Karakura, Japan, 15.47
Wanita berambut cokelat itu menggelengkan kepalanya tanda tak percaya. Bahkan tubuhnya mulai bergetar dan merosot jatuh—yang dengan sigap ditahan oleh lelaki yang berdiri di sebelahnya.
"Tidak mungkin," ucapnya lirih. Matanya kembali menatap dua orang tamu yang berdiri di hadapannya. "Kalian sedang berbohong, bukan?"
Pemuda berambut pirang tersebut menggelengkan kepalanya. "Ini benar, bu. Kami menemukan bukti-bukti yang meyakinkan kalau bocah itu adalah anak ibu, Kurosaki Ichigo."
"Bohong! Kalian bohong," jerit Masaki sambil menudingkan telunjuknya ke arah dua orang asing tersebut.
"Sudahlah Masaki! Kamu harus tenang, mungkin memang kenyataannya seperti ini dan kita harus bisa menerimanya dengan lapang dada," tegur Isshin—berusaha memperingati sikap istrinya.
"Tapi—tapi Ichigo tidak mungkin meninggal, dia tidak mungkin meninggalkan kita secepat ini. Buktinya saja mayatnya tidak berhasil ditemukan," sahut Masaki. "Percayalah padaku Isshin, Ichigo tidak mungkin meninggal. Dia masih hidup dan aku masih merasakannya."
Isshin menganggukkan kepalanya dengan lemah. Entahlah, dia sendiri masih merasa bingung dan sangat terkejut menghadapi berita kematian putera mereka yang sangat mendadak.
Meanwhile…
Seattle, Washington, 22.47
"Sekarang apa kau sudah mengerti?"
Bocah kecil tersebut menganggukkan kepalanya. "Aku mengerti."
"Aku harap kau tidak akan mengecewakanku, walaupun kau masih baru tapi kau akan mendapat pelatihan khusus nantinya. Lagipula, selama aku memantaumu kau memiliki kemampuan yang cukup baik dan setingkat dibawah agen professional lainnya diumurmu yang masih 11 tahun ini."
Bocah itu sekali lagi menganggukkan kepalanya. "Aku tau."
"Mulai hari ini kau jangan pernah menyebutkan identitas aslimu ataupun menyebut nama marga keluargamu, karena mulai hari ini namamu adalah Yamamoto Ichigo, karena kau kuangkat menjadi cucuku. Apa kau mengerti, Ichigo?"
Anak itu menghembuskan nafasnya. Memang inilah jalan takdir yang semula tertunjuk untuknya dan dia harus menerimanya baik suka atau tidak. sekali lagi ia mengangguk dan berujar tegas, "Aku tidak akan mengecewakanmu."
.
.
.
.
.
Bleach © Tite Kubo
.
.
.
.
Secret Identity © Yurisa-Shirany Kurosaki
.
.
.
.
Seattle, Washington, 06.45
Seorang pemuda berambut jingga menatap halaman utama koran yang terletak di atas meja makan rumahnya. Dibacanya berita tersebut dengan cermat dan teliti—berusaha mencari tahu apakah polisi mencium siapa pelaku pembunuhan tersebut.
"Kerjamu bagus. Tenang saja, mereka tidak mengetahui keberadaanmu, Ichigo!" ucap sebuah suara yang sangat dikenalnya.
"Kakek," sapa Ichigo sambil menatap laki-laki tua yang sedang berjalan menghampirinya. "Lalu bagaimana dengan CIA? Apa mereka sudah menutup kasus ini?"
"Sesuai perjanjian, mereka akan segera menutup kasus ini tanpa menyelidikinya lebih lanjut," sahut Yamamoto sambil menatap Ichigo lekat-lekat. "Hebat sekali kerjamu, berhasil pulang tanpa terluka parah menghadapi wakil organisasi yang diburu nomor 1 sedunia."
Ichigo tersenyum kecil. "Dia hanya orang buta yang tidak bisa apa-apa. Kurasa pemimpinnya salah merekrut orang."
Yamamoto hanya menggelengkan kepalanya mendengar ocehan pemuda yang duduk di hadapannya. "Tidak baik berkata seperti itu. Walaupun begitu, mereka merupakan organisasi yang paling diburu oleh seluruh dunia. Aku harus memperingatimu untuk lebih berhati-hati, Ichigo. Kurasa setelah kasus ini, mereka akan bergerak dan mencari dimana keberadaan orang yang sudah membunuh anggota mereka."
"Aku mengerti. Aku sudah menduga hal seperti itu pasti akan terjadi, hanya tinggal menunggu kapan waktunya aku ditemukan dan kapan mereka mulai bergerak, begitu bukan?" sahut Ichigo sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Kau harus bisa lebih kuat dari sekarang, Ichigo. Aku takut kau akan sulit menjaga dirimu dari ancaman tindakan yang akan mereka lakukan terhadapmu nantinya," tegur Yamamoto.
Ichigo menghela nafasnya dengan lemah. "Aku sudah mengatakan hal ini padamu bukan, bahwa aku tidak akan mengecewakanmu? Jadi kurasa, kau bisa mempercayai kata-kataku itu."
Yamamoto menggeleng pelan. "Terlalu sulit untuk yang kali ini. Aku takut kau terancam masalah besar, Ichigo. Pelajarilah hal baru lainnya yang belum kau kuasai karena aku tidak ingin ada sesuatu yang buruk menimpamu."
"Kau mencemaskanku?"
Yamamoto mendengus kesal. "Tentu saja aku mencemaskanmu. Kau adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki sampai saat ini, Ichigo!"
"Aku tau," gumam Ichigo.
"Jadi, berjanjilah untuk selalu kembali ke sini, kepadaku."
Ichigo tertawa kecil. "Kenapa kau bersikap seolah akan kehilanganku, kakek?"
Yamamoto mengetuk-ngetuk tongkat yang dibawanya. "Aku hanya merasakan sesuatu yang tidak baik akan terjadi padamu, itu saja."
"Itu hanya pikiranmu yang berelebihan," sanggah Ichigo—berusaha menenangkan satu-satunya keluarga yang ia miliki.
"Kuharap begitu," sahut Yamamoto dengan suara lemah.
~x~Secret-Identity~x~
"Aku menginginkan agen handalmu untuk melindungi adikku," ucap orang tersebut tanpa basa-basi. Ditatapnya Yamamoto tanpa rasa takut—namun masih meninggalkan sisi sopan-santun dari caranya bersikap.
Yamamoto berdecak pelan. "Ada masalah apa dengan adikmu?"
"Dia menciptakan suatu obat khusus yang berhasil menyembuhkan segala macam penyakit," terang orang tersebut.
"Kemampuan yang hebat," ucap Yamamoto menanggapi.
"Justru itu masalahnya. Sekarang dia menjadi incaran mafia yang paling diburu. Aku takut jika sesuatu terjadi padanya akibat kemampuan yang ia miliki. Aku mohon padamu, tolong lindungi ia."
Yamamoto menatap orang tersebut. "Mafia yang paling diburu? Jangan katakan kalau mereka adalah Espada."
"Aku harap bukan, tapi kenyataannya benar. Mereka adalah Espada," sahut orang tersebut dengan wajah cemasnya.
"Aku menolak," ucap Yamamoto tanpa basa-basi.
"Kenapa? Kau mau bayaran lebih? Aku akan membayar berapapun yang kau mau asalkan kau bisa melindungi adikku satu-satunya. Aku mohon," pintanya dengan wajah memelas.
"Biarkan aku yang melindunginya," ucap Ichigo tiba-tiba.
Yamamoto membalikkan tubuhnya dan mendapati Ichigo sedang berdiri sambil bersandar di tembok putih rumahnya. Ditatapnya wajah pemuda itu lekat-lekat—yang dibalas Ichigo tanpa rasa takut.
"Aku tidak akan pernah setuju," Yamamoto mengulang kata-katanya.
"Kenapa? Aku sudah pernah berhadapan dengan mereka. Tidak ada yang perlu kutakutkan lagi, karena mereka hanya tikus-tikus yang selalu berhasil meloloskan diri dikarenakan keberuntungan yang selalu berpihak kepada mereka."
Yamamoto tetap menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ingin kau menanganinya untuk kali ini. Biarkan aku memerintahkan Shinji untuk melindungi adiknya, kau mengerti, Ichigo!"
Ichigo menghela nafasnya kesal. "Baiklah, aku mengerti!"
Yamamoto kembali menatap laki-laki yang sedari tadi meminta pertolongannya. "Aku akan mengirimkan agen kepercayaanku untuk melindungi adikmu. Sekarang, kembalilah!"
Laki-laki tersebut tersenyum kecil. "Terima kasih atas bantuannya."
Setelah mengucapkan hal itu, pemuda tersebut meninggalkan kediaman Yamamoto. Setelah benar-benar menghilang, Ichigo menatap Yamamoto lekat-lekat—meminta alasan kepada kakeknya tersebut kenapa ia tidak dibiarkan untuk memenuhi permintaan klien mereka barusan.
"Aku tidak ingin kau terlibat lagi dengan mereka," ucap Yamamoto tiba-tiba—seolah ia sudah mengerti apa maksud tatapan cucu tunggalnya tersebut.
"Kenapa kau jadi melarangku seperti ini?"
"Aku sudah mengatakannya padamu, bukan? Aku tidak ingin kehilanganmu, Ichigo!"
Ichigo menghela nafasnya. "Aku keluar sebentar," ucap pemuda itu sambil mengambil kunci mobil yang tergantung di dekatnya. Tak lupa ia menyambar jaket abu-abu bergaris hijau kesayangannya. Ia langkahkan kakinya meninggalkan Yamamoto tanpa persetujuan sebelumnya dari kakek tua tersebut. Sementara Yamamoto hanya berdiri diam sambil tetap mengikuti langkah Ichigo melalui ekor matanya.
"Kuharap kau mengerti maksud kata-kataku, Ichigo."
~x~Secret-Identity~x~
Melbourne, Australia, 19.15
Gadis berambut hitam sebahu itu menatap kedua orangtuanya secara bergantian. Sementara yang ditatap hanya menatap ke arah lain—seolah tak berani menatap balik sang gadis.
"Ayah, Ibu, aku hanya liburan di Amerika. Tidak usah bersikap seperti ini padaku," ucap gadis itu dengan suara lembut dan menenangkan.
"Ibu tahu, hanya saja sulit sekali untuk melepasmu, Rukia!"
Gadis yang bernama Rukia itu tersenyum kecil. "Aku pergi ke Amerika juga untuk menjenguk kakek, bu. Jadi tidak usah cemas karena ada kakek yang akan mengawasiku, ya?"
Pasangan suami-istri tersebut—Byakuya dan Hisana Kuchiki, menatap putri tunggal mereka lekat-lekat. Memang benar, Rukia pergi ke Amerika untuk menjenguk kakeknya—Ginrei Kuchiki, sekaligus berlibur di sana. Itu semua atas keinginan Rukia disertai permintaan kakeknya yang sudah merindukan cucu kesayangannya.
"Pergilah, Rukia." Ucap Byakuya—memecah kesunyian yang semula berdiri di hadapan mereka bertiga.
Gadis mungil itu tersenyum. "Baiklah. aku akan memberi kalian kabar kalau aku sudah tiba di Amerika. Bye," ujarnya sambil melambaikan tangannya kepada kedua orangtuanya. Dia sedikit berlari kecil memasuki tempat check-in sambil berujar dalam hati, I'm coming USA!
~x~x~x~x~x~
~x~x~To Be Continued~x~x~
~x~x~x~x~x~
Hallo, guys~
Yurisa balik lagi—untuk yang kesekian kalinya, dengan membawa fict baru. Hahaha, maaf ya fict lain belum ada yang sempet diupdate. Lagi buntu ide buat ngelanjutinnya, karena sekarang lagi suka sama yang berbau action. Akhirnya, lahirlah fict abal ini.
Maklumi ya, karena baru kali ini buat yang seperti ini. Kalo emang bener-bener ga pantes, biar kudelete deh.
Last, mind to review?
