkook duduk di barisan paling belakang dekat jendela. Anak itu sama sekali tak menatapnya apalagi membalas salamnya seperti anak-anak lain. Pandangannya terfokus pada jendela yang menampilkan langit biru beserta gumpalan-gumpalan awan yang tampak lembut, kelas mereka berada di lantai dua gedung sekolah. Beberapa detik Namjoon habiskan untuk memperhatikannya. Penampilannya, gaya rambutnya, semua tampak normal. Sementara jantung Namjoon berdebar lagi, sosok Jungkook benar-benar mengingatkan Namjoon pada seseorang yang berhasil mengubahnya menjadi sedikit peduli pada keadaan anak-anak didiknya.
"Kim Jungkook." Panggilan dari Namjoon mengheningkan suasana kelas secara instan.
Tidak ada lagi ocehan-ocehan tidak penting mereka, yang ada hanya keseluruhan mata disana yang menatap bergantian antara Namjoon dan teman mereka di pojok sana.
"Kau dengar aku memanggilmu?" Namjoon melanjutkan karena masih tak ada reaksi signifikan dari sang Kim termuda. Kali ini ia berhasil membuat tatapan sang murid beralih padanya, tentu dengan raut kesal yang sengaja ia perlihatkan. "Ke depan dan bantu membagikan hasil ujian kemarin."
Kelas kembali ramai dengan bisikan dan ocehan sana sini. Sebagian besar dari mereka mempertanyakan guru matematika mereka yang tidak biasanya meminta bantuan muridnya, sebagian lagi bertaruh bahwa Jungkook tidak akan menuruti permintaan sang guru dan akan menimbulkan keributan yang seru. Ck, murid-murid sialan kurang ajar! Sepertinya pilihan Namjoon untuk tidak mempedulikan mereka selama ini adalah hal baik.
Namjoon duduk di kursinya dan meletakkan di atas meja tumpukan kertas ujian yang akan di bagikan. Pandangannya tidak putus pada Jungkook yang menatap penuh kekesalan padanya, seolah lewat tatapan mata itu ia telah memberi penolakan yang konkret. Tapi Namjoon tidak semudah itu dikalahkan, ia justru membalasnya dengan tambahan senyum sinis super menyebalkan.
Menarik sekali, kenapa juga bocah sialan sepertinya memiliki kakak yang kelewat manis. Namjoon jadi harus repot-repot mengatasinya.
Cukup lama mereka saling tatap penuh kesinisan sampai akhirnya Jungkook bangkit berdiri dan menimbulkan derit kursi yang mengalihkan perhatian seisi kelas. Hening lagi, hingga decakan dari bibir Jungkook terdengar jelas lalu ia mulai melangkah maju menghampiri Namjoon di mejanya yang tersenyum merayakan kemenangan.
"Bagikan dan temui aku saat makan siang nanti."
"Tidak mau."
"Well, mau tidak mau kau akan menemuiku untuk mengurus nilai matematikamu yang jauh di bawah standar."
Serius, nilai anak ini buruk sekali. Nyaris nol besar jika saja Namjoon tidak mengasihaninya.
"Sial, baiklah."
Sebenaranya ia merasa ini terlalu mudah dari apa yang ia bayangkan sebelumnya. Si bungsu Kim nyatanya tidak sulit untuk di ajak bekerja sama. Jangan salahkan Namjoon yang akan sedikit melenceng dari soal matematika nanti. Salahkan kakak tertua Kim yang terlalu manis untuk di abaikan.
.
Kelas pertamanya selesai pukul sembilan tepat. Ia sedang menyusuri salah satu lorong untuk menuju kelas selanjutnya, yang sayangnya bukan kelas salah satu Kim yang sedang ia selidiki. Jadwalnya di kelas Jimin baru akan ada besok siang, setelah itu di kelas Taehyung. Masih lama sekali baginya untuk bertatap muka dengan keduanya, sedangkan rasa penasarannya pada si sulung keluarga Kim semakin besar tiap detik.
Tiba-tiba langkahnya terhenti karena seseorang berdiri tepat di hadapannya. Sejak tadi ia berjalan menunduk jadi sepasang sepatu adalah hal pertama yang dilihatnya. Namjoon mengangkat pandangan secara perlahan, memperhatikan tiap detail orang yang jelas sengaja menghalangi jalannya. Dari celana sampai kemeja putih dimana dasi yang seharusnya rapi justru ia longgarkan, blazer hitam yang menjadi seragam wajib ia lampirkan begitu saja di lengan. Sampai pada wajahnya.. Namjoon menahan sejenak udara di paru-parunya untuk ia keluarkan. Kim Jimin, dengan wajah penuh luka yang masih segar.
"Apa yang kau inginkan dari kami?"
Nada dan raut wajahnya sama-sama datar saat mengajukan pertanyaan berbahasa informal pada Namjoon, "Apa maksudmu?" Emosi yang lebih tua mulai terpancing karenanya. Meski Namjoon tidak sebodoh itu untuk mengerti kemana Jimin mengarahkan pembicaraan.
Salah Namjoon tak mengancam atau memperingati para narasumbernya.
"Aku tahu sejak kemarin kau mencari tahu tentangku dan adik-adikku, seonsaengnim?"
Sial, tatapannya menyebalkan sekali. Ia pikir bisa semudah itu menaklukan Kim Namjoon. Sang guru membuang nafasnya perlahan, menenangkan diri sendiri. Karena jika ia terbawa emosi juga, maka keadaan akan bertambah rumit.
Namjoon sudah mendapatkan kalimat yang tepat untuk menjelaskan, tapi saat fokusnya kembali pada Jimin, anak itu tengah mengelap kasar bagian hidungnya yang mengeluarkan darah dengan punggung tangannya. Ah, Namjoon lupa jika Jimin dalam keadaan terluka saat ini.
"Akan kujelaskan nanti. Sekarang kau ikut aku ke ruang kesehatan, obati luka-lukamu." Setidaknya Namjoon tidak harus membicarakan masalah crush-nya dengan bocah yang sedang mimisan.
"Tidak mau."
Kakak beradik ini memang setipe sekali. Jawaban dan nada yang digunakan pun sama.
"Kau beruntung aku yang menemukanmu seperti ini, jika guru lain maka walimu pasti akan di panggil untuk yang kesekian kali."
Ucapan Namjoon yang ini berhasil mengubah ekspresi Jimin, tatapan matanya yang tajam kini sedikit meredup dan tak berani lagi menatap tepat milik Namjoon.
"Sial, baiklah."
Benar-benar serupa.
Sebenarnya jarak ruang kesehatan dengan lorong tempat mereka bertemu tidak terlalu jauh, hanya saja keadaan Jimin yang babak belur menghambat perjalanan mereka. Namjoon akhirnya menghentikan langkahnya tepat di hadapan Jimin, tidak tahan mendengar rintihan demi rintihan seiring langkah yang anak itu ambil.
"Naik ke punggungku. Jika lebih lama disini, bisa ada guru lain yang melihat kita."
Jelas saja Jimin akan langsung menolak. Tapi setelah cukup lama berpikir, Jimin akhirnya menurut. Ia melompat (dengan tiba-tiba dan penuh tenaga, sengaja) ke punggung Namjoon yang tentu langsung mengerang protes. Jimin tubuhnya saja yang pendek, tapi otot-ototnya tumbuh jauh lebih baik dari Namjoon.
"Ternyata kau berat juga, bocah."
Namjoon membenarkan posisi Jimin di punggungnya, juga buku-buku di tangannya. Lalu mulai kembali melangkah lebih cepat dari sebelumnya.
"Kenapa kau mendadak jadi sepeduli ini?"
"Hei! Aku gurumu jadi tolong jangan gunakan banmal saat bicara padaku."
Dasar menyebalkan. Ya, menyebalkan karena Namjoon sendiri juga bingung kemana hilangnya ketidakpedulian yang selama ini ia anut.
.
.
.
"Jimin!"
Pintu di buka kasar serta sebuah teriakan, Namjoon yang tengah menurunkan Jimin dari punggungnya kini menatap sinis pada sang pelaku.
Kim nomor dua, Taehyung. Entah bagaimana caranya ia bisa tahu sang kakak sedang berada di ruang kesehatan.
"Jimin, kau baik-baik saja? Aish sudah kubilang jangan menghadapi mereka sendiri, kau bukan Jungkook, bodoh!"
Apa maksudnya? Kalau itu Jungkook akan sanggup menghadapi 'mereka' seorang diri, begitu? Siapa 'mereka' saja Namjoon tidak tahu dan sepertinya kehadirannya disana terabaikan dengan mudah oleh kehebohan Taehyung yang sekarang sedang meneliti wajah Jimin.
"Aku baik-baik saja. Singkirkan tanganmu, Tae, itu sakit!"
Namjoon nyaris tertawa melihat Taehyung yang tanpa sengaja menekan memar di dagu Jimin, lalu setelahnya tersenyum lebar tanpa dosa. Jika di lihat dari sisi seperti ini mereka seperti anak manis yang normal. Meski Namjoon menolak mengakui bahwa ia sedikit menyukai sisi mereka yang ini.
"Maaf maaf, Jimin hyung." Ucapnya masih dalam tawa. Matanya menyipit habis dan area bibirnya membentuk kotak yang lucu.
"Hyung? Tumben kau memanggilku hyung."
Namjoon bisa melihat efek kerlap kerlip imajinatif di mata Jimin. Sepertinya Taehyung itu tipe adik kurang ajar yang jarang memanggilnya hyung.
"Hanya karena saat ini keadaanmu begitu mengenaskan!" Ia tertawa lagi. Terlihat lebih bahagia dari sebelumnya saat berhasil membuat Jimin cemberut dan menggumamkan "Sialan!" padanya.
"Tapi serius, hyung, jika Jin hyung tahu bukan hanya kau yang berada dalam masalah besar tapi aku dan Jungkook juga."
Dari sekian banyak kata yang Taehyung ucapkan, hanya dua yang begitu membekas di otak Namjoon. Jin hyung. Dia kah orangnya? Tanpa sadar Namjoon terus menyebut nama tersebut dalam hati.
Sementara itu, terdengar erangan frustasi dari Jimin disana lalu saat Namjoon kembali dari lamunan, ia sudah berbaring di ranjang dengan selimut yang membungkus keseluruhan tubuhnya. Taehyung yang berdiri di sisi ranjang hanya menghela nafas, raut wajahnya berbeda dari sebelumnya, kini ia tampak prihatin akan keadaan kakaknya.
"Aku tahu, karena itu sepertinya aku tidak akan pulang hari ini."
Masih memilih untuk menjadi pendengar, Namjoon hanya menangkap kepanikan pada Taehyung sebagi tanggapan atas ucapan asal kakaknya.
"Mana bisa begitu?! Memang semua akan baik-baik saja jika kau tidak pulang? Jin hyung pasti akan mencarimu kemanapun dan lagi, kau mau membuat Jin hyung semakin bersedih?" Taehyung mengguncang-guncang tubuh Jimin yang tertutup selimut, tidak terima dengan keputusan gegabah Jimin yang menurutnya akan menambah masalah.
Astaga, masalah-masalah itu kan tidak akan terjadi jika mereka tidak membuatnya! Namjoon ingin sekali berteriak seperti itu. Tapi ternyata ia masih punya hati untuk tidak semakin membuat kedua pemuda itu kebingungan atas sikap yang seharusnya di ambil.
"Kau bisa mengatakan aku ada acara berkemah atau apa."
"Jin hyung akan memastikannya langsung ke pihak sekolah, bodoh!"
"Kalau begitu katakan aku menginap di rumah teman."
"Jin hyung akan bertanya nama temanmu dan mendatangi rumahnya untuk menyeretmu pulang!"
Tadinya Namjoon pikir, si kakak tertua keluarga Kim adalah tipikal kakak tertua dalam drama-drama tv yang hanya fokus pada perusahaan orangtua mereka sebab ia lah pewaris utamanya. Kemudian adik-adiknya memberontak dengan cara mencari-cari masalah di sekolah. Tapi kenyataannya dugaan tersebut salah besar, dari apa yang di dengar Namjoon, Jin adalah tipe kakak posesif yang akan melakukan segalanya untuk adik-adiknya.
Ah, semakin rumit saja.
"LALU APA YANG HARUS AKU LAKUKAN?!" Jimin meneriakan kalimatnya, selimut ia sibak dan kembali dalam posisi duduknya. Taehyung yang terkejut sampai mundur beberapa langkah.
Yang membuat dua orang lain disana semakin terkejut adalah air mata Jimin yang tiba-tiba mengalir. Namjoon yang biasanya cuek saja bisa merasakan betapa gelisah dan ketakutannya Jimin sekarang. Apalagi Taehyung yang memiliki ikatan darah secara langsung dengannya. Sang Kim ketiga tanpa ragu langsung menarik kakaknya untuk ia peluk.
Saat keduanya tak lagi bicara dan hanya isak tangis Jimin yang terdengar, Namjoon berdehem ragu untuk sekedar menarik perhatian disana. Dan mereka kompak menoleh pada Namjoon masih dalam posisi saling memeluk satu sama lain. Mengingatkan Namjoon pada puppies peliharaan tetangganya.
"Siapa kau?" Taehyung yang bicara lebih dulu. Seperti dua Kim sebelumnya yang Namjoon temui, Taehyung memakai kalimat non-formal.
"Kau tidak mengenalku?"
Menyebalkan sekali memang anak-anak ini. Harusnya kan Namjoon yang bersikap tidak peduli, sekarang malah ia merasa sangat kesal karena Taehyung bahkan tidak mengenalnya.
"Kim Seonsaengnim, Tae. Dia guru.. ah kau mengajar apa?" Kali ini Jimin ikut menimpali pembicaraan yang semakin menyebalkan bagi Namjoon.
"Matematika. Dan jika kalian ingin bicara non-formal padaku, panggil saja aku Namjoon hyung."
Karena itu mengganggu sekali saat mereka tetap memanggilnya seonsaengnim tapi selanjutnya memakai kalimat non-formal. Sekalian saja menganggap Namjoon teman kalau begitu.
"Baiklah, Namjoon hyung terdengar lebih cocok untukmu." Taehyung mengangguk-angguk, setuju dengan pernyataan kakaknya.
Pelukan mereka sudah terlepas. Keduanya menatap intens Namjoon yang berdiri agak menjauh karena sejak tadi hanya menjadi pendengar dan penonton saja. Namjoon jadi canggung sendiri di buatnya. "A.. aku akan mencari dokter penjaga untuk membersihkan luka-lukamu." Benar, lebih baik ia keluar dari sana sebelum Jimin mengingat janjinya.
"Kau belum mengatakan alasanmu mencari tahu tentang kami."
Dia ingat ternyata. Langkah Namjoon terhenti begitu saja dan merasakan tatapan Taehyung yang semakin tajam setiap detiknya, begitu juga Jimin yang sudah berhenti menangis.
"Apa maksudmu dia mencari tahu tentang kita, Jimin?"
"Tanyakan saja padanya, Tae."
Sial sekali, Namjoon sudah benar-benar tidak punya cara untuk menghindar.
"Makan siang nanti kalian bisa datang ke ruanganku untuk mendapat penjelasan. Sekarang ini kau butuh perawatan, Jimin. Dan Taehyung, kembali ke kelasmu jika tidak mau masalah semakin bertambah."
.
.
.
.
Namjoon melewatkan makan siangnya. Nafsu makannya mendadak hilang tertelan pikiran soal bagaimana menghadapi Kim bersaudara dan segala kerumitannya. Ia baru saja kembali dari ruang kedisiplinan untuk meminta beberapa berkas tentang ketiga Kim yang akan ia ajak bicara nanti.
Dari sana Namjoon tahu hal lainnya, bahwa walaupun mereka sudah tidak punya orang tua tapi warisan yang di tinggalkan tidak main-main. Mereka bisa hidup berkecukupan dan sekolah setinggi apapun yang mereka inginkan. Seperti dugaan sebelumnya, kakak tertua mereka lah yang bertugas menggantikan ayahnya sebagai direktur perusahaan. Hanya saja, tidak sekarang-sekarang ini, karena Seokjin sang kakak tertua masih harus menyelesaikan kuliahnya.
Sampai sana saja hal yang ia ketahui, sisanya, harus ia tanyakan sendiri pada ketiganya nanti.
Pintu ruangannya di ketuk dua kali saat Namjoon baru saja duduk di kursinya. Here they are, Namjoon mengambil nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, sebelum berkata "Ya, masuk."
Lalu pintu terbuka, Jimin yang pertama kali muncul, luka-luka di wajahnya sudah di bersihkan dan terdapat plester disana-sini. Selanjutnya adalah si nomor dua Taehyung, raut wajahnya datar seolah senyum kotak yang tadi Namjoon lihat saat di ruang kesehatan tidak pernah tercipta untuknya. Terakhir si bungsu yang masih tampak jelas keheranan, mungkin bertanya-tanya mengapa dua kakaknya juga bisa ada disini.
"Silahkan duduk." Namjoon menegakkan duduknya, memperbaiki nada suaranya agar terdengar seserius mungkin. Membawa kembali wibawanya sebagai seorang guru.
"Sekarang ceritakan alasanmu, Namjoon hyung."
.
.
.
.
.
.
.
Continue
.
.
.
.
.
.
This is special for our leader who turns into 22nd years old! I don't think there are any words can describe how thankful I am to know him. He's my meds, I always feel this youth periode is hurt me the most. But he told me through his music that I'm not the only one who's suffering. I'm not the only one who feels lonely, I'm not the only one who needs someone to hold my hand, I'm not but we are do. He used to feel like that too or is still. Then he told me to standing once again, to not avoid anything in the front just go on and go on so the pain will fade away with that effort itself. If I can meet you someday, I will tell all my thanks toward you. Happy birthday and let's enjoy our life!
Ini bukan series kok, hanya twoshoot. Sengaja aku bagi dua karena takut kepanjangan hehe. I'm waiting your respons in review~
Ps: Second baik-baik saja, hanya author-nya yang sedang tidak sehat baik fisik maupun mental. Sekian dan terimakasih.
