"Hei, masuklah sana … aku hanya ingin merokok sebentar lalu pulang," ujar Pria yang tengah menyender pada sebuah mobil berwarna hitam. Ia lalu mengambil sebatang rokok dan pematik dari kantongnya. Menyalakan hingga sebuah warna jingga kemerahan melekat pada ujung rokoknya dan menyulutnya pelan.

"Memang apa enaknya merokok? Asapnya membuat baju bau, paru-parumu menghitam, tubuhmu tak sehat, lalu—"

"—Sakura!" Potong pria dewasa berusia dua puluh empat tahun tersebut pada gadis yang dihadapannya. Sedikit menghembuskan asap rokok dari mulutnya ke udara. Dan kembali menghirup benda pembunuh nomor satu manusia itu. "Masuklah ke dalam, aku tak ingin membuat bibi khawatir," ucapnya datar.

Namun gadis berusia enam belas tahun tersebut masih diam dan terpekur dengan kedua tangan menjuntai bebas. Kepalanya tertunduk menutupi matanya yang terpejam "Aku hanya mengkhawatirkanmu, bodoh! Memang apa salahnya jika merasa sedikit cemas," lirihnya dengan suara pelan.

Manik beriris coklat milik pemuda tersebut tertegun mendengarnya. Termenung sesaat menatap gadis pemilik mahkota berwarna merah muda. Tangannya hendak terjulur berniat menyentuh rambut lembut Sakura, namun diurungkannya cepat. "Sebaiknya semua ini kita hentikan saja," ujarnya tak kalah pelannya dari Sakura.

"Aku tak mau," bantah Sakura cepat, emeraldnya sedikit berkaca dengan air mata yang mungkin akan tertumpah. "Kenapa harus tiba-tiba begini?"

"Aku sudah memikirkannya, kau masih kelas I SMA Sakura … cobalah cari pacar satu atau dua orang …" Pemuda berambut merah tersebut menatap diam Sakura sesaat menghirup nikotin di dalam batangan silinder tersebut sebelum melanjutkan perkataannya. "… dan berhentilah main-main dengan … mantan tunangan kakakmu, Sakura."

Hati Sakura sakit bagai tertusuk duri. Haruskah kalimat lugas tersebut dikatakan lagi padanya? Sakura tahu posisinya yang hanya sebagai adik. Tapi mengapa saat pria ini mengatakannnya langsung hati Sakura terasa perih. Tak tahukan dirinya tentang bagaimana rasa yang selalu bergejolak di dalam hatinya sejak saat itu.

Seperti layaknya asap walau ada dihadapanku hanya bisa dilihat tanpa bisa kusentuh. Hanya meninggalkan baunya saja sama seperti cintaku ini.

"Aku juga suka seseorang kok."

"Benarkah?" tanyanya tak percaya pada Sakura. Membuang batangan rokok yang masih tersisa setengahnya. Menginjaknya pelan; mematikan nyala api diujungnya.

'Dasar pria bodoh. Tak bisakah dia menyadari perasaanku. Bukan malah balik bertanya dengan wajah tak mengerti apa-apa begitu.'

"Tapi kalau harus patah hati saat kencan pertama bagaimana?" tanya Sakura yang hanya dibalas wajah bingung pria dewasa tersebut berambut merah tersebut.

"Manaku tahu, Sakura … mengapa harus kau tanyakan padaku?"

"Karena kau partner latihanku, bodoh," ujar Sakura lalu berbalik dan memasuki kediaman Namikaze. "Besok temani aku lagi," ujarnya keras sebelum menutup pintu pagar dan berlari masuk kerumah. Meninggalkan orang yang sangat kini berstatus mantan tunangan kakaknya di luar sendirian. Seorang pria bermata coklat yang masih terus menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan hingga Sakura menghilang dari pandangannya. Terpasang raut sedih diwajahnya yang datar walau hanya sesaat.

xxx

Lihat Aku!

Disclaimer:

Naruto© Masashi Kishimoto

1000% passion© Ai Miyutani

Lihat Aku!© Sabaku 'Mizu' Akumu

Pair: SasoSaku implisit SasoKarin

Pair: Rate T

Genre: Romance sedikit hurt/comfort

Warning: AU, ooc, typo, aneh mungkin, dll

"Talk" berbicara

'Mind' berpikir

Summary:

Sakura hanya ingin orang yang disukainya melihatnya utuh. Tanpa harus melihat bayang seseorang yang merupakan kakaknya sendiri. Salahkah perasaan yang tersimpan untuk mantan tunangan kakaknya sendiri?

Don't Like Don't Read

xxx

Tiga tahun yang lalu Sakura bertemu dengan Akasuna Sasori laki-laki yang pertama kali disukainya. Seorang arsitektur yang telah memiliki nama. Waktu itu kakak perempuannya yang berbeda lima tahun dengan Sakura datang ke rumah dan memperkenalkan Sasori sebagai kekasihnya. Mengenalkannya pada Sakura yang baru saja duduk di bangku kelas I SMP.

"Perkenalkan Sasori-kun, gadis manis ini adik perempuan kesayanganku. Namanya Namikaze Sakura."

"Apa yang Karin-nee, lakukan. Jangan peluk-peluk seenaknya," ujar Sakura kesal saar Karin memeluknya erat dan menempelkan pipinya pada Sakura. Membuat Sakura menahan kesal untuk tidak menjitak kepala kakaknya saat ini juga.

Sedikit terkekeh pelan pemuda bernama Sasori melihat ulah kekasihnya. "Dia gadis yang manis, Karin. Salam kenal Sakura."

"Tentu saja, siapa dulu kakaknya, benarkan Sakura?"

"Karin-nee berisik."

"Haha … kalian benar-benar lucu ya. Aku senang punya adik secantik Sakura."

Sejak saat itu, Sasori sering datang sekedar bertemu kakaknya ke rumah, membuat perasaan di dalam hati Sakura terus mekar layaknya bunga. Perasaan polos yang tercipta saat melihat senyuman Sasori. Saat mendengar pertunangan keduanya, Sakura sangat bersyukur karena bisa terus bersama dengan Sasori setidaknya melihat saja sudah cukup baginya tanpa harus memiliki pria Akasuna tersebut. Namun dua tahun yang lalu Karin-nee mengalami kecelakaan dan meninggalkan Sasori sendirian di dunia ini.

Pagi ini Sasori datang lagi berkunjung ke rumah. Suatu kebiasaan yang baru dilakukannya sejak Karin-nee pergi. Bersembahyang dihadapan dupa kekasihnya yang ada di kediaman Namikaze. Sakura yang baru saja turun berhenti sejenak dan melihatnya dengan tatapan sendu.

"Sakura, jangan hanya berdiri di depan pintu begitu," ujar Kushina yang merupakan ibu Sakura dan Karin.

"Kaa-san?"

Wanita cantik berambut merah yang masih kelihatan muda diusianya yang menginjak kepala empat itu memukul pelan kepala Sakura. Membiarkan putri bungsunya meringis kesakitan. Kushina kemudian duduk dihadapan Sasori yang baru saja selesai mengirimkan do'a pada putrinya yang telah tiada.

"Terima kasih banyak, Sasori-kun," ujar Kushina sembari menyajikan minuman dan makanan kecil kehadapan Sasori.

"Maaf merepotkan, bi."

"Tidak apa. Bibi senang Sasori-kun masih mau berkunjung kemari. Padahal …"

"Sudahlah bi. Semua sudah terjadi." Sasori menatap miris foto seorang gadis berambut sewarna Kushina yang berada di atas dupa. Potret kekasihnya. Seharusnya jika kecelakaan itu tidak terjadi saat ini mungkin Sasori tengah bersamanya menikmati morning tea di rumah mereka.

Sakura merasakan perasaan tak suka saat melihat wajah Sasori yang menatap foto kakaknya. Ia hanya bisa menggenggam kepalan tangannya erat. Ia tahu akan sulit menggapai perasaan Sasori walau sudah lama semua berlalu. "Hari ini temani aku, lagi," ujar Sakura memecah keheningan yang sempat tercipta.

"Sakura. Jangan merepotkan Sasori-kun."

"Tidak apa, bi. Lagi pula saya sudah berjanji pada Sakura."

Itu benar sejak seminggu yang lalu Sakura meminta Sasori untuk pura-pura menjadi kekasihnya. Sebagai parter latihan selama musim libur sekolah. Menemani Sakura kemana pun Sakura mau.

"Bibi benar-benar minta maaf ya Sasori-kun."

"Tidak apa, bi. Lagi pula Sakura sudah saya anggap sebagai adik sendiri," ujar Sasori maklum. Karena pada dasarnya Sasori baik hati, tentu saja ia tak pernah bisa menolak permintaan Sakura yang telah dianggapnya adik sendiri. Kebetulan dirinya juga senggang.

'Tak apa-apa dianggap adik. Aku juga beralasan menjadikannya sebagai partner latihanku. Hanya supaya aku bisa tetap bersamanya.'

"Bibi benar-benar berterima kasih padamu, sudah dua tahun berlalu sejak kematian Karin," ujar Kushina, matanya menatap kasihan pada sosok yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. "Tapi bibi ingin kau juga bahagia Sasori-kun, janganlah terpaku hanya dengan masa lalumu."

"Terima kasih banyak bi, hanya saja saya baik-baik saja. Terima kasih atas perhatiannya," ujar Sasori sopan. Dirinya tahu maksud mantan mertuanya tersebut. Sembari tersenyum maklum dirinya menanggapi perkataan wanita yang dianggapnya ibu itu.

Sakura mendengar dalam diam perbincangan ibu dan mantan kakak iparnya itu. Tak ingin ikut ke dalam pembicaraan berat tersebut. Emeraldnya tak sengaja menangkap sebuah foto yang berada di atas rak disampingnya. Sakura mengambil foto tersebut penuh dengan rasa rindu. Sebuah foto dengan dua orang dewasa dan satu gadis mungil ditengahnya. Foto terakhir Sakura bersama Karin dan Sasori. Saat mereka pulang dari pantai waktu itu.

"Karin-nee, maaf ya," ujar Sakura lirih tanpa bisa meredakan perasaanya pada pria berambut merah yang tengah memeluk kakaknya di dalam potret tersebut.

Tapi pria yang selama dua tahun ini tak bisa melupakan kakakku, sangat sulit untuk kulepaskan

"Ayo pergi. Sekarang mau kemana lagi?" tanya Sasori pada Sakura yang termenung sembari memegang sebuah foto.

'Kali ini tolong izinkan aku memeluknya ya, Karin-nee.'

Sakura lalu meletakkan foto tersebut dan berbalik menghadap pada Sasori. Menampilakan senyumannya. "Bioskop. Aku baru saja dapat tiket film horor terbaru," ujar Sakura bersemangat.

"Baik—"

"Nee-chan ikut," ujar suara seorang bocah seorang anak laki-laki berambut pirang berusia dua belas tahun yang tiba-tiba muncul di samping Sakura.

"Naruto? Apa yang kau lakukan sana ke sekolah," ujar Sakura pada adiknya yang telah siap menenteng tas ranselnya.

"Bhuu … Nee-chan pelit."

Tak.

"Kau itu harus sekolah bocah … jangan coba-coba membolos, dasar anak bandel."

"Huwaaa … kaa-san, nee-chan seram." Bocah bernama Naruto itu lalu berlari, bersembunyi di balik punggung ibunya. Takut menghadapai Sakura yang mulai bersiap hendak menjintaknya lagi.

"Hentikan Sakura. Jangan kebiasaan menjitak kepala Naruto begitu."

"Che. Dasar anak manja," ujar Sakura bersiap hendak melayangkan tangannya karena melihat Naruto yang meledeknya dengan menjulurkan lidahnya. Namun kepalan tangan tersebut tak jadi mencapai targetnya, bukan karena tangan kaa-sannya melainkan … Sasori? Sakura benar-benar melupakan kalau Sasori masih berada di ruangan ini. Sedikit memerah wajahnya menahan malu karena sudah memperlihatkan kebiasaan buruknya yang selalu bertengkar dengan Naruto.

"Sudah, ayo berangkat," ajak Sasori melepaskan tangannya yang menaut tangan Sakura. "Kami berangkat bi, sampai jumpa nanti Naruto."

"Daaah … Sasori-nii. Jangan lupa bawa oleh-oleh ya."

xxx

"Kau yakin, Sakura?" tanya Sasori untuk kesekian kali.

"Iya. Berapa kali harus kukatakan iya, Sasori."

Saat ini mereka berdua sedang berada di depan sebuah bioskop di tengah kota. Dari tadi Sasori mencoba mengkonfirmasi keputusan Sakura yang masih bersikukuh menonton film horor yang didapatkannya. Padahal Sasori tahu gadis yang lahir pada saat sakura bersemi ini sangat takut pada film sejenis ini. Sasori sedikit memijit pangkal hidungnya menghadapi sifat keras kepala Sakura.

"Jangan salahkan aku, jika nanti kau menjerit ketakutan di dalam, Sakura."

"Iya, bawel." Sakura lalu mengikuti langkah Sasori untuk masuk ke dalam gedung bioskop sepertinya lima menit lagi pemutaran filmnya di mulai.

Tahukan kau Sasori kenapa aku memilih film ini? Karena kutahu kau menyukainya.

Sakura lalu duduk di samping Sasori. Suasana gelap di dalam sana membuat Sakura mulai merasa ketakutan. Sejak dulu Sakura memang membenci tempat yang gelap. Tempat yang selalu membuatnya merasa sendiri. Diremasnya kedua tangannya di depan lutut. Sedikit mengurangi rasa takut yang dirasanya. Padahal filmnya belum di putar, tapi Sakura sudah berkeringat dingin. Bagaimana kalau sudah, bisa dipastikan Sakura akan menjerit ketakutan dan membuat semua pengunjung melotot tajam padanya. Tidak! Sakura menggelengkan kepalanya mengenyahkan semua pikiran buruk yang bersileweran dikepalanya.

'Benarkah dugaanku.'

Awalnya Sasori tak menyangka hari ini Sakura akan mengajaknya ke bioskop padahal seingatnya Karin pernah mengatakan Sakura benci kegelapan karena tak sengaja pernah terkurung di gudang. Dan tentu saja gadis buble gum ini selalu menghindari tempat-tempat bernuansa gelap. Melihat Sakura yang mulai ketakutan sendiri sepertinya Sasori rada tak tega juga.

"Pegang saja tanganku, kalau kau takut Sakura," ujar Sasori menyodorkan tangan kirinya pada Sakura.

"Eh?" Sakura mengerjap tak percaya atas saran Sasori. Dadanya berdebar keras lagi, sepertinya kekacauan sudah terjadi di sistem otaknya, terbukti dari tak ada satu pun ucapan yang keluar dari bibir Sakura. Perlahan Sakura menautkan jarinya pada Sasori membiarkan rasa hangat menjalar di sekujur tubuhnya. Membiarkan perasaanya membucah tak terkira.

Sakura masih saja menatap wajah Sasori selama pemutaran film. Hanya dengan berbekal cahaya temaram dari layar Sakura tetap bisa melihat wajah pria dewasa tersebut dengan baik. Karena sudah sejak lama wajah itu terpatri kuat dalam ingatannya. Bahkan bila cahaya menghilang pun Sakura tetap bisa melukis wajah Sasori di dalam pikirannya.

Suka … Aku sangat menyukaimu Sasori …

"A—aku mau ke toilet sebentar," ujar Sakura melepaskan genggaman tangannya di tengah cerita. Dari tadi tak sedikit pun adegan film berhasil ditangkapnya. Keberadaan Sasori disampingnya berhasil mengalihkan perhatian Sakura dari ketakutannya. Pikirannya penuh dengan Sasori, hanya Sasori.

Sakura merapikan pakaiannya sedikit di dalam toilet. Sakura menatap ke cermin, melihat seorang gadis berambut merah muda sepinggang yang mengenakan stelan baju tanpa lengan dilampir sebuah blazer tipis dan dengan rok pendek lima belas centi di atas lutut. Padahal di musim dingin ini angin bertiup cukup kencang, namun Sakura nekad menggunakan pakaian yang bahkan tak bisa melindunginya dari dinginnya tiupan angin. Tadinya Sakura berniat membuat Sasori terkesan dengan berpenampilan dewasa dan sebanding untuk berjalan bersama, tapi Sasori tak mengomentari apa pun bahkan melihatnya pun tidak. 'Apa aku bisa memenangkan hatinya, Karin-nee?'

"Hatsyim!" Sepertinya Sakura mulai merasakan kedinginan. Terbukti dengan tubuhnya yang mulai bereaksi.

Tok … tok …

"Sakura? Kau baik-baik saja?"

Sasori? Sakura segera menghapus air mata yang hampir jatuh dimatanya. Sedikit menepukkan bedak tipis kewajahnya dan memoles lip balm kebibirnya. Sakura kemudian keluar dari toilet dan mendapati Sasori yang tengah menatapnya khawatir di depan pintu. Tak menyangka pria itu akan menyusulnya ke toilet.

"Gomen, aku lama."

"Tak apa," ujar Sasori lalu berjalan di depan Sakura, menyampirkan kedua tangannya pada kantong celananya.

Sakura lalu menyamakan langkahnya dengan Sasori. Namun kakinya berhenti saat menyadari arah yang di ambil oleh Sasori bukan menuju ruang tempat mereka menonton semula.

"Ada apa Sakura?"

"Apa tidak sebaiknya kita kembali, sayang bukan filmnya masih belum selesai dan ini pemutaran perdananya."

Sasori hanya terkekeh kecil. "Aku bisa menontonnya sendiri nanti saat kasetnya keluar. Lagi pula aku tak mau membuat seorang gadis manis ketakutan di dalam sana."

"Ugh. Jangan menggodaku baka-Sasori," ujar Sakura kesal demi siapa juga Sakura harus nekad menonton film yang paling dibencinya ini.

"Aku bercanda Sakura, sudahlah jangan cemberut begitu nanti kubelikan es krim."

"Aku bukan anak kecil, Sasori. Lagi pula ini musim dingin seharusnya kau tahu itu."

"Kalau kau tahu lain kali jangan keluar dengan pakaian begini, Sakura," ujar Sasori menatap lembut pada Sakura lalu berdiri persis berjarak hanya setengah langkah. Sasori kemudian mengalungkan syal yang dipakainya ke leher Sakura. "Kau bisa sakit," tambahnya lagi.

Emeral Sakura menatap tak percaya saat lehernya merasa nyaman dengan adanya syal dari Sasori. Bukannya Sasori tak mengacuhkannya dari tadi. Ternyata beginilah cara Sasori memperhatikannya. Semua kelembutan yang diberikan langsung untuknya. Wajah Sakura bersemu merah saat merasakan wajah Sasori yang begitu dekat dengannya. Bahkan detak jantungnya kini sudah mengalahkan kecepatan lari mantan juara atletik.

"Apa kau tak sadar banyak pria yang melihatmu dengan pandangan mesum tadi."

"Eh?" Sakura mengerjap bingung pada lirihan kata yang baru saja tertangkap dalam gendang telinganya, walau pelan tapi Sakura yakin mendengar perkataan Sasori yang terbersit rasa cemburu yang implisit di dalam sana. Sebuah senyuman manis bertengger dibibirnya.

"Kau mau makan apa, Sakura?" tanya Sasori mengalihkan perhatian Sakura setelah menyelesaikan simpulan pada syal yang dikenakan Sakura.

"Ng … Kari mungkin," jawab Sakura sewajarnya dengan sedikit bergetar. Bagian bawah tubuhnya masih terasa dingin. Apa lagi posisi mereka yang saat ini di luar gedung. Berbeda dengan di dalam yang penuh dengan penghangat.

Sasori yang menyadari kondisi tubuh Sakura sejenak berpikir kemana tempat yang cocok. "Begitu ya? Pilihan yang bagus, ayo pergi."

Sasori kemudian mengendari mobil crv berwarna hitam miliknya. Perjalanan agak terasa lambat karena salju yang mulai turun, apa lagi di bulan februari begini. Bahkan di beberapa wilayah jepang ada daerah yang sudah terkubur salju.

"Kita mau kemana?" tanya Sakura heran saat mereka melintasi jalanan dan tak berhenti pada restoran yang menyajikan makanan yang diminta Sakura.

"Lihat saja nanti. Kau akan merasakan kari terenak yang pernah ada."

"Heh?"

Sakura mengerjap tak percaya saat melihat dimana dirinya berada. Duduk manis disebuah ruangan dengan penghangat. Dekorasi ruangan yang begitu sederhana dengan cat tembok berwarna lembayung. Meja dan kursi yang tertata rapi. Sebuah tv dan tumpukan kaset dvd. Kulkas. Buku-buku. Sejak kapan sebuah restoran bernuansa begini?

Tidak. Sebenarnya ini bukanlah restoran apa lagi tempat makan. Sasori mengajaknya ke apartemen miliknya. Apa maksud Sasori membawanya kemari, apa dia berniat menjadikan Sakura kekasihnya? Pikiran Sakura mulai berjalan-jalan entah kemana tanpa pembatas. Membuat jantungnya kembali berolahraga ringan.

"Ini. Makanlah."

Sakura terperangah saat melihat kepulan uap panas dari makanan yang dihidangkan Sasori. Nasi kari yang kelihatan begitu lezat.

"Kau memasaknya sendiri, Sasori?"

"Begitulah. Karin pernah mengajarkannya untukku, kebetulan masih ada sisa kemarin malam. Tenang saja aku bisa menjamin rasanya."

Karin-nee? Sampai kapan pun aku tak bisa menang darimu nee-san … aku bahkan tak bisa memasak sebaik ini. Masuk dapur hanya akan meledakkannya saja dan membuat kaa-san akhirnya melarangku memasak. Bagaimana caranya aku bisa masuk dan menggantikamu dihatinya.

"Kenapa Sakura? Apa tak enak?"

Sakura hanya menggeleng pelan. Disendokkannya perlahan nasi ke dalam mulutnya. Rasa yang begitu dikenalnya menyebar. Rasa kari yang selalu dibuat nee-sannya di rumah. Walau sedikit berbeda namun rasanya tetap sama. Enak.

Melihat raut wajah Sakura yang sepertinya menikmati karya masakannya. Sasori melengkungkan bibirnya puas. "Syukurlah kau suka. Aku harus berusaha keras untuk bisa menyamai rasa yang sama. Kau pasti bisa merasakannya Sakura?" uajr Sasori bangga sembari mengacak rambut pink Sakura.

Sakura tak lagi menjawab perkataan Sasori. Perasaannya sesak tiap kali melihat wajah bahagia Sasori yang menyebut nama kakak perempuannya.

Sampai kapan kau terus mengenangnya Sasori. Tak bisakah sedikit saja palingkan perhatianmu padaku. Aku tak ingin dianggap hanya sebagai adik dari orang yang kau sayangi. Aku ingin menggantikan kehadiranya untukmu. Aku ingin berada disisimu sebagai kekasihmu.

Sakura lalu menyambar sebotol sake yang tak jauh dari tangannya. Sake milik Sasori. Dan menenggaknya habis. Membuat Sasori membelalak kaget dengan tindakan tiba-tiba Sakura dan mengambil botol sake yang sudah kosong dari tangan Sakura. Menatap tak percaya pada apa yang baru saja dilakukan Sakura.

"Aku akan mengantarmu pulang. Kau sudah mabuk Sakura," ujar Sasori saat melihat wajah Sakura yang sudah merah padam karena efek minuman. Bagaimana pun juga Sasori tak menginginkan keadaan Sakura saat ini. Bisa-bisa dirinya dibunuh bibi Kushina karena sudah membuat putrinya mabuk berat.

"Aku … tak mau pulang." Sakura bergerak memerangkap Sasori dalam pelukannya. Melingkarkan kedua tangannya pada leher Sasori.

Kalau aku mengatakan perasaanku padamu, apa kau akan membenciku, Sasori?

"Begitu, ya?" Sasori menggantung kalimatnya di udara. Menghilangkan arti lain dari ucapan Sakura yang sempat terlintas dibenaknya. "Baiklah kau tiduran saja lima belas menit baru akan kuantar pulang. Mungkin kau masih merasa pusing Sakura." Sasori melepaskan pelukan Sakura dan membimbingnya ke ranjang dikamarnya. "Aku akan menelpon bibi Kushina."

'Tidak. Bukan itu maksudku Sasori.'

"Aku menyukaimu Sasori." Sakura memeluk erat lagi tubuh Sasori yang tak sempat berdiri. "Aku berbohong saat mengatakan kencan ini sebagai latihan … sebenarnya aku ingin selalu berada disisimu," bisik Sakura ditelinga Sasori.

"Aku tahu."

"Hah?" Sakura menatap tak percaya pada manik kecoklatan milik Sasori. Berharap apa yang didengarnya barusan bukan sekedar omong kosong belaka.

"Ini semua tanggung jawabku. Sebenarnya selama ini aku sudah mengetahui perasaanmu. Tapi … selama ini aku terlanjur menganggapmu sebagai adik, Sakura." Sasori lalu secara perlahan melepaskan tangan Sakura dari tubuhnya.

"Ini semua salahmu, Sasori." Sakura menahan air mata yang akan jatuh dimatanya. Saat ini tak waktu untuk Sakura menyerah. 'Karena kau terlalu baik padaku. Aku tak bisa mundur dan mengenyahkan perasaan ini. Kumohon Sasori jangan menolakku.'

"Padahal sebelumnya aku lebih menyukaimu menjadi adikku …"

"Apa?"

"… tapi sekarang aku tak bisa mengantarmu pulang, Sakura," ujar Sasori sembari menatap emeral milik Sakura langsung. Tengannya terjulur menyentuh helaian pink milik Sakura yang menutupi matanya. Mengelus pelan pipi putih Sakura. Dan menghirup aroma cherry yang selalu berada di tubuh Sakura.

Aku pikir tak akan pernah bisa menyentuhnya. Selalu seperti asap, meskipun disentuh tapi tak bisa hilang.

"Aku tak mau pulang, Sasori."

Sasori sedikit berdebar saat mendengar kalimat yang sama keluar dari gadis kecil miliknya. Ia lalu menyentuh lembut bibir Sakura dengan ujung jempolnya. Menghadapkan emerald milik Sakura dengan hazel miliknya. Mendekatkan wajahnya pada Sakura. Menutup matanya dan mencoba menghapus jarak diantara mereka.

"Perkenalkan Sasori-kun, gadis manis ini adik perempuan kesayanganku. Namanya Namikaze Sakura."

Sheet …

Sasori segera mendorong Sakura pelan saat hampir sedikit lagi bibirnya menyentuh bibir Sakura. Dilepaskannya tangannya yang semula berada di pundak Sakura. Sasori menahan sesak saat mengingat status gadis yang hampir dipeluknya ini.

"Aku akan mengantarmu pulang, Sakura."

"Eh? Kenapa?" tanya Sakura bingung. Apa yang salah dengan semua ini mengapa tiba-tiba Sasori menghentikannya.

Sasori hanya berdiri membelakangi Sakura tak berani menatap emerald milik gadis itu. "Sakura … umurmu masih enam belas tahun. Sebaiknya cari pengalaman cinta sebanyak-banyaknya dulu."

"A—apa maksudmu, Sasori?"

"Karena selama ini berada didekatku, kau berilusi kalau kau menyukaiku," ujar Sasori datar tangannya mengambil sebatang rokok dan menyampirnya pada bibirnya. Meraih sebuah pematik dan menyalakannya. "Apa lagi usia kita berbeda delapan tahu."

Fyuusshh ... asap berwarna putih keluar bersama udara yang ditiupkan Sasori keluar.

"Itu tak ada hubungannya. Soalnya selama ini aku—"

"—Tak bisa! Karena kau adikku, Sakura!"

Sakura terkesiap mendengar perkataan Sasori, air mata mulai mengalir dari sudut matanya.

Sasori menutup matanya sejenak sebelum mengeluarkan karbondioksida dari tubuhnya dalam bentuk kumpulan gas. "Aku tak bisa berpacaran dengan adik mantan tunanganku. Kau paham itu Sakura," ujar Sasori lalu keluar dan meninggalkan Sakura. "Aku tak bisa menemuimu lagi, Sakura."

Aku tak paham Sasori. Kenapa? Kenapa aku harus jadi adik? Kenapa aku harus jadi adik Karin-nee yang merupakan kekasihmu Sasori. Kenapa?

Aku tahu kalau semua akan jadi begini. Tapi kenapa aku harus mengatakannya padamu, Sasori?

xxx

A/N: Bagaimana? Oke … jangan bunuh Mizu karena udah buat fict aneh untuk valentine seperti ini. Entah kenapa ada ide membuat fict begini dengan adaptasi sedikit dari sebuah manga. Dan ini Mizu kerjakan enam jam nonstop. Gila gak, baru kali ini buat OS sepanjang ini. Makanya Mizu pecah jadi twoshot yang bakal diupdate besok.

Ya sudahlah, apa pun yang terjadi … terjadilah hehehe …

Fict ini Mizu persembahin buat FC SasoSaku, Flaming Cherry Blossom di FB gomen ya, rada gaje gene ternyata Mizu belum bisa benar buat main pair SasoSaku#nundukdalamdalam.

Boleh Mizu pendapatnya dengan review dikotak biru di bawah Minna? Konkrit, kritik, dan saran dinantikan.

-Mizu-