.

Disclaimer : Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

Peringatan: Gaje. Abal. Ancur. AU. Maybe OOC. OC. Typo bertebaran. Alur cepat. Dan kecacatan lainnya. Jika tidak berminat, silahkan tekan tombol 'kembali'.

Genre : Misteri & Supernatural

Rated : T

.


Bab 1 : Impase


.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sepatu bermerk menapak angkuh di pelataran rumah bergaya Mediterania klasik. Melenggang penuh ekstensi–bersikap diktatoris, setapak demi setapak. Terlihat Begonia semperflorens merunduk takut, tatkala sepasang kaki beringsut cepat melewatinya–mencoba menyembunyikan warna darah yang sama dengan si Tuan rumah. Tapi, toh, pemilik dwi warna itu tak sudi melempar gunting kesayangannya–ke arah mahkluk mungil yang di proteksi dengan plastik padat menyerupai mangkuk besar berwarna hitam.

Semilir angin membelai lembut tiap helai merahnya, menghantarkan ucapan selamat datang. Matanya terpejam, kala itu. Kepalanya mendongak menantang, semakin terlihat angkuh, namun anggun. Sebuah kesempurnaan rupa.

"Akashi-sama," panggil sebuah suara berat.

Akashi berhenti kemudian menoleh cepat. Mata merah-emasnya menatap nyalang, tapi sedikit emosi–sangat sedikit–tersirat di sana. Pria berumur yang–berani–memanggilnya, mendadak keringat dingin, ketika mendapat respon yang tak terduga itu.

"Ada apa, Akita-san?" tanya Akashi, nampak sedikit acuh tak acuh.

"Ah? Ano… Ka-kagami-sama ingin bertemu–besok sepulang sekolah."

Akashi mendengus.

Akita berkeringat dingin.

"Lain kali, Akita-san, jangan menginterupsiku–pembicaraan ini bisa kita bahas didalam, bukan?" Akashi mendelik tanpa emosi.

Di lain pihak, Akita menatap takut-takut. Di matanya, Tuannya itu membiaskan aura-aura kehitaman yang pekat.

"Y–ya, Akashi-sama!"

Akashi hanya memutar tubuhnya lalu sedikit mendorong gagang pintu hingga menjeblak terbuka. Di balik punggung Akashi, Akita menghela napas lega–bersyukur akan tubuhnya yang masih utuh, tak tergores sedikitpun. Kejadian tadi memang fatal bagi Akita. Sangat fatal, mungkin?

Akashi berjalan dua-tiga langkah, namun terhenti lagi oleh seseorang yang duduk manis di bantalan busa sofa yang empuk.

"Yo, Akashicchi!" sahut cemprengan kecil dibarengi dengan lambaian tangan santai.

Akashi menoleh kaku. Entah karena kesal–sebab orang itu datang tanpa pemberitahuan–atau karena semalam salah memposisikan bantalnya, hingga lehernya sakit? Entahlah.

"Ne, rumah barumu tak seburuk yang kau bilang tempo hari ssu."

Kise merubah posisi duduknya, kini lebih santai; kedua tangan menopang kepala belakang dan kaki yang menjulur lemas ke lantai.

Jeda sejenak.

"Ryouta…," panggil Akashi dengan suara dalam.

Saat itu juga, Kise melompat dari sofa. Meringkuk di balik sofa panjang; menjadikan sofa itu sebagai tameng. Tiga detik kemudian, terlihat sebuah kilatan perak bergagang merah, melayang bebas.

.

.


"Kasihan sekali dia."


.

.

"Baiklah, Akashi-kun duduk di sebelah Aomine-kun." Jari telunjuk mengarah ke depan dekat jendela.

Akashi hanya mengangguk dan berjalan menuju bangkunya–singgasananya. Beberapa celotehan kecil hingga kikikkan menyelimuti langkahnya.

Ada beberapa kata yang tertangkap oleh indera pendengarannya, "hihi… Dia tampan, ya?"

Sungguh menyebalkan dan membuat risih.

.

.

Jam pelajaran mengalir begitu saja, tak ada yang menarik. Intinya, ini adalah saat-saat paling membosankan, bagi Akashi. Ia melirik sebelah kanannya, tak terlihat pemuda berkulit gelap tadi. Di alihkannya melirik malas ke sebelah kiri–menatap jendela. Namun, yang terlihat hanya dua-tiga batang pohon familia Rosaceae yang sedang berguguran kembangnya. Tak ada yang menarik.

–Atau ada yang menarik. Mata merah-emas menangkap siluet seseorang dibalik batang pohon.

.

.


"Siapa, yang Anda maksudkan?"


.

.

"Hei, murid baru."

"…."

"Aomine Daiki, kau?"

Akashi hanya mendongak; menatap. Pemuda yang memanggilnya–di depannya, kini, memamerkan gigi putihnya, kontras sekali dengan kulit gelapnya. Ia menatap lama pada Akashi, menanti jawaban.

Akashi hanya membalas dengan nada malas, "Akashi Seijuurou."

Aomine memutar tubuhnya, membelakangi Akashi, kemudian berjalan satu-dua langkah kecil.

"Sekolah itu membosankan, eh?" tanyanya sambil memungut sebuah bolpoin hitam dari meja depan Akashi, kemudian memainkannya.

Akashi melemparkan pandangannya keluar jendela, sambil bertopang dagu. Tampak tidak tertarik.

"Hn."

"Ternyata kau pasif juga, huh?" Senyumnya mengembang penuh arti, yang tak dimengerti Akashi.

Menggelikan.

"Mungkin."

.

.


"Dia. Seorang anak yang baru saja pindah rumah."


.

.

Perkenalannya dengan pemuda berkulit gelap tak memberikan efek yang impresif.

Dan juga nasibnya hari ini, mati bosan di kelas–seperti biasa. Beruntung kelasnya sudah usai, namun hal ini tak serta-merta menaikkan moodnya.

Akita–pelayannya–tak terlihat batang hidungnya sejak Akashi menyusuri jalan pulang. Namun, alih-alih pemandangan asing yang dilihatnya sepanjang gang. Akasi tak kenal jalan ini–sama sekali. Salahkan dirinya yang baru pindah rumah dua hari lalu.

Hari sudah semakin gelap. Ditandai dengan rona oranye kemerahan di langit dari ufuk barat; efek tenggelamnya dari sang surya.

Sesekali Akashi melirik jam tangannya, terlihat jarum jam pendek menunjuk pada angka enam dan jarum panjang pada angka sebelas. Akita tak kunjung datang. Akashi tetap berjalan.

Mata merah-emas Akashi menangkap siluet seseorang melintas di penyeberangan jalan. Mengerjapkan mata. Dan hanya udara kosong yang di lihatnya.

Aspal meliuk naik-turun. Bumi berputar. Kaki melemah. Mata memburam. Rasa nyeri menusuk dada. Meringkuk di muka trotoar, Akashi mengambil napas dalam, peluh mengucur deras di pelipis. Mata merah-emas mengerjap dua-tiga kali, menampik peristiwa ganjil barusan; delusi.

Mencoba menanamkan satu kata di kepala–delusi.

Samar-samar derap langkah terdengar di telinga, semakin mendekat. Napas yang berat, terlihat dada naik turun. Mendekap dada, Akashi menelentangkan tubuhnya. Siluet hitam, biru dan putih di depan mata, terhalangi warna keemasan langit sore.

.

.


"Oh. memang apa yang terjadi padanya?"


.

.

Bumi berputar terasa lagi. Ini adalah delusi.

Mata memburam lagi. Ini delusi.

Pening menggerogoti kepala. Delusi.

Seseorang di hadapannya kini menyentuh jemari Akashi, terasa dingin.

Apakah ini delusi?

.

.


"Kemalangan menimpanya."


.

.

Semakin menampik peristiwa barusan, pening semakin terasa.

Akashi tak mengerti ini. Otak cemerlangnya mengorek-ngorek jawaban.

Impase.

Kenyataannya ini adalah sebuah paradoksal akut.

.

.

.

.


"Akashi muda yang malang."


.

.

.

.

.

Tremor menyerang Akashi.

.

.

.

.

.

Bersambung.

.

.

.

.

.


Ini adalah fic keempat saya sekaligus fic pertama saya di Fandom Kurobasu :D
Saya biasanya menjadi silent reader di Fandom ini–atau terkadang mereview.

Saya merasa masih newbie, karena kurang lebih baru lima bulan berkutat menjadi penulis langsung hiatus nyaris setahun ==" #dibuang ke laut
Dengan penuh harap, saya ingin senpaitachi mengoreksi atau mengkritik fic abal ini :'D

Mohon bimbingannya dari para sesepuh di Fandom Kurobasu tercinta ini. m(_ _)m

Saya tahu ini gaje banget dan belum terlihat misteri dan supranaturalnya sama sekali =="v
Ehehehe… memang disengaja, kok.. xD #ditabok

Review?