Partikel-partikel bunyi saling bertumbukan—menghantam satu sama lain hingga membentuk sebuah getaran. Getaran itu tersampaikan pada liang renik gendang telinga—tersalur menuju tulang sanggurdi melalui sahabatnya yang saling berangkaian.

Getaran itu membuat sebuah suara memilukan yang bersuara seperti sebuah gramophone yang menderitkan guratan-guratan pada piringan hitam yang berputar. Menjalar—semakin merata layaknya virus yang dengan mudahnya menulari babi-babi lain di peternakan.

Para babi-babi itu sedang berdengkur ria dengan gumpalan ingus yang menutupi lubang hidungnya yang besar. Salin membeliti bibir liang lahat yang menganga lebar. Tak hanya berdengkur—mereka juga berkicau. Oh, malang. Meneriaki sebuah kematian memilukan—yang sebenarnya sang jenazah tak merasa sedih jika kehilangan mereka semua.

Netra bening milikku memandang pilu sebuah liang lahat yang tengah menganga lebar. Potongan-potongan kayu yang telah dibentuk sedemikian rupa pun dimasukan ke dalamnya.

Plash— Keadaan liang lahat berair. Dipenuhi oleh genangan kesedihan sang langit yang merintih.

Kelopak-kelopak bunga mulai berhamburan menghiasi seonggok peti kematian yang tertutup dengan rapat. Beberapa saat kemudian, liang itu perlahan tertutup. Burik-burik kegelapan datang ke dalamnya yang sarat. Mempersilahkan para belatung yang kelaparan mencicipi gumpalan darah—daging yang terkapar tanpa nyawa disana.

Aku berjalan mundur—tersudut dengan badanku yang terkulai tak berdaya. Tak ku sangka hari ini akan datang. Hari yang tak pernah kuharapkan—kecuali saat aku mengalami sebuah pertengkaran dengannya. Seseorang yang aku amat sayangi menghilang bagai bunga dandelion yang rapuh—tertiup angin malam.

Netra milikku mulai mencair. Terus meleleh bagai sebuah balok es yang berada di tengah padang pasir yang membara. Akar-akar air mata pada pipiku mulai terbentuk dengan amat jelas.

Sang alveolus yang semula bekerja dengan baik sekarang menginginkan pasokan udara yang lebih banyak yang dengan mudahnya menjadi cepat dan dengan mudahnya menjadi sangat lambat. Desakan para alveolus yang tak menentu— membuat kerongkonganku yang tiba-tiba mengering membentuk sebuah getaran pada pita suara yang sangat sensitif itu hingga mengeluarkan suara yang terseret.

"Ayah…"

Aku yang masih berumur sepuluh tahun terisak disana. Tangan yang tergantung lemah milikku bergerak—mengusap air mataku yang telah terlepas dari jaringnya. Aku berjangkung disana—sendirian.

Bernyanyi dengan nada parau tak menentu yang bersuara dari dalam pita suaraku tanpa adanya sedikit pun kesengajaan. Merunduk dengan dalamnya hingga seorang anak mendatangiku. Anak yang terlihat sebaya itu datang memberikan tangannya padaku.

Surai berwarna merah milik anak itu jatuh mengikuti keadaannya yang membungkuk ke arahku yang tercangkung. Bibirnya membentuk dua titik sudut yang saling berjauhan. Matanya melebar walau alis mata miliknya sedikit turun melihatku yang berada dalam titik spiral kesedihanku.

"Kau akan selalu aman, tenang saja!"

suara ringan khas seorang anak berumur sepuluh tahun membaluri kehangatan pada diriku yang mendingin.

"Tapi ayahku sudah tidak ada…"

suaraku yang bergetar dan penuh dengan isakan menggetarkan hatinya. Ia berjongkok di depanku lalu menatap wajahku yang penuh dengan serabut-serabut air mata yang lusuh.

"—bagaimana jika aku saja yang menggantikan ayahmu untuk melindungimu?"

serunya dengan semangat yang terpancar cerah pada matanya yang berbinar. Mata itu terus mengembang—berpendar terang saat menatapku setiap kali. Namun kejadian itu—

.

.

Sudah berapa tahun yang lalu, huh?

.

.

Bahkan aku sama sekali tak mengenali integritas Akashi yang seperti itu lagi sekarang.

.

.

Equations

.

.

Drap Drap

Aku berlari—melompat-lompat kearah si surai merah yang tengah berdiri dengan wibawa yang menyelimuti punggunya. Tangannya membawa sebuah arsip—entah itu penting atau tidak—aku sama sekali tak peduli. Apa peduliku, huh?

"Akashi~!"

Slap!—tanganku memukul punggung berhiasi wibawa itu dengan penuh semangatnya.

"Ada apa lagi?" matanya menatapku dengan datar—namun tajam. Sungguh menjebak. Apakah dia marah atau tidak atas perilakuku padanya.

"Pinjami aku uang, dong," aku tersenyum dengan penuh ketidak bersalahan sama sekali.

"Tidak."

"Hah? Kau pelit sekali! Ini untuk kepentingan sekolah kau tahu!" pipiku membesar karena terpompa oleh karbon tak terpakai dari para alveolus yang bekerja di dalam diriku.

"Jika kebutuhan sekolah yang kau maksud adalah makanan dan komik." Tegasnya—menginsinuasiku.

"Hey, yang kukatakan tadi memang benar adanya," ringisku.

"Dan peralatan sekolah yang akan kau beli adalah sebuah buku gambar."

"Ya! Kau benar!" Seringaiku mengembang seperti sebuah moonlight cactus flower yang merekah dengan lebar hanya pada malam hari saja—bedanya yang satu ini tersengat sebuah kebusukan yang merebak.

"Aku sudah membelikan benda itu sebagai hadiah ulang tahunmu, bukan?"

"Itu—" tanganku menulusuri sela pada rambut-rambut malang yang terkulai lemah pada kepalaku, "Sudah aku jual,"

"Kau? Apa?" kepalanya berputar Sembilan puluh derajat kearahku. Matanya mulai mentapku dengan intens dan penuh dengan tegangan listrik—yang menakuti banyak orang saat melihatnya.

"Ah, maaf Akashi, lagipula aku menjual buku itu karena suatu keperluan,"

"Dan keperluan itu adalah sebuah makanan?" suaranya beresonansi—seakan kesal padaku yang menyalah.

"Kau tahu bagaimana perutku, kan? Jadi lupakan saja hal itu!"

"Hm."

"Ayolah Akashi," aku mendesak Akashi yang masih menatapku dengan geram.

Akashi pun menutup pelupuknya. Alis mata miliknya sedikit berkerucut dan membentuk sebuah guratan pada perbatasannya. Ia pun merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah dompet kulit—yang bertandakan sebuah merek terkenal. Dikeluarkannya satu lembar uang yang sangat berharga bagiku.

Uang bernominal cukup besar itu diberikannya padaku. Aku menyambut selembar uang itu dengan psike yang penuh dengan antusiasme. Setelah mendapat selembar kertas—yang sangat berharga itu aku pun berlari meninggalkannya. Sebelum aku larut dalam tabir-tabir sekolahku—aku mengayunkan pusat pergerakan tubuhku dengan sangat berterima kasihnya.

"Thanks, Akashi! I will pay you! I swear!"

Aku pun berlari. Meninggalkannya yang berdiri dengan tangan yang masih menggegam dompet kulit miliknya. Badannya masih sama—tegap dengan lengan yang mengapit sebuah arsip. Tatapannya masih menatap tajam refleksi diriku yang hanya sebuah asap ingatan saja. ia pun memasukan dompetnya kembali—lalu berbalik—dan mendecih keras.

.

.

.

"Tch. I know you will never pays me back."

.

.

.

Loading…


- Kupersembahkan prolog ini pada sahabatku tersayang DZR :)

- masih sebuah prolog—berlanjut dengan kemungkinan seperinchi dari hasrat saya dalam menulis cerita ini XD