Semua karakter dalam kisah ini dimiliki oleh J.J Tolkien dan J.K Rowling.
Sinopsis:
Banyak rahasia yang perlu diungkap Harry begitu ia menjejakkan kaki ke Bumi Tengah. Ini bukan lagi tentang dirinya sebagai seorang pahlawan, atau martir yang disuguhkan diatas piring perak. Jika ia sungguh ingin memahami dirinya, sekaranglah waktunya, dimana ia dikelilingi mereka yang berusia jauh lebih tua dari Willow raksasa, atau bahkan dunia.
.
.
.
Chapter 1
.
.
.
Harry Potter berlari di tengah lesatan sihir dari berbagai arah. Suara teriakan dan ledakan bersamaan dengan gemerisik kerikil terdengar dari hamparan luas tanah gersang berbatu. Jubah Aurornya berkibar sementara ia berlari sekuat tenaga sambil sesekali membisikkan mantra yang membuat para pelahap maut dengan topeng new Nazi terhempas ke belakang. Sebelum ia sempat mencapai ujung ward, jubahnya ditarik dengan hentakan keras oleh tangan-tangan kasar berotot yang membuatnya terhuyung bersamaan dengan lesatan hijau sihir terlarang. Harry merunduk, merasakan energi panas melesat melewati puncak kepalanya sebelum menabrak ward—mata hijaunya terbelalak—dan memantul, "tidak—" desis energi itu menelan suaranya. Saat avanda kadavra mengenainya, ia sudah berada dalam pusaran keras apparated.
Harry terhempas ke atas tanah berlumpur, sebelum berguling-guling jatuh di jalanan terjal dan berakhir membentur akar-akar pohon raksasa. Ia merintih tanpa suara pada hutan yang sepi, seakan hutan itu menahan napas. Membuatnya dalam keheningan total yang menekan batin. Ia mengerjapkan matanya yang buramnya dan berair. Hidungnya yang menyentuh tanah mencium bau lembab tanah hujan—aneh, padahal sekarang musim panas. Dentuman rasa sakit di kepala akibat benturan keras membuatnya menggertakkan gigi. Ia bisa merasakan lebam disekujur tubuhnya, seandainya bisa pun pada rambutnya. Tapi tak ada yang menghentikannya bersyukur sekali lagi terhindar dari kutukan paling mematikan di dunia sihir. Ia tidak tahu konsekuensi apa kali ini yang harus ditanggungnya karena selamat dari avanda kadavra; mengingat pengalamannya,punya maniak sebagai musuh bebuyutan dan berakhir ke stasiun hantu bukanlah yang paling buruk.
Derak ranting terinjak terdengar bersamaan dengan gesekan daun memberitahunya ada yang datang. Tapi tubuhnya yang membeku menghianati benaknya yang panik. Ia bahkan tak bisa menggerakkan jari untuk meraih tongkatnya. Dimana tongkatnya?
Sentakan keras mendorong tubuhnya terlentang dan rasa dingin besi menyentuh tenggorokannya. Matanya terbuka. Jakunnya naik turun saat ia menahan napas menyadari rasa dingin itu berasal dari ujung pedang. Pria asing itu berdiri menjulang diatasnya, ekspresinya yang waspada dibingkai janggut kasar dan mantel yang menutupi mata.
"Siapa kau?" Tanyanya. "Apa kau mata-mata musuh?" suaranya berat dan curiga.
"..." Harry membuka mulut tapi tidak ada suara yang terdengar. Tangannya seketika melayang ke tenggorokan, membuat pria itu beringsut mendekat dan bilah pedang ditekan makin dalam; lebih dalam lagi maka ia pasti tersayat. Tapi pria itu berhenti sebelum menyakitinya, menyadari Harry memegangi tenggorokannya dengan kesakitan. Pria itu menyibak jubah Aurornya, terkesiap.
Dibalik jubahnya, ia hanya memakai kemeja tipis musim panas yang tidak lagi putih, tapi merah gelap. Harry baru menyadari jika sebagian tubuhnya mati rasa saat pria itu memeriksa pinggang dan kakinya seolah mencari senjata. Saat pria itu tidak menemukan apapun, Harry menjadi panik karena itu berarti ia kehilangan tongkatnya.
Pria itu yang salah mengerti kepanikannya sebagai ketakutan melembutkan pandangan, "Apa kau memahami perkataanku?"
Harry tersedak saat ia mencoba menjawab.
Pria itu mencengkeram bahunya, "Pelan-pelan." Ia masih mengamati Harry dengan waspada, tapi alih-alih sambil berdiri, kini ia mendekat sehingga kepala mereka sejajar. Harry mengamati pria berpenampilan aneh itu. Ia yakin pria itu bukan muggle dengan gaya rambut dan cara berpakaiannya. Tapi, ia juga bukan penyihir karena penampilannya yang seperti tuna wisma. Seburuk apapun fasion penyihir. Terlebih tidak ada penyihir yang menyandang pedang. Apalagi muggle. Kenyataan itu membuatnya panik karena berarti ia berada di tempat yang jauh, jauh sekali berbeda.
"Aku hampir tidak terkejut menemukan orang sekarat di tempat-tempat ganjil pada masa segelap ini," gumam pria itu sambil berhati-hati mengangkat Harry. Perbedaan tinggi mereka membuat puncak kepala Harry hanya sampai di bawah dagunya. "Kau bukan orang biasa, kan kau?" ia mengamati Harry, "Terluka sendirian di tempat seperti ini, tanpa senjata ataupun jejak pertarungan. Apa kau pengalih perhatian milik musuh?" Harry menggeleng-geleng keras. Tapi gerakan itu membuat kepalanya pening; tubuhnya oleng, membawa pria asing itu terhuyung bersamanya. Pria itu mengangkatnya dengan lihai, seakan berat Harry hanya seperti sekarung gandum. "Aku tidak berencana menuju Bree seawal ini, tapi kau tidak memberiku pilihan," gerutunya, sebelum membawanya dengan langkah cekatan melewati semak tinggi dan pepohonan rapat. Langkahnya mantap, tahu kemana menuju dan gerakan teratur itu bak buaian, membuat matanya yang berat menutup dan kepalanya terkulai jatuh dibahunya.
Jika Harry bermimpi, maka ia tidak mengingatnya. Yang pertama kali ia sadari adalah sengatan tajam di rusuknya membuatnya terkesiap bangun. "Ssst..." Pria asing itu menjulang di atasnya, menahan bahunya dan mendorongnya kembali berbaring. Mata emerald Harry bersinggungan dengan warna hazel. Tidak ada ekspresi yang bisa terbaca dari wajah keras pria itu. Sebelah tangannya tetap menahan simpul kain yang ia balutkan ke luka Harry, sebelum melanjutkan kembali mengikat. "Kau hanya anak-anak," komentarnya.
Harry mengerutkan kening. Hei! Ia 17 tahun! Dan sudah hampir tidak bisa ia ingat kapan ia berhenti jadi anak kecil sejak ia tinggal bersama keluarga Dusley. Tapi suara protesnya lenyap di ujung lidah, membuat tangannya melayang ke tenggorokan. Pria itu mengamatinya, kepalanya sedikit meneleng, "Kau tidak terlahir bisu." Harry menggeleng, tampak panik. "Ssst.. ssstt...tenang, aku baru mengganti perbanmu." tangannya menahan dadanya, gestur menenangkan. Harry yakin degup jantungnya begitu keras hingga terasa di telapaknya yang besar. "Kau sudah tidak sadar selama seminggu." Hal itu membuat Harry terkesiap. "Aku terpaksa menyuapimu dengan makanan cair agar kau tidak melemah," Ia menatap pria berpenampilan pemburu ala abad pertengahan itu penuh syukur. Dengan sihirnya pun ia tidak yakin bisa bertahan tanpa makanan selama seminggu. Rekor lamanya di Dusley hanya selama tiga hari.
"Namaku Stider." Harry mengerjap, yakin itu bukan nama aslinya. Ia tidak yakin dengan motif pria itu menolongnya, selain jika ia orang yang baik. Mungkin juga karena ia tidak bisa membiarkan anak kecil terluka. "Istirahatlah, lukamu tidak dalam, tapi kau kehilangan banyak darah." Ia menjepit sumbu lilin dengan telunjuk dan ibu jarinya, membuat apinya padam. Tapi tidak ada perbedaan di ruang temaram itu karena kebanyakan cahaya masuk dari jendela kaca yang tertutup.
Di sisi lain ruangan, tempat tidur lain diletakkan. Saat Harry menoleh kembali, pria itu sudah berdiri diambang pintu, mengamatinya. "Makanlah," ia mengangguk ke arah meja dimana tudung saji menutupi piring sarapannya. Sebelum menutup pintu, ia berkata, "Jangan tinggalkan kamar."
Harry perlahan menegakkan punggung, berhati-hati supaya tidak membuka lukanya kembali, karena ia tidak lagi bisa mengandalkan sihir untuk menyembuhkan diri. Jubah hitam Aurornya tergeletak di dekat perapian. Kemejanya ada sisi kaki meja, bersama dengan perban bernoda darah, sepatu bootnya tak jauh dari sana. Ia bersyukur Strider tidak menelanjanginya, dan ia masih memakai celana jins. Harry menyisir rambutnya ke belakang dengan jari-jarinya, mengernyit merasakannya lepek dan kotor penuh lumpur.
Suara ketukan membuyarkan lamunannya, dan tak lama gadis muda masuk membawa baskom air. Pandangannya segera jatuh ke bawah saat melihat kondisi Harry. "Saya membawakan air, sir," katanya sambil meletakkan baskom berhanduk di satu-satunya meja di ruangan. Saat tidak mendengar suara dari Harry, gadis itu buru-buru keluar. Harry menghela napas sambil memegangi kepalanya. Belum-belum ini sudah menjadi tantangan.
Harry menggunakan air itu untuk membersihkan apa yang bisa ia jangkau. Ia tidak tampak baik, tapi jelas lebih baik. Ia menoleh ke penjuru ruangan untuk mencari tempat buang air kecil dan mendesah melihat timba di pojok ruangan. 'mereka tidak menyuruhku melakukannya disana, kan? Ya, kan?' tapi ia bergerak perlahan menuju benda itu dengan langkah hati-hati seakan dihadapkan dengan binatang buas. 'Peduli setan,' batinnya.
Hari silih berganti, Strider datang dan pergi hanya untuk mengecek lukanya dan mengganti air. Tidak banyak yang bisa ia korek dari tingkah pria itu tentang dunia ini, terutama dengan keterbatasannya berkomunikasi. Tapi Harry yakin ia tidak berada dimasanya sendiri. Harry menghabiskan waktunya sendirian di kamar, berusaha menggapai sihirnya. Ia bisa merasakannya dalam pusat dirinya, bergejolak dan bergerak, tapi tanpa tongkat ia tak berdaya. Mungkin Harry bisa mencoba wandless magic, toh sebelumnya ia mampu melakukannya untuk sihir sederhana. Tapi tanpa kemampuan bicara itu hampir mustahil dilakukan, kecuali latihan tekun selama bertahun-tahun.
Lagi pula sihir disini terasa berbeda. Lebih mentah dan liar. Itu tidak menyatu bak melodi di udara layaknya sihir di Hogwards, tapi bergejolak seperti badai dan ombak, kuat tapi liar. Membuatnya pergi jauh ke benaknya, dalam dinding occlumency nya yang kuat bak tembok-tembok keras the chamber of secret. Begitulah Strider menemukannya, jauh ke dalam meditasi. Saat ia membuka mata, ia tidak lagi sendirian, pria itu mengamatinya sambil berdiri di dekat perapian.
"Anak muda, waktunya membuka perbanmu."
Harry mengerutkan kening dengan istilah yang kini menjadi panggilannya. Seandainya saja ia bisa memberitahukan namanya, mungkin Harry bisa menuliskannya karena Strider bicara dengan bahasa Inggris. Tapi ia tidak yakin apakah tata bahasa mereka sama, atau bahkan huruf mereka sama. Lagi pula, ia tidak menemukan pulpen atau pena bulu. Strider juga tidak begitu tua untuk pantas memanggilnya anak muda. Ia tampak lebih mudah dari pada ayahnya, mungkin dipertengahan 30, atau mungkin jauh lebih muda dari penampilannya, karena tempat ini menuntut para prianya untuk hidup lebih keras.
Benar yang dikatakan Strider, lukanya sudah tertutup dan hanya meninggalkan bekas serupa benang perak yang memanjang dari bahu kirinya melintasi perut dan berakhir di pinggang kanannya. Satu bekas luka lagi dalam koleksi. Sama seperti sebelumnya, Strider memandangi itu semua dengan kerutan di dahi karena menyadari bekas luka itu berasal dari tajamnya pedang, bukan akibat jatuh dari pohon, menunggang kuda atau luka lain selayaknya bocah pada umumnya. Dari kerutan dahi itu membuatnya yakin sekeras apapun dunia ini, mereka tidak membiarkan anak dibawah umur menjadi veteran perang, pahlawan dan tumbal kejatuhan dark lord. Hal itu mengembalikan sedikit harapannya pada kemanusiaan.
Selesai melepas perbannya, pria itu mengambil sebuah kemeja tanpa kancing dan celana longgar, keduanya mungkin pernah berwarna putih atau bahkan cokelat, tapi kini sudah memudar warnanya. Harry bersyukur dengan pakaian ganti itu, karena tanpa standart kebersihan yang memadai, ia terpaksa memakai jinsnya tanpa celana dalam. Ia tidak mau membayangkan kuman macam apa yang menempel disana, mungkin bisa dibandingkan dengan radio-aktif. Hal itu mendorong Harry memberikan gestur terima kasih pada pria yang tidak asing lagi itu. Bagaimanapun ia telah memberinya makan dan pakaian. Pria itu mengembalikan gesturnya dengan merundukkan kepala, tampak menerima terima kasihnya; senyum bermain-main disudut bibirnya.
Harry menyentuh lengan Strider dan memberi isyarat pada saku berisi banyak pisau. Pria itu menaikkan alis. Ia melancarkan pandangan memohon. Perlahan pria itu menarik sebilah pisau diantara yang lain, dan memutarnya sehingga Harry menerima bagian gagangnya. Pria itu memandangnya waspada saat Harry mendekatkan pisau itu ke lehernya, tapi tidak bergerak lebih jauh karena Harry menarik rambut panjang berminyaknya dan memotongnya pendek-pendek, menghasilkan gerakan alis itu lagi dari Strider. Tanpa menunggu ia memotong rambutnya ala tentara, pendek hampir undercut.
Tanpa rambut panjang yang menutupi sebagian wajahnya, tato rune futhark yang disebut Uruz, di sisi matanya tampak jelas, berbentuk η, rune yang membantu pengelihatannya sehingga ia tak perlu lagi memakai kacamata. Tak ayal pandangan Strider pun jatuh ke tato itu. Harry menyisirkan jarinya ke belakang, membuat anak-anak rambut hitamnya menunjukkan semburat warna merah saat terkena sinar. Ia beranjak ke cermin di dinding, masih berada dalam tatapan Strider. Pantulan dirinya di cermin adalah versi dirinya saat ia berburu Hocrox. Tatapan matanya tampak cekung dan menanggung beban, dikelilingi lingkaran hitam akibat mimpi buruk. Ia tampak tirus dengan tulang pipi yang menonjol. Perlahan ia mulai membasahi wajahnya sebelum menggerakkan pisau itu hati-hati ke dagu dan lehernya. Ia pernah belajar melakukan ini saat ia terbaring seminggu di st mungo dengan larangan memakai sihir akibat serangan balik sihir hitam. Setelah yakin apa yang dilakukannya cukup, ia berbalik hanya untuk melihat Strider tersenyum geli.
"Oh, Hurin ku, Seandainya aku tidak melihat telinga bundarmu, aku pasti curiga kau seorang elf," komentar pria itu dalam humor pribadinya.
Itu membuat Harry menaikkan alis. Strider sering memanggilnya Hurin, entah apa maknanya. Tapi perhatiannya bukan ke panggilan itu. Jadi, tempat ini mengenal elf, dan bukan pula sebuah rahasia, mengingat Strider hanyalah muggle—iya kan? Atau mungkin mereka mengenal jenis elf berbeda.
"Kau mau ikut turun?"
Harry menelengkan kepala dan meraih jubahnya. Ia menurunkan tudung kepalanya rendah-rendah dan mengikuti langkah Strider.
Rupanya mereka berada di penginapan dua lantai dengan pub di lantai bawahnya. Harry belum pernah bertemu dengan sekumpulan orang seperti ini. Gaduh, kasar dan tanpa etika (mungkin ada hubungannya dengan bir), dan baunya tidak lebih baik dari kandang kuda. Tidak ada pria yang bersih dari jenggot atau bulu-bulu pada umumnya. Dari pembicaraan mereka yang keras, kebanyakan dari mereka petani dan pedagang. Para petani membicarakan hasil panen, pasokan bibit yang tidak pernah datang dari timur karena bisikkan teror monster-monster yang menghalangi jalan.
Strider duduk di pojok, menyedot pipanya, Harry memilih duduk disisinya. Tidak ada orang yang mendekat atau bahkan menoleh pada Strider. Seolah mereka tahu untuk tidak berurusan dengannya. Mereka yang memandang, tatapannya penuh curiga. Beberapa meja darinya, empat orang kerdil menjadi pusat pesta, bernyanyi dan menari di atas meja. Menceritakan lelucon dengan suara keras. Strider bangkit berdiri, perlahan mendekati mereka.
Harry memperhatikan tidak ada wanita di tempat ini. Tidak, jika kau tidak ingin diganggu oleh para petani mabuk. Jadi, menjadi sebuah kejutan bagi Harry melihat seorang pria tinggi besar tiba-tiba berdiri di depannya, meja kayu menghalangi mereka.
"Hei, wanita. Sendirian di tempat seperti ini. Berapa kau dibayar untuk semalam?" katanya sambil menegak birnya. Terlalu mabuk untuk berdiri. Dari sudut matanya ia bisa melihat Strider di tengah kekacauan. Ia tampak menangkis serangan dari salah satu orang kerdil saat berusaha mengangkat yang lain. Apa yang dilakukan pria itu?
"Wanita!" pria di depannya tampak marah karena tak digubris.
Harry menghela napas. Ia memang tidak berjanggut atau berbadan tinggi, tapi siapapun bisa membedakannya dengan wanita—well, kecuali orang mabuk tampaknya. Tiba-tiba Strider berada disisinya, membuat pria itu terjengkang ke belakang. Lalu wajahnya berubah lebih geram lagi, alkohol menutup akal sehatnya—siapa yang berani melawan Strider. "Berapa banyak seorang Ranger mungkin membayarmu?"
Harry berdiri, Strider menahannya. "Dia saudara perempuanku, sir. Lebih baik kau mundur," nadanya tenang, tapi ia membuat gerakan yang menarik mata pria itu pada pedang di pinggangnya. Pria itu memaki tapi ia pergi. "Ayo, Hurin. Disini bukan tempat yang tepat untuk seorang lady bicara." Seandainya bisa ia mendesis marah, tapi matanya menangkap orang-orang kerdil itu bersama Strider; mereka tampak ketakutan. "Ayo, mr Underhill, ini juga bukan tempat yang tepat untuk kalian para Hobbit."
Harry berusaha berkontak mata dengan Strider, tapi pria itu hanya mendorongnya melangkah lebih cepat menuju kamar. Sebagai orang yang tidak bisa bicara—secara harafiah ia bahkan tak bisa bersuara, Harry hanya bisa duduk di balik bayangan sementara Strider terlibat pembicaraan dengan para Hobbit; istilah yang dipakainya untuk menjabarkan mr Frodo dan kawan-kawannya yang bertubuh pendek dengan kaki besar itu. Ia mendengarkan tentang rahasia gelap Bumi Tengah. Ia hampir mengerang saat kisah sampai pada cincin Hocrox—benda menjijikkan, gelap dan sangat sulit di hancurkan. Ia bahkan tidak lagi kaget mendengar Saoron sang dark lord, atau alasan keberadaannya disini entah dimasa lalu atau dimensi yang berbeda. Ia bahkan tidak mempertanyakan alasan mengapa dimasa paling gelap—mengapa tidak di masa para elf atau kejayaan para raja saja ia dikirimkan ke tempat ini? Jawabannya satu karena Harry mainan favorit takdir.
Harry bergelung paling jauh dari Frodo, dekat perapian di sisi Strider karena disanalah ia merasa paling aman; ia membutuhkannya karena suara cincin itu berbisik dengan nada penuh buaian. Tapi itu tidak menjaganya dari mimpi buruk yang membuatnya menjerit tanpa suara. Strider membangunkannya dari mimpi buruk itu hanya karena ia mengamati Harry sepanjang malam. Pria itu tampak cemas, hingga menariknya beringsut mendekat dengan kepala Harry di pangkuannya. Harry terbangun lagi karena suara teriakan mengerikan. Para Hobbit sudah berkumpul diambang Jendela. Harry beringsut masuk seakan menenggelamkan diri dalam selimut, sementara Strider mencengkeram bahunya. "Apa sebenarnya mereka?" Frodo bertanya. Suara kegelapan berdengung di telinga Harry, ia bahkan bisa merasakan sihir gelap itu menjilat kulitnya. Strider memandangnya cemas. "Dahulu kala mereka pernah menjadi manusia," jawab Strider.
Tatapan Harry tak pernah lepas dari jendela. Mereka mirip Dementor, mengirimkan rasa dingin kesekujur tubuhnya hingga membuatnya bergidik. Harry merapatkan jubahnya. Tidak ada yang bisa tidur kembali malam itu, jadi mereka berkumpul di depan perapian.
Dari pembicaraan para Hobbit yang ceria dengan kepolosan yang tidak ternoda oleh dunia yang keras, Harry terkejut saat tahu jika mereka lebih tua dari tampilan fisiknya. Bahkan diantara mereka semua, Harrylah yang paling muda.
"Mr. Hurrin, Sir. Apa kau sudah lama ikut berkelana bersama Strider." Harry mengerjap, lebih terkejut bahwa Pippin yang mengawali bicara dengannya, bukan yang lain. Rupanya mereka mengira panggilan itu adalah nama aslinya. Ia bisa melihat dari sudut matanya, Strider menutup wajahnya dengan lengan, bahunya gemetaran menahan tawa. Keempat Hobbit itu tidak memperhatikannya, mereka menanti dengan tatapan polos.
Strider menjawab, ujung bibirnya masih berkedut, "Well, Hurrin adalah laki-laki penuh misteri. Aku pun punya banyak pertanyaan yang belum terjawab. Sayangnya akan tetap menjadi misteri karena ia tidak bisa bicara."
Para Hobbit terkesiap dan menatap Harry dengan iba dan penasaran. Harry cuma bisa mengangkat bahu.
"Tapi, kalau begitu dari mana Strider tahu namamu?" sahut Sam. Keheningan seketika diantara mereka. Frodo terkesiap, memandang tak percaya ke arah Strider.
"Jangan bilang kalau kau mengarang kata untuk namanya!"
Pria itu mengibaskan tangannya, "Tentu tidak. Hurrin punya arti." Harry menaikkan alis, sama penasarannya dengan para Hobbit. Ia menarik lengan Strider. Pria itu cuma menelengkan kepala, "Mungkin suatu saat aku akan memberitahumu artinya." Harry menyipitkan mata, tapi Strider tidak bergeming, bahkan tidak dibawah desakan para Hobbit.
