Sudah empatpuluh menit berlalu semenjak Kagura naik taksi meninggalkan apartemennya di Fujisawa, prefektur Kanagawa. Kini dia hampir sampai di Bandar Udara Internasional Tokyo. Kagura memandang keluar jendela, smartphone berada di pangkuannya, berbunyi daritadi, memberi tanda jika banyak pesan yang masuk. Namun Kagura bahkan tidak ingin meliriknya. Radio di taksi itu memperdengarkan Romance karya Yuhki Kuramoto setelah sebelumnya memutar She Loves You yang dinyanyikan The Beatles. Mood yang digambarkan terlalu bertolakbelakang meski dua-duanya bertema sama, romantis. Kagura merasa musik karya Kuramoto-lah sebenarnya lebih sesuai dengan malam hari yang pekat dan sendu itu.
Kagura membayar ongkos taksi ketika pengemudinya memberhentikan mobil, mengambil tas Mansur Gavriel-nya dan keluar dari mobil berwarna hijau itu. Kagura mengenakan kemeja merah anggur yang dilapisi jaket denim dan celana jins biru ketat. Selain tas Gavriel, Kagura juga membawa tas gym hitam berukuran kecil. Bawaannya sangat sedikit untuk ukuran seseorang yang hendak ke luar negeri dalam waktu yang lama. Tetapi, Kagura memang menginginkannya, dia tidak butuh barang-barang bekas pakai itu, dia perlu mengulang kehidupannya dari awal. Kehidupan barunya, baru akan dimulai sekarang.
.
.
.
.
Sorachi Hideaki 空知英秋 is the original author of the Gintama (銀魂)manga, I definitely don't own anything.
.
.
危険な関係
Kiken na Kankei
(Dangerous Relationship)
.
.
.
.
.
Resor Andave Tubkaek yang berada di Pulau Krabi, Thailand; memang memukau seperti yang ada di katalog. Kagura melepaskan kacamata hitam bulatnya untuk mengagumi bagian depan penginapan bintang lima itu. Dua patung gajah besar yang tingginya dua kali lipat manusia dewasa adalah yang pertama ditemui para pengunjung. Di sekitar resor itu tumbuh pohon-pohon palem, khas negara beriklim tropis. Seorang pelayan wanita yang masih muda menyambutnya, memberi salam dalam bahasa Thailand. Kagura hanya tersenyum karena tidak tahu kata-kata balasannya, tetapi dia paham kalau pelayan itu bertugas untuk mengantarnya ke kamar. Kagura tidak perlu pelayan lain untuk membantunya membawakan barang, mengingat dia hanya membawa dua tas berukuran sedang yang ringan.
Resor itu menawarkan banyak pemandangan yang tidak bisa dia lihat di Jepang. Hiasan yang ada di sana rata-rata bergambar gajah, bentuk bangunannya dibuat mirip dengan kuil yang menimbulkan kesan religius yang kuat. Bangunan di sana juga tidak menunjukkan tanda-tanda kalau mereka sudah terpengaruh dengan kebudayaan barat. Kagura merasa beruntung karena dia sampai di resor itu pagi hari sehingga bisa menghirup udara pagi dan menikmati pemandangan menakjubkan.
Kagura sampai di kamarnya yang tidak terlalu besar, tapi nyaman dan tampak hangat. Atap, dinding, lantai, dan sudut-sudut temboknya dilapisi dengan kayu. Di setiap sudut ruangan dihiasi dengan perabot khas Thailand berkualitas tinggi. Terdapat ranjang berukuran queen di tengah ruangan, TV flat 32 inci, dan meja rias berbahan kayu. Kagura mengucapkan terima kasih dalam bahasa Inggris, si pelayan juga menjawab dengan bahasa Inggris, lalu meninggalkan Kagura. Setelah perjalanan panjang Kagura butuh mandi, tetapi nyatanya dia langsung merebahkan tubuhnya di ranjang yang empuk. Pelan-pelan matanya terpejam, sebelum benar-benar terlelap dia berharap agar orang itu tidak muncul dalam mimpinya kali ini.
Akhir-akhir ini dalam tidurnya, entah bagaimana Kagura masih dapat berpikir. Justru dalam kondisi itu dia berpikiran lebih keras daripada biasanya, alam bawah sadarnya mampu mengeluarkan sesuatu yang tidak bisa dia pikirkan ketika dia tersadar. Memikirkan seseorang yang menjadi obsesinya selama dua tahun terakhir ini.
Kali ini dalam kondisi setengah tertidur, Kagura memikirkan apartemen yang dia tinggalkan untuk selamanya. Semenjak meninggalkannya tadi malam, Kagura berniat untuk tidak pernah lagi kembali ke sana. Sepulang dari liburan ini dia akan ke Saga, Kyushu. Untuk sementara tinggal bersama teman kuliahnya, bekerja paruh waktu, lalu memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya.
Masih setengah sadar, Kagura mengelus sprei lembut ranjang hotel yang membuatnya teringat pada ranjang sempit yang berada di sudut apartemennya. Tempat yang sama dimana Kagura menangis meraung-raung dalam beberapa hari sekaligus tempat Kagura pertama kali bermain cinta dengan orang itu. Kepalanya mulai sakit, kamarnya serasa berputar. Kepingan ingatan akan orang itu kembali menyerbu otaknya.
Meski lagi-lagi terbangun dengan tubuh lelah, besoknya Kagura langsung mengunjungi pantai Tub Kaek yang sepi sebagai destinasi pertama liburannya. Biasanya para turis yang datang ke Thailand, atau khususnya pulau Krabi; tidak memilih pantai Tub Kaek untuk dikunjungi. Ada pantai Railay atau Tham Phra Nang yang lebih populer. Sebelumnya Kagura memang sudah mencari tahu banyak informasi tempat berlibur di Krabi melalui internet, dan Kagura mencari pantai yang paling sepi. Dia butuh ketenangan untuk berpikir, bukannya hingar bingar supaya melupakan masalahnya. Kagura selalu tahu kalau dirinya bukan jenis orang yang suka lari dari masalah.
Kagura sampai di pantai jam lima pagi, resor tempatnya menginap hanya berjarak sekitar lima ratus meter, hingga untuk mencapainya hanya butuh berjalan kaki sekitar empat atau lima menit. Dia mengenakan setelan baju training berwarna kelabu berlogo Nike di bagian dada kanan dan sepatu kets merah muda, rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai berkibar lemah tertiup angin.
Pantai Tub Kaek tidak seperti kebanyakan pantai di Thailand yang umumnya mempunyai pemandangan alam eksotis, tidak ada dinding batu raksasa di sekitarnya atau bebatuan berbentuk unik di tengah lautan. Tub Kaek hanya pantai sederhana dengan pasir putih bersih dan air laut yang atas pantainya diselimuti warna hijau tua, dimana hutan alam terjatuh langsung dari lereng bukit dan di atas pasir. Menyediakan banyak warna yang dalam dan sendu, banyak resor di sekitar sana memerlukan beberapa payung pantai, membantu melestarikan tampilan alami pantai. Pantai itu dikelilingi oleh pohon-pohon tua yang menutupi warna-warni restoran, tempat tidur pijat dan area restoran tidak dapat dilihat dari kapal yang berlayar di laut, resor-resor juga hampir tidak terlihat di antara rimbunan pepohonan. Suasana keseluruhan Tub Kaek misterius, alami dan tenang.
Pagi hari memang waktu yang terbaik untuk berjalan-jalan di bawah matahari, Kagura menyukai pantai, tapi hanya dalam waktu satu jam. Dia tidak suka menghabiskan waktu seharian di bawah matahari terik dan berjemur, juga bukan pengagum suasana di siang hari atau berniat menjadikan kulitnya coklat. Lalu untuk merasakan pasir lembut yang tetap hangat meski udara pagi dingin, Kagura melepaskan sepatu dan menaruhnya di atas pasir. Lalu berjalan menyusuri tepi laut, sesekali kakinya menyentuh air laut yang dingin. Pantai masih sangat sepi di jam segitu, hanya ada dua atau tiga orang yang berlari pagi. Sesuai harapannya.
Setelah berjalan sekitar limabelas menit, Kagura perlahan-lahan melangkah ke arah lautan, dia berhenti ketika air mencapai betis. Matanya memicing memandangi kemegahan lautan yang membentang di hadapannya, di kejauhan terdapat bukit-bukit karang berwarna hitam. Dia kemudian memandangi langit yang berangsur-angsur berubah cerah, Kagura hendak berjalan lebih jauh lagi ketika tiba-tiba dia merasa ada tangan kuat mendorongnya hingga jatuh tersungkur ke air. Sebagian besar wajahnya yang jatuh duluan tenggelam di air laut, dia tersedak air laut ketika mencoba berteriak. Tangan itu kuat bagai sebongkah batu, menahan kepalanya ketika Kagura berusaha bangkit berdiri. Kagura meronta berusaha melepaskan diri, tidak punya waktu untuk bertanya-tanya siapa orang yang melakukan hal ini padanya di tempat asing dan apa alasannya.
Setelah akhirnya Kagura berhasil mengangkat tubuhnya, dengan cepat menepis keras lengan orang itu. Lalu menyeka wajahnya dengan kedua tangan, terbatuk-batuk karena terminum air laut dan pasir sebelum kemudian menatap orang yang berdiri di hadapannya. Orang itu tidak menunjukkan ekspresi yang berarti. Ekspresinya sedatar hamparan pasir. Kagura menyebut namanya dalam hati, Okita Sougo.
"Kenapa kau ada di sini?" tanya Kagura.
"Harusnya aku yang tanya." jawab Sougo tetap datar.
Kagura menyingkirkan rambut basah yang turun mengenai matanya, kemudian melangkahkan kakinya di air laut, mencoba berlalu. Tetapi Sougo mencengkeram keras lengannya. Kagura bahkan dapat merasakan kuku-kuku Sougo menancap di kulitnya yang terlapisi baju training.
"Apa yang kaulakukan di sini?" desis Sougo, cengkeramannya semakin kuat hingga Kagura merintih.
"Berlibur tentu saja," jawab Kagura dingin, "Kau menuduhku mengikutimu?"
"Siapa yang tahu? Aneh. Padahal kau yang tiba-tiba menghilang."
Kagura mengepalkan tangan kirinya, kemudian meninju wajah Sougo dengan sekuat tenaga, cengkeraman pria itu terlepas. Pipi Sougo membiru, dia menatap Kagura tanpa mengubah ekspresi. Sesuatu yang dibenci Kagura, dia sulit memahami apa yang Sougo rasakan meski dia bisa menebak-nebak apa yang pria itu pikirkan.
Tangan dingin Sougo lalu menyentuh rambut panjang Kagura yang basah, mendorong belakang tengkuk Kagura, merapatkan tubuh wanita itu padanya. Tubuh mereka mendekat, bibir mereka bersentuhan. Sougo memperdalam ciumannya. Kekeraskepalaan Kagura melumer, dia berhenti meronta. Kagura dapat merasakan rasa asin dan butiran kasar pasir dari mulutnya sendiri. Rambutnya yang basah dan lengket menempel di pipinya. Kagura mendorong keras Sougo, memisahkan ciuman mereka. Bagian dada kaus putih Sougo menjadi sedikit basah karena menempel pada tubuh Kagura.
"Ya ampun, harusnya aku tidak melakukan ini... Tapi ternyata menahan diri itu sulit." keluh Sougo, nada bicara dan ekspresinya tidak menunjukkan penyesalan.
"Kau di sini bersama mereka 'kan?" tanya Kagura, melirik sekeliling seolah dirinya sedang diintai.
"Tidak. Ada pekerjaan di sini."
Ada kelegaan dalam hati Kagura, yang membuatnya jijik pada dirinya sendiri."Baiklah, anggap saja pertemuan kita ini tidak pernah ada, bye."
"Jadi benar kau menghindariku?" tanya Sougo, nada bicaranya agak merendahkan.
"Ya semacam itu, aku sudah membuat keputusan." bilang Kagura tanpa menatap Sougo.
Sougo menghela napas maklum, "Baiklah."
Hati Kagura mencelos ketika dia melangkah melewati Sougo. Tidak bisa tidak merasa kecewa ketika pria itu tidak melontarkan pertanyaan lagi atau menahannya. Dia berbalik untuk mengamatinya sebentar, penuh harap. Melihat Sougo yang menatap jauh ke bagian barat lautan, kekecewaan juga terlihat di mata pria itu jika Kagura tidak salah lihat. Tentu saja bukan hal ini yang Kagura inginkan, tetapi jika dia berbalik kembali pada Sougo, dia akan kembali melakukan kesalahan, dia akan kembali merasa bahagia sampai membenci dirinya sendiri.
"Kagura." Sougo hanya bergumam, tapi Kagura dapat mendengar karena Kagura memang berharap Sougo memanggilnya."Kalau mau menyelesaikan sesuatu, kau harus menuntaskannya."
Kagura menatap lekat-lekat wajah pria yang sudah membuat dirinya repot beberapa waktu belakangan. Pria berkulit pucat itu tampak berkilauan dan menenangkan seperti biasa, penampilan yang bertolakbelakang dengan lidahnya yang tajam dan sikapnya yang kasar bahkan sadis. Matanya yang besar kekanakan tetap tidak menunjukkan emosi."Hei. Biasanya kau suka membolos bekerja 'kan? Lebih baik kau temani aku berlibur. Hanya sampai liburan di sini selesai. Aku janji."
Sougo menyeringai sambil mengamati wanita di hadapannya yang berjalan mendekat, Kagura menarik lengan Sougo, menempelkan bibirnya pada bibir pria itu sebentar, lalu membalas menyeringai memamerkan giginya.
"Jangan bicara seolah hanya kau yang menginginkannya." kata Sougo, mendekap Kagura.
.
.
Dalam waktu empat hari, Kagura dan Sougo mengunjungi berbagai tempat seperti Emerald Pook, kuil Wat Tham Sua, pemandian air panas Klong Thom, gunung Kao Khanab Nam,dan pusat kota Krabi. Mereka juga memasuki restoran secara acak tanpa mempertimbangkan kepopuleran restoran atau kualitas hidangan. Seperti membeli karcis lotre, kadang bisa beruntung dan kadang tidak. Namun Kagura tidak pernah pilih-pilih makanan, seburuk apapun rasanya dia tetap akan makan seolah hari esok tidak akan pernah datang. Sementara Sougo selalu memakan makanannya dengan sedikit-sedikit, seksama, seolah-olah sedang mengira-ngira takaran bumbu yang digunakan juru masak. Jika rasanya buruk, Sougo akan berhenti makan setelah suapan pertama.
"Itulah kenapa kau cuma terdiri dari tulang dan kulit." Kagura sering berkomentar demikian. Tentu saja dia hanya bergurau, tubuh Sougo cukup berisi meski perawakannya langsing.
Okita Sougo punya penampilan yang mempesona. Bukan tipe favorit Kagura, selama ini Kagura hanya berkencan dengan pria sederhana dan berpenampilan membosankan, jenis yang mudah dilupakan sekali pun setiap hari bertemu. Okita Sougo sama sekali jauh dari itu, dia adalah jenis laki-laki yang jadi pilihan pertama gadis-gadis di kencan buta. Dia berkilauan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sosoknya akan mudah ditemukan di tengah keramaian. Meski dia sendiri tidak menyadari, dia juga mahir membuat wanita bertekuklutut tanpa perlu berusaha menggombal. Kagura benci padanya saat pertama kali bertemu. Tapi perjalanan selama satu jam dari Hachioji ke Fujisawa mengubah perasaannya.
Mereka berdua tidak sengaja bertemu di tangga apartemen mantan pacar Kagura. Hari itu Kagura membawa barang-barangnya keluar dari apartemen pacarnya setelah hubungan mereka berakhir, dengan tertatih-tatih berusaha menuruni tangga bersama koper besarnya. Apartemen pacarnya berada di lantai enam, akan makan cukup banyak tenaga untuk bisa sampai ke bawah. Okita Sougo kemudian muncul di belakangnya tanpa Kagura sadari, pria itu mengenakan jas wool Lanvin abu-abu yang melapisi kaus turtleneck berbahan katun hitam dan celana linen hitam, wangi parfum yang mencolok memenuhi indra penciuman Kagura ketika Sougo berjalan santai menuruni tangga dan melewatinya. Dia kemudian berdiri beberapa tangga di bawah Kagura yang sedang kesusahan. Pria itu mendongak, mengamati Kagura dengan tatapan mengejek.
"Diusir pacarmu?" tanya Sougo, bibirnya ditarik sedikit seolah menahan tawa.
Apa-apaan orang tidak sopan ini? Gerutu Kagura dalam hati.
"Tapi sepertinya orang bodoh yang mau mengencani orang sepertimu." tambahnya, makin kurang ajar. Kagura ingin sekali melayangkan tinju ke wajah pria itu, tetapi dia kerepotan membawa barang sehingga tidak memungkinkan.
Kagura memang paham maksud perkataan pria itu meski pada lazimnya seseorang tidak akan berkomentar sekejam itu pada orang yang baru ditemui. Penampilannya sekarang tidak bisa dikatakan bagus, sudah beberapa hari terakhir Kagura bertengkar dengan pacarnya sampai membuat dirinya depresi dan tak punya waktu untuk merawat diri. Kagura meninggalkan apartemen dengan mengenakan kaus merah kebesaran yang didapatkannya dari acara kampus sekitar empat tahun lalu, jaket baseball kuning kusam yang tidak serasi dengan warna kausnya, rok panjang usang dan sandal jepit pantai dari toko seratus yen. Rambutnya diikat kuda acak-acakkan, kacamata tebal besar berbingkai hitam melorot di batang hidungnya.
Pacar Kagura memutuskan untuk tidak akan pernah lagi keluar rumah. Pecundang itu tetap tidak bisa mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah, bertahun-tahun menganggur dan menghabiskan waktunya di kamar untuk bermain game dan mengoleksi majalah porno, katanya dia mungkin tidak punya bakat untuk menjadi bagian dari masyarakat. Tentu saja Kagura marah dan karena itulah mereka berpisah.
"Selain jelek ternyata kau suka pakai kekerasan." Sougo tertawa, pria itu sepertinya berusia awal 30-an tapi perilakunya lebih kekanakan daripada bocah SMP.
"Diamlah!"
Sougo tersenyum meledek lagi, kemudian mempercepat langkah saat mereka berdua hampir sampai di lantai dasar. Kagura yang belum puas karena belum menghajar pria itu mencoba mengejarnya, tetapi berlari kecil menuruni tangga sambil mendorong koper besar tidak mudah. Kagura memekik saat dirinya kehilangan keseimbangan. Koper besarnya terlepas dari tangannya, meluncur duluan menuruni tangga, lalu tergeletak di lantai. Kagura sendiri terpeleset, lalu jatuh dalam posisi duduk, dia mendesis sambil mengelus pinggangnya. Sougo yang sudah berjalan agak jauh di depan menengok sebentar ke belakang, mengerutkan dahi saat melihat Kagura meringis.
"Aduh, sepertinya aku terkilir… Ini gara-gara kau, pria sadis…." Kagura mengeluh ketika berusaha berdiri.
Sougo tertawa dibuat-buat, "Perlu bantuan?" tanyanya basa-basi, tetapi tetap berjalan lurus ke depan.
"Meski menolongku kau tidak layak mendapat ucapan terimakasih!" kata Kagura sambil berjalan terseok-seok keluar dari gedung. Kegelapan malam langsung menyambut mereka, hanya cahaya lampu jalanan lemah yang menjadi satu-satunya sumber penerangan. Sougo yang berjalan di depannya, mendekati mobil sedan hitam mengilap yang terparkir tidak jauh dari apartemen.
"Tidak masalah. Aku sudah menduga kau bakal tidak tahu sopan santun makanya aku memutuskan untuk menonton saja." Sougo bilang sambil membuka pintu mobilnya.
"Hei, tunggu! Antar aku ke apartemen baruku." pinta Kagura meski nada bicaranya lebih mirip memerintah.
"Hah?" Sougo menghentikan gerakannya.
"Kau sudah membuatku harus ganti rugi dengan memberikan makan malam dan mengantarku ke apartemen baruku di Fujisawa."
Sougo memicingkan matanya, "Baru putus dari pacarmu kau sudah bisa menggoda pria lain, ya. Dasar jalang."
Kagura menarik pintu mobil Sougo ketika pria itu sudah duduk di kursi kemudi dan hendak menutup pintu."Kalau mau menggoda orang aku juga pilih-pilih!"
"Yah, tidak semua orang punya selera bagus."
"Kenapa kau sangat percaya diri?"
"Karena aku tidak punya alasan untuk tidak percaya diri."
"Dasar menyebalkan. Cepat bawa aku pulang!"Kagura membuka paksa pintu mobil Sougo.
"Memangnya siapa kau?"
Meski begitu akhirnya Sougo mengantar Kagura ke Fujisawa. Seumur hidup Sougo tidak pernah tertarik menjadi orang yang murah hati, tapi rasanya membiarkan wanita patah hati yang terkilir melakukan perjalanan sendirian dari Hachioji ke Fujisawa malam-malam rasanya agak keterlaluan. Maka itu dia membiarkan Kagura masuk ke mobil Acura RLX hitamnya dan menyetir dengan kecepatan tinggi.
Keheningan menyelimuti dalam mobil sampai lima menit pertama. Kagura sangat tidak suka suasana canggung, maka dia membuka pembicaraan. "Aku heran bagaimana orang yang kelihatannya tinggal di Roppongi sepertimu bisa mampir ke apartemen butut tadi. Pacarmu tinggal di sana?"
"Aku menemui penulis." Sougo menjawab singkat tanpa menoleh.
"Kau editor?"
"Lebih baik, kepala editor."
Kagura mengangguk seolah mengerti. Dia sendiri jarang baca buku, jadi sepertinya pembicaraan dengan topik ini tidak bisa dilanjutkan.
"Ngomong-ngomong darimana kau tahu kalau aku berpisah dengan pacarku?" tanya Kagura dengan nada menuntut.
"Kebetulan ruangan penulis yang kutemui dan ruanganmu bersebelahan, sudah seminggu ini aku bolak-balik ke apartemen itu. Aku bisa mendengar banyak suara dari sana. Kalian sangat berisik. Kautahu, termasuk ketika kalian sedang berdamai." jelas Sougo, Kagura bahkan dapat melihat senyum meledeknya di kegelapan. Wajah Kagura memerah, tangannya yang kurus meninju bahu Sougo.
"Kalau kau macam-macam akan kuturunkan di jalan." ancam Sougo.
"Dasar mesum! Kau itu yang macam-macam dengan lady sepertiku!"
"Ya, terserah. Tapi kedengarannya pacarmu itu payah." komentar Sougo sembari membelokkan setir.
"M-maksudmu?"
Sougo menghela napas berat, "Duh, masa aku harus menjelaskannya lagi? Kau ini apa? Anak SD?"
Kagura diam sebentar. "Aku baru berkencan dua kali seumur hidup. Mana paham hal begituan."
"Dan dua-duanya payah?" Sougo melirik Kagura, melihatnya mengangkat bahu dengan pasrah.
"Bisa dibilang aku tidak beruntung dalam urusan percintaan. Padahal aku begini manis..." kata Kagura, memajukan bibirnya.
Sougo diam sebentar, menghela napas. Matanya terfokus pada jalanan yang sepi dan gelap. "Kupikir masalahnya bukan di situ, bodoh. Sesuatu seperti 'keberuntungan' cuma bualan dukun-dukun supaya dapat uang. Kau yang harus menaikkan standar dirimu."
"Hah?" Kagura mengeluarkan suara keras.
"Kau harus membuat dirimu berharga tentu saja. Kebanyakan bergaul dengan pecundang bisa membuatmu ikut jadi pecundang."
"Tidak ada pilihan. Aku bukan orang yang lahir dengan sendok emas di mulut sepertimu." kata Kagura, kemarahan terdengar jelas pada nada bicaranya.
Sougo mendengus. "Oh ya? Akan kubuktikan kalau aku tetap akan berhasil meski tidak hidup dalam kemudahan."
"Wow, hebat sekali." puji Kagura sarkastik.
"Aku bahkan bisa membuat gembel sepertimu menjadi lady sungguhan." kata Sougo, nada bicaranya menantang.
Jeda singkat menyela adu mulut itu, Kagura memperhatikan Sougo lekat-lekat, menelan ludah. Pertengkaran mereka membuatnya tidak sadar kalau mereka sudah hampir sampai di depan apartemen barunya. Sougo menghentikan mobil, lalu menatap wajah Kagura yang segera mengalihkan matanya agar mereka berdua tidak saling bertemu pandang. Tapi Sougo justru mengangkat dagu Kagura hingga tatapan mereka kembali bertemu, Kagura menahan napas.
"Tapi maaf saja. Aku bukan Christian Grey yang suka memberikan hidup mudah pada wanita. Kau akan mendapatkan status barumu dengan tanganmu sendiri." Sougo bilang, suaranya dalam dan rendah.
Kagura masih tidak memahami maksud perkataan pria yang baru ditemuinya itu, tetapi dia bisa membayangkan sesuatu yang menarik akan terjadi padanya, dia menepis tangan Sougo.
"Kau bisa menghubungiku jika kau berminat. Tentu saja kau harus membayarku setelah kau berhasil." kata Sougo lagi, dia mengeluarkan kartu nama dari saku jasnya, memberikannya pada Kagura.
Kagura mengamati ekspresi percaya diri Sougo, lalu mengambil kartu nama itu dengan hati-hati. Kemudian Kagura turun dari mobil, mengambil koper besarnya di bagasi.
"Kau punya nama?" tanya Sougo setelah dia menurunkan kaca jendela mobilnya.
Apa-apaan dengan pertanyaan seperti itu, yang benar itu 'siapa namamu?' 'kan? Kagura bilang dalam hati, tanpa dirinya sendiri sadari bibirnya membentuk seringai,"Akan kuberitahu lain kali."
.
.
Setelah pertemuan pertama yang terjadi secara kebetulan itu, Kagura memutuskan untuk menghubungi kembali Sougo dan memintanya bertemu. Kagura sebetulnya ragu dengan keputusannya, tapi dia penasaran dengan apa yang ingin Sougo lakukan untuk mengubah nasibnya. Selama beberapa hari Kagura menimbang-nimbang apakah dia akan melewatkan sesuatu yang besar jika tidak menghubungi Sougo. Terkadang hal seperti ini terjadi, Tom Cruise tidak akan menjadi terkenal jika saja dia menolak peran kecil di film Endless Love. Howard Schultz juga tidak akan sekaya sekarang jika tidak nekat mengambil alih kafe dengan enampuluh cabang bernama Starbucks. Ketika dihubungi lewat telepon, Sougo terdengar sudah menduga ajakan Kagura, dia menyebutkan alamat tempat dimana mereka akan bertemu.
Sepulang dari kantor Kagura naik kereta dari stasiun Kudanshita jam tujuh lewat, lalu turun di stasiun Inaricho. Setelah berjalan kaki sekitar sepuluh menit, Kagura sampai di kafe Byron Bay yang berada di Nishiasakusa, Taito. Kafe itu diapit dua bangunan lain yang lebih besar, gedungnya kecil dan bercat biru cerah. Terdapat banyak papan promosi menu di depannya. Temboknya yang tampak membosankan dilukis dengan gambar-gambar yang mengingatkan Kagura pada pantai dan musim panas. Itu merupakan kali pertama Kagura mendatangi kafe itu, dia tidak terbiasa mendatangi kafe yang dimiliki dan dikelola oleh orang asing seperti Byron Bay. Di dalam, nuansa pantai dan Barat-nya bahkan lebih kental daripada di bagian luar, tembok di dalam gedung itu juga dilukis dengan gambar bunga-bunga yang biasa Kagura temukan sebagai corak bikini seperti hibiscus dan dahlia. Selain pemilik dan pekerjanya, di dalam kafe itu juga dipenuhi turis asing. Kagura takjub, merasa seolah-olah dirinya tidak lagi berada di Jepang.
Salah satu wanita pekerja kafe yang juga bukan orang Jepang tersenyum pada Kagura dan dengan ramah memintanya untuk masuk. Kagura membalas senyumnya, dia mengamati seisi ruangan; belum menemukan Sougo di sana. Pria itu belum datang padahal Kagura sendiri sudah sedikit terlambat dari jam yang ditentukan. Kagura berdecak, lalu memilih kursi kosong yang ada di pojok dalam ruangan. Kagura duduk membelakangi tembok, dia memesan lima piring omelet spanyol dan jus apel. Limabelas menit kemudian, Sougo datang. Tanpa lebih dahulu celingak-celinguk mencari, dia segera menemukan Kagura.
"Tidak kusangka kau datang duluan." katanya, ketika menarik kursi di depan Kagura setelah memesan kari jamur kinoko dan cocktail pada pelayan. Bukan kata-kata yang wajar dikatakan pria ketika terlambat janjian dengan wanita.
"Seandainya di dunia ini tidak ada yang namanya hukum, aku pasti sudah membunuhmu." jawab Kagura dengan mulut penuh omelet.
Sougo menyeringai, "Aku bisa lebih jahat dari ini. Kau lebih suka kalau aku tidak datang sama sekali? Pikirkan bagaimana perasaanmu sebagai wanita jika aku melakukan itu…"
"Dasar Sadis! Kau sering melakukannya ya?"
"Kadang."
Kagura memutar bola matanya, lalu berdehem, "Sebelumnya…. Kau bilang kau akan membantuku menaikkan statusku 'kan?"
Sougo mengangguk, "Sepertinya bagus juga kalau bisa mengurangi populasi orang rendahan."
"Tidak bisakah kau bicara serius sedikit?"
Sougo tertawa, "Baiklah, baiklah. Berapa usiamu dan apa pekerjaanmu sekarang?"
"D-dua puluh enam, aku memasarkan kendaraan bekas." kata Kagura ragu, merasa dirinya sedang dinilai Sougo.
"Oh, menjual sesuatu," kata Sougo, nada bicaranya meremehkan seperti biasa, pelayan mengantarkan pesanannya, Sougo mengabaikan pelayan itu seolah tidak ada yang terjadi lalu melanjutkan pembicaraan."Itu paling mudah."
Kemudian Sougo memperhatikan wajah Kagura lekat-lekat, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Kagura memindahkan pandangannya pada gelas kosong bekas jusnya untuk menghindari bertatap mata langsung dengan Sougo.
"Kau tidak seburuk kemarinan," nilai Sougo. "Tetap kayak monster sih…"
Ternyata dia memang tidak pernah mengatakan hal baik. Padahal Kagura sudah berusaha berdandan hari ini. Dia tidak mengenakan kacamata besarnya, kacamata itu digantikan oleh lensa kontak dan Kagura juga memastikan riasan wajahnya tepat, tidak berlebihan tetapi juga tidak terlalu tipis. Tentu saja Kagura tahu Sougo hanya mencari gara-gara, Kagura yakin dirinya tidak bisa dibilang jelek. Meski sifatnya kasar, Kagura berwajah mungil dan berkulit bersih. Matanya besar dan berwarna biru jernih. Dia bisa dengan mudah menjadi populer di antara pria kalau dia mau, tetapi pikiran untuk mengubah diri demi pria tidak pernah sama sekali terlintas di benaknya. Dia terbiasa terus terang dan menunjukkan emosinya mentah-mentah.
Kagura berdiri, mengambil tas tangannya yang tergeletak di kursi kosong, sengaja mengibaskannya ke kepala Sougo yang kemudian mengaduh, lalu bergegas hendak pergi.
"Jangan sembarangan, dasar Sadis! Kau tidak tahu saja kalau aku serius, aku bisa seterkenal Kyoko Fukada!"
"Aku cuma bercanda, yang kemarinan itu juga tidak buruk-buruk amat kok sebenarnya." kata Sougo, tangan kanannya menarik tangan Kagura, sementara tangan satunya mengurut pelipisnya yang terantuk sudut tas Kagura yang keras. Kagura berhenti berjalan, kembali duduk, menyelidiki ekspresi pria yang tidak berubah seperti biasa.
"Ngomong-ngomong kau belum pernah menyebut namaku dengan benar dan kau belum menyebutkan namamu. Jadi aku memberimu nama kontak 'Cewek Bego' di ponselku."Sougo protes.
"Cih. Kubilang 'kan aku akan memberitahumu lain kali. Aku juga memberimu nama kontak 'Pria Busuk' di ponselku meski aku tahu namamu. Impas."
"Oh. Kau ingin terus bertemu denganku makanya selalu berharap akan ada lain kali?" Sougo tersenyum penuh arti.
"A-apa-apaan sih?!" Kagura setengah berteriak, tapi menurunkan suaranya ketika beberapa tamu kafe menatapnya, "Sudah kubilang, kau harus serius sedikit."
"Tidak, aku serius. Itu bagus. Maksudku, kau sebagai tenaga penjual harus sering muncul di hadapan pembeli."
Kagura mengerutkan dahi. Pelajarannya tiba-tiba dimulai?
"Sering menunjukkan keberadaanmu dan memperlihatkan konsistensi adalah sesuatu yang penting dalam pemasaran. Khususnya bagi orang-orang yang sudah membeli, bukannya yang belum membeli." terang Sougo, dia lalu menenggak cocktail-nya.
"Yang sudah membeli?" Kagura makin bingung, dia mencomot jamur kinoko dari piring Sougo, pria itu mengabaikan.
"Itu namanya strategi marathon. Setelah pelanggan itu membeli barang darimu dan merasa senang, dia akan percaya padamu dan merekomendasikan orang lain membeli padamu. Istilahnya, word of mouth."
"Ah, begitu…." Kagura mengangguk, bibirnya yang mungil terkatup. Dia diam sebentar, seolah sedang menyerap baik-baik kata-kata Sougo. Kemudian Kagura terkesiap ketika pria di depannya mendadak berdiri.
"Sekian pelajaran hari ini, kau bisa menghubungiku lagi nanti." kata Sougo setelah melirik arlojinya, dia menghampiri kasir, membayar makanannya tanpa menunggu kembalian dan keluar dari kafe. Gerakannya cepat, Kagura tidak sempat protes.
Sepulangnya dari pertemuan itu, Kagura ke konbini sebentar untuk membeli beberapa kaleng bir. Dia bertemu dengan bibi tetangga yang tinggal di lantai bawah saat berada di depan gedung apartemen, si Bibi dan keluarganya adalah salah satu penganut sekte keagamaan yang suka menceramahi orang mengenai kiamat dan keberadaan neraka. Pernah suatu hari ketika sedang libur, bibi itu mengunjunginya. Kagura diceramahi berjam-jam mengenai akhir zaman oleh wanita kurus itu, kemudian Kagura berbohong dengan mengatakan dia harus pergi menemui atasannya. Kagura yang tidak suka keluar rumah di hari liburnya jadi terpaksa menghabiskan waktu di game center hingga larut malam. Sejak itu Kagura mencoba menghindarinya sebisa mungkin meski mempertahankan sikap sopan. Bibi itu menyapanya lebih dahulu, Kagura memaksakan senyum.
"Perasaanku saja atau kau tampak lebih manis dan ceria hari ini." komentar si Bibi, menyertakan senyuman penuh arti. "Yang Maha Esa pasti sudah mempertemukanmu dengan seseorang yang spesial."
Kagura melebarkan bibirnya, tidak jelas antara menyeringai atau tersenyum kecut.
Tidak mungkin, tidak dengan dia.
Bibi tetangga sebelah itu memang selalu bicara hal yang aneh, tetapi komentar singkatnya malam itu terus berputar di pikiran Kagura. Di apartemennya, Kagura membuka sekaleng bir. Alkohol bisa sedikit membantunya menenangkan pikiran, dia duduk di atas tatami, di depan meja kecil putih berkaki rendah. Kaleng bir yang masih berat karena isinya baru berkurang sedikit diletakkan di atas meja. Kagura memandanginya seperti anak kecil yang memperhatikan ikan di akuarium.
Ini tentu tidak baik, punya perasaan tertentu pada orang seperti Okita Sougo akan merepotkan. Okita Sougo bukan pria yang biasa dihadapi Kagura. Dia tidak suka dan tidak paham jenis yang seperti ini. Pria itu percaya diri dan suka merendahkan Kagura. Selama ini Kagura hanya pernah berkencan dengan pria-pria yang membutuhkannya dan tidak berdaya. Bukannya Kagura sengaja memilih pasangan dengan sifat seperti itu supaya dominan, hanya saja kebetulan Kagura jatuh cinta pada mereka. Kagura memang percaya kalau hidupnya kurang beruntung, termasuk dalam urusan percintaan. Tetapi bukan berarti dia akan berusaha menghindarinya. Dia tidak selemah itu.
Kali ini pun, Kagura tidak ingin menghindarinya. Seburuk apa pun Okita Sougo, Kagura akan membiarkan dirinya jatuh cinta. Kagura memang punya kebiasaan unik, yaitu melanjutkan menonton film meski di tengah-tengah dia merasa film itu buruk.
.
.
つづく
To be continued
OOC, iya tahu. Tapi lagi kepingin bikin fanfic drama sih karena lagi minim drama kehidupan/gak.
Tadinya mau buat oneshot, tapi ternyata panjang dan banyak hal yang pengen gue gali. Ini fanfic curhatan sih, enggak, segala plot fiksi belaka kok tapi maksudnya ada banyak pemikiran ganjel yang gue tuangin di sini.
Seperti biasa fanfic gue judulnya banyakan dari lagu, judul Kiken na Kankei (Kiken na Kankei ato Dangerous Relationship) gue ambil dari lagu KinKi Kids di album K. Salah satu lagu favorit gue, liriknya pun ambigay dan berat. Yang penasaran boleh googling. Bekla, terima kasih sudah mbaca, review akan sangat diapresiasi.
P.S: hype LA Gintama is no joke, yah gue pribadi juga amat ngehype bikos aktor kesayangan gue kek Masaki S*da, Yagira Y*ya, Yoshizawa R*o, Tsuyoshi Dom*to sama Nan*o ada di sana semua. Jangan lupa nonton di bioskop mulai 9 agustus nanti yo~
