Note: Agh, tampilannya lebih bagus di Word daripada di web -_-a
Disclaimer: Natsume Yuujinchou (a.k.a. Natsume and The Book of Friends) bukan punyaku. Kalau punyaku, pasti Natsume sudah kubikin sering naik Madara (?).
Kisah yang Dibawa oleh Angin
Chapter One
Tidak ada yang jauh berbeda dari biasanya, di hari itu saat angin seolah menahan napasnya. Sisa-sisa udara musim panas yang menyengat dari peralihan pagi ke siang hari masih terasa. Sedikit menyesakkan.
Natsume Takashi menggosok lengan kanannya. Terasa sedikit lengket. Jalan setapak tidak beraspal yang ada di bawah kakinya keras. Natsume sekilas melirik ke sawah di sekitarnya. Tidak ada orang lain selain dia. Tidak ada yang bergerak. Seolah waktu berhenti di tempat itu. Hampir tidak ada suara.
Tas sekolah yang dari tadi dijinjingnya juga terdiam. Natsume menyentuhkannya ke lututnya selagi berjalan. Terdengar suara gesekan pelan. Natsume memerhatikannya tanpa alasan, sebelum menjauhkannya lagi. Dia meneruskan berjalan pulang ke rumah bibi dan pamannya.
Seekor kucing bulat bertengger di bahunya, sedikit merosot saat pemuda itu berjalan menuruni tangga batu di sebelah hutan. Kucing itu menggerutu. Lalu, sambil membetulkan posisinya, dia mencengkeram kain seragam Natsume lebih kuat lagi.
"Sebaiknya jalanlah sendiri kalau tidak mau khawatir akan jatuh, Nyanko-sensei," ucap Natsume setengah melepas napas.
Kucing itu membuang muka. "Aku sedang menghemat energiku," jawabnya dengan tenang.
"Kau kan tidak melakukan apa pun," Natsume menggumam dengan datar. Bahunya lama-kelamaan terasa pegal juga, tapi dia memilih diam. Entah pura-pura tidak mendengar, atau memilih untuk tidak berkomentar lagi, Nyanko-sensei, kucing bulat itu, tidak merespon kalimat Natsume.
Cahaya yang masuk dari sela-sela dedaunan bertebaran seperti daun bernyala di permukaan tanah. Natsume melangkahkan kakinya ke atas salah satu kumpulan cahaya itu dengan hati-hati supaya tidak menimbulkan suara.
Srek. Terdengar seretan halus dan ringan di belakangnya. Berjalan, mengikutinya. Nyanko-sensei sepertinya menyadarinya juga, sama seperti Natsume, namun dia membiarkannya saja. Natsume, di lain sisi, mulai merasa tidak nyaman. Dia tidak tahu seperti apa sosok yang mengikutinya. Sosok, ya. Pemuda itu merasakan sesuatu yang sedikit berbeda dibandingkan saat dia berada di dekat teman-teman atau orang lainnya.
Kemampuan ini sudah dimilikinya sejauh dia bisa mengingatnya. Melihat roh halus, berkomunikasi, bersentuhan. Ini sempat membuatnya jatuh dalam depresi dalam masa kanak-kanaknya, saat dia menyadari bahwa tidak ada yang bisa melihat apa yang dia lihat di depan matanya. Bahwa dia berbeda.
Tapi itu cerita lama. Natsume kini, sudah sangat terbiasa dengan kejutan. Yang baik maupun yang tidak. Dia sendiri tahu namanya cukup terkenal di kalangan roh-roh halus. Semua itu karena Buku Teman peninggalan neneknya yang sampai kini dimilikinya. Dan apa pun yang ada di belakangnya, pasti menginginkan sesuatu darinya. Itu yang dapat dia tarik berdasarkan yang lalu-lalu. Mungkin dia mengincar Buku Teman yang ada di dalam saku celananya.
Natsume mulai berlari kecil. Suara langkah kaki di belakangnya mengikuti kecepatannya. Kemudian, saat pemuda itu berhenti, sosok di belakangnya itu juga berhenti.
Natsume menoleh, setelah menghela napas sejenak. "Apa maumu?"
Di belakangnya berdiri seorang gadis yang sedikit lebih pendek darinya, mengenakan kimono putih bergaris hijau lumut yang nampak halus. Kedua tangannya dikatupkan di depan dengan sopan. Matanya tidak nampak, tertutupi oleh tulisan yang tidak terbaca jelas oleh Natsume waktu itu.
Rupanya ayakashi.
"Dengarkanlah cerita saya," Si gadis memiringkan kepalanya sedikit. Rambutnya yang tidak sama panjang menekuk di bahunya. "ya?"
"Hari ini aku agak sibuk, lain kali saja ya," jawab Natsume singkat tanpa minat, kemudian mulai berjalan meninggalkan si gadis lagi.
Natsume menapakkan kakinya selangkah lagi ke depan. Meski tidak melihatnya secara langsung, dia bisa merasakan tatapan si gadis melekat pada punggungnya yang mulai menjauh. Namun sebuah rasa yang aneh menggumpal di dadanya. Sebuah rasa yang aneh yang seolah menariknya ke arah berlawanan.
Selangkah lagi.
Lalu, selangkah lagi.
Lalu, berhenti.
Natsume tidak tahan. Ia melihat melalui bahunya, dan si gadis masih diam di tempatnya semula, menatap Natsume dengan kedua mata yang ditutupi selembar kain dengan huruf 'pohon' yang pudar, nyaris tidak terbaca. Nyanko-sensei yang sedari tadi duduk manis di bahunya, kini menoleh dengan setengah heran-setengah terganggu pada Natsume.
"Baiklah," kata Natsume pada akhirnya, menyerah. "Tapi jangan lama-lama."
Dan bibir gadis itu terbuka sedikit, seolah dia hendak mengatakan sesuatu, namun tidak ada suara yang keluar. Namun kemudian dia tersenyum, dan itu sedikit mengurangi rasa desakan perasaan aneh yang Natsume rasakan sebelumnya. Gadis itu menunduk sedalam-dalamnya, memberi hormat, kemudian dengan langkah-langkah formal berjalan ke arah Natsume.
Natsume merasa dia pernah melihat gadis ini sebelumnya, namun dia tidak yakin di mana dan kapan tepatnya. Hanya perasaan itu saja. Entah mengapa, terasa sangat familiar.
Pemuda itu membiarkan si gadis sampai di sampingnya, baru melanjutkan berjalan lagi. Diam-diam, ia melirik lagi huruf yang tertera di kain di wajah si gadis. Roh pohon, ucapnya dalam hati. Sejauh ini Natsume sudah pernah bertemu dengan roh hewan dan siluman. Tsubame si roh burung walet. Si siluman rubah kecil yang sering datang padanya untuk bermain, lalu Nyanko-sensei yang masih bertengger di bahunya adalah sedikit contohnya.
Semua makhluk memiliki roh, dia tahu betul. Namun dia baru tahu jika bahkan makhluk yang tenang seperti pohon pun memiliki suatu hal yang belum terselesaikan semasa hidupnya.
"Ada apa, tuan Natsume?" tanya si gadis dengan sopan. Natsume mengerjapkan matanya, lalu buru-buru menatap jalan di hadapannya lagi dengan sungkan. Ia memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh. Tiba-tiba teringat akan suatu hal, Natsume kembali melirik si gadis yang lebih pendek kira-kira 10 cm darinya.
"Aku harus memanggilmu apa?" tanyanya.
Si gadis tersenyum lagi. "Saya akan menyerahkannya pada tuan Natsume. Silahkan panggil saya menurut selera Anda."
Nyanko-sensei menjilati kaki depannya. "Kalau begitu, namamu 'bonsai'. Selesai."
"Oi, seharusnya aku yang menentukan," protes Natsume, meski dia tahu Nyanko-sensei tidak terlalu memperhatikannya. Dia kembali memperhatikan perawakan si gadis. Tidak salah lagi. Memang ada sesuatu yang familiar dengan gadis ini. Natsume mulai berpikir bahwa mungkin dia pernah bertemu dengan gadis ini sebelum dia berubah sosok menjadi roh. Mungkin saja. Tapi di mana? Apakah itu sebelum dia datang ke pinggiran kota ini, atau setelahnya?
Natsume kembali memutar ingatan dan menajamkan inderanya. Tidak ada informasi yang berhasil didapatkannya setelah menggali ingatannya. Kalau begitu…
Natsume memejamkan matanya sejenak, kemudian kembali menatap si gadis, kali ini dengan lebih lembut. "Bagaimana dengan 'Honoka'?"
Si gadis nampak heran, dia kembali menatap Natsume dengan mulut yang sedikit dibulatkan. Lagi, tidak ada suara yang keluar. "Tuan Natsume, tentu Tuan tahu bahwa saya bukan roh bunga. Saya roh pohon," katanya, setelah jeda yang panjang.
"Bagaimana, ya?" Natsume menggaruk pipinya yang tidak gatal dengan telunjuknya, kemudian menatapnya lagi. Tetapi tatapan Natsume tidak berubah. "Aku tahu. Kupikir itu cocok untukmu."
Kali ini si gadis tidak menemukan kata-kata lagi. Sesaat, dia tampak seperti ingin berhenti dan mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi dilakukannya. Akhirnya, setelah beberapa saat yang singkat, dengan sangat kalem, dia kembali tersenyum. "Saya mengerti. Mulai sekarang, silahkan panggil saya dengan 'Honoka'."
Natsume lega akhirnya gadis itu mau mengerti. Nama 'Honoka' bila dituliskan terdiri dari dua huruf: 'hono' yang berarti harmoni dan 'ka' dari huruf 'bunga'. Dia tidak menemukan nama lain yang cocok untuk si gadis, meski dia sudah berusaha mengingat semua nama anak perempuan, nama bunga, maupun nama pohon yang pernah didengarnya.
"Makanya, kubilang 'bonsai' lebih bagus…" keluh Nyanko-sensei, yang dibalas dengan tatapan tajam Natsume.
*****
Siang hari yang cukup sejuk, seperti siang hari lainnya di musim panas. Sekolah Natsume libur, kedua temannya mengajaknya pergi bersama, Touko-san juga menyuruhnya pergi berjalan-jalan. Namun dia menghabiskan paginya dengan tidur-tiduran di atas tatami kamarnya dengan jendela yang dibiarkan terbuka.
Natsume meletakkan lengannya di atas matanya dengan lelah. Nyanko-sensei cuek seperti biasa, sibuk memakan jajanan yang dibelikan oleh Touko-san. Honoka duduk di samping Natsume persis, membelakangi jendela sehingga wajahnya nampak sedikit gelap. Dan dia bercerita.
Setiap hari Honoka akan mampir ke kamarnya dan menceritakan suatu cerita pada Natsume. Ceritanya selalu berbeda setiap waktu. Kali ini dia menceritakan kisah anak saudagar beras dengan anak desa. Kali lain, dia akan menceritakan seekor burung dengan telur-telurnya. Dan akan selalu berganti. Entah dari mana dia mendapat cerita-cerita itu. Setelah selesai—dan bila dia tidak menceritakan cerita lainnya—dia berpamitan lalu pergi entah ke mana. Keesokan sorenya, dia akan datang lagi. Dan begitu seterusnya.
Namun gadis itu tidak pernah memaksa Natsume untuk mendengarkannya. Kalau-kalau Natsume dengan jujur mengatakan dia berhalangan atau lelah, Honoka akan mengerti dan menundanya untuk lain hari. Saat-saat seperti itu, Natsume akan bertanya-tanya maksud sebenarnya dari kedatangan Honoka yang rutin itu.
Lain hari.
Pagi itu Natsume hendak berangkat ke sekolah seperti biasanya. Selesai berpamitan dengan Touko-san, dibukanya pintu geser rumah sederhana itu. Namun langkahnya terhenti begitu seseorang sudah menantinya di depan. Bukan siluman kodok yang biasanya datang, juga bukan siluman kerbau, melainkan Honoka.
Begitu mendengar Natsume membuka pintu, dia memiringkan kepalanya sedikit, seperti biasa, dan memasang senyumnya sebelum menyapa pemuda itu. "Selamat pagi, Tuan Natsume."
Natsume mengerjapkan matanya dengan heran menerima kedatangan yang tidak biasanya itu. Ia belum sempat menanggapi saat Honoka sudah menyambung kalimatnya.
"Hari ini cerah. Kalau tidak keberatan, maukah menghabiskan waktu berjalan-jalan bersama saya?"
Ruang kelas Natsume, siang hari.
"Haaa…" Natsume mendesah pelan. Ia teringat lagi saat Honoka selesai mengatakannya pagi itu padanya, dengan mulut setengah terbuka, Natsume mengalihkan pandangan darinya.
'Maaf, tapi hari ini aku ada kegiatan sekolah…'
Begitu jawabnya saat itu. Dia tidak tahu mengapa dia mengalihkan pandangannya. Dia sendiri heran. Saat itu jelas, dia tidak bisa melihat ekspresi Honoka. Sempat ada keheningan yang aneh.
'…Begitu. Saya mengerti.'
Mendengar jawaban Honoka, Natsume kembali pada dirinya dan cepat-cepat menatap si gadis lagi. Dan saat itu Honoka tersenyum, kemudian membungkuk memberi hormat lalu berjalan pergi.
"Haaaaaahh…" Natsume mendesah lagi, kali ini lebih panjang dan lebih berat, meski sama-sama pelannya.
Dihembusi angin sepoi-sepoi, ia menyipitkan matanya. Natsume kembali menerawang keluar jendela. Langit musim panas yang biru dan luas membentang di luar sana. Suara guru yang menerangkan sesuatu tentang sejarah politik Jepang hanya melewatinya. Tangannya telah berhenti mencatat sejak beberapa menit yang lalu.
Tapi dia tidak bergeming.
Masih sedikit menyipitkan matanya, Natsume terus menatap ke luar. Seolah ada yang menarik perhatiannya. Mungkin warna yang terlalu biru itu yang menariknya sedari tadi. Mungkin.
Natsume melayangkan pandangnya ke arah buku catatannya yang baru setengah halaman terisi, ke arah garis-garis yang melintang dengan tinta tipis, dan terdiam.
*****
"Honoka… sudah lama tidak datang, ya."
Tanpa sadar, Natsume menggumamkan ini. Nyanko-sensei melirik Natsume yang saat itu sedang duduk di kusen jendelanya, menatap ke arah langit malam, dengan sinis dan misterius seperti biasa. "Kenapa? Kau merindukannya?"
Kemudian dia melahap lagi potongan semangka yang masih dingin di depannya dan mengunyahnya dengan cepat. Gluk. Lalu sepotong lagi. Tampaknya dia benar-benar ingin mengambil sebanyak-banyaknya sebelum Natsume memakan beberapa potong dari buah merah itu.
Natsume menatap lututnya yang ditekuk di depannya, berpikir sejenak. "Mungkin, ya."
"%(#%!&$...!!" Wajah Nyanko-sensei berubah biru. Natsume menoleh dengan kaget, hanya untuk menemukan Nyanko-sensei terbatuk-batuk keras seperti orang tua, memukul-mukul dadanya sendiri dengan kaki depannya yang kecil.
Setelah dirasa yang menyangkut telah berhasil ditelan, dengan berkeringat dan bernapas cepat, Nyanko-sensei berbalik pada Natsume. "Uwapa katamu tadi??"
Tadinya dia menanyakan itu hanya untuk sedikit menggoda Natsume, tapi tidak dikiranya pemuda itu akan menjawab dengan serius. 'Ya', pula. Natsume, di sisi lain, menangkap reaksi Nyanko-sensei sebagai sesuatu yang berlebihan dan membuka mulutnya setengah melongo.
Setelah berhasil mengumpulkan lagi suara yang ada di kerongkongannya, Natsume kembali berkata, "Aku tidak bermaksud apa-apa! Kupikir 'aah, sudah lama dia tidak ke sini. Sedang apa, ya?'… begitu. Tidak perlu sekaget itu, kan."
Nyanko-sensei, seolah baru dipergoki mengintip tetangga, rambut di tubuhnya langsung berjengat naik. Buru-buru dia kembali berbalik, menghadap ke arah piring semangka yang sudah hampir bersih. Dia berdeham dengan ragu. Mungkin benar, dia tadi melebih-lebihkan reaksinya. Entah apa yang membuatnya begitu. Rasanya pipinya panas sekali sekarang.
Natsume, memutuskan untuk tidak terlalu menaruh perhatian pada Nyanko-sensei atau pun semangka jatahnya yang sudah hampir habis, kembali menatap ke arah lututnya yang masih ditekuk, lagi-lagi hanyut dalam pikirannya.
Sudah hampir dua minggu berlalu sejak Honoka terakhir datang padanya. Saat terakhir dia melihatnya adalah pagi hari itu, sebelum dia berangkat ke sekolah. Hari itu dia sungguh tidak bisa pulang cepat. Dia sudah berjanji akan membantu-bantu persiapan festival kebudayaan karena merasa tidak enak telah bolos beberapa pertemuan.
Dan hari itu hari yang cerah, seperti yang Honoka katakan. Udaranya cukup sejuk untuk musim panas, dan tidak sekejap pun langit berawan.
'…Begitu. Saya mengerti.'
Wajah Honoka yang tersenyum sopan saat itu terekam jelas dalam benak Natsume. Apa yang membuatnya pergi begitu saja? Dia tidak nampak seperti seseorang yang akan kesal begitu saja dan memutuskan untuk pergi tanpa pesan.
Sebuah pikiran yang memberatkannya tiba-tiba merasuk, membuat Natsume menahan napas. Apa mungkin itu karena sikapnya yang terkesan kurang hormat pada Honoka? Dia ingat, dia pernah beberapa kali menyuruh Honoka pulang (entah ke mana) karena lelah. Dia juga pernah tertidur saat Honoka tengah bercerita, dan saat terbangun, Honoka sudah tidak ada.
Mungkin… Honoka merasa diabaikan. Kemudian pagi itu, saat dia meminta Natsume untuk menemaninya, dan ditolak, dia semakin kesepian. Itu mungkin saja benar. Kalau itu benar, maka Natsume merasa dirinya yang paling cocok disalahkan untuk kepergian Honoka.
Padahal masalah Honoka yang belum terselesaikan dalam hidupnya belum terpecahkan.
Padahal Natsume belum mengetahui makna kedatangannya.
Seolah dapat membaca pikiran Natsume, Nyanko-sensei melirik Natsume dengan cara yang sama seperti sebelumnya, kemudian menggumam.
"Natsume, kau tahu mengapa kita tidak pernah menemui roh pohon sebelumnya?"
Natsume, tersadar dari lamunannya oleh pertanyaan Nyanko-sensei, langsung menoleh pada kucing bulat itu dengan setengah terkejut. Nyanko-sensei yang telah mendapat perhatian penuh Natsume, tersenyum misterius. Sudut matanya yang gelap memancarkan cahaya samar. Tidak sulit menarik perhatian Natsume, apalagi bila sudah menyangkut ayakashi seperti ini. Pemuda itu terlalu baik, Nyanko-sensei harus mengakui bahwa dia berbeda sekali dengan neneknya, Natsume Reiko. Nyanko-sensei tidak bisa mengalihkan pandangnya sekejap saja, atau Natsume akan terlibat masalah yang tidak berguna lagi karena siluman-siluman yang mengincar Buku Teman-nya. Benar-benar orang yang menyusahkan, batinnya.
"Langsung saja. Tanaman adalah makhluk yang penerima dan pasrah. Tidak seperti makhluk lainnya, yang bisa mengekspresikan perasaannya dengan gerakan atau suara, tanaman tidak mempunyai kemampuan untuk itu. Jadi, tidak peduli bagaimana mereka ditebang, dipatuki burung, atau terbakar, tidak akan ada tanggapan yang keluar."
Natsume berkedip heran, wajahnya seolah mengatakan 'benar juga'. Nyanko-sensei menatap Natsume dengan ekspresi yang tidak berubah sama sekali, persis seperti boneka kucing pembawa keberuntungan yang biasa dipajang di depan kasir toko. Dia melanjutkan lagi.
"Tetapi untungnya, tidak seperti manusia yang selalu mengeluh atau seperti hewan yang liar, mereka sangat penerima dan pengertian. Harus kukatakan mereka adalah makhluk yang paling menyedihkan, tidak bisa membela dirinya sendiri dan hanya hidup untuk kepentingan makhluk lain, namun merasa tidak keberatan karenanya."
Nyanko-sensei berhenti. Ia menunggu tanggapan Natsume. Tetapi pemuda itu hanya menatapnya lekat-lekat, seolah yakin bahwa kucing itu akan mengatakan lebih banyak. Nyanko-sensei mendesah dalam hati, menyadari bahwa dia tidak punya pilihan lain selain mengatakannya langsung.
"Tidakkah kau sadar, Natsume? Menurutmu apa yang membuat makhluk seperti itu menjadi roh jahat?"
Natsume tidak merespon. Nyanko-sensei menyipitkan kedua matanya sebelum kembali berbicara, "Jangan terlalu dekat dengannya. Bagaimana pun juga, dia adalah ayakashi. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkannya."
Kemudian dia menjilati kaki depannya, dan menggarukkannya ke wajahnya, menandakan akhir dari pembicaraan. Nyanko-sensei berjalan keluar kamar Natsume dengan santai, dan Natsume menatap kosong sosok kucing yang menghilang dari jangkauannya itu. Punggungnya serasa melekat pada kusen jendela, serasa ditelan ke dalamnya dengan perlahan. Sekilas, angin malam yang dingin merayapi punggungnya. Natsume diam termenung.
*****
Hari Selasa biasa, siang hari.
Natsume kembali menghabiskan waktu istirahatnya dengan berjalan menyusuri koridor sekolah. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela koridor yang terbuka menerpa separuh wajah Natsume, terasa hangat. Beberapa anak perempuan berjalan melewatinya sambil tertawa-tawa membicarakan sesuatu.
"Natsume," panggil seseorang.
Natsume mengangkat kepalanya, mencari asal suara. Tidak jauh di depannya berdiri seorang pemuda dengan rambut hitam kelam, sewarna dengan matanya. Dia melambai. Natsume tersenyum tipis menjawabnya.
"Festival kebudayaan akan segera tiba, ya," kata Tanuma, pemuda berambut hitam yang kini berdiri berdampingan dengan Natsume, sama-sama memandang keluar jendela.
"Um," Natsume mengiyakan. Segala persiapan untuk kelas Natsume sendiri sudah hampir selesai. Kelasnya akan membuka kedai soba, dan dia lebih memilih bekerja di belakang layar. Satu hal yang kadang sedikit disesalinya: Natsume tidak begitu menyukai keramaian. Malah, dia lebih suka menjauh dan menghabiskan waktu sendiri daripada mengobrol bersama murid-murid yang lain. Selalu ada yang serasa membatasinya. Entah itu kemampuannya melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh orang normal atau bukan.
"Bagaimana kabar Ponta? Sudah lama aku tidak melihatnya." Tanuma berkata lagi, kali ini sambil menoleh pada Natsume.
Ah, pasti yang dia maksud adalah Nyanko-sensei. Natsume sendiri tidak tahu pasti mengapa Tanuma memanggil Nyanko-sensei dengan 'Ponta'. Tapi kalau dipikir lagi, itu tidak terlalu penting. Paman dan bibinya juga memanggil kucing itu dengan nama yang berbeda. Biarlah, toh Nyanko-sensei tidak keberatan dipanggil dengan nama-nama kucing itu.
Natsume jadi berpikir. Kalau saja Tanuma, paman atau bibinya melihat sosok asli Nyanko-sensei, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk memanggilnya dengan 'Ponta', atau 'Goro'.
…Tapi dia tidak merasa 'Nyanko-sensei' terdengar aneh, bahkan setelah kucing itu berubah menjadi siluman raksasa yang biasa dinaikinya kalau-kalau larinya dinilai lambat (oleh Nyanko-sensei sendiri, tentunya).
Ya sudahlah.
"Rakus seperti biasa," Natsume menjawab setengah bercanda. "Benar juga, sudah lama kami tidak mampir ke kuilmu."
Tanuma tersenyum simpul. "Sekali-kali mampirlah. Ayahku juga sudah beberapa kali menanyakanmu…"
Natsume mendengarkan, namun sesuatu di sudut matanya menangkap perhatiannya. Awalnya Natsume melirik saja. Begitu tahu apa yang dilihatnya, dia menoleh dengan tatapan lebar ke arah sesuatu di luar jendela.
Di bawah, di jalan setapak halaman sekolahnya berdiri seseorang, atau tepatnya, 'sesuatu' yang tidak asing di mata Natsume. Natsume memegangi pinggiran jendela, seolah hendak melompat keluar. Sementara itu, Tanuma yang menyadari gerak-gerik Natsume, buru-buru melayangkan pandangnya ke arah 'sesuatu' yang dilihat Natsume. Tapi dia tidak melihat apa-apa di situ. Tanuma mencoba cara lain. Dia memiringkan kepalanya sedikit dan melihat lagi, kali ini dengan sudut matanya. Nampak di situ berdiri bayangan hitam yang tidak jelas bentuknya.
"Na… Natsume," kata Tanuma yang 'penglihatan'nya tidak sebagus Natsume, dengan bingung. "Itu… kenalanmu?"
Natsume buru-buru memalingkan kepalanya pada teman seperjuangannya itu. "Maaf, Tanuma! Ada sesuatu yang harus kulakukan."
Tanuma mengangguk cepat menanggapi Natsume, dan Natsume langsung berlari ke arah tangga terdekat. Pemuda berambut hitam itu, setelah punggung Natsume menghilang di belokan, kembali memasukkan tangannya ke saku, menatap ke rerumputan kosong tempat dia melihat 'sesuatu' itu tadi.
"Honoka!"
Gadis itu menoleh ke asal suara. Rambutnya yang sedikit lebih panjang di sebelah kanan bergelayut ringan. Dengan sedikit terengah-engah, Natsume berhenti di depan gadis itu. Honoka menatapnya setengah heran melalui kedua mata yang ditutupi oleh kain putih bertuliskan 'pohon' yang pudar. Natsume yang mulai bisa mengontrol napasnya, pikirannya kosong.
Sebelum ini, dia sudah memikirkan banyak hal yang hendak disampaikan pada roh pohon itu kalau-kalau mereka berkesempatan bertemu lagi. Tapi saat itu tidak ada satu pun yang terbersit di benaknya. Natsume merasa seperti orang linglung. Dia kembali memutar otaknya, berusaha memecah keheningan yang canggung itu, sebab Honoka hanya memperhatikannya sambil tersenyum seperti biasa. Ayo, katakan sesuatu, batin Natsume pada dirinya sendiri, secara tidak sadar.
Di sisi lain, dia merasa ada sesuatu yang aneh dengan sikapnya sendiri. Tidak biasanya dia menggebu-gebu seperti itu. Rutinitas roh pohon itu yang tiba-tiba berhenti cukup membuat Natsume gelisah. Beberapa hari setelah ia berhenti mengunjungi Natsume, pemuda itu mulai bertanya-tanya dan merasakan sesuatu yang tidak mengenakkan. Seolah ada sesuatu yang hilang.
Apa dia menjadi terpaut pada Honoka?
Tanpa sadar, tatapan Natsume terpaku pada sosok si gadis. Rambut coklat gelapnya, kimono putih bergaris hijau yang dikenakannya. Lalu kedua tangannya yang tertelungkup sopan di bawah perutnya, maupun langkah-langkah kecilnya. Kain putih yang dikenakan di wajah gadis itu berkibar kecil saat diterpa angin sepoi.
"Selamat siang, Tuan Natsume," sapa Honoka, setelah sapaan yang ditunggu dari Natsume tidak juga dilontarkan.
"Se… Selamat siang," jawab Natsume dengan sedikit canggung. Lagi-lagi, ia mengalihkan pandangannya, lalu menggaruk pipinya yang tidak gatal dengan satu jari. Dalam hati ia membodohi dirinya karena berbuat demikian.
"Hari ini akan cerah," kata Honoka lagi. Senyumnya ringan. "Kuharap Tuan tidak keberatan menemani saya berjalan-jalan?"
Natsume terhenyak. Pertanyaan yang sama. Dia ingin sekali menemani Honoka, dia takut roh pohon itu akan kembali menghilang kalau dia menolaknya. Tapi saat itu masih jam sekolah, dan guru-guru pasti akan menanyainya macam-macam kalau dia bolos pelajaran. Natsume sendiri tidak terlalu keberatan, namun dia lebih memikirkan akibat pada paman dan bibinya. Dia tidak bisa membayangkan apa tanggapan mereka saat mengetahui Natsume bolos. Dia bisa, namun dia tidak ingin membayangkannya—lebih tepatnya. Dalam benaknya terbayang wajah Touko-san yang menatapnya dengan penuh kekecewaan.
Natsume tidak bisa menjawab. Tapi Honoka tahu betul jawaban yang muncul pada akhirnya. Dia terdiam untuk beberapa saat, kemudian membungkuk memberi hormat. Seharusnya dia tahu kalau kedatangannya yang tiba-tiba ini akan menyusahkan Tuan Natsume-nya. Oleh karena itu, sebaiknya dia tidak memberi pemuda itu lebih banyak masalah lagi.
"Saya mengerti. Kalau begitu…" Honoka membungkuk, lalu hendak berbalik saat sebuah tangan menangkap akhir lengan kimononya.
"Masih ada beberapa jam lagi, tapi," kata Natsume, kali ini dengan penuh keyakinan. "tunggulah hingga sekolah usai. Setelah itu aku akan menemanimu."
Honoka menoleh dengan setengah terkejut. Natsume tersenyum.
Hanya untuk memastikan supaya Honoka tidak menghilang lagi, Natsume memintanya untuk menunggu di kelasnya selama pelajaran berlangsung. Dan Honoka, dengan senang hati, berdiri di sebelah kursi Natsume di kelas, menunggu dengan sabar. Dia tidak mengajaknya bicara sama sekali, mengetahui kalau Tuan Natsume-nya harus berkonsentrasi dalam belajar.
Meski sebenarnya, konsentrasi Natsume sedikit terpecah. Dia jadi teringat pada Tsubame si roh burung walet. Waktu itu Tsubame juga menunggu di sampingnya seperti ini. Tsubame berhasil menyelesaikan sesuatu yang mengganjal dalam hidupnya dan pergi entah ke surga atau ke neraka.
Tsubame, ya, batin Natsume. Sudah lama sejak kejadian dengan roh burung walet yang periang itu. Dulu Tsubame juga sering mengganggu Natsume, dalam arti positif. Natsume merasa dia menghabiskan waktu dengannya lebih lama dibandingkan dengan roh lain. Pengecualian untuk Nyanko-sensei, tentunya.
Natsume ingat, tangannya pernah digandeng oleh Tsubame. Waktu itu Natsume sedikit terkejut namun membiarkan saja. Perasaan yang menyenangkan. Tangan Tsubame terasa sejuk dan lembut. Genggamannya erat.
Tanpa sadar, diliriknya tangan Honoka yang terkatup di bawah perutnya, yang sejajar dengan kepala Natsume. Dia memandanginya untuk beberapa saat, sebelum kemudian tersadar dan buru-buru menatap buku pelajarannya lagi dengan canggung. Bodoh, apa yang kupikirkan, batinnya setengah heran-setengah malu.
*****
"Masih jauh, Honoka?" tanya Natsume sambil berjalan dengan hati-hati, menghindari bebatuan besar atau akar-akar pohon yang tumbuh besar.
Honoka tersenyum sungkan. "Maafkan saya, Tuan Natsume. Tolong bertahanlah sedikit lagi."
Natsume tidak menjawab, dan Honoka menganggapnya sebagai 'ya'. Tadi, sepulang sekolah, Honoka mengatakan dia punya tempat yang bagus yang ingin ditunjukkannya pada Natsume. Segera setelah itu, tanpa pulang terlebih dahulu, Natsume mengikutinya masuk ke dalam hutan. Sudah kira-kira lima belas menit berjalan, dan Natsume mulai melihat tanaman-tanaman yang belum pernah dilihatnya. Ranting-ranting pohon tumbuh dengan liar, dan tidak nampak ada jalan setapak. Sepertinya bagian hutan itu jarang dilewati manusia.
"Sudah sampai, Tuan Natsume!" kata Honoka dengan riang, sedikit mengejutkan Natsume. Gadis itu berdiri beberapa meter di depan, membelakangi pemuda itu. Begitu kakinya sampai di samping Honoka, Natsume terkesima.
Agak jauh di depannya terhampar rerumputan hijau yang cukup luas. Di satu sisi, mengalir air yang berakhir di kolam alami yang besarnya kira-kira sama dengan kolam roh yang ada di halaman rumah Tanuma. Di tengah-tengah karpet hijau itu, berdiri dengan kokoh sebuah pohon sangat besar. Batangnya tebal dan lebar. Daun-daunannya membentuk atap yang rindang.
Natsume kehilangan kata-kata. Honoka menatap Tuan Natsume-nya dengan bangga.
*****
