What do I have to do make you see
She can't love you like me.
Seattle, United States of America.
10.51
Seorang gadis dengan paras yang cukup cantik tengah memoleskan blush on sebagai sentuhan terakhir dari ritual kewanitaan yang selalu dia lakukan sebelum keluar dari apartmentnya.
Gadis berparas Asia ini bukanlah penduduk asli Amerika Serikat, dia hanya dengan kebetulan bisa bekerja disebuah perusahaan penerbit ternama di Seattle sebagai Editor. Dia memiliki kemampuan yang luar biasa hebat, karna itulah dia mendapatkan kesempatan emas untuk bekerja di Amerika.
Gadis ini berasal dari Jepang, nama Gadis itu Sakura Haruno
Sakura telah tinggal di Amerika selama 5 tahun, semenjak penerimaannya diperusahaan penerbitan tersebut. Dia meninggalkan Jepang saat umurnya 21, dan usia gadis itu kini 26 tahun, usia dimana dia berjanji pada keluarganya dia akan kembali ke Jepang dan siap untuk menjalani hidup yang mungkin akan menentukan masa depannya nanti.
Dia harus menikah. Itulah yang menjadi beban hingga saat ini untuk Sakura, dan karna alasan itu jugalah yang membuatnya ragu untuk kembali ke Jepang dalam waktu dekat. Karna jika dia telah memutuskan untuk pulang, maka dia harus siap dengan segala perintah Ibunya untuk sesegera mungkin mencari seorang pria untuk dijadikan pasangan hidup.
Tapi sepertinya Tuhan sedang tidak berpihak padanya. Perusahaan tempatnya bekerja baru saja membuka perusahaan cabang di Jepang, karna menurut mereka Sakura telah bekerja cukup bagus, jadi Sakura dipindahkan ke Jepang untuk bekerja disana sebagai Chief Editor. Lagipula Sakura berasal dari Jepang, jadi akan semakin mempermudah perusahaan tersebut karna kehadiran Sakura.
Hari ini adalah jadwal kepulangannya ke Jepang, pesawatnya akan terbang pukul 11.45 sekarang sudah pukul 10.51 dan dia masih berada di apartmentnya.
"Damned! Where's my lipstick." Sakura mengumpat kesal saat benda kecil yang dicarinya tak kunjung terlihat diantara peralatan make up nya yang telah dia bereskan tadi malam.
Gadis itu semakin gencar mencari lipstiknya namun tak kunjung terlihat, jadi dia memutuskan untuk melupakan lipstik untuk kali ini. Setelah mengenakan jam tangan kecilnya, dia setengah berlari menuju rak sepatu dan menyambar wedges hitamnya, memakai dengan kecepatan luar biasa, lalu dia benar-benar meninggalkan apartmentnya yang sudah 5 tahun dia tempati.
Tokyo, Japan
18.56
Sakura tiba di Jepang hampir menjelang malam. Sesampainya dibandara, gadis itu dijemput oleh supir yang telah diutus oleh keluarganya yang mengetahui kabar kepulangan anaknya. Sakura disambut hangat oleh sang supir yang sepertinya baru saja dipekerjakan oleh Ibunya, karna dia tidak mengenali sosok sang supir.
Sakura melepas kacamata hitamnya saat mobil mulai melaju membawanya pulang kerumah. Dia menikmati pemandangan kota Seoul yang semakin ramai karna hari menjelang malam, waktu dimana para remaja diharuskan keluar rumah untuk sekedar bersantai.
Lampu-lampu disetiap gedung mulai menyala menghiasi langit Seoul yang mulai menghitam. Sorot lampu kendaraan turut menghiasi ramainya kota Seoul malam ini. Ah, inilah yag dia rindukan dari Seoul, kota kelahirannya. Ramai, damai, dan sejuk.
35 menit kemudian mobil memasuki pekarangan rumah Sakura yang terbilang cukup luas. Dari depan gerbang telah terlihat Ayah, Ibu dan juga Ino, adik perempuan satu-satunya tengah menunggu kehadirannya. Sakura tersenyum bahagia manakala melihat keluarganya yang sudah hampir 5 tahun tidak dijumpainya.
Mobil berhenti tepat didepan Ayah, Ibu dan Ino. Dengan antusias, mereka membuka pintu mobil untuk Sakura dan langsung tersenyum ketika mata mereka saling bertemu.
"Selamat datang kembali dirumah." Sang Ayah memberikan sambutan.
Sakura turun dari mobil, lalu segera memeluk Ayahnya, Ibu, dan juga Ino secara bergantian. Ibunya yang terlihat paling terharu, entah bagian mana yang terlihat menyedihkan. Ketika sang anak kembali kerumah, seharusnya dia merasa bahagia, kan?
"Berhenti menangis, Mom." Sakura menghapus airmata Ibu nya yang kembali turun menelusuri pipinya.
Ayahnya menyetujui perkataan Sakura, dia menegur Ibunya yang terlalu mendramatisir pertemuannya dengan putri kesayangannya. Jadi dia menarik Ibunya kedalam rumah, membiarkan istrinya menangis sepuasnya dikamar.
"Apa kau benar-benar Kakak ku? Ku rasa Kakak ku tidak secantik ini." Gurau Ino yang mendapat dorongan pelan dikepalanya.
"Kau sama sekali tidak berubah, Ino. Masih menyebalkan seperti dulu." Ino tertawa. "Berapa usiamu sekarang? Sepertinya kau bertambah besar."
"Tentu saja! Kau pikir aku tidak bisa menjadi dewasa apa?" Cibir Ino kesal. "Aku 21 tahun sekarang. Aku bahkan telah memiliki seorang kekasih, jadi jangan anggap aku anak kecil lagi, mengerti?!"
"Apa? Kau telah memiliki seorang kekasih? Astaga, apa kau akan menikah lebih dulu dari ku?"
"Jangan khawatir, Kak. Aku tidak sejahat itu. Aku akan menikah setelah kau menikah terlebih dahulu."
"Itu berarti kau harus siap menjadi perawan tua."
"Memangnya kenapa?"
"Karna aku belum ingin menikah dalam waktu dekat."
Sakura tertawa. Ini termasuk salah satu hal yang dirindukannya, menjahili adik perempuannya hingga membuat gadis kecil itu merasa kesal setengah mati, seperti sekarang. Wajah Ino memerah menahan emosi, adik kecilnya memang tidak bisa menahan emosi sama sekali, jadi dia akan terang-terangan menunjukkan rasa amarahnya.
Sakura menghempaskan tubuhnya diranjang, menikmati nuansa kamarnya yang sama sekali tidak berubah sejak 5 tahun yang lalu. Dinding yang penuh dengan poster-poster Avril Lavigne, ranjang berukuran besar yang selalu dipakaikan sprei berwarna hitam, suara hembusan angin yang akan menerbangkan tirai jendela kamarnya. Ah dia benar-benar merindukan nuansa kamarnya yang terlihat sangat nyaman.
Sakura bangkit, mulai merapihkan barang bawaannya yang hampir mencapi 5 koper. Sejenak dia merasa kesal dengan bawaannya sendiri, bagaimana bisa seluruh pakaiannya ketika dimasukkan kedalam koper bisa muat hingga 5 buah? Sepertinya lemari diapartment tidak sebesar itu untuk menampung ini semua.
Dia membuka satu persatu koper yang dibawanya, mencari benda yang tiba-tiba saja teringat oleh otaknya. Benda itu selalu ada dimanapun dia berada, bahkan saat dia bekerja, benda itu akan selalu hadir didalam tasnya. Entahlah, dia hanya merasa bahwa benda itu benar-benar pembawa keberuntungan.
Lagi-lagi dia panik, seperti saat Sakura mencari lipstick-nya tadi, benda itu tidak berada didalam koper yang dibawanya.
"Oh sial, dimana kalung itu!"
Sakura membuka seluruh kopernya, mengacak isi dari koper tersebut hingga lantai kamarnya telah berubah menjadi lautan pakaian. Dia harus menemukannya, dia yakin telah memasukkan benda itu kedalam koper, atau mungkin tas?
Kini dia beralih dengan dua buah tas yang dibawanya. Sama seperti yang dilakukannya terhadap koper tadi, dia mengacak seluruh isi tasnya, menuangan seluruh isinya hingga bertaburan dilantai. Bukan sebuah kalung, tapi justru lipstick yang dicarinya tadilah yang muncul didepan matanya.
"Lipstik sialan." Karna kesal, Sakura membuang lipstick tersebut kesembarang arah.
Dia kembali berkutat dengan isi tasnya yang sudah dia keluarkan, mencari dengan panik hingga akhirnya kilauan berlian yang berasal dari kalung yang dicarinya terlihat.
"Ah, ini dia!" Sakura tersenyum lega, napasnya diatur kembali agar tidak terlalu menyesakkan dada karna beberapa kali dia menahan napas saat kalungnya tak kunjung muncul.
Dia memutuskan untuk memakainya, tidak ingin kehilangan benda itu lagi. Sebenarnya dia selalu menyimpan kalung itu didompet atau tas saat bekerja, karna menurutnya, setiap dia melihat kalung tersebut, hatinya akan terasa sakit, teringat seseorang yang memberikan kalung tersebut.
Tapi justru dia merasa bahwa kalung tersebut memberinya keberuntungan terus menerus saat dia membawanya kemanapun. Seperti kalung yang telah diberi mantra, keajaibannya benar-benar nyata. Berkat kalung inilah, dia juga mendapat pekerjaan yang membuatnya hidup makmur selama ini.
Dan kini dia mulai mengandalkan kalung itu lagi, namun kali ini bukan untuk mencari uang, namun mencari seorang pria yang mungkin akan dinikahinya nanti. Yah, dia sama sekali tidak lupa dengan ucapan Ibu nya yang mengharuskan dia menikah diusia 26, atau setidaknya 27 jika Ibu nya masih memberikan kesempatan untuk Sakura mencari pasangan.
Memangnya ada apa dengan usia 26? Apakah seorang wanita diharamkan menikah diusia 28 atau bahkan 30? Jika kami –para wanita yang telah mencapai umur 30an- belum juga mendapat pasangan, kami tidak akan menikah. Karna menikah dengan belanja sebenarnya suatu hal yang memiliki persamaan persis. Sama-sama menyenangkan dan membahagiakan. Jika kita tidak menikah, kita masih memiliki ribuan showroom khusus wanita untuk dinikahkan. Well, itu terdengar lebih baik, kan?
Sakura baru saja hendak merapihkan isi kopernya yang baru saja diberantakkan, namun suara mesin mobil menghentikannya. Sakura mendekati jendela kamarnya yang masih terbuka, mengintip dibalik tirai tipis siapa yang datang dimalam hari seperti ini.
Sakura sedikit terkejut saat adiknya Ino berlari menuju halaman depan rumahnya yang luas dengan senyuman gembira. Sedetik setelah itu, Sakura mengingat perkataan Ino saat dia baru saja tiba di Seoul. Dia sudah memiliki kekasih, itu berarti, seseorang yang didalam mobil itu adalah kekasihnya.
Sakura menjadi penasaran, seperti apa sosok lelaki idaman adik perempuannya yang cantik. Sakura menunggu hingga seseorang yang berada didalam mobil Audi hitam itu keluar dan menampakkan sosoknya. Sakura hampir saja berhasil melihat pria itu jika saja Ibunya tidak membisingkan telinganya dengan teriakan menggema yang memekakan telinga.
"Astaga, kau pikir apa yang sedang kau lakukan!" Ibunya setengah menjerit, membuat Sakura mau tak mau menoleh kearah Ibu nya dan mengabaikan kekasih adik perempuannya.
"Astaga, Ibu ingin membunuhku? Aku hampir saja mati karna terkejut!"
"Kau apakan pakaian-pakaian ini?!"
Ibunya mulai mengambil seluruh potongan pakaian Sakura dan merapihkannya, ini kesempatan Sakura untuk melihat kekasih adiknya. Namun bertepatan dengan menolehnya Sakura, mobil Audi itu baru saja bergerak meninggalkan halaman rumah.
Sakura mau tak mau ikut membantu Ibunya merapihkan pakaian-pakaiannya, menggantungnya secara asal dilemari besar yang memang telah tersedia dikamarnya.
"Ibu, sejak kapan Ino memiliki kekasih?" Tanya Sakura ingin tau.
"Kalau tidak salah, sekitar 5 bulan yang lalu." Jawab Ibunya sekenanya. Tangannya masih sibuk melipati pakaian.
"Apa Ibu sudah pernah bertemu dengan pria itu?"
"Belum, memang kenapa?"
"Belum? Sudah 5 bulan tapi Ibu belum pernah bertemu dengannya?"
"Dia bilang akan memperkenalkannya saat mereka akan bertunangan nanti."
"Apa? Bertunangan?!"
Tanpa sengaja Sakura menjatuhkan pakaian yang hendak dia taruh kelemari, dan pakaian itu jatuh tepat keatas kepala Ibunya.
"Sebenarnya apa yang bisa kau lakukan dengan benar, huh." Bentak Ibunya kesal lalu kembali melipat pakaian yang baru saja dijatuhkan anaknya. "Mereka akan bertunangan, jadi cepat-cepatlah menemukan seorang pria untuk dirimu sendiri. Jangan membiarkan adikmu menunggu lama untuk mendapat giliran menikah." Sindir Ibunya yang membuat Sakura mencibir.
"Jika dia ingin menikah, lakukan saja. Aku tidak perduli jika dia menikah lebih dulu."
"Astaga Jaga kata-katamu, jangan sampai itu benar-benar terjadi. Ibu tidak akan mengizinkan dia menikah jika kau belum menikah." Seketika gerakan Ibunya terhenti setelah mengingat sesuatu. "Ah, sebentar." Ibunya pergi keluar kamar dalam waktu tidak sampai 5 menit lalu kembali dengan beberapa foto pria yang ditunjukkan kehadapan Sakura.
"Lihat, mereka semua tampan, kan? Mereka adalah anak dari sahabat-sahabatku, mereka pria yang baik, Ibu sudah mengenal mereka semua."
Sakura mendengus kesal. Inilah yang menjadi alasan Sakura untuk tetap bertahan berada di Amerika. Dia menghindari kencan buta yang selalu diadakan oleh Ibunya. Apakah dia tidak malu anaknya sendiri disodorkan pada pria-pria itu? Apakah Ibunya tidak akan takut namanya tercap buruk dimata sahabat-sahabatnya? Apakah anaknya terlalu menyedihkan hingga harus dijodoh-jodohkan seperti ini?
"Kencan buta lagi?" Dengus Sakura lelah.
"Pilih saja, cepat. Mereka semua adalah pilihan terbaik yang pernah Ibu temui."
Sakura mulai kesal, ini bukan pertama kalinya dia menyodorkan foto-foto pria yang akan menjadi pasangan kencan butanya. Tidak ada masalah memang, dia bisa bersenang-senang dengan pria-pria kaya itu, dia bisa mengambil uangnya lalu memutuskannya begitu saja. Tapi Sakura sedang tidak ingin melakukannya. Dia kembali ke Seoul untuk mencari kekasih yang sebenarnya, bukan kencan yang diatur oleh Ibunya.
"Aku akan memilikinya, Bu. Aku akan mencari seorang pria dan akan ku kenalkan padamu, tapi nanti, oke?"
Ibunya menatap Sakura sambil menyipitkan matanya. Namun pandangannya bukan kearah wajah Sakura, Ibunya melirik kearah kalung yang dikenakan Sakura.
"Kau masih belum bisa melupakannya, kan?" Sindir Ibunya.
Sakura merunduk, menatapi kalung yang juga sedang ditatapi Ibunya. Sakura tersenyum lemah. "Setiap orang tidak akan dengan mudahnya melupakan cinta pertama mereka."
"Tapi hanya kau yang tidak bisa melupakan cinta pertamamu dalam waktu 5 tahun. Aku benar-benar tidak mengerti apa spesialnya pria itu."
"Ibu belum pernah bertemu dengannya, jadi Ibu tidak pernah tau."
Sakura mensudahi percakapan mereka mengenai cinta pertama gadis ini. Sakura memang masih belum bisa melupakan cinta pertamanya. Dan jika ditelaah lebih dalam, hubungan mereka belum berakhir hingga saat ini, karna mereka berpisah untuk saling mendewasakan diri. Sakura pindah ke Amerika, dan pria itu menjalani perusahaan orangtuanya.
Tapi setelah Sakura tiba di Amerika, mereka tidak lagi berhubungan, tidak lagi ada komunikasi yang membuat keduanya tetap bersama. Sakura mengira hubungan ini sudah berakhir, mengira mereka tidak akan pernah bersama lagi. Namun kalung ini, membuatnya ingin menemui pria itu lagi, ingin menanyakan bagaimana hubungan mereka kedepannya. Dan Sakura berharap, pria itu bisa menjadi pria yang akan dinikahinya nanti.
Haruno's Home, Tokyo, Japan
08.45
"Selamat pagi." Ucap Sakura saat dirinya baru saja turun kelantai dasar rumahnya dan menuju meja makan yang telah terisi oleh Ibu, Ayah, dan Ino. Penampilan Sakura masih sangat kacau, piyama yang kusut, rambut yang tak teratur, dan sudah diprediksi bahwa gadis ini belum sikat gigi.
"Waaaah, aku merindukan sarapan dirumah." Sakura menarik kursi disebelah adiknya lalu mencomot segelas susu putih dan sepotong roti panggang dengan selai cokelat+keju.
"Gadis jorok! Kau belum sikat gigi dan sudah mengunyah makananmu." Bentak Ibunya yang mendapat kekehan dari Ayahnya, begitu juga dengan Adiknya.
"Dirumah ini terlalu banyak aturan. Tidak boleh makan sebelum sikat gigi dan tidak boleh single sebelum usia 30." Balas Sakura dengan cibiran. Ibunya mendelik kesal kearah anak gadisnya yang sangat tidak tau malu. Bagaimana gadis ini bisa mendapat pasangan jika tingkah lakunya terus seperti itu.
"Ah, kapan kau mulai bekerja?" Kali ini Ayahnya yang bertanya. Bagus, setidaknya ada pengalihan pembicaraan sebelum Ibunya semakin memperpanjang obrolan seputar pernikahan idaman.
"Hari ini." Balasnya dengan santai.
"Apa? Hari ini?! Dan kau masih belum bergegas?" Ayahnya terkejut mendengar apa yang baru saja diucapkan anaknya. Sang anak justru terlihat tak perduli dengan ucapannya, dia lebih memilih menikmati roti dan juga susunya.
"Aku Chief Editor sekarang, pekerjaanku tidak terlalu berat lagi, jadi aku bisa mengulur waktu sesukaku." Ujarnya sambil terus melahap potongan roti kedua.
"Ah, minggu besok kekasihku akan datang kerumah. Bisakah kita mengadakan makan malam bersama?" Ino yang sejak tadi hanya tertawa melihat Kakak wanitanya, kini dia berbicara dan langsung membuat seluruh anggota keluarga terdiam.
Ino ikut terdiam melihat semuanya terdiam, dia tersenyum kaku lalu mulai menjelaskan. "Hubunganku tepat 6 bulan, kami hanya ingin merayakannya bersama keluarga. Apa tidak bisa?"
Semua masih terdiam, terlalu syok mendengarnya. Ino adalah anak paling kecil didalam keluarga ini, tapi siapa sangka ternyata dia sudah benar-benar dewasa sekarang. Dia akan memperkenalkan kekasihnya pada keluarga, itu artinya hubungan mereka benar-benar serius.
Yang pertama kali mengeluarkan senyuman adalah Sakura, sementara Ayah dan Ibu nya masih terlalu syok untuk berbicara. Sakura tersenyum kearah adiknya lalu menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, dan sekaligus mewakili jawaban kedua orangtuanya yang pasti tidak akan menolak usul Ino.
"Tentu saja, ajak dia makan malam dirumah, aku juga sangat penasaran seperti apa sosok pria yang telah berhasil membuatmu jatuh cinta."
Sakura kembali melanjutkan makannya saat mimik wajah Ino telah berubah menjadi santai kembali. Orangtuanya? Mereka masih terlihat bodoh dengan wajah terkejut yang tak ada habisnya mereka tunjukkan.
"Aku selesai. Aku harus berangkat ke kantor baruku sekarang."
Sakura meninggalkan meja makan, kembali menuju kamarnya yang berada dilantai dua. Sakura bergegas dengan cepat, bukan karna dia tidak sabar untuk bekerja, tapi dia tidak sabar untuk kembali menjelajahi kota Tokyo. Dia ingin mencari seseorang yang tentu saja menjadi targetnya setelah dia kembali ke Jepang. Mantan kekasihnya yang masih sangat dia cintai.
Publishing Building, Tokyo, Japan
10.15
Shin-Hae mulai menundukkan kepalanya saat seluruh karyawan digedung mewah tempat bekerjanya kini tengah menjadikannya sorotan utama untuk diperhatikan. Wanita ini memang tidak terlalu memiliki wajah Asia, seperti memiliki percampuran wajah dari dua negara yang berbeda.
Rambut panjangnya yang berwarna merah muda berkilau terurai, dibiarkan melayang karna hembusan angin. Dan ternyata justru adegan tersebut semakin menarik banyak minat baik pria maupun wanita yang menjadikannya sebagai sorotan utama.
Sakura mencoba mengabaikan semuanya, sedikit mempercepat langkah saat pintu lift yang ingin ditumpanginya hampir saja tertutup jika seorang pria yang berada didekat lift tidak dengan cepat menahan pintu tersebut untuknya.
Sakura membungkuk mengucapakan terimakasih, lalu dia mengabaikan pria itu dan memasuki lift yang ternyata hanya dihuni 3 orang. Tidak ada yang aneh memang, jika saja penghuni lift ini tidak semuanya pria. Dia lagi-lagi terjebak bersama pria-pria yang dengan tak tahu malunya, memandangi dirinya dengan tatapan berbinar.
Sejak dulu, Sakura memang tidak suka jika dirinya dijadikan sorotan utama. Entah karna apa, dia selalu merasa ada yang salah jika seorang pria jelas-jelas menatapnya apalagi jika ditambah dengan tatapan seolah-olah mereka menginginkan sesuatu yang lebih dari Sakura. Dia merasa seperti… Ketakutan? Ya, dia terlalu takut dengan pria. Itu juga menjadi salah satu alasan mengapa hingga kini dia tidak memiliki seorang pria yang menyandang gelar sebagai kekasihnya. Dia hanya merasa nyaman pada satu pria, dan dia masih menginginkan pria itu.
Sakura kembali memikirkan pria tersebut, pria yang entah mengapa bisa mengendalikan rasa ketakutannya terhadap pria yang bahkan dia sendiri tidak mengerti dengan alasannya. Jujur saja, Sakura sama sekali tidak bisa melupakan pria itu, pria yang pernah ada didalam hatinya, bahkan hingga saat ini. Dia ingin bertemu kembali dan menjalani hidup bersama, tapi sepertinya tidak akan semudah itu. Mereka telah berpisah hampir selama 5 tahun, apakah pria itu masih menginginkannya seperti Sakura menginginkan pria itu? Bagaimana jika pria itu telah memiliki orang lain disampingnya?
Argh! Sakura tidak ingin memikirkan opsi terakhir, dia hanya ingin apa yang dirasakannya sama dengan yang dirasakan pria itu. Sama-sama berharap bisa kembali seperti dulu. Sebenarnya bisa dibilang mereka masih memiliki hubungan, dan hubungan itu sama sekali belum berakhir. Mereka hanya pergi ketempat berbeda, dan kehilangan komunikasi begitu saja. Itu bukan berarti mereka telah berpisah, kan?
Lift berdenting, menandakan bahwa dia telah sampai ditempat tujuan. Sakura kembali menunduk, bersiap merasa ketakutan kembali saat dirinya menjadi sorotan utama dilantai tempatnya bekerja. Setelah pintu lift benar-benar terbuka, Sakura menarik napas dan melangkah dengan cepat. Namun langkahnya yang terlalu terburu-buru membuatnya terjatuh akibat tabrakan keras yang terjadi antara dirinya dan seseorang yang berjalan berlawanan arah dengannya.
Sakura memegangi hidungnya yang terasa sakit akibat menabrak dada bidang yang dia kira adalah seorang pria. Sial, lagi-lagi dia harus berurusan dengan pria yang membuatnya kesal. Namun Sakura berusaha tidak perduli, dia mulai membungkuk dan meraih tas dan juga beberapa barang yang berada ditasnya yang ikut terlempar saat dia terjatuh tadi.
Sakura sama sekali tidak perduli saat pria itu ikut mengambil seluruh barangnya, seharusnya pria itu meminta maaf atas kesalahannya, namun dia sama sekali tak berbicara. Memang bukan sepenuhnya kesalahan pria itu, tapi tetap saja, dia wanita disini, seharusnya dia diperlakukan selayaknya.
Saat Sakura mengincar satu benda lagi yang tersisa, benda itu telah lebih dulu diambil oleh pria yang menabraknya Sakura menunggu benda itu dikembalikan, namun pria itu tidak bergeming, terus menatapi benda berharga milik Sakura yang selalu dia bawa kemanapun. Apakah pria itu tertarik dengan kalungnya? Bentuknya memang cukup unik, semua orang yang melihatnya pasti menginginkan kalung tersebut.
Liontinnya berbentuk untaian tali yang cukup rumit, namun jika ditelaah dengan jeli, untaian itu berbentuk dua buah hati yang saling terkait. Sakura menjadi teringat bagaimana pria itu menjelaskan arti dari kalung yang diberikannya untuk Sakura.
"Pakai ini." Sakurayang saat itu tengah membaca buku, dikejutkan oleh kekasihnya yang tiba-tiba saja merampas bukunya lalu memperlihatkan sebuah kalung yang cukup menyita perhatiannya.
Sakurayang merasa tertarik, segera merampas kalung itu lalu menatap liontin itu lama-lama. Kekasihnya yang mengerti dengan tatapan tak mengerti dari Sakura, segera menjelaskan makna dari kalung tersebut.
"Ini hati. Ada dua, lihat?" Kekasihnya menunjukkan posisi bagaimana dia bisa melihat untaian tali tersebut bisa membentuk ukiran dua buah hati. "Hati adalah ukiran yang tak pernah putus, kau tidak akan pernah menemukan akhirnya, seperti lingkaran. Dua disini mengartikan untuk kita berdua. Jadi, kau tidak akan pernah bisa menemukan akhir dari cinta kita, karna kita memang ditakdirkan untuk berdua."
Sakura tersenyum miris ketika pikirannya kembali ke masa dia masih bersama dengan kekasihnya. Masa-masa dimana paling dia inginkan untuk kembali terulang. Dia ingin memulainya lagi, memulai untuk hubungan yang lebih serius. Dia harus menemui pria itu sebelum Ibunya bertambah gila mencarikan pria-pria yang sama sekali bukan tipenya untuk dijadikan menantunya.
Sakura melirik kalung yang masih berada digenggaman pria itu. "Kembalikan, itu milikku."
Sedetik setelahnya, Sakura hendak merampas kalung miliknya, namun pria yang tengah memegang kalung itu menghindari gerakan tangan Sakura.
"Ini memang milikmu, tapi kau lupa siapa pemilik sebenarnya."
Deg!
Sakura mengenal suara itu. Suara yang sama sekali tidak pernah berubah, suara yang selama ini dirundakannya, suara yang sangat ingin didengarnya. Jantungnya berdegup kencang, mencoba menelan salivanya susah payah. Dia masih tidak ingin menoleh, dia tetap dalam posisi menunduk. Dia takut, takut jika setelah melihat wajah pria itu, rasa cintanya akan bertambah semakin banyak.
"Hai." Ucap pria itu sekali lagi. Kini tangannya mendekati wajah Sakura, lalu menyelipkan rambut gadis itu yang menutupi wajahnya kebelakang telinga. "Ternyata benar, itu kau." Lanjutnya dengan sebuah dengusan.
Sakura tak bisa menghindar lagi, mau tak mau dia menegakkan kepalanya dan menatap wajah seseorang yang berada dihadapannya. Dan yang ditakutkannya benar, dia semakin tak bisa melupakan sosok ini, rasa cintanya semakin bertambah, dan sialnya, pria ini kenapa harus bertambah setampan ini saat bertemu dengannya.
Setelah pertemuan yang sangat tak terduga bagi keduanya, pria itu mengajak Sakura ke kafetaria yang berada diperusahaan, menawarkan kopi yang dia katakan adalah kopi terbaik yang pernah dia minum dimuka bumi.
Keduanya duduk berhadapan dengan canggung, tidak ada satupun yang mereka katakan, hanya menyesap kopinya dalam diam. Sesekali Sakura mencuri pandang kearah pria itu, menilai wajah sempurna itu tanpa cela. Sakura takut, takut jika apa yang dirasakannya dulu kembali terulang. Mencintai pria itu habis-habisan namun berakhir tanpa sebab. Dan sekarang mereka bertemu lagi, apakah mereka bisa kembali melanjutkan hubungan mereka yang sempat terputus?
"Sasuke-san." Suara seseorang dari belakang mereka mengalihkan segalanya. Terlihat seorang wanita cantik tengah memegang berkas yang sepertinya harus ditandatangani pria itu. Itu pasti Sekretarisnya, tapi yang membuat mengganjal adalah, wanita itu tidak menggunakan kata Bosu jika dia memang hanya sebatas Sekretaris, atau jangan-jangan… Sakura menggelengkan kepalanya pelan untuk membuang jauh-jauh kata yang hampir terpikir diotaknya.
"Sepertinya kau sibuk, aku pergi saja." Dengan tergesa-gesa Sakura menyambar tasnya lalu bangkit berniat meninggalkan Sasuke. Namu rencananya untuk pergi tak semulus yang dia perkirakan, baru saja dia melangkah, Sasuke langsung menahan tangannya.
"Tunggu, kau bekerja disini, kan? Sebagai apa?" Tanya Sasuke tanpa melepaskan genggaman tangannya. Membuat Sasuke kehilangan akal untuk menjawab pertanyaan pria itu dengan benar. Hanya sentuhan ringan, kan? Namun sentuhan itu cukup untuk membuatnya bekerja keras untuk sekedar menarik napas.
"Ya, sebagai Chief Editor." Jawabnya setelah berhasil mengendalikan reaksi tubuhnya yang sangat berlebihan.
"Kalau begitu kita akan bekerja disatu ruangan." Sasuke tersenyum. Oh, jangan tanyakan seperti apa senyuman pria itu. Tentu saja senyuman yang akan membuat wanita manapun yang melihatnya ingin segera berteriak histeris karna pengaruh dari senyuman pria itu benar-benar buruk bagi keselamatan jantung para wanita.
"Aku atasanmu kalau kau belum tau." Lanjut pria itu dengan tatapan geli. Membuat Sakura yang sebetulnya ingin menghindar dari pria itu, justru dia akan terjebak bersama pria itu setiap harinya. Hey, tapi bukankah itu yang diinginkannya? Mereka akan bertemu lebih sering lagi, berarti akan semakin bertambah pula rasa cintanya pada Sasuke, karna setiap kali melihat wajah pria itu, rasa cintanya akan bertambah sebanyak 5%.
Namun jika Sasuke telah memiliki kekasih, bekerja dengan pria itu adalah keputusan yang salah.
Haruno's Home, Tokyo.
20.15
Sakura membanting tas dan juga tubuhnya keatas ranjang setelah sesampainya dia dirumah. Tersenyum seperti orang gila hanya karna apa yang diinginkannya tercapai dengan mudah. Bertemu dengan pria itu adalah impian terbesarnya, dan dia telah menemukannya dihari pertama dia bekerja.
Terlalu mustahil memang, tapi kenyataannya mereka benar-benar bertemu, bahkan pria itu mengajaknya makan siang bersama dan mengobrol banyak setelah tahu bahwa Sakura adalah anak buahnya.
Ya, semua ini berat kalung itu. Kalung yang diberikan oleh Sasuke entah mengapa seperti mempunyai kekuatan yang bisa mengabulkan apapun yang Sakura inginkan. Pekerjaan, hidup yang nyaman, dan juga seseorang yang dia inginkan.
Sasuke, Sasuke Uchiha
Dia masih ingat betapa mempesonanya penampilan pria itu saat tadi mereka bertemu.
Setelan jas hitam resmi lengkap dengan dasi, rambut yang berwarna Biru kehitaman dan terlihat tak tertata rapih, namun justru itulah yang menjadi daya tariknya. Tulang pipi yang menonjol dan saat dia tersenyum semakin terlihat memukau. Deretan gigi yang rapih saat dia tertawa dan memperlihatkan gigi putihnya. Bibirnya yang kissable dan berwarna merah alami yang selalu dia basahi dengan cara yang sangat elegan.
Dia mulai gila, mulai mendapati dirinya menjadi remaja kembali saat pertama kali dia merasakan rasanya jatuh cinta. Sebenarnya ini bukan lagi mengenai jatuh cinta yang pertama kali dengan Sasuke Uchiha, dia sudah pernah merasakannya sebelumnya. Namun setelah mereka kembali bertemu, dia merasakan perasaan itu lagi.
"Sakura Haruno!" Teriak seseorang yang dia yakini adalah Ibunya. Sepertinya Ibu nya itu telah memanggil namanya beberapa kali, namun Sakura tidak mendengarnya.
"Apa?" Jawab Sakura setelah itu dia bangkit dari tidurnya. Mendapati Ibunya ternyata sedang memandanginya dari depan pintu dengan kedua tangannya melipat didepan dada. Sepertinya dugaannya benar, pasti Ibunya sudah lama berada disana.
"Apa kau merasa tidak sehat? Kau tersenyum sendiri sejak pulang tadi." Ibunya bergidik ngeri.
Sakura membulatkan matanya, apakah reaksinya memang separah itu? Dia hanya sedang mengulang kembali kejadian yang dialaminya tadi dikantor, dan apa yang terjadi benar-benar membuatnya bahagia. Tapi apakah bahagia itu berarti menjadi gila?
"Memangnya salah jika aku tersenyum?" Ujar Sakura sambil melepas mantel hitamnya dan membuang benda itu begitu saja keatas ranjang.
Ibunya masih menatapi Sakura, namun kini tatapannya berubah. Ibunya berjalan memasuki kamar, menduduki ranjang tepat berada disamping anak gadisnya. Sakura yang tadi sempat bangkit kini ikut duduk disamping Ibunya dan tersenyum.
"Kau harus cepat-cepat mencari pasangan." Ujar Ibunya.
Sakura mendengus kesal. Setiap kali mereka duduk berdua seperti ini, pasti pembicaraan yang dipilih oleh Ibunya adalah seputaran masalah statusnya yang masih saja lajang. Memang apa salahnya jika seorang wanita masih sendiri diusia 26? Apakah dunia akan kiamat?
"Ino akan bertunangan, jangan lupakan soal itu." Lanjut Ibunya.
Kini Sakura menoleh kearah Ibunya. Adiknya akan bertunangan, dan dia sebagai Kakak yang seharusnya bertunangan terlebih dahulu justru masih belum menemukan seorang pria yang tepat. Adiknya akan menunggu lama jika harus dirinya lah yang terlebih dahulu menikah.
Sakura sudah menawarkan kepada adiknya bahwa dia boleh menikah terlebih dahulu, tapi Ibunya sama sekali tidak mengizinkan. Jadi Sakura harus sesegera mungkin membawa seorang pria kerumah untuk diperkenalkan sebagai calon pendamping hidupnya. Sebenarnya dia sudah mempunyai satu kandidat, mungkin hanya satu-satunya. Tapi masalahnya adalah, dia sama sekali tidak tau dengan perasaan pria itu. Jika perasaan mereka sama, mungkin pernikahan bisa segera dilaksanakan. Tapi jika tidak, maka semuanya selesai.
"Aku… Sebenarnya aku sudah memiliki seseorang." Ucapan terakhir Sakura tidak lagi didengar oleh Ibunya karna bersamaan dengan suara teriakan Ino yang sedang mencari Ibunya. Ibu bangkit dan menghampiri Ino, meninggalkan Sakura begitu saja. Sakura mendengus pasrah saat Ibunya belum sempat mendengarkan ucapannya. Dia akan membicarakannya lagi lain kali.
Publishing Building, Tokyo, Japan.
10.51
Sakura mengetukkan jarinya cukup keras diatas meja hingga membuat suara yang cukup bising, membuat para pekerja lainnya merasa terganggu dengan suara tersebut. Tapi dia masih belum sadar, pikirannya masih melayang, masih memikirkan bagaimana caranya dia bertanya pada Sasuke mengenai statusnya.
Sakura penasaran setengah mati dengan status percintaan pria itu. Apakah dia telah memiliki kekasih? Apakah dia masih mencintai Sakura? Pertanyaan itu terus berputar dikepalanya, memikirkan jawaban paling logis yang pernah terpikirkan. Sakura selalu berharap Sasuke belum memiliki kekasih, karna dia menginginkan posisi itu.
Sakura seperti diberi harapan saat Sasuke merespon kehadirannya dengan baik. Selalu mengajak makan siang bersama, berbicara berdua, selalu tersenyum setiap kali bertemu. Sasuke tidak mungkin melakukannya jika dia telah memiliki seseorang dihatinya, kan?
Sakura tersadar dari lamunannya saat sebuah ketukan jari lebih keras dari ketukan miliknya terdengar dari samping gadis itu. Sakura menoleh dan mendapati Sasuke tengah mengamatinya.
"Kau membuat semua orang kehilangan konsentrasi." Tegur Sasuke lembut dengan senyuman khasnya. Inilah yang membuat Sakura tak bisa melupakannya. Senyumannya yang begitu menenangkan, senyuman yang memiliki tegangan seratus ribu gigawatt.
"Ah, maaf." Sakura tersenyum malu lalu meminta maaf pada semua orang yang berada diruangan tempatnya bekerja. Sakura sedikit canggung saat Sasuke ternyata lebih memilih kursi yang berada tepat disampingnya, tidak lagi mengambil kursi yang biasa dia tempati.
Haruskah Sakura bertanya? Haruskan Sakura mengutarakan perasaannya? Apakah wanita layak melakukan hal tersebut?
Sakura kembali menoleh kearah Sasuke saat Sasuke memberikan secarik kertas kecil yang ternyata kupon gratis minum kopi di kedai kopi ternama untuk dua orang.
"Mau menemaniku?"
Starbucks Cafe,
12.01
Sasuke memperhatikan wajah Sakura, wajah yang tak pernah berubah dari ingatannya mengenai sosok gadis remaja cantik yang telah berhasil membuatnya jatuh cinta. Gadis itu tidak pernah berubah, masih tetap cantik dan juga penakut.
Dia bertemu lagi dengan Sakura saat berada dikantor, disaat itu dia melihat ekspresi wajahnya yang terlalu jelas menyiratkan bahwa dia sedang ketakutan. Dan benar saja, setelah mereka bertabrakan, dua orang pria muncul dari lift yang ditumpangi gadis itu. Dia seperti memiliki trauma dengan pria.
Mereka sempat berpisah, berpisah tanpa alasan yang jelas. Sakura memutuskan untuk mengambil pekerjaan diluar negeri, sedangkan dirinya memutuskan untuk tetap berada di Jepang. Hanya karna itu mereka berpisah, hanya berpisah, belum memutuskan apapun dalam hubungan mereka. Itu berarti mereka masih dalam satu hubungan.
Dan kini dia kembali bertemu dengan gadis itu dalam balutan yang lebih dewasa, gadis itu semakin cantik, semakin terlihat mempesona. Sasuke masih memikirkan bagaimana dengan perasaan gadis itu terhadapnya? Apakah masih sama seperti yang dulu? Tapi jika jawabannya dia masih memiliki perasaan yang sama, apakah itu bisa merubah kenyataan?
"Kau masih sama seperti dulu." Ucap Sasuke membuka pembicaraan.
Sasuke melihat Sakura hampir saja tersedak oleh kopinya saat Sasuke berbicara padanya. Ini menjadi salah satu yang lainnya mengapa Sasuke masih tetap menyukainya, reaksinya yang terlalu polos saat Sasuke melakukan hal-hal kecil. Seperti saat ini.
"Kau juga tidak berubah." Balas Sakura sambil tersenyum.
Apakah harus secanggung ini? Sakura berdeham, membenarkan posisi duduknya lalu menatap mata Sasuke yang ternyata tak pernah lepas menatap wajah Sakura.
"Kau menikmati tinggal di Seattle?" Tanya Sasuke sambil menyesap kopinya. Kini keadaan sudah mulai mencair, tidak lagi canggung seperti sebelumnya.
"Tidak terlalu buruk, suasananya tidak jauh berbeda dengan Tokyo." Sakura mengeratkan genggamannya pada cangkir kopinya yang menghantarkan rasa hangat ditelapak tangannya.
"Ku pikir kau tidak akan kembali lagi." Entah hanya perasaan Sakura saja, atau memang benar jika Sasuke berkata dengan nada bicara bahwa dia merasa… Lega?
"Memangnya kenapa jika aku tidak kembali lagi ke Jepang?"
"Kau masih menanyakan jawabannya?"
"Aku tidak tau, apa itu?"
Sasuke dan Sakura saling tertawa. Menertawakan hal-hal kecil yang sebenarnya tidak penting untuk ditertawakan. Tapi, bukankah itu yang dinamakan kenyamanan? Kenyamanan yang dirasakan keduanya memang tidak pernah berubah, itulah mengapa mereka memutuskan untuk bersama, karna rasa nyaman.
Dan pembicaraan merekapun kembali berlanjut kearah yang lebih intens. Seperti, sejak kapan dia kembali ke Jepang, dan bagaimana bisa dia bekerja diperusahaan yang juga ditempati oleh Sasuke, dan banyak hal-hal lainnya yang ingin diketahui Sasuke.
Sebenarnya Sasuke masih mengharapkan gadis itu, tapi apakah mereka bisa bersama lagi? Apakah Tuhan bisa ikut campur dalam hubungan mereka? Bisakah Tuhan merubah kenyataan yang telah dia jalani dengan mimpi yang selalu dia inginkan?
Publishing Building, Tokyo, Japan
13.00
Satu jam kemudian, Sasuke dan Sakura kembali ke perusahaan. Mereka berjalan berdampingan dengan lambat, menikmati setiap detik kebersamaan mereka. Bisakah mereka terus seperti ini? Sasuke dan Sakura memang sama-sama memiliki kenyamanan yang amat sangat saat mereka beruda seperti ini. Seperti tidak ingin berpisah.
Sakura dan Sasuke berhenti tepat didepan pintu lift, menunggu lift berikutnya tiba untuk mengantarkan mereka keruangannya. Mereka kembali terdiam, seperti kehilangan kata-kata untuk dibincangkan.
Sakura nekat menoleh kearah Sasuke, dan beruntungnya Sasuke sedang sibuk dengan ponselnya, jadi dia bisa memandangi pria itu dari jarak sedekat ini dan dalam waktu yang cukup lama hingga lift mereka tiba.
Wajah itu telah berubah menjadi sedikit dewasa sekarang. Wajah yang tentunya bertambah semakin tampan dengan bulu-bulu halus yang mulai tumbuh disekitaran dagu. Yang sangat tidak bisa dilupakan Sakura adalah matanya, mata jelaga pria itu selalu terlihat tajam jika ditatap berlama-lama, sama seperti saat ini, Sakura tidak bisa mengalihkan tatapannya kearah manapun selain kemata pria itu.
Sakura masih terlalu sibuk dengan pikirannya hingga dia tidak sadar saat dengan tiba-tiba saja Sasuke menoleh kearahnya lalu menarik lengannya menjauh dari tempat mereka berdiri.
"Hati-hati." Tegur Sasuke, namun bukan untuk Sakura.
Sakura menoleh kearah belakang dan dia menemukan seorang pria dengan setumpuk berkas hingga menutup pemandangannya tengah memohon maaf pada Sasuke. Pasti pria itu hampir menabrak Sakura jika tidak dengan cepat Sasuke menariknya.
Lift berdenting, menandakan lift mereka telah tiba. Si pria yang masih sibuk memohon maaf pada Sasuke memberikan mereka jalan untuk memasuki lift terlebih dahulu. Sasuke yang terlihat tidak perduli meraih tangan Sakura lalu menariknya mendekat agar mereka berdua bisa masuk kedalam lift yang hampir terisi penuh.
Sakura dan Sasuke mendapat tempat disudut belakang lift , dihimpit oleh orang-orang yang juga menumpangi lift tersebut. Dada Sakura sesak. Bukan, bukan karna terhimpit oleh banyak orang, tapi karna Sasuke yang berdiri tepat dibelakang tubuh Sakura masih tidak berniat melepaskan genggaman tangan mereka, justru pria itu semakin mengeratkan genggamannya dan memposisikan genggaman tangan mereka tepat dibawah dada Sakura.
Sakura tau, Sasuke berniat melindungi Sakura dari desakan orang-orang disekitarnya, tapi apakah Sasuke sadar dengan posisi seperti ini mereka terlihat seperti sedang berpelukan dari belakang? Astaga! Sakura tidak bisa bernapas dengan benar. Apakah oksigen didalam lift ini mulai menipis?
Sasuke sialan! Jika saja dia tidak bersikap seperti ini, mungkin Sakura masih bisa menjaga jarak dari pria ini. Tapi jika Sasuke terus-terusan menunjukkan ketertarikannya pada Sakura bagaimana bisa gadis itu menolaknya? Jadi jangan salahkan gadis itu jika rasa cintanya semakin bertambah setiap kali mereka bertemu.
Sasuke duduk dikursinya, sesekali menoleh kearah Sakura yang memang tidak terlalu jauh dari jarak pandangnya. Bersama gadis itu terlalu menyenangkan, sulit untuk membohongi dirinya sendiri mengenai perasaannya. Dia masih sayang, dia masih cinta. Apakah pernyataan itu masih berguna sekarang? Dia benar-benar menyesali kebodohannya, namun apakah semua penyesalan itu bisa merubah segalanya? Merubah kenyataan bahwa dia masih bisa memiliki gadis itu.
Dia tidak perduli, dia masih meninginkan gadis itu, masih menginginkan bersama gadis itu. Tidak perduli dengan sesuatu yang berada didepannya akan menghancurkan segala impiannya untuk bisa kembali bersama gadis itu. Yang dia perdulikan saat ini adalah, membuat setiap detik bersama gadis itu menjadi menyenangkan. Membuat gadis itu menjadi pusat kehidupannya, sumber oksigennya, dan denyut nadinya.
Haruno's Home, Tokyo, Japan
20.15
Setibanya dirumah, Sakura menjadikan kamar mandi sebagai target utamanya. Dia ingin berendam, memanjakan tubuhnya yang kelelahan akibat aktifitas yang dijalaninya seharian. Selama Sakura mengurung diri dikamar mandi, tidak disangka Ibunya memanfatkan luang waktu itu untuk menjejerkan beberapa foto pria yang lagi-lagi adalah pilihan Ibunya diatas ranjang.
Ibunya memang terlalu terobsesi menjodohkan anak gadisnya pada anak lelaki temannya yang dia bilang adalah pilihan terbaik untuk Sakura. Sakura yang baru saja keluar dari kamar mandi hanya bisa menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan usaha Ibunya yang tak pernah lelah mengenalkan Shin-Hae pada pria-pria pilihannya.
"Lagi?" Ujar Sakura santai sambil berjalan menuju lemari pakaiannya.
"Apa maksudmu dengan lagi." Ibunya mencium nada cemoohan dari perkataan anaknya.
"Kencan buta lagi, kan? Sepertinya menyenangkan. Akhir-akhir ini aku terlalu lelah, sepertinya aku butuh hiburan." Sakura terkekeh sambil menarik salah satu piyamanya dari lemari.
"Kau! Serius sedikit, ini untuk adikmu juga, kan? Kalau kau sudah memiliki kekasih, Ibu tidak akan bersusah payah seperti ini. Kau ini benar-benar menyusahkan. Ibu ingin menolongmu tapi kau malah menganggapnya ce…"
"Aku sudah memiliki seseorang yang kuinginkan, Bu." Potong Sakura membuat Ibunya terdiam tak percaya. Apakah dia salah dengar? Anaknya sudah memiliki seorang kekasih?
"Apa? Siapa? Kenapa kau tidak pernah menceritakannya pada Ibu? Siapa namanya? Apakah kalian akan segera menikah?"
"Ibu!" Bentak Sakura saat Ibunya memberikan serentetan pertanyaan yang memusingkan kepalanya. "Aku akan membawanya kerumah saat aku telah memastikan kalau dia menginginkanku juga." Sakura menghilang sebentar untuk mengenakan piyama sementara membiarkan Ibunya yang masih belum percaya dengan apa yang Sakura bicarakan.
"Kau sedang tidak bohong, kan? Kalau begitu ini tidak berguna lagi." Ibunya mengumpulkan seluruh foto pria-pria pilihannya yang tadi susah payah dia susun diatas ranjang lalu kembali memasukkannya kedalam amplop cokelat besar.
Sakura kembali setelah mengenakan piyama, menuju meja rias dan mengambil kalung keberuntungannya lalu memakainya. Ibunya mengerutkan kening saat melihat lagi-lagi kalung anaknya memakai kalung itu.
"Kau mengatakan kau sudah memiliki seorang pria, tapi kau masih memakai kalung itu. Apa dia tidak akan terluka jika tau kalung itu dari mantan kekasihmu?" Ada sedikit nada tidak setuju dari pembicaraan Ibunya, dan itu membuat Sakura tersenyum lalu memandang Ibunya dari pantulan cermin yang berada dihadapannya.
"Seseorang yang memberikan kalung inilah yang akan ku perkenalkan pada Ibu."
Ibunya terkejut, menutup mulutnya dengan sebelah tangan. "Kalian sudah bertemu kembali? Benarkah? Secepat itu?"
Sakura menganggukkan kepala sebagai pengganti jawabannya. "Ternyata dia atasan ditempatku bekerja." Ucapnya sambil tersenyum, mengingat bagaimana proses pertemuannya dengan Sasuke berlangsung pada saat itu.
"Astaga, benar-benar seperti kebetulan, kan?" Ibunya masih tdak percaya, dia mengusap bahu Sakura lembut dengan gerakan berulang. "Siapa namanya?" Lanjutnya.
"Sasuke Uchiha."
Publishing Building, Tokyo, Japan
06.45
"Sasuke." Panggil Sakura saat melihat Sasuke yang tengah menunggu liftnya tiba. Dia menoleh dan tersenyum, senyuman seperti biasa yang bisa membuat jantung siapapun berdebar secara tidak normal hanya karna melihat senyumannya saja.
Penampilan pria itu lagi-lagi membuat Sakura harus menahan napas. Apakah tingkat ketampanan seseorang dapat bertambah setiap harinya? Pria itu sebenarnya mengenakan pakaian yang sebenarnya pria lain disekitarannya juga mengenakannya, tapi entah mengapa jika Sasuke yang memakainya terlihat berbeda.
Setelah jas berwarna abu-abu, kemeja putih, dan sepatu berwarna hitam pekat. Jam tangan bertali hitam telah bertengger dilengan kirinya, sebuah koran didalam genggamannya, dan tangan yang satu lagi memegangi tas hitamnya. Benar-benar tampilan sempurna seorang atasan yang bersiap digoda oleh para anak buahnya.
Yang membuatnya terlalu mempesona adalah tataan rambut emo pria itu yang sebenarnya tidak bisa dibilang rapih. Jauh dari kata rapi, namun disitulah pesonanya. Apakah kalian sudah tau jika hal yang terlihat paling seksi dari seorang pria adalah rambut mereka? Sasuke-lah bukti nyatanya.
"Hai," Sapa Sasuke dengan senyuman tipis. "Ini terlalu pagi untuk seorang pegawai." Candanya yang selalu berhasil membuat Sakura terkekeh ringan.
"Kau pagi sekali hari ini." Sakura melirik jam tangannya memastikan bahwa ini benar-benar terlalu pagi untuk seorang atasan datang kekantor, bahkan anak buahnya pun hanya baru Sakura yang datang.
"Aku meninggalkan beberapa pekerjaanku kemarin, jadi aku harus menyelesaikannya hari ini." Jelas Sasuke berbarengan dengan terbukanya pintu lift. "Kau sendiri?"
Sasuke dan Sakura melangkah masuk, hanya ada mereka berdua saja. "Aku hanya ingin memeriksa beberapa data, sepertinya ada yang keliru. Aku tidak bisa tidur memikirkannya, aku takut atasanku memarahiku." Bohong Sakura, hanya ingin menggoda Sasuke yang disebut sebagai atasan tadi.
"Wah, kau harus berhati-hati kalau begitu, aku bisa memecatmu kalau aku mau."
Mereka tertawa, tak terasa mereka telah berada dilantai dimana ruangan mereka berada dan pintu lift pun terbuka. Masih gelap, bahkan Office Boy pun belum mengerjakan tugasnya. Sakura terpaksa memperlambat langkahnya karna dia kesusahan melihat didalam penerangan yang minim.
"Kau benar-benar masih seperti dulu ." Suara Sasuke terdengar oleh Sakura, namun dia tidak bisa melihat keberadaan Sasuke hingga akhirnya dia merasa tangan kanannya digenggam oleh Sasuke untuk menuntun jalannya.
Lagi-lagi berpegangan tangan! Sakura sama sekali tidak tahan jika telah bersentuhan dengan Sasuke. Rasanya, jika dia tidak punya rasa malu lagi, dia ingin menarik Sasuke kedalam pelukannya, menumpahkan seluruh kerinduannya yang selama ini dia pendam.
"Kau bisa melihat meja kerjamu?" Tanya Sasuke memecahkan keheningan. Ternyata mereka sudah tiba diruangan kerja, berdekatan dengan Sasuke benar-benar seperti terhipnotis. Sasuke yang saat itu hendak melepas genggaman tangannya, ditahan oleh Sakura.
Sakura benar-benar telah kehilangan akal sehatnya hingga dia berjinjit dan menempelkan bibirnya pada bibir Sasuke. Melumatnya perlahan seperti sedang meminta izin pada Sasuke untuk melanjutkannya. Sasuke awalnya hanya diam, namun lama kelamaan dia membuka mulutnya dan membalas lumatan Sakura.
Ciuman itu tidak menuntut, terjadi dengan sewajarnya, menumpahkan segala rasa kerinduan yang selama ini keduanya tahan susah payah, kini mereka limpahkan kedalam sebuah ciuman yang intens. Dari ciuman tersebut sudah jelas, bahwa keduanya masih saling menginginkan, masih memiliki perasaan yang sama.
Ciuman itu berlangsung cukup lama, lebih dari lima menit mereka menikmati manisnya bibir pasangan masing-masing, hingga Sasuke melilitkan lengannya disekitaran pinggul Sakura dan mengangkat tubuh gadis itu keatas meja agar dia tidak terus-terusan berjinjit menyamai tinggi tubuh Sasuke.
Mereka kembali melanjutkan ciuman itu, kali ini terasa lebih menuntut namun tetap dalam batas normal. Lidah mereka kini turut berperan didalam ciumannya, saling merasakan satu sama lain. Kegelapan menambah hasrat mereka untuk melakukan lebih dari itu, namun tiba-tiba saja sebuah nama terlintas dikepala Sasuke dan sontak dia melepas ciuman itu dengan sedikit hentakan.
Sakura mengerutkan keningnya saat Sasuke sedikit mendorong tubuhnya untuk melepaskan ciuman itu. Tiba-tiba saja perasaan bersalah menghantam Sakura. Apa yang dia lakukan?! Benar-benar bodoh, tindakan memalukan!
Mereka masih terdiam dengan posisi Sasuke masih menghadap Sakura dengan jarak yang masih terlalu dekat. Sasuke menunduk, menunjukkan rasa bersalahnya yang kini telah berubah menjadi malu.
Tak lama, lampu diseluruh ruangan ini pun menyala, memberikan cahaya yang cukup terang untuk melihat wajah Sasuke lagi, memperlihatkan bagaimana ekspresi Sasuke saat ini. Sasuke pun menunduk juga, memegangi bibirnya yang sempat dilumat Sakura tadi, mengeluarkan ekspresi bahwa dia menyesal.
Menyesal karna telah menyudahi ciuman itu begitu saja atau menyesal karna telah mencium Sakura. Entahlah.
.
.
.
To Be Continued
