Note : Untuk para readers yang baru membaca fic ini. Diharapkan tidak terkejut karena adanya keanehan pada chapter 1, 2, 3, dan 4. Semua disebabkan karena perubahan drastis pada cara menulis Author. Maaf atas ketidaknyamanannya. Maafkan juga atas ketidaksesuaian judul dengan isi fanficnya. Saya cuma manusia... *terjun


My Butler

Kuroko no Basuke milik Fujimaki Tadatoshi.

Saya hanya menggunakan karakternya dalam fic ini.


Chapter 1 : Kuudere Butler Type


.

Pagi itu adalah pagi yang sangat cerah. Saat itu, aku masih tertidur di ranjang empuk milikku. Tiba-tiba—SREEEK!—Aku mendengar suara gording super besar yang ada di kamarku di buka.

Mengerjap-ngerjapkan mata menyadari cahaya matahari pagi mulai menginvasi ruang tidurku. Ah, silaunya. Aku agak terganggu dengan senyuman sinar matahari yang terlalu terang itu. Kembali aku menyembunyikan diri di balik selimut hangat.

"Ojousan.."

Aku tidak perduli.

Aku tidak mau menghiraukan suara datar yang memanggilku itu. Masih berkutat dengan ranjang dan selimut hangat ini. Tolong, aku masih mengantuk, biarkan aku tidur sebentar lagi.

"Ojousan. Ini sudah jam 7 pagi, kalau tidak segera bersiap kau bisa terlambat."

"Hmm..? Biarkan aku tidur sebentar lagi, Kuroko."

"Tidak bisa. Ini hari pertama anda di sekolah yang baru, anda harus cepat."

"Tidak mau."

Kali ini, orang—yang kupanggil Kuroko—tidak mau perduli sepertinya. Ia menarik selimut yang membungkus tubuh milikku yang masih melipat di baliknya. Membuat dinginnya udara pagi mulai menusuk kulitku.

"Ojousan. Cepat bangun. Kalau tidak, jatah sarapan pagi favoritmu akan saya berikan ke Atsushi-san."

Apa? Sarapan pagiku akan diberikan pada Atsushi-san, katanya? Tidak bisa dibiarkan!

"Hah? Jangan!"

Secepat kilat aku bangun dari ranjang dan memandang pemuda yang sedang berusaha merapikan selimut yang kusibak sehingga sebagian menyentuh lantai. Ia memakai pakaian yang sangat rapi—jas hitam, celana bahan hitam dan sarung tangan putih lengkap.

Seperti yang kuduga, ia masih bicara dengan nada dan wajah yang datar. Kedua mataku memincing sebal, lagi-lagi orang ini melakukan trik yang sama untuk membangunkanku. Mengancam dengan poker face andalannya—mengancam akan memberikan jatah makanku pada kakak dengan perut super karet—Murasakibara Atsushi.

Bukannya aku pelit atau menghemat makanan, hanya saja kakakku itu keterlaluan nafsu makannya. Aku bisa kehabisan, ditambah lagi aku selalu sarapan dengan menu favorit.

"Ojousan, silahkan mandi. Sudah saya siapkan semuanya. Sarapan anda akan saya segera sajikan. Saya permisi dulu," ucapnya sebelum pergi meninggalkan ruang tidurku dan menutup pintunya perlahan. Aku hanya bisa mendengus melihatnya. Cih.

Keluarga Murasakibara—keluargaku, termasuk keluarga elit yang terkenal dengan bisnis bidang makanan. Tidak hanya itu, pangsa pasar keluargaku memang sangat luas. Keluargaku menjuarai semua bisnis makanan. Intinya sih, aku berada di dalam keluarga yang kaya raya.

Orang yang baru saja mengganggu tidurku—Kuroko Tetsuya adalah butler baruku. Ia adalah pengganti butler lama yang sudah setia mengabdikan diri bertahun-tahun di keluarga Murasakibara. Disebabkan butler lamaku sudah sakit, terpaksa dia digantikan oleh butler yang baru.

Bisa dibilang, aku agak sebal dengan kelakuan Kuroko. Bukannya ia tidak sopan—bahkan ia sangat sopan—hanya saja Kuroko selalu bicara dengan nada dan wajah datar. Semua kelakuannya itu membuatku bingung dengan apa yang dipikirkannya. Ekpresi wajahnya sangat konsisten, datar dan tidak berubah membuatku merasa agak kaku di dekatnya, tidak bisa santai.

Tok Tok Tok!

Suara pintu diketuk. Pasti..

"Ojousan.."

Benar 'kan? Suaranya yang datar itu ternyata bisa menembus pintu juga ya.

"Iya, ada apa Kuroko?" tanyaku santai. Masih sibuk dengan pakaian dan tas sekolahku.

Tak lama suara datar itu kembali terdengar, "Sarapan sudah saya siapkan. Atsushi-san juga sudah ada di meja makan, kalau anda tidak segera.."

"Iya iya iya, aku ke sana."

Baiklah. Kalau aku tidak segera ke sana maka… ya, baiklah. Aku mengerti.

Bergegas aku segera keluar dari ruang tidur dan mendapati pria bersurai biru langit menunggu di depan pintu, tentu saja ia sedang memandangku polos dengan mata besarnya itu. Apa-apaan tatapan matanya itu? Sungguh tatapannya itu… membuatku mulai risih lagi.

"Ayo."

"Baik, Ojousan."

.

.

Di ruang makan,

Atsushi-Niisan melahap semua apa yang di hadapannya, seperti Titan yang sedang kelaparan dan melihat manusia berserakan. Sedangkan Kuroko berdiri di belakangku yang sedang menyantap sarapan di meja.

"Nyam.. nyam.. Kuro-chin~ nyam….bagaimana? Kau nyam….betah disini?" Atsushi-niisan bertanya, tak lupa, dengan segumpal makanan masih tersangkut di mulutnya.

"Tentu saja, Atsushi-san."

"Ah, Sou~? Nyam…nyam….Baguslah. Baik-baik dengannya ya, Imouto~"

Baik-baik dengannya? Memangnya aku akan memperlakukannya buruk apa?

"Hah? Aku tau. Aku sudah selesai, aku berangkat dulu, Niichan. Ayo, Kuroko."

"Hai, Ojousan."

Kuroko mengambil tas sekolahku yang tersimpan di bangku sebelah tempatku duduk. Lalu, kami bergegas pergi dari ruang makan menuju garasi mobil.

"Jaa nee~"

.

Entah mengapa, gugup.

Aku agak sedikit gugup. Ini adalah hari pertama aku memasuki sekolah baru. Sebenarnya, aku sempat bersekolah di tempat lain, namun karena masalah tertentu akhirnya terpaksa berpindah ke tempat ini.

Mobilku berhenti tepat di gerbang sekolah. Saat aku berusaha merapikan penampilan, Kuroko membukakan pintu mobil untukku dan berkata, "Ojousan, sudah sampai."

"O-oh."

Terlihat murid-murid sekolah yang baru saja datang berhamburan di depan gerbang sekolah. Ada yang sendiri-sendiri, ada juga yang bergerombol. Saat aku keluar dari mobil, entah kenapa semua murid itu menoleh ke arahku. Mereka pun mulai membicarakanku.

"Lihat, lihat. Bukannya itu Murasakibara Ojou yang baru pindah? Ow, Butlernya manis sekali."

"Kudengar, dia di kelasmu."

"Hah, paling juga kita tidak bisa berteman. Orang kaya, gitu."

Aku mendengarnya, hei!

Meski aku akui, ya, itu benar, penyebab aku selalu berpindah-pindah sekolah adalah karena aku tidak bisa bergaul dengan baik. Lebih tepatnya, aku selalu punya masalah pergaulan di sekolah disebabkan keluargaku adalah keluarga kaya raya. Teman-teman sekolah entah kenapa sangat segan untuk bergaul denganku hanya karena alasan sepele seperti itu.

"Ojousan. Rambutmu."

Tiba-tiba saja, Kuroko melayangkan tangan ke arah kepalaku—berusaha menggapai rambutku yang sepertinya agak berantakan. Ahh.. bodoh! Bukankah aku sudah merapikan penampilanku? Mungkin, karena terlalu gugup sampai-sampai aku tidak menyadarinya.

Butler bersurai biru itu terus saja merapikan rambutku tanpa perduli. Lihat! Semua orang jadi memperhatikan!

"Singkirkan tanganmu, Kuroko!" teriakku dengan nada sinis. Mendelikkan pandangan menuju manik biru langitnya. Ia hanya menatapku datar.

"Sumimasen. Maafkan kekurangajaran saya."

Ia menundukkan kepala sebagai permintaan maaf. Terserah saja. Aku berjalan, pergi meninggalkannya dan mulai menelusuri sekolah baru. Ini dia, hal yang paling tidak kusuka; orang-orang mulai bergosip.

.

.

.

Sore hari. Di kediaman Murasakibara.

"Ojousan, apa ada masalah dengan sekolah baru anda? Sejak pulang tadi anda kelihatan murung."

Tanpa aba-aba, ia bertanya. Lagi, dengan wajah dan nada bicara yang datar itu.

"Tidak apa-apa, Kuroko," jawabku sekenanya, tidak mengacuhkan keberadaannya.

Aku mendudukkan diri di bangku belajar milikku—berusaha untuk membaca novel yang baru saja kubeli sepulang sekolah tadi. Ya, aku suka membaca novel, disana banyak pengalaman dan pelajaran yang bisa kudapatkan, bahkan membaca adalah hobi yang bisa membuatku melupakan semua kejadian-kejadian menyebalkan. Sama seperti hari ini.

"Apakah Ojousan ingin minum teh?"

"Boleh."

"Baik, akan saya siapkan."

Ia pergi keluar ruang tidurku dan tak lama kemudian kembali membawa satu set teko beserta cangkirnya yang sudah berisi teh Herbal kesukaanku. Ia menyajikannya di atas meja dalam keadaaan hangat—keadaan hangat teh yang sangat kusukai, tidak terlalu panas dan tidak dingin. Sembari meneruskan membaca buku, aku mengambil cangkir teh dan mulai menyeruputnya. Entah kenapa jika memandangi cangkir berisi teh herbal seperti ini, membuatku teringat akan hal itu. Ada apa? Rasanya hatiku sakit.

"Nee, Kuroko. Kau tau?" Aku menoleh padanya—ia berdiri tepat disisiku sembari memperhatikan.

"Ada apa, Ojousan?"

Sesungguhnya, aku tidak suka mengatakan ini. Tapi, entah kenapa aku ingin sekali mengatakannya sekarang. Ada apa dengan diriku sebenarnya?

"Aku mencelakakan teman baikku waktu SD. Tetapi, karena keluargaku adalah penyumbang terbesar di sekolah itu, aku dianggap tidak melakukan apa-apa."

Ia hanya terdiam memandangiku.

"—Kau tau perasaanku saat itu? Buruk sekali."

Kuangkat cangkir teh dalam genggamanku. Melihat refleksi diriku yang terpantul jelas di atas cairan pekat nan harum itu. Menyesap aromanya yang menyejukkan.

"Teh herbal ini adalah teh kesukaannya. Mungkin saat ini, dia sudah tidak bisa memegang cangkir teh favoritnya lagi."

Lagi, ia hanya terdiam.

Apa-apaan wajah datarmu itu? Tidak sama sekali bereskpresi. Oke, baiklah, aku serius disini! Kurasa, tidak ada gunanya aku mengatakan semua itu. Lagipula, tidak mungkin orang ini akan merespon. Lihat saja gelagatnya—tidak ada.

"—Lupakan. Aku seperti orang bodoh, menceritakan itu padamu."

Keheningan yang tersisa. Benar kan? Ia tidak perduli. Seharusnya, jika kau ingin menertawakan kebodohanku, lakukan saja! Jangan memandangi dengan mata bulat besar mengerikan itu. Menyebalkan.

Kembali aku menyesap teh dalam cangkir. Menikmati rasa menggelitiknya sembari membaca tiap halaman novel terbaru yang menarik ini.

"Itukah sebabnya anda selalu bersikap manja dan berkelakuan buruk di depan teman anda? Karena anda takut berteman dengan mereka, anda takut kejadian yang sama terulang?"

Hah?

Ia bicara?

Seorang butler Kuroko yang dari tadi diam saja mulai bicara? Lagi, dengan nada datar. Apa sejak tadi ia sedang berpikir?

Kupandangi pemuda kurus itu dengan tatapan mengerikan. Aku tau, hal yang dikatakannya adalah kenyataan namun… Apa-apaan cara bicaranya? Cara bicaranya itu seakan meremehkanku. Aku tidak menyukainya caranya bicara! Tidak, bukan begitu, nyatanya, aku hanya tidak mau mengakuinya bahwa aku adalah orang yang payah.

"Bukan urusanmu," ucapku ketus. Mengalihkan pandangan ke tempat lain.

"Ini adalah urusan saya. Urusan Ojousan juga urusan saya karena Ojousan segalanya bagi saya."

Apa?

Refleks, aku kembali menatap iris mata cerah itu.

Apa yang kau katakan? Baru saja, kau berkomentar pedas dengan tatapan dan wajah datarmu lalu sekarang kau sok perhatian padaku? Sok perhatian? Atau.. hei, ada apa dengan jantungku? Kenapa jadi berdebar begini? Kenapa wajahku rasanya… memanas?

Ia melanjutkan, "—Jika Ojousan terus begini, anda akan selamanya sendirian. Hidup sendirian tidak menyenangkan, Ojousan."

Ia berjalan mendekat dan memberikan sebuah senyuman tipis. Kemudian, ia menyapu bersih teh dan cangkir yang telah habis kuminum.

Hnng? Apa yang sedang terjadi? Dadaku… rasanya..

.

Keesokan harinya.

Seperti biasa, aku masih tertidur. Lagi, Kuroko berusaha membangunkanku. Entah kenapa, mendengar suaranya, aku yang biasanya masih menggeliat di ranjang sekarang mendadak langsung bangun sebelum ia sempat menarik selimut.

"Ku-kuroko, bisa kau keluar? Aku mau mandi," ucapku agak terbata. Menutupi tubuh dan wajahku dengan selimut yang ada.

"Baik, Ojousan."

Ia meninggalkanmu.

Hari ini berbeda. Hari ini benar-benar berbeda! Kuroko terlihat berbeda di mataku. Walaupun ekpresi wajahnya masih sama, entah kenapa terlihat berbeda. Ada apa ini? Ada apa ini? Lagi, aku merasakan detakan keras di dadaku. Ada apa sebenarnya? Apa mungkin karena ucapannya semalam?

"Erggh… perasaan apa ini?"

.

.

.

"Ojousan, sudah sampai."

Ia membukakan pintu mobil. Seraya mengulurkan tangan membantuku untuk keluar dari mobil. Ada apa ini? Membuatku bingung saja. Seingatku, ia tidak pernah mengulurkan tangannya seperti ini. Ada apa? Bukan perasaanku saja, ia memang terlihat berbeda. Bahkan sesaat sebelum aku berangkat dari rumah, ia sempat memuji penampilanku dan tak lupa tersenyum manis—itu sukses membuat jantungku semakin berisik dan wajahku memanas beruap.

Bergegas, terburu, aku keluar dari mobil dan mengabaikan uluran tangannya. Langsung berjalan masuk gerbang sekolah, pura-pura tidak memperdulikannya. Namun aku tidak pernah menyangka bahwa,

"Ojousan.. Tunggu dulu."

Ah, Ia memanggilku.

Tunggu dulu! Kenapa aku malah panik? Rasanya ingin sekali aku kabur dari sini! Aku seperti layaknya orang yang mau kabur dari jeratan penjahat keji. Iya, penjahat keji berwajah datar tanpa emosi yang sejak tadi membuat jantungku berdebar-debar.

"—ini tertinggal," lanjutnya. Tangannya menyodorkan sesuatu kepadaku. Hah?

Hanya bisa kupandangi tangannya yang memegang tas sekolahku. Oh, tidak! Bahkan aku lupa membawa tas sekolahku! Sungguh ini menggelikan!

Segera, aku mengambil tas itu dari genggamannya—sempat terjadi kontak fisik antara tanganku dan tangannya—lagi-lagi sukses membuat wajahku semakin memanas.

"Hati-hati—" Ia tersenyum lagi, "—bersemangatlah, karena orang yang ingin menjadi teman anda ada banyak."

Hentikan tersenyum seperti itu padaku!

"Erggh.."

Aku meninggalkannya berdiri mematung disana. Tanpa memperdulikan tubuhku yang menabrak sana sini.

.

.

Hari ini adalah hari yang menyenangkan. Aku sedang senang. Haha. Sangat senang, apa karena ini hari libur? Sepertinya bukan!

Aku mengambil ponsel yang tersimpan rapi di atas meja dan membukanya. Disana terdapat pesan tertulis, 'Hari ini tidak ada acara, bagaimana kalau kita main? Aku tau tempat yang bagus-ssu!'

"Kenapa sejak tadi, anda senyum-senyum Ojousan? Apa ada sesuatu yang membuat anda senang?" Suara datar dan sopan itu. Entah sejak kapan aku mulai tidak merasa risih lagi setiap mendengar suara itu. Justru… menyukainya.

"AH! Kuroko, lihat, lihat! Kise email ke aku!"

"Hem?"

Kakiku melangkah menghampiri dirinya yang sedang menyiapkan teh untukku. Ia berusaha melihat ponselku—terus mendekatkan tubuhnya padaku. Kumohon jangan terlalu dekat! Kau membuatku… Saat menyadari ia terlalu dekat, aku memundurkan diri menjauhinya dan menyerahkan ponselku padanya.

Alisnya mengerut, "Kise? Siapa dia?"

Kau bertanya~?

"Dia teman sekelasku. Dia model, loh! Aku berhasil berteman dengannya. Ini berkatmu, Kuroko."

"Berkat saya?"

Ya, semua berkat dirimu, Kuroko.

"Mengingat ucapanmu waktu itu—" kutangkupkan kedua telapak tangan di wajahku, menyembunyikan rona merah yang tercipta, "—yappari, aku tidak mau sendirian. Aku berusaha memperbaiki diri dan mulai membuka hati."

"Benarkah? Yokatta."

Ada apa denganmu? Masih datar sih, tapi kenapa terasa ada yang aneh? Kau tidak suka kalau aku berterima kasih padamu? Ah, lupakan. Mungkin aku saja yang berpikir berlebihan. Lagipula, hari ini adalah hari yang menyenangkan ditambah lagi aku akan pergi bersama dengan Kise!

Dengan riang, aku membuka kembali komukasi yang terputus, "Ini pertama kalinya, ada teman yang mengajakku main. Aku senang sekali."

Ia tersenyum padaku. Senyuman yang sangat kusuka.

"Baiklah, akan saya siapkan hal yang anda butuhkan. Semoga hari ini menyenangkan."

Hem! Aku mengangguk semangat. Ia menundukkan kepalanya seraya pergi dan mulai membuat persiapan.

.

.

Beberapa bulan terlewati sudah.

Aku mulai bersemangat datang ke sekolah. Kini, aku sudah memiliki banyak teman, bahkan aku berhasil menjadi manager di klub basket. Meskipun kegiatanku di sekolah menjadi semakin padat—membuat persentase pertemuanku dengannya semakin berkurang.

Kalau dipikir, aku hanya bertemu dengan Kuroko saat pagi, sarapan, dan di mobil. Sisanya, hanya bertemu dengannya saat pulang sekolah dan setelah itu aku tertidur karena terlalu capek dengan kegiatan. Hmm.. Sangat jarang sekali aku berbicara dengannya akhir-akhir ini, ditambah lagi Kuroko memang berkepribadian tidak banyak bicara. Tetapi, taka pa-apa! Kadang aku sering bercerita tentang teman-teman di sekolah padanya, meskipun—seperti biasa—saat diceritakan ia selalu saja berwajah sama datarnya.

Aku juga semakin akrab dengan orang yang bernama Kise. Kise merupakan anggota di tim basket sekolah sekaligus teman sekelasku. Hari libur pun, aku banyak menghabiskan waktu bersama teman baru atau dengan anggota tim basket.

"Ojousan," Ia memanggilku. Aku menatapnya mantap dengan sebuah senyuman manis.

"Ah, Kuroko. Hari ini aku mau pergi bertemu dengan Kise."

"Kau semakin sering bertemu dengannya. Kau pasti berteman baik dengannya."

"Hem! Iya, berkat dia juga aku bisa punya banyak teman. Aku senang sekali."

"Benarkah?"

Ia kembali mengulir senyum. Tetapi, kenapa? Aku merasa ia memaksakan diri. Menatapku tanpa fokus yang jelas. Apa ia melamun?

"Kuroko?"

Kenapa? Ia terperanjat? Aku pasti salah lihat.

"Ah, kalau begitu. Saya siapkan makan untuk anda sebelum anda pergi. Apa nanti anda perlu dijemput?"

"Tidak perlu. Kise akan mengantarku. Katanya, ada hal penting yang ingin dia katakan padaku pulang nanti."

"Hal penting? Baiklah. Saya permisi dulu."

Ia pergi keluar ruangan.

Tunggu dulu. Kuroko, apa yang terjadi padamu?

.

.

Hari ini, aku baru saja selesai menghabiskan waktu bersama Kise di taman hiburan. Lalu, Kise mengantarku pulang sampai depan rumahku. Seingatku, ia berkata ingin mengatakan sesuatu yang penting. Kenapa sejak tadi ia malah diam saja? Apa sebaiknya aku tanyakan?

"Ano, Kise. Kau bilang ada hal penting yang ingin kau katakan. Apa itu?"

"E—to, itu…"

Hm? Ada apa dengan wajahnya? Terlihat wajah Kise yang mulai memerah merona. Jangan bilang… Tidak mungkin kan? Tapi… raut wajah itu… Hah. Sepertinya aku mengerti apa yang akan ia ucapkan. Melihatnya, mengingatkan pada diriku saat berbicara dengan Kuroko. Wajah, ekspresi dan kegugupan itu. Ekpresi yang sama saat kau berbicara pada orang yang kau…

"Kise.."

"Aku suka padamu-ssu."

Oh Tuhan! Benar, benar, benar dugaanku! Selama ini aku merasa ada yang aneh dengannya dan ternyata ini. Tetapi, aku hanya menganggapnya sebagai teman. Tidak lebih. Ya, teman. Teman pertamaku sejak kejadian aku mencelakakan teman baikku dulu, sehingga ia tertabrak mobil dan tangannya harus diamputasi karena terlindas. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mungkin.. karena aku sudah..

"Ano, Ki-Kise..a-ku..su-sudah…"

Gugup, saat ini yang aku rasakan. Bicara terbata-bata. Aku mengingat dirinya.

"Sudah punya orang yang disuka?"

Ia tau?

Mengangguk pelan, ragu. Aku tidak berani menatap kedua mata madunya itu. Aku tidak sanggup.

"Tentu saja. Kau suka pada Kurokocchi. Aku tau, aku hanya ingin mengungkapkan perasaan padamu. Walau, aku tau, aku pasti ditolak-ssu."

Hanya bisa terdiam. Sedangkan ia terdengar terus menghela nafas. Kedua mataku semakin takut untuk memandangnya.

"—Aku bisa tau, saat kau melihat Kurokocchi, kau terlihat berbeda."

Kepalaku mendongak, menatapnya. Sedikit shock dengan raut wajahnya yang tersiksa namun dipaksakan tegar. Lalu, mengatakan lantang apa yang terjadi sebenarnya, "Tapi, Kuroko, tidak peduli padaku. Dia hanya menjalankan pekerjaannya sebagai butler. Aku tau itu."

"Kenapa tidak coba ungkapkan perasaanmu padanya? Kau tidak tau jika belum mencoba. Aku pulang dulu-ssu. Sampai jumpa di sekolah."

Mengungkapkan perasaanku padanya? Itu… tidak mungkin.

"Kise.."

"—Tidak apa-apa."

Tubuhnya berbalik seraya melambaikan tangan. Sosoknya semakin jauh, jauh dan menjauh kemudian menghilang dibalik gelapnya malam. Teringat jelas senyuman paksaan di wajahnya. Apa itu ekpresi yang akan kudapat jika mengungkapkan perasaanku pada orang itu? Tidak! Aku tidak berani! Aku terlalu takut untuk terluka.

.

Malam ini aku tidak bisa tidur. Helaan nafas selalu kelau dari diriku.

"Ojousan…?"

Suara itu? Aku menoleh pada seseorang yang berjalan mendekat.

Ia menghampiriku yang sampai tengah malam begini masih saja terjaga. Merenung sendirian di bangku taman rumah, memandang indahnya cahaya bulan lalu mengingat kejadian tadi.

"Ah, Kuroko."

Berusaha menetapkan diri. Namun, melihatnya, membuatku sedih. Aku tidak mau! Aku tidak mau mengeluarkan ekpresi wajah pahit seperti Kise—aku terlalu takut, pengecut.

"Kenapa anda masih disini? Tidak baik untuk kesehatan, lebih baik segera tidur."

Tubuhnya membungkuk dan duduk di sampingku. Menatapku lurus tanpa berkedip.

"Kuroko sendiri kenapa masih belum tidur?"

"Entahlah, Ojousan. Sepertinya saya sedang memikirkan sesuatu, tetapi saya sendiri tidak mengerti apa yang saya pikirkan."

Ha? Apa maksudnya? Ia juga sedang memikirkan sesuatu? Saat menatap wajahnya yang kini menghadap taman di depan kami, aku merasakan sesuatu yang janggal pada dirinya. Emosinya memang tidak terlihat tetapi kenapa suasana di dekatnya terasa menyuram? Tidak seperti biasanya.

Ia kembali menatapku, "Apa terjadi sesuatu dengan anda dan Kise-kun? Anda terlihat murung sesampainya di rumah. Apa itu sebabnya?"

Kenapa harus pertanyaan itu. Aku membuang pandangan darinya. Kenapa Kuroko harus membicarakan ini? Apa tidak ada topik yang lebih membahagiakan? Aku tau ini terdengar konyol. Diriku memang seorang penakut, tetapi aku juga memiliki keinginan. Mengingat apa yang diucapkan Kise, kini, akhirnya aku memutuskan memberitahunya. Aku ingin tau apa tanggapannya.

"Tadi, Kise mengungkapkan perasaannya padaku. Dia bilang, dia suka padaku."

"Benarkah?"

Benarkah? Hanya itu responnya? Menggelikan.

"—Jadi, apa masalahnya Ojousan? Anda menerimanya?"

Apa aku menerimanya? Semudah itukah kau berkata? Jadi, ini tanggapanmu?

"KAU BODOH! Tentu saja tidak!"

Kenapa aku malah marah-marah? Apa karena responnya membuatku kecewa? Sepertinya, tingkahku membuatnya sedikit terkejut. Walaupun ekpresi wajahnya tidak berubah, tapi ia mengerjapkan mata berkali-kali saat melihatku berteriak.

"Maafkan saya."

"—sudahlah. Aku yang harusnya minta maaf."

Diam lagi. Suara jangkrik di luar sana mulai terdengar. Dinginnya malam menjangkiti tubuhku. Rasanya aku mulai kedinginan. Tanpa sadar, Kuroko mendekatiku, melepas jasnya dan melingkupinya di tubuhku. Bodoh! Apa yang kau lakukan! Jangan bertindak begini! Kau membuatku mulai merona lagi saat wajah dan tubuhmu dekat sekali!

"Lebih baik, kita masuk Ojousan. Disini dingin," bisiknya pelan.

Aku hanya terdiam, menahan diri. Melihatku yang sejak tadi malah diam saja, akhirnya ia menarik pergelangan tanganku. Eh?

"—maafkan saya, tapi kalau tidak begini, Ojousan, nanti anda sakit."

Apa yang terjadi? Kenapa aku menurut saja saat ia menggenggam tanganku? Aku bisa merasakan hangat tangan yang ukurannya lebih besar dari milikku itu. Merasakan hangat jari-jarinya, melihat punggung tegapnya, surai biru langitnya yang terhembus angin malam—aku berhenti melangkah. Ia menoleh ke belakang, melihatku yang tiba-tiba saja berhenti. Kepalaku tertunduk setelahnya.

"Ada apa, Ojousan?"

Aku.. ingin kau tau..

"Kise kelihatan murung saat aku menolaknya Kuroko. Aku jahat sekali. Apa aku akan mendapatkan hal yang sama?"

Iya. Apa aku akan mendapatkan hal yang sama jika aku mengatakannya?

"Apa maksud anda?"

Tanpa sadar kakiku melangkah mendekatinya kemudian memeluk tubuhnya. Menyembunyikan seluruh wajahku di dalam dadanya yang bidang. Aroma tubuhnya seperti es krim vanilla disertai toping cokelat dan stroberi.

"—O-O-Ojousan?"

"Aku menolak Kise karena aku," semakin erat pelukan yang kuberikan. Memendam lebih dalam wajahku yang memanas karenanya, "—suka padamu, Kuroko."

Apa? Kenapa kau menghela nafas? Apa kau tidak suka dengan penyataan perasaanku yang sesungguhnya? Apa sebentar lagi aku akan berekpresi sama dengan Kise? Tidak! Aku tidak menginginkan itu!

"—Kau yang merubahku, Kuroko. Bukan aku yang merubah diriku, tapi kau. Tanpa sadar, perasaan ini timbul."

Meskipun begitu, aku tetap mengatakannya. Berusaha semampuku, mengungkapkannya.

"Tapi, saya hanya seorang butler, Ojousan. Kita tidak seharusnya begini—"

Baiklah. Aku menyerah.

Mendengar ucapan yang sudah pasti keluar dari mulutnya, aku melepaskan pelukan darinya. Aku sudah menduga, seorang Kuroko yang sangat sopan, menaati peraturan dan sangat kaku akan mengatakan hal seperti ini. Ia pasti tidak mau merobek batas antara Butler dan Ojou-nya. Lagipula, ia tidak mungkin memiliki perasaan yang sama denganku.

"Baiklah, lupakan yang aku ucapkan. Hanya bercanda."

"Ojou—"

Sebelum ia sempat berbicara, aku meninggalkannya yang masih melamun di tempat. Akhirnya, apakah ekpresi yang sama dengan Kise sedang terbentuk di wajahku? Terburu-buru aku berjalan, tanpa menyadari seseorang menyusul dan mencoba menyamakan posisi denganku—aku hanya tidak mau menyadarinya. Seseorang yang akan menarik tanganku, dan aku menoleh padanya dengan ekspresi berkaca-kaca.

"Ojousan? A-Anda menangis?"

"Ti-tidak. Ada debu masuk mataku. Lepaskan tanganku, Kuroko. Aku mau masuk, disini dingin."

Lebih baik, lebih baik. Lupakan saja perasaan ini, benar begitu? Air mata yang sudah jatuh, tidak bisa kembali lagi. Tetapi, tanpa aku sadari terdapat suatu keajaiban yang mulai terjadi.

"Jika saya mengatakan, saya sangat… sangat… sangat menyukai Ojousan, apa anda akan berhenti menangis?"

Apa?

Aku menatap kedua iris seluas langit itu. Menilik apakah yang ia rasa dan apakah benar yang aku dengar. Entah kenapa, wajah datarnya memperlihatkan keseriusan yang dibuat-buat. Sudahlah, jangan berusaha menghiburku.

"Aku hanya bercanda. Sudahlah, ayo ma—?"

Kata-kataku tertahan. Tertahan saat ia mendaratkan sebuah kecupan di bibirku, membuatku kehabisan nafas sehabis menangis dan lomba berjalan cepat. Aku merasa detakan jantung semakin berpacu cepat dari biasanya. Kurasa, wajahku pun terlihat sangat merah di bawah sinar bulan.

Saat jarak terbentuk diantara kami, ia menatapku dalam dan berkata, "Saya hanya seorang butler yang tidak pantas untukmu, Ojousan. Maafkan perbuatan saya, tapi untuk saat ini hal itu yang sangat ingin saya—tidak, aku. Yang ingin aku lakukan, aku tidak bisa menahannya."

"Ha?"

"Aku ingin anda—kau, merahasiakannya. Hanya untuk kita berdua."

Saat mendengarnya, darah naik ke wajahku dengan kecepatan dahsyat, detak jantung super cepat seakan membuat tubuhku tidak bisa bergerak. Aku dibuat terpesona olehnya.

.

.

.

SREEEK! KRAAAK!—Suara gordin dan jendela dibuka. Suara burung berkicau memenuhi ruang tidurku. Aku menggeliat di ranjang, berusaha membuat tubuhku merasakan kenyamanan.

"Ojousan.."

Ah, suara Kuroko.

Aku… sebenarnya sudah siap bangun karena tidak bisa tidur mengingat ucapan dan perbuatannya semalam. Kumohon pergilah. Aku terlalu malu memandangnya. Rona merah mulai menyerang wajahku lagi sepertinya. Aku tidak mau bertemu dengannya. Lebih baik, menyembunyikan diri di balik selimut.

"Ojousan.."

Aku pura-pura tidak mendengar. Ya, aku tidak dengar.

"Ojousan.."

Oke, tidak dengar apa-apa.

"Ojousan, ayo bangun. Kalau tidak—"

Kalau tidak? Pasti ancaman menu favoritku akan dimakan oleh kakakku, bukan? Oke, ancaman yang sudah mainstream bagiku. Ada yang lebih penting sekarang, sembunyikan diri dari mahluk triplek ini.

SREET!—Ia menarik selimutku dengan paksa. Sedangkan aku berusaha bertahan di posisi semula. Kelihatannya ia menyerah. Baguslah! Pergi sana!

Tak lama kemudian, aku merasa seseorang menarik bahuku—membuat tubuhku berbaring telentang—dan aku mendapati dirinya menghadapkan wajah padaku—tersenyum manis padaku. Silau! Aku mengedip-ngedipkan mata, dan berusaha menghindari senyuman pagi 'mabushii' darinya.

"Kalau tidak bangun juga, saya akan melakukan hal yang sama seperti semalam."

Ancaman baruku di pagi hari, 'Saya akan melakukan hal yang sama seperti semalam'. Pilihan ada di tanganku, aku ingin bangun atau tidak? Tapi, aku membutuhkan ciuman selamat pagi.


A/N :

*Chapter ini sudah diedit ke POV Orang Pertama. Maafkan Author karena tidak bisa mengembalikan cerita yang ada. Alhasil, chapter 1 berubah ancur dibandingkan sebelum di edit.