Warn : Boys Love, G nyambung, OOC, AU

Pair : Shin X Sakuraba

Inagaki and Yusuke Murata

How Can I Not Love You

Part One : Prologue

Langit siang ini sungguh gelap. Mendung terlihat kelam menghalangi warna indah langit yang sebiru lautan. Tak berselang lama rintik air hujan menghujam bumi. Beribu tetes air jatuh dari langit membasahi bumi yang haus akan siraman kesejukan. Hari yang panas berubah lembab dan cuaca yang gerah berubah menjadi sejuk.

Namun sepertinya hujan datang disaat yang kurang tepat bagi siswa-siswi Kugaku Gakuen. Dimana baru saja bel tanda berakhirnya pelajaran hari ini berbunyi namun tiba-tiba turun hujan. Hal ini membuat siswa-siswi Kugaku Gakuen kebanyakan mendesah pasrah. Terpaksa mereka harus menunggu beberapa saat untuk menunggu hujan reda. Masih ditambah keributan yaitu pekikan siswi-siswi yang lupa membawa payung mereka.

Kugaku Gakuen adalah sekolah menengah yang terdiri dari tingkatan. Setiap tingkatan memiliki empat jurusan dan setiap jurusan dibagi menjadi tiga kelas. Ada jurusan musik, martial art, sastra, dan lukis.

Seluruh siswa-siswi yang masuk di sekolah tersebut mempunyai ketrampilan dibidangnya masing-masing. Disamping itu mereka adalah orang terpilih karena memasuki sekolah paling elite di Jepang ini harus mengikuti seleksi yang sangat ketat. Kemampuan, ketrampilan, kecerdasan, tata krama, semua itu adalah paket penting yang harus dimiliki orang yang ingin menimba ilmu di Kugaku Gakuen.

Kugaku Gakuen berdiri ditanah seluas dua hektar dengan fasilitas yang bisa dikatakan sangat sempurna. Ditambah lagi dengan tenaga pengajar yang sangat terampil. Membuat sekolah ini menjadi sekolah paling diidamkan oleh banyak orang. Dan membuat orang yang bisa bersekolah di sini sangat beruntung.

"Ck," terdengar decak kesal seorang pemuda berambut biru gelap yang berulang kali melihat ke arah jam tangan yang bertengger manis di pergelangan tangan sebelah kirinya. Siswa kelas tiga jurusan martial art ini terlihat sedang menunggu sesuatu.

Nama pemuda itu adalah Shin Seijuro. Pemuda yang selalu dielu-elukan siswi Kugaku Gakuen dan incaran gadis-gadis karena dia memang sudah sangat terkenal sebagai idola diantara kaum hawa. Bahkan banyak juga laki-laki yang melirik iri sekaligus kagum melihat sosoknya yang hampir mendekati kata sempurna. Memang tidak ada manusia yang sempurna. Semua pasti memiliki kekurangan. Namun pemuda satu ini memang bisa dikatakan sempurna karena hampir semua hal yang diidam-idamkan semua orang dimilikinya.

Pertama, Shin mempunyai fisik yang bisa mempesona siapa saja hanya dengan tatapan matanya. Kedua, dia juga mempunyai ketrampilan yang luar biasa dibidang martial art dan kemampuan otaknya yang melebihi rata-rata menjadikannya juara kelas sejak pertama masuk di sekolah ini. Ketiga, pemuda itu punya harta yang melimpah. Dia adalah pangeran sekaligus pewaris tahta satu-satunya dari kerajaan Kitakumi karena dia adalah putra semata wayang keluarga Seijuro.

Shin hanya mendengus kesal mendengar siswi-siswi yang berbisik-bisik kecil sambil melihat ke arahnya. Dia tidak pernah sekalipun mempedulikan gadis-gadis yang menurutnya sangat mengganggu itu. Dia juga tidak begitu akrab dengan teman-temannya karena dia lebih banyak diam.

Memang tidak mengherankan kalau dia menjadi obyek sasaran pandangan para gadis karena penampilannya saat ini memang membuat siapa saja bisa meleleh. Bayangkan saja tubuhnya yang atletis itu berdiri dengan jas sekolah berwarna biru tua yang tersampir di pundaknya. Kancing kemeja teratasnya terbuka memperlihatkan otot lehernya yang sangat eksotis dan rambutnya yang terlihat berantakan membuatnya terkesan semakin keren.

Sekitar lima belas menit berselang akhirnya apa yang ditunggunya datang. Ternyata dia menunggu jemputannya yang hari ini telat datang. Mobil sedan berwarna hitam berhenti tepat di depan Shin. Seorang pria yang dikenalinya sebagai supir pribadinya kini keluar dari mobilnya dan membungkuk dihadapannya.

"Maafkan saya, pangeran. Membuat anda menunggu lama." ucap supir itu sambil tetap membungkuk. Terdengar nada penyesalan dan terlihat raut wajah penuh kecemasan yang tergambar dari sang supir kerajaan.

"Lain kali jangan ulangi lagi." ucap Shin dengan datar sambil memasang headset di kedua telinga dan berjalan santai menuju ke mobil.

Sang supir langsung bergegas masuk ke dalam mobil dan menjalankan mobil itu untuk mengantar ice prince itu ke istana. Suara deru mobil itu terdengar semakin lama semakin menjauhi Kugaku Gakuen. Menyisakan banyak siswi yang mendesah kecewa saat pujaan hati mereka meninggalkan mereka yang harus bersabar menunggu hujan reda.

Bukan hanya siswi yang sibuk menunggu hujan reda, namun juga banyak siswa yang masih sekedar berbincang dengan teman-temannya menanti tetes terakhir air yang turun dari langit.

Bahkan kalau dilihat lebih teliti. Orang yang paling gelisah pada situasi ini adalah seorang pemuda berambut pirang bernama Sakuraba Haruto. Dia adalah seorang siswa kelas tiga di jurusan lukis.

Jika dibandingkan dengan teman-temannya, dia termasuk anak kurang mampu. Sebagian besar teman-temannya adalah anak dari keluarga terpandang dan serba berkecukupan. Namun Sakuraba tidak pernah menyesali keadaan keluarganya yang serba kekurangan. Dia sangat menikmati hidupnya di tengah kehangatan keluarga kecilnya yang sangat menyayanginga.

Dengan pandangan kesal Sakuraba melihat sepedanya yang kehujanan di tengah parkiran sekolah. Mobil-mobil mewah berderet mengisi parkiran sekolah elite itu. Hanya satu sepeda yang terpajang manis di antara barang berkelas itu. Sakuraba hanya terkikik geli melihat sepeda kesayangannya itu. Sepeda itu adalah hadiah dari ayahnya karena dia diterima bersekolah di Kugaku Gakuen.

Sepertinya Sakuraba memang harus menunggu hujan benar-benar reda jika tidak ingin pulang ke rumah dengan keadaan basah kuyup. Terus saja mata jernihnya memandang ke langit berdoa supaya hujan cepat reda karena dirinya tidak bisa pulang jika hujan terus mengguyur dengan ganasnya seperti ini.

.

.

.

Sebuah kamar bergaya Eropa terkesan sangat mewah dan luas. Suasana hangat khas musim panas terpancar dari kamar itu. Dengan perabotan berwarna coklat muda dan ranjang berwarna biru laut membuat ruangan ini semakin segar. Apalagi dinding bercat putih bersih menampilkan kesan terawat pada ruangan seluas 12x10 meter ini.

Seorang pemuda penghuni kamar itu sedang sibuk mengeluarkan barang-barangnya dari tas sekolahnya. Dengan gerakan cepat dia membongkar seluruh isi tasnya. Ya, penghuni kamar itu adalah ice prince, Shin Seijuro.

Sepertinya dia sedang mencari sesuatu di dalam tasnya itu. Terlihat sekarang dia seperti sedang menahan kesabarannya karena barang yang dia inginkan tidak kunjung ditemukannya. Terdengar suara geramannya yang terkesan sepertinya dia ingin menghantam sesuatu sampai hancur saat ini juga.

Tidak dipedulikannya air yang menetes dari rambut basahnya yang membasahi lantai keramik kamarnya itu. Sejak sepulang sekolah tadi dia baru di rumahnya sekitar lima belas menit. Dan itu hanya dia gunakan untuk mandi saja.

Tangan Shin terkepal berusaha menahan emosinya. Dia mengusap wajahnya menggunakan tangan kanannya berusaha menjernihkan pikirannya. Setelah mulai tenang, dia mencoba mengingat-ingat dimana dia meletakkan barang yang dicarinya. Sekitar lima menit dia bergelut dengan pikirannya, akhirnya dia ingat dimana terakhir kali dia meletakkan barangnya itu.

Terakhir kali Shin meninggalkan ponselnya di laci mejanya. Dia menepuk dahinya pelan sembari merutuki kecerobohannya. Ya, barang yang dicari Shin itu adalah ponselnya. Mungkin memang barang itu bisa dibeli lagi olehnya hanya dengan menjentikkan jarinya saja. Namun barang itu sungguh berharga bagi Shin. Ponsel itu adalah hadiah ulang tahunnya yang kelima belas sekaligus kenangan terakhir yang diberikan oleh seseorang yang sangat berharga bagi Shin.

Secepat mungkin Shin memakai pakaiannya dan langsung menyambar kunci mobilnya. Dia melangkah tergesa menuju garasi mobilnya sambil berharap cemas semoga sekolahnya belum dikunci.

.

.

.

Langit mendung hari ini berubah menjadi lebih gelap karena matahari mulai kembali kesinggasananya. Senja kini mulai berganti malam dan parahnya, hujan yang mengguyur sedari tadi siang sampai sekarang belum juga reda.

Seorang pemuda duduk dengan resah melihat hari yang mulai gelap namun hujan tidak juga reda. Sempat terpikir olehnya oleh menembus hujan deras ini dengan sepedanya. Namun niatan itu kandas ketika petir juga ikut berpartisipasi menghiasi hari mendung ini. Sehingga menutup kemungkinan pemuda itu pulang ke rumahnya padahal keadaannya begini.

Seluruh teman-temannya sudah pulang sedari tadi. Bukannya teman-temannya meninggalkannya namun pemuda satu ini menolak tumpangan yang ditawarkan teman-temannya karena tidak ingin menyusahkan mereka.

Di tengah kegelapan yang mulai menyapanya. Dia terlonjak kaget saat menyadari ada cahaya yang memasuki area sekolah itu. Walau hanya terlihat samar namun Sakuraba dapat dengan jelas menyimpulkan kalau itu adalah lampu mobil. Dan ternyata kesimpulannya benar saat melihat mobil itu berhenti di depan tempatnya duduk.

Dengan perlahan pintu mobil terbuka dan orang yang ada di dalamnya keluar. Sakuraba hanya terkaget saat mengetahui siapa orang yang keluar dari mobil itu. 'Kenapa ice prince itu kesini malam-malam begini?' batin Sakuraba sambil memandang Shin lekat.

Ternyata Shin juga tidak kalah terkejutnya dengan apa yang dilihatnya sekarang ini. Padahal senja sudah berakhir namun kenapa masih ada juga yang ada di sini. Beberapa saat mata mereka saling beradu membuat suara deras air hujan air hujan tidak terdengar di telinga mereka karena mereka tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Akhirnya Shin yang menyudahi tatapannya itu dan berjalan santai menuju kelasnya sambil berharap ponselnya masih ada di kelas.

Tanpa sadar Sakuraba membuang nafas lega melihat Shin yang sudah hilang dari pandangannya. Namun sebuah tanda tanya besar tergambar di kepalanya. 'Ada apa Shin kesini malam-malam? Apalagi dia pergi sendirian. Jarang sekali dia pergi sendirian. Eh- kenapa aku jadi memikirkannya. Huh!' batin Sakuraba sambil memukul-mukul kepalanya pelan.

"Hey, pirang!" panggil Shin yang sudah kembali dari kelasnya. Ternyata ponselnya itu masih ada di lacinya. Cepat-cepat saja dia mengambilnya dan langsung kembali ke sini. Dan dia juga sangat bersyukur karena kelasnya belum dikunci. Kalau seandainya sudah dikunci pasti semalaman ini dia tidak bisa tidur atau mungkin dia akan menendang pintu kelasnya sampai terlepas dari tempatnya.

Merasa dipanggil walaupun tidak dengan namanya, Sakuraba mendongak mengikuti arah suaranya. Ternyata suara baritone itu berasal dari pita suara Shin. "Apa? Aku punya nama. Dan namaku bukan 'pirang'." tanggap Sakuraba dengan nada kesal.

"Kenapa kau masih di sini, pirang?" tanya Shin sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celananya. Dia sama sekali tidak mengindahkan pernyataan Sakuraba bahkan masih memanggil Sakuraba dengan sebutan 'pirang'.

"Kau tidak lihat ini sedang hujan? Aku tidak bisa pulang tahu." ucap Sakuraba sambil menggeser duduknya karena Shin mendudukkan diri di sampingnya. Shin hanya duduk santai di samping Sakuraba sambil memandang hujan dalam diam. Keheningan merayapi suasana mereka saat ini. Keduanya terdiam sebelum salah satu diantara mereka membuka suara.

"Kenapa kau tidak bisa pulang?" tanya Shin sambil menyenderkan kepalanya ke sandaran kursi itu dan memejamkan matanya sejenak.

Sakuraba melirik pemuda di sampingnya melalui ekor matanya. "Karena aku tidak bisa bersepeda kalau hujan deras seperti ini." jawab Sakuraba sekali lagi melihat sepeda kesayangannya yang kehujanan dengan pandangan muram.

Melalui matanya, Shin mengikuti arah pandang Sakuraba. Dia melihat sebuah sepeda berwarna jingga di tengah guyuran air hujan yang sangat deras. Melihat ekspressi muram Sakuraba yang melihat kondisi mengharukan dari sepeda kesayangannya membuat Shin tidak bisa menahan tawanya. Walau sangat pelan dan singkat, namun Sakuraba dapat mendengarnya dengan sangat jelas.

"Kau menertawai sepedaku, ice prince?" tanya Sakuraba mencoba menahan geramannya. Memang dia tahu dan sangat mengerti kalau Shin punya segalanya. Dan jarang bahkan hanya Sakuraba saja yang ke sekolah membawa sepeda. Mayoritas dari teman-temannya adalah kalangan bangsawan dan orang terpandang. Memang lucu kalau melihat siswa Kugaku Gakuen membawa sepeda ke sekolah. Namun Sakuraba tidak terima dia dihina begitu.

"Aku tidak menghinamu. Aku hanya geli melihat ekspressimu saat memandang sepedamu itu." ucap Shin masih dengan unsur tawanya. Sungguh selain sangat jarang tertawa Shin juga jarang sekali bicara sepanjang itu. Apalagi bicara dengan orang yang baru dikenalnya. Satu-satunya teman Shin yang sangat akrab dengan Shin adalah Takami Ichiro. Sifat Takami yang sabar dan pengertian membuat orang nyaman ada disampingnya. Termasuk Shin.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, ice prince. Kenapa kau ke sini malam-malam begini?" tanya Sakuraba melihat ekspressi Shin yang berubah agak tegang. Walau masih tertutupi oleh ekspressi bekunya.

"Tidak apa-apa. Ingin ke sini saja." jawab Shin sesuka hatinya. Dia tidak ingin ditanyai lebih lanjut apabila dia bilang kalau dia ke sini mengambil ponselnya yang ketinggalan. Jujur saja Shin tidak ingin memori setahun silam berputar di otaknya lagi. Kenangan dimana seseorang yang paling berharga sepanjang hidupnya meninggalkannya selamanya.

Tidak pernah ada yang menyangka bahwa seorang berhati beku seperti Shin bisa mencair seketika oleh sinar kehangatan yang terpancar dari seorang gadis bernama Wakana. Dengan sifat lembut dan anggun, menjadikannya satu-satunya sosok pendamping yang Shin inginkan. Entah kenapa dimata Shin, Wakana adalah sosok yang diidam-idamkannya selama hidupnya ini. Walau hanya sebentar, Shin merasa sangat beruntung bisa diberi kesempatan mengenal Wakana lebih dekat.

Wakana meninggal satu tahun yang lalu tepat ketika dia pulang dari acara pesta kerajaan Kitakumi. Dia mengalami kecelakaan bersama ketiga anggota keluarganya. Saat mengetahui kematian Wakana, Shin sempat pingsan selama dua hari dan mengalami sedikit depresi. Sejak saat itu dia menjadi lebih dingin dari sebelum kematian Wakana. Sehingga sampai sekarang, sepertinya Shin belum membuka hatinya lagi bagi orang lain.

"Namamu siapa, pirang?" tanya Shin sambil menyilangkan kedua tangannya.

"Namaku Sakuraba. Jadi tolong berhenti memanggilku 'pirang'." jawab Sakuraba memandang Shin dengan pandangan kesal.

"Baiklah, Sakuraba. Aku mau pulang." ucap Shin sambil melangkah menuju mobilnya berniat ingin pulang.

"Eh!" pekik Sakuraba seakan tidak rela jika Shin meninggalkannya.

"Hm?" tuntut Shin mencari kejelasan.

Sakuraba melirik ke kiri dan ke kanan. Terlihat suasana yang sangat sepi. Juga keadaan yang gelap membuat sekolahnya terkesan menyeramkan. Shin mengangkat sebelah alisnya tanda dia tidak mengerti dengan ekspressi yang dikeluarkan Sakuraba. Melihat ekspressi Sakuraba dari awal bertemu tadi benar-benar membuat Shin penasaran dengan mimik seperti apa lagi yang akan ditunjukkan pemuda pirang itu. Jujur saja, kali ini Sakuraba takut jika harus berada di tempat itu sendirian.

Sakuraba memang orang yang sangat ekpressif dan tidak membosankan jika dipandang. Dia juga memiliki penampilan yang sederhana namun menarik.

"Shin, bu- kan mak-sudku lancang tapi... Errrr... Bolehkah aku menumpang untuk pulang?" tanya Sakuraba agak canggung. Disamping karena baru tadi dia mengenal Shin, dia juga takut Shin mengatainya lancang.

"Aku kira kau tidak mau meninggalkan sepedamu itu. Ayo aku antarkan." ucap Shin sambil meneruskan langkahnya menuju mobilnya.

Sakuraba hanya membeku tidak percaya. Dia tidak menyangka kalau Shin berkenan mengantarkannya pulang. Sebenarnya dia agak canggung waktu minta tumpangan dari Shin tapi dia juga tidak mau sendirian di sekolah malam-malam begini. Disamping itu, sepertinya belum ada tanda-tanda hujan akan reda malam ini. 'Ah, ternyata dia baik juga...' batin Sakuraba tidak dapat menyembunyikan senyumannya.

"Ayo, cepat. Atau aku tinggal." ucap Shin membuyarkan lamunan Sakuraba. Sakuraba yang terlonjak kaget langsung berlari kecil menuju mobil Shin.

.

.

.

Derap langkah penuh kecemasan terdengar merdu menggema di seluruh ruangan berkayu itu. Seorang wanita berjalan mondar-mandir tidak menentu diiringi tatapan sebal dari suami dan anak bungsunya.

"Sudahlah, ibu. Kak Sakuraba tidak akan kenapa-kenapa." ucap sang putra bungsu bernama Hitaro Haruto dengan nada malas. Dia adalah putra bungsu dari keluarga Haruto. Anak berumur sembilan tahun itu hanya duduk di sofa bersama ayahnya yang sekarang sedang menatap ibunya dengan pandangan sebal yang berlebih.

Hitaro mempunyai ciri-ciri fisik mirip dengan Sakuraba. Dengan rambut pirang dan tubuh tinggi untuk anak seumurannya. Hanya saja Hitaro memiliki warna kulit lebih gelap daripada kakanya itu. Membuatnya semakin terkesan manis dan menggemaskan.

"Hari masih hujan begini. Dia belum pulang. Ibu sangat takut terjadi apa-apa terhadap kakakkmu, Hitaro." keluh sang ibu sambil menggigit jarinya dengan raut penuh kekhawatiran.

Tiba-tiba pintu depan rumah kecil mereka diketuk oleh seseorang. Dengan langkah tergesa Hitaro berlari ke arah pintu berharap yang datang adalah kakaknya. Saat dia melihat siapa yang datang, dia langsung menghambur memeluk kakaknya itu.

Ibunya mendesah penuh kelegaan dan ayahnya hanya tersenyum menyambut anak tertua mereka. Mereka semua mendekat ke arah Sakuraba yang masih memeluk adiknya dengan penuh kasih sayang. Namun mereka terkejut saat melihat ada orang lain. Ada seorang pria berpakaian rapi membungkuk hormat ke arah mereka.

"Perkenalkan. Saya utusan dari keluarga Seijuro diperintahkan untuk mengantarkan putra anda ke sini." ucap orang itu dengan nada ramah.

"Ah, terimakasih ya..." balas Hitaro dengan nada kekanakannya. Sementara ayah dan ibunya hanya tersenyum salah tingkah. Tidak mengerti apa yang terjadi. Mereka malah sibuk memperhatikan mobil mewah berwarna biru tua yang terparkir di halaman rumah mereka yang tidak terlalu luas itu.

"Paman, terimakasih ya." ucap Sakuraba dengan senyuman terpampang di wajahnya.

Paman tadi hanya mengangguk dan berpamitan pulang. Setelah itu mereka sekeluarga berkumpul di ruang tamu. Ayah, ibu, dan adik Sakuraba mengelilingi Sakuraba dengan pandangan menyelidik. Sakuraba hanya terduduk pasrah di sofa ruang tamunya.

"Aku ingin bicara sesuatu kepada kalian." ucap Sakuraba terkesan dipaksakan. Dengan gerakan sangat kaku Sakuraba memperbaiki posisi duduknya berharap bisa bicara lebih mudah kepada anggota keluarganya. Terlihat dari raut wajahnya terpancar keraguan yang sangat jelas.

Semua orang yang ada di sana memandang Sakuraba dengan pandangan 'tolong-jelaskan-apa-yang-terjadi'. Dan pandangan menyelidik itu malah membuat Sakuraba semakin susah untuk mengungkapkan apa yang ingin dia katakan.

"Apa- ?"tanya Sakuraba sangat cepat. Sakuraba yakin ketiga orang itu tidak dapat mendengarkan kata-katanya barusan karena kecepatannya yang memang susah ditangkap telinga manusia.

Tapi entah kenapa ketiga orang tersebut seperti dapat mengerti apa yang diucapkan Sakuraba. Mereka bertiga saling menatap selama beberapa saat kemudian saling memekik bersamaan, "APAAA?"

.

.

.

TBC

.

.

.

Hanya butuh waktu dua hari untuk mengetik fic ini. Tapi mencari inspirasi dan momentnya sungguh susah. Apalagi saya ingin membuat kesan yang kental dengan kerajaan. Ini baru perkenalan. Jadi maaf kalau membosankan.

Cerita ini terinspirasi dari lagunya Anna and The King yang judulnya How Can I Not Love You. Lagu keluaran tahun 1999, bagus sekali. Karena sudah ditulis lama jadi kesannya juga tentang kerajaan Eropa.

^^ Review? ^^