Disclaimer : I do not own Kuroshitsuji nor the characters, every series belong to Yana Toboso only
Warnings : AU, OOC, may contain Sho-ai in the next chapters, semi-drabbles
"Jadi, Mum, kau bilang tadi kita akan pindah ke mana?"
Rachel sedikit memutar badannya dari bangku penumpang depan agar bisa melihat ke belakang dengan jelas. Di bangku penumpang belakang, anak laki-laki satu-satunya, Ciel, duduk di pojok kiri sambil menyilangkan kaki dan melipat kedua tangannya di depan dada. Kalau bukan karena alisnya yang sedikit berkedut, Rachel tidak akan tahu kalau putranya itu sedang bosan. Wanita itu menutup map hijau yang sedari tadi ditekuninya, lalu tersenyum.
"Kita akan pindah ke Oakland, dear." jawab Rachel. "Kenapa kau baru peduli untuk bertanya sekarang, hm? Rasanya aku sudah ribut-ribut mengenai ini sejak kita meninggalkan Manhattan."
"Aku hanya lupa, bukan tidak peduli." ia berkilah. Padahal ia tahu benar di sepanjang perjalanan orang tuanya selalu membahas topik yang tidak jauh dari tempat tinggal baru mereka. Sayangnya ia terlalu sibuk memerhatikan bermacam-macam papan rambu lalu lintas di bahu jalan. "Lagipula... yang benar saja, Mum! Aku tidak setolol itu sampai melewatkan tulisan besar 'Selamat Datang di Oakland' di beberapa kilometer sebelumnya. Maksudku, 'ke mana' yang sespesifik mungkin."
Rachel tertawa pelan. "Okay, dear... aku minta maaf. Lebih tepatnya ke daerah Montclair. Ayahmu membeli rumah yang cukup besar di East Bay dengan harga yang... yah, jauh dibawah perkiraan kita. Tapi tenang saja, lingkungannya tidak seperti yang kau bayangkan. Cukup ramai, malah. Awalnya aku juga takut sebelum ayahmu melihat tempatnya secara langsung. Untung saja kita tidak jadi menandatangani Surat Pembelian Rumah di Wichita. Udara di Arkansas terlalu kering, benar kan, Vincent?" jelasnya panjang-lebar sambil menoleh ke bangku pengemudi.
Sebelum orang yang ditanyai Rachel sempat menjawab, mobil yang mereka kendarai berguncang dan terdengar bunyi bergeratakan. Rachel ber-'aw' kecil dan Ciel bergeser dari tempat duduknya dengan tidak nyaman, bermaksud menstabilkan posisi. Mereka memelototi si pengendara mobil setelah guncangan mobil mereda.
Sementara si pengemudi sendiri, Vincent, membalas tatapan tajam ibu-anak itu lewat spion tengah dengan santai. "Hei, maaf, maaf. Aku tidak sadar jalanan ini berbatu, makanya aku tidak menurunkan kecepatan."
"Yeah, Dad, tidak apa. Beruntung di dunia ini belum ditemukan adanya penyakit gegar bokong." sungut Ciel. Vincent hanya tertawa menanggapinya.
"Aku tidak tahu selera humormu cukup bagus, Nak. Kau terlalu pendiam." Vincent kembali fokus ke setirnya. "Haah, teori dari mana itu, Rachel? Kukira udara di daerah pantai lebih kering dari daerah sekitar gurun."
"Oh ayolah, Vincent. Aku hanya berbasa-basi."
"Ngomong ngomong soal pantai," Ciel tiba-tiba menyela, "kenapa tidak sekalian saja kita tinggal di Santa Monica? Atau Long Beach. Itu lebih mencerminkan keramaian California dibanding Oakland. Aku juga heran kenapa Mum dan Dad tiba-tiba memutuskan untuk meninggalkan Manhattan dan pindah ke kota yang lebih kecil."
Perkataan Ciel barusan membuat Vincent dan Rachel saling pandang.
"Begini, dear..." Rachel memulai. "Kami ingin memulai semuanya dari awal."
Kerutan di dahi Ciel semakin dalam. "...Maksud Mum?"
"Ya, dari awal. Aku dan ayahmu ingin melakukannya karena kami merasa bersalah padamu."
"Apa? Bersalah? Jangan buat aku bingung, Mum. Aku tidak mengerti."
Seketika Rachel tampak seperti kehilangan kata-kata.
"Maksud ibumu begini, Nak." Vincent mengambil alih pembicaraan. "Kami merasa bersalah padamu karena kami mengambil jalan yang salah untuk merawatmu. Kau tahu... dari kecil kami menyerahkanmu pada pengasuh. Hanya mengikuti perkembanganmu lewat laporan tertulis. Dalam satu bulan, paling banyak aku hanya bisa bertatap wajah denganmu tiga kali." ia mengambil jeda, samar-samar terdengar Rachel menggumamkan sesuatu tentang 'bertemu Ciel' dan 'dua kali'. Vincent menghela napas dan melanjutkan kalimatnya.
"Kami terlalu sibuk dengan pekerjaan kami masing- masing. Ibumu yang seorang orthodontist tidak akan semudah itu meninggalkan pekerjaannya sampai larut malam... sedangkan aku selalu terbang ke luar negeri untuk urusan bisnis. Benar-benar tidak punya waktu seharipun untukmu. Kami... orang tua yang buruk."
Diam menyelimuti orangtua dan anak itu selama beberapa saat.
"Ah... hahaha, kenapa kau jadi sekaku itu, Dad? Itu tidak perlu." Ciel tertawa gugup. Oh gosh, betapa dia tidak menyukai suasana canggung seperti ini. Walau jauh dalam pikirannya, ini adalah hal yang paling ia tunggu-tunggu sekaligus yang paling ingin ia hindari.
"Kami serius, Ciel." akhirnya Rachel bisa menggunakan lidahnya lagi untuk berbicara. "Kau sudah remaja sekarang. Tidak seharusnya kau terkurung di kondominum Manhattan sendirian sepanjang hari selama itu. Setiap waktu luang yang kau punya, kau hanya duduk diam di kamarmu, bukannya pergi bersenang-senang menghabiskan waktu bersama teman seusiamu. Atau minimal, dengan kami. Kami juga tidak memberi perkatian yang cukup padamu, dear. Aku tahu benar kau pasti kesepian selama ini."
Lagi-lagi suasana menjadi hening.
"Aku... aku tahu Mum dan Dad tidak melakukannya tanpa alasan." Ciel merasakan gumpalan besar naik dan menyumbat tenggorokannya. "Aku tahu kalian bekerja keras demi kebaikanku. Aku juga tidak pernah mempermasalahkan hal itu pada kalian. See? Aku baik-baik saja. Itu bukan masalah."
"Bekerja keras sampai melupakan putra kami sendiri? Itu hal terbodoh yang pernah kami lakukan, Ciel." sesal Vincent. "Kuharap kau memaafkan kami, Nak. Aku janji kejadian yang sama tidak akan pernah terulang lagi. Kami akan berusaha meluangkan waktu kami untukmu sebanyak mungkin untukmu setelah ini."
"Ya, Ciel. Mum minta maaf karena kurang perhatian padamu." Rachel mengusap bagian bawah matanya. "Itulah alasan mengapa kita jauh-jauh pindah ke kota kecil ini untuk memulai awal baru yang lebih baik."
Ciel tertegun. Seberapa kalipun ia membantah, apa yang dikatakan orang tuanya memang benar. Memang seperti itulah keadaannya, baik apa yang telah ia lihat maupun rasakan.
"Yah... aku tahu. Tentu saja aku memaafkan kalian." jawabnya. "Kalian adalah orang tuaku... walaupun sebelumnya bukan yang terbaik." tambahnya sedikit bergurau. Vincent dan Rachel tersenyum kecil.
"Terima kasih, Nak. Aku senang mendengarnya. Aku tahu kau anak yang baik." Vincent bergerak canggung dari kursi pengemudi. "Oh, sial. Jika sekarang aku sedang tidak terjebak diantara kursi dan seatbelt ini, aku akan berbalik ke belakang dan mengacak-acak rambutmu."
"Dan jika sekarang kau tidak duduk sejauh itu dariku, aku akan memelukmu erat-erat." Rachel terkekeh pelan. Wajahnya sudah tidak semuram sebelumnya.
"Oh, tidak, ada apa dengan ungkapan-ungkapan kasih sayang yang mendadak ini? Bisakah kalian menyimpannya sementara sampai kita tiba di tujuan?" Ciel tertawa lepas, gumpalan yang tadi menyumbat tenggorokannya sudah hilang. Lega untuk sementara. Tapi dengan segera tawa pudar dari wajahnya. "Uh... kalau begitu, bagaimana dengan perkerjaan kalian, eh, Mum? Dad? Kalian tidak senekat itu meninggalkan mereka hanya karena aku, kan?"
"Tentu saja tidak, Ciel. Dan kurasa alasan untuk pertanyaanmu itu juga harus disimpan untuk sementara..." Vincent menurunkan kecepatan mobil yang memasuki jalan bergapura beton putih besar, "karena kita sudah sampai di tujuan."
"Hah, apa? Eh—"
"Ya, dear." Rachel kembali menatap putranya. "Welcome to The Monday Dew."
Mobil SUV hitam itu memasuki gerbang merah bertulisan 'Monday Dew 4th' dengan perlahan. Dari kursi penumpang, Ciel melihat pemandangan di sisi kirinya, sedikit antusias. Tangan kanannya menggantung malas di sisi bawah jendela yang tidak terbuka. Menurutnya, lingkungan bersistem semi-cluster ini cukup bagus. Tiap rumah memiliki ukuran hampir sama dan halaman yang sama luasnya, walau dengan model yang berbeda-beda. Di rumah tepat di samping gerbang merah, ada 2 orang berkulit tan sedang menyiram tanaman. Dua rumah setelahnya, seseorang berpakaian koki mengangkat karung berisi entah apa ke sisi jalan. Beberapa pejalan kaki—ada yang berambut violet pucat, ada yang mengenakan topi jerami, pria berkacamata dengan pakaian rapi, dan ada yang bermata crimson— yang terburu-buru namun masih sempat say hi pada yang lainnya. Ciel meghentikan ekor matanya pada anak laki-laki berambut pirang pucat yang sedang berlari-lari kecil meninggalkan sebuah rumah. Di matanya, anak-laki laki itu terasa familiar.
"Oh, tunggu..." Ciel mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di sisi bawah jendela. "Itu...EH? ALOIS? Apa yang dia lakukan di sini?" seru Ciel tiba-tiba.
"Ternyata kami memang terlalu sibuk, ya? Sampai-sampai Mum lupa memberitahumu kalau kita akan menjadi tetangga Bibi Francis. Dia, lho, yang merekomendasikan kita untuk pindah ke sini." ujar Rachel. Ciel tampak berpikir, jika benar Bibi Francis yang membantu mereka, otomatis seluruhkeluarganya juga sudah tahu hal ini.
"Oh... entah mengapa aku merasa senang sekaligus sedih." Ciel pura-pura merengut. Baik Vincent dan Rachel tertawa penuh arti.
"Aku tahu alasanmu dibalik kalimat itu, Nak." Vincent berbelok ke sebuah rumah minimalis bercat putih gading. "Kita sampai."
Ciel merapikan barang-barang bawaannya di jok tengah, membuka seatbelt-nya dan menyusul kedua orang tuanya yang sudah dahulu turun dari mobil dan mencapai pintu rumah. Rachel membuka pintu tepat setelah Ciel membuka sepatunya.
"Welcome home." gumam Vincent, nada bangga terselip di suaranya. "Kurasa aku memilih agen jasa pindah rumah yang tepat. Barang-barang kita tiba lebih cepat dari waktu yang dijanjikan."
"Bukankah itu bagus, Vince? Kita hanya perlu menghawatirkan hal-hal kecil yang kita bawa. Tapi sebelum itu... sebaiknya kita beristirahat sebentar."
"Ya, istirahat. Hal yang sangat kuinginkan dari tadi. Seharian duduk di dalam mobil membuat kakiku mati rasa. Dimana kamarku, Mum?" Ciel menyampirkan tasnya ke bahu kirinya.
"Di lantai 2, dear, pintu pertama di sebelah kanan." Rachel menyerahkan sebuah kunci pada putra satu-satunya itu. "Kuharap kau menyukai kamar barumu."
"Yeah, semoga." Ia segera berlari menaiki tangga, meninggalkan kedua orang tuanya yang tengah duduk-duduk santai di sofa ruang tamu.
Ciel berhenti di pintu kayu berwarna coklelat tua pertama di samping kanan tangga. Ia menghela napas panjang, membayangkan akan terlihat seperti apakah ruangan pribadi barunya. Ia membuka pintu itu menggunakan kunci yang diberikan ibunya, memutar kenop pintu dan... voila. Ini dia kamar barunya.
Perbedaan yang cukup dirasakan oleh Ciel adalah: ukuran ruangan. Kamar ini tidak lebih dari setengah kali kamar lamanya di kondominium lamanya di Manhattan. Tapi untuk isi dan tatanannya sama sekali persis dengan apa yang telah ia punya. Wallpaper sewarna safir, single bed, meja belajar, cermin dinding yang besar, juga rak-rak buku penyimpanan koleksinya di atas meja belajar. Dua tirai besar di samping kiri nightstand, poster-poster film dan penyanyi kesukaannya, karpet beludru hitam, terkecuali lemari besar yang dulu ada di samping pintu kamarnya. Benda itu tergantikan dengan lemari geser 2-pintu yang menyatu dengan dinding.
"Almost perfect. Aku mengerti dengan ukurannya mengingat rumah ini hanya sepertiga luasnya dari... rumah yang lama." Agak berat rasanya bagi Ciel menyebut kondominium lamanya itu sebagai 'rumah'.
Pemuda berambut keabuan itu menaruh tasnya di atas meja belajar, membuka kedua tirai di samping tempat tidurnya, lalu menghempaskan tubuhnya begitu saja di atas kasur. Ia merogoh saku hoodie-nya, mengeluarkan ponsel dan segera mengetik sesuatu di atas layar touchsreen itu dengan cepat.
To: Alois
Hey Al, kenapa kau tidak bilang kalau kau akan menjadi tetanggaku? Aku merasa dicurangi, dan kau harus membayarnya :D ...aku bercanda. Ada waktu jam 4 sore nanti? Bagaimana kalau pada jam itu kau berkunjung ke sini?
Ciel menyentuh touchscreen pada tulisan 'Send'.
Sending...
Message Sent
"Haah..." Ciel menghela napas letih sambil berbaring terlentang di kasurnya dengan kaki menjuntai di pinggiran kasur. Ia mengedarkan pandangan ke atas meja belajar dan melihat jam meja yang menunjukkan angka 08.42 AM. Masih pagi, batinnya. Berkendara 16 jam dari Manhattan sampai ke Oakland tidak akan menjadi salah satu dari sepuluh daftar kegiatan favorit Ciel sampai kapanpun. Dengan malas-malasan, ia membuka sepatu keds-nya dengan ujung kakinya sambil tetap berbaring.
Sekali lagi, Ciel mengelilingi setiap sudut kamar itu dengan kedua mata deep blue-nya. Bentuk yang hampir sama namun dengan suasana jauh berbeda. Pandangan kedua bola matanya berhenti di langit-langit kamar yang berwarna biru muda. Sejenak kemudian, ia memejamkan mata. Hidungnya mulai menghirup dalam-dalam aroma ruangan tersebut. Sangat khas, seperti aroma cat yang baru mengering bercampur dengan bau rerumputan segar yang dibawa angin masuk ke kamarnya. Hal ini mengingatkannya pada aroma yang biasa diciumnya sewaktu masih tinggal di Manhattan, polusi dan aroma aspal yang menguar terpanasi cahaya matahari.
Manhattan membuatnya teringat pada satu hal lain: segala masa lalunya. Semua yang pernah ia alami di kota terpadat pada negara bagian New York itu. Apa yang membuat keluarganya memutuskan untuk pindah ke kota kecil ini. Semua melayang-layang di pikirannya seperti kilas balik yang di fast forward.
Ciel Phantomhive memang dilahirkan dari pasangan serasi yang berada: Vincent dan Rachel Phantomhive. Sang Ayah, Vincent, adalah pendiri dan pemilik sah dari confectionery terbesar di Amerika Utara, . Sedangkan Ibunya, Rachel, seorang dokter tulang yang mengepalai Manhattan Central Hospital di bagian ortodonsi. Awalnya, kehidupan mereka memang bahagia. Tapi disaat perusahaan yang ditangani Vincent mulai melebarkan sayapnya dan semakin berkembangnya pengetahuan individu tentang bone disorders, muncul retakan kecil pada kesempurnaan itu.
Vincent mulai rutin keluar-masuk New York untuk mengurusi para investor dan cabang-cabang baru perusahaannya. Demikian pula Rachel yang menghabiskan hampir 18 jam sehari mengurusi pasien-pasiennya di Rumah Sakit. Ciel yang saat itu baru berusia 2 tahun hanya bisa memandangi kesibukan orang tuanya dengan pandangan tidak mengerti apa-apa di dalam pangkuan sang Nanny.
Di usianya yang cukup untuk memasuki Sekolah Dasar, Vincent berinisiatif memasukkan putranya itu dalam program Private Home Schooling dengan alasan tidak punya cukup waktu untuk mengontrol Ciel di luar lingkungan rumah. Ciel menerima keputusan ayahnya itu dengan menelan rasa kecewa. Ya, kecewa karena tidak bisa mendapatkan pendidikan umum yang normal yang ia tunggu-tunggu layaknya anak-anak lain seperti apa yang diceritakkan oleh pengasuhnya jika ia besar nanti.
Menjelang remaja, Ciel masih berkutat dengan Home Schooling yang telah dijalaninya selama hampir setengah usianya. Frekuensi tatap mukanya dengan Vincent maupun Rachel semakin menurun. Ia sangat jarang menjejakkan kaki ke luar kondominium besar itu. Paling tidak untuk pergi ke mini mart di lantai dasar, atau setidaknya berjalan-jalan di taman kota bersama pengasuhnya sebulan sekali sewaktu ia tidak lebih dari 10 tahun. Ini membuat kulitnya sangat pucat karena jarang terjamah oleh sinar matahari. Nanny-nya sendiri berhenti mengasuhnya setelah itu karena ia juga memiliki kehidupan rumah tangga yang harus ia jalani. Terlebih ia tidak memiliki teman sebaya yang dekat sebagai tempat untuk meredakan rasa sepi. Tapi setidaknya ia masih memiliki 2 orang sepupu yang masih sering berhubungan dengannya, meski terpisahkan jarak yang sangat jauh.
Namun hal itu tidak membuat Ciel menjadi anak yang lemah dan canggung. Ia berusaha hidup mandiri. Ia mulai mengerjakan pekerjaan rumah sendirian. Yah, minimal untuk apa yang sangat vital. Membuat sarapan, berbenah, hingga laundry yang harus diantar-jemput ke cleaning section.
Perlahan, ia mengerti apa yang dilakukan orang tuanya. Mereka bekerja keras toh juga untuk dirinya, mengumpulkan materi untuk penghidupan yang layak. Ciel tahu, apapun yang ia inginkan, bisa terpenuhi oleh mereka. Terkecuali satu hal: perhatian dan kasih sayang. Ia merasa sangat kesepian. Tidak hanya sekali-dua kali Ciel ingin menukarkan apapun yang ia punya selama bisa mendapatkan kedua poin itu dari Vincent dan Rachel secara langsung.
Ciel ingat saat-saat dimana Rachel lebih memilih menyeleksi paper diagnosa penyakit tulang setiap malam dibanding membacakannya dongeng sebelum tidur. Saat Vincent mengirimkan dog robot dari untuk ulang tahunnya yang ke 12, padahal yang ia inginkan adalah kehadiran ayahnya. Saat ia melihat pedagang ice cream di taman kota Manhattan yang sedang mengelus bangga rambut anak laki-lakinya yang mengenggam kertas bertuliskan angka '90' dengan tinta merah. Saat ia memerhatikan beberapa anak kecil yang berlari-larian sambil tertawa riang di trotoar dari jendela kondominiumya. Ia ingat bagaimana emosi dan perasaannya yang bercampur aduk saat itu. Namun hanya ada satu kata yang tepat untuk menggambarkannya.
Kesepian.
Tapi, disinilah ia sekarang. Di daerah bernama Monday Dew yang berada di pinggiran California. Kota yang baru, suasana baru, wajah-wajah yang baru, dan mungkin, pengalaman baru. Tempat dimana orangtuanya berjanji untuk tidak akan lagi merasakan hal yang sama.
Bukan, bukan hanya orang tuanya yang harus berjanji padanya.
Mulai detik ini, Ciel Phantomhive, berjanji pada dirinya sendiri agar tidak akan merasa kesepian untuk yang kedua kalinya.
A/N : Finally! Akhirnya saya bisa publish cerita pakai akun baru di FKI setelah menunggu sekian lama!
Ehm—sebelumnya salam kenal untuk semua senior, rekan sebaya, dan junior (mana ada?) di FKI. Ini adalah fanfiksi Kuroshitsuji pertama saya. Biasanya saya suka berkelana di luar kategori anime, sih (who'd give a damn?) so... warm welcome X3. Mohon maaf jika di pembuka bagian pertama ini banyak sekali typo dan bagian yang membuat bingung... saya yakin kebingungan para pembaca terhormat akan terpusat pada satu kasus, dan silahkan kemukakan pendapat anda sendiri tentang itu :P Mudah-mudahan saya bisa menjelaskan semua kebingungan (terutama yang satu itu) di bagian selanjutnya.
Anyway, a bunch thanks is adressed to Keshahaha for all the references about Oakland based on her last visit! You do make it worth, sissie! Thank you again! Mwach! :-*
Oh iya, satu hal lagi yang penting untuk pembaca semua : Monday Dew 100% fiktif. Nama daerah ini sengaja saya buat demi kelangsungan cerita. Tidak ada daerah bernama Monday Dew di Oakland sana.
Thank you for reading. Every comments, suggestions, critiques and flames are greatly appreciated :D
