But, I'm Not a Human
Chanyeol – Baekhyun – Sehun
[Boys Love. Mpreg. Hurt?]
Alur Cepet!
(1)
.
.
.
.
Baekhyun meletakkan mangkuk sup ditengah-tengah lauk yang sudah lebih dulu ia siapkan, tentu dengan senyum bahagia karena harapan makan bersama suami dan satu-satunya putra terwujud sejak terakhir kali. Baekhyun lupa, kapan kehangatan keluarga mulai memudar dan menjadi dingin seperti sekarang. Tapi ibu tetap saja ibu, bagaimana pun berusaha ingin membuat kalau keluarga mereka baik-baik saja.
"Belakangan kau lebih suka mengelus perut? Apa ada yang sakit?" Tanya Chanyeol setelah menenggak air putih, tatapan atau nada bicaranya tak menunjukkan khawatir bahkan peduli.
"Tidak, kok. Aku hanya berpikir akan bagus jika aku hamil lagi." Baekhyun terkekeh sambil menyendok nasi untuk Chanyeol pertama kali, "Akhir-akhir ini aku kesepian, suamiku sangat sibuk dengan pasien dan anakku lebih memilih pulang ke rumah pacarnya." Senyum miris dari bibir pucat Baekhyun membuat Sehun tak berkutik sesaat.
"Ckh, kau harusnya terbiasa. Sehun sudah dewasa dan sedang berada dipuncak karirnya sebagai Dokter muda, dia pasti sangat membutuhkan dukungan dari pacarnya." Sambung si kepala keluarga cepat sebelum menikmati semangkuk sup ayam buatan istrinya.
Baekhyun menghela napas sedih tapi tetap menunjukkan ekspresi kalau ia tidak apa-apa, "Benar, harusnya aku terbiasa. Putraku tumbuh dengan cepat." Jemari rantingnya terangkat untuk mengusak rambut Sehun yang duduk tak jauh, pria itu belum membuka suara entah apa yang ia pikirkan.
Ketika suami dan putranya sedang sibuk dengan mangkuk masing-masing, Baekhyun mendapati pipinya memanas tiba-tiba dengan perasaan menggelitik. Ia benar-benar memikirkan soal anak kedua, bahkan sudah konsultasi dengan Dokter Hwang sekaligus sahabatnya itu.
"Chan, jadi bagaimana menurutmu jika kita memiliki bayi lagi?" Tanyanya, tak sabar mendengar jawaban Chanyeol. Ia ingin jawaban yang excited, atau minimal kata terserah padamu.
"Apa kau tidak sadar diri? Kau pikir hamil diusia empat puluh lima tidak berisiko? Lagipula Sehun sudah sangat dewasa untuk memiliki adik, jadi tolong jangan aneh-aneh."
Sungguh diluar ekspektasi, Baekhyun kembali cemberut dengan ekspresi sedih. Omong-omong, mereka sudah sangat jarang bersetubuh karena Chanyeol benar-benar sibuk. Jika punya kesempatan pulang lebih awal, pria itu pun akan memilih tidur panjang dan mengabaikan Baekhyun. Rasanya, benar-benar kesepian.
"Begitu, ya."
Sehun memaling ke arah papanya yang menunduk sambil menyeruput kuah sup. Hatinya serasa dihujam sejuta jarum dosa. Padahal, ia tidak bermaksud membuat Baekhyun merasa kesepian, hanya saja kekasihnya sangat manja dan membutuhkan perhatian lebih. Sehun tak bisa mengabaikan Luhan.
Drrt! Drrt!
Baekhyun dan Sehun reflek menoleh ke sumber getaran yang langsung diamankan oleh si pemilik. Chanyeol berdeham sekilas sebelum mengangkat panggilan entah dari siapa, tapi Sehun bisa menebaknya.
"Aku akan segera kesana, tunggu saja." Pria itu langsung menggeser kursi dengan belakang lututnya dan sangat terburu-buru, "Lanjutkan saja makan kalian, aku harus pergi."
Ketukan sendok bertemu meja menjadi respons Baekhyun yang menatap punggung lebar suaminya menaiki tangga untuk mengambil jaket dan kunci mobil, bahkan tanpa menengok ke belakang. Tak berapa lama, Sehun pun mendapat panggilan dari Luhan yang memintanya datang.
Lagi, tanpa alasan yang bisa Baekhyun terima, ia merasa kesepian ditinggal seorang diri. Dalam kehampaan.
...
"Sehun-ah, kau di Rumah Sakit?" Baekhyun bertanya saat ia memastikan dirinya sudah siap pergi, "Bisa menemani papa berbelanja? Papa dengar hari ini ada sale besar-besaran dan kita bisa_"
"Papa, aku ada jadwal bedah dan Luhan memintaku menginap malam ini."
Senyum cerah Baekhyun langsung direnggut angin sore, "Begitu, ya. Baiklah, semoga berhasil dan sampaikan salam papa pada Luhan."
"Hmm."
"Jangan lupa makan. Papa menyayang_"
Plip! –panggilan diputus sepihak.
Baekhyun mendesah sambil menatap layar ponselnya yang menampilkan potret dimana berpuluh-puluh tahun lalu ia masih mengingat cara bahagia. Potret ia bersama Chanyeol yang sama-sama memangku Sehun kecil. Apa sekarang mereka pernah foto bareng-bareng? Ah, Baekhyun lupa. Alur hidupnya sudah berubah.
"Sehunie, papa menyayangimu." Bisiknya sambil mengusap wajah Sehun yang terpampang, "Kau tumbuh sangat cepat, padahal papa belum siap."
Tanpa permisi, seseorang mendorong gerbang tinggi kediaman Park secara menggebu-gebu. Sampai security yang tengah beristirahat di pos tersentak kaget dengan teriakannya.
"PAMAN BAEKHYUNIE!"
"Astaga, den Jihoon! Jangan teriak-teriak!"
"Pak satpam juga teriak, tuh." Lelaki bernama Jihoon langsung memeletkan lidah dan berlari seperti anak lima tahun menghampiri Baekhyun, tidak segan merangkul lengannya. "Paman, hari ini ada sale, 'kan?! Jihoon mau beli sepatu baru, pamaannn!"
Anak itu mengerucutkan bibir sarat akan merengek. Jihoon adalah anak tetangga yang sering ditelantarkan. Ayah dan ibunya pekerja keras, sampai Jihoon tak punya kesempatan banyak untuk mengobrol dengan orang tuanya. Kata lain, Jihoon dan Baekhyun senasib. Sama-sama kesepian.
"Kebetulan paman juga ingin ke mall, Jihoonie boleh ikut, kok." Baekhyun mengusak rambut remaja SMA yang masih bergelayut dilengannya.
"Yang benar? Asik! Kalau begitu Jihoon ganti baju dulu. Paman jangan tinggalkan Jihoon, ya? Janji!"
Setelah menautkan jari kelingking, si gembul kembali berlari keluar dari perkarangan rumah Chanyeol. Tak lupa memeletkan lidahnya lagi ke arah security Cha, dari dulu mereka selalu saja ribut. Seperti kemusuhan. Diam-diam Baekhyun terkekeh, andai saja Sehun bisa seceria Jihoon dan lebih dekat padanya.
...
Baekhyun lebih dulu mendapat pesan dari Sehun kalau pria itu tidak akan pulang malam ini, jadi ia tidak perlu memasak banyak. Cukup semangkuk hanya untuknya. Chanyeol pun sudah janji akan mengusahakan untuk pulang, meskipun mustahil tapi Baekhyun tetap menunggu. Ia tidak mau tempat tidurnya menjadi dingin. Ia butuh kehangatan, ia butuh obrolan sebelum tidur dan ia butuh bercinta.
Sebagai istri, Baekhyun berhak mendapatkan pelayanan dari suaminya. Tapi jika sudah begini, apa yang harus ia lakukan? Terus menunggu? Baekhyun juga manusia, ia bisa membedakan antara lelah fisik dan batin.
...
Chanyeol tersenyum miring mendapati kekasihnya menuruni tangga dengan gaun tidur yang sangat minim, bahkan ia bisa mengintip celana dalam hitam lelaki itu seolah menantangnya. Bokong sintal yang bergoyang menjadi perhatian Chanyeol sampai ke konter dapur. Ah, Kyungsoo tahu bahwa ia satu-satunya sekarang.
"Jujur, aku malas mengungkit ini. Tapi, apa kau bertengkar dengan istrimu, Park?"
Pria itu reflek mendengus keras, "Tidak. Aku hanya bosan menatap wajahnya setiap hari, dia sudah tidak cantik lagi."
Kyungsoo mengangkat sebelah alisnya sambil berpikir, "Tidak cantik lagi? Ckh, wajar saja, Direktur." lalu menyeringai, "Istrimu sudah tua, tubuhnya tidak bagus dan kerutan wajahnya terlihat dimana-mana. Ia benar-benar tidak memanfaatkan uangmu dengan baik."
Chanyeol menepuk pahanya meminta agar Kyungsoo datang dan ia bisa dengan leluasa melampiaskan hasrat. Lelaki itu tidak menolak, ia melangkah dengan sensual kemudian langsung mencampak dirinya ke atas Chanyeol. Saling mencumbu mulut dan menjamah tubuh satu sama lain.
"Jadikan aku istrimu, Chan-heungh."
"Tentu saja, sayang. Kau harus menunggu si Byun itu mati."
...
Sehun tahu kebejatan Chanyeol yang sebenarnya. Karena itu pula ia tidak betah berada di rumah, melihat wajah polos dan ketidaktahuan papanya tentang Chanyeol yang berselingkuh membuat hati sakit. Sehun sangat marah, jika bisa ia ingin membunuh si bajingan itu, tapi.. keadaan tidak memungkinkan. Ia benci mengetahui fakta bahwa keluarganya mulai dikhianati.
"Aku turut merasakan kesepian yang papamu rasakan, Sehun-ah. Aku pernah berada diposisi seperti itu, tanpa kedua orang tua, tanpa kerabat dan tanpa teman." Luhan menyandarkan kepalanya ke pundak Sehun, "Jika aku membiarkanmu pulang, aku pasti akan kesepian lagi. Maaf, aku egois."
"Semua orang egois untuk bertahan. Kau tidak salah, sayang." Sehun menggenggam jemari Luhan yang ada dipahanya kemudian ia kecupi perlahan, "Belakangan pasien yang membutuhkan operasi sangat banyak dan apartemenmu paling dekat dengan Rumah Sakit, itu kenapa aku jarang pulang ke rumah. Semuanya bukan karenamu, kok."
"Benarkah?"
"Iya," –karena melihat papa hanya akan membuat perasaanku terluka.
...
Hari Sabtu, Baekhyun memiliki agenda yang sudah ia rencanakan jauh-jauh hari. Berdonasi sambil mengunjungi beberapa panti untuk memberikan beberapa buku cerita dan mainan Sehun saat kecil dulu, daripada tak terpakai lebih bagus disumbangkan. Baekhyun tidak pergi sendiri, tapi jangan berharap ia akan pergi dengan Chanyeol atau Sehun. Karena harapan itu tidak akan pernah terwujud, sampai ia mati sekalipun.
"Paman, Jihoon juga punya banyak mainan tak terpakai disini!" Ya, tentu saja. Hanya Jihoon yang selalu ada mengisi ruang kosong di sisinya, "Ada bunny yang bisa bicara, lihat!"
Baekhyun tertawa ketika anak-anak panti mengerubungi Jihoon dengan wajah penasaran seolah boneka kelinci yang bisa mengeluarkan suara adalah hal paling ajaib di dunia. Dulu, Sehun pernah punya satu boneka beruang yang Baekhyun belikan dan juga bisa merekam suara pemiliknya. Tapi boneka itu tidak ada di gudang, mungkin Sehun sudah lebih dulu membuangnya atau entahlah.
Selagi Jihoon puas bermain, Baekhyun berbincang-bincang dengan kepala panti sambil menikmati secangkir teh dan biskuit. Meski hari mulai petang, lelaki gembul itu tak berminat ingin pulang sepertinya.
"Paman, aku lelah!"
"Kita pulang?"
"Iya! Tapi besok datang lagi, 'kan?"
Ibu kepala panti terkikik gemas melihat keantusiasan Jihoon lantas spontan berkata, "Putra anda, Tuan Baekhyun?"
Baekhyun tersenyum kecil, "Sudah kuanggap seperti putraku sendiri, bu."
Merasa bersalah, ibu Shin segera meminta maaf kemudian pamit ingin mengontrol anak-anak panti untuk mandi sebelum kemalaman. Saat Baekhyun lengah, tiba-tiba telapak tangan hangat Jihoon menapak diperutnya membuat lelaki itu mau tak mau menatap manik takjub si gembul.
"Adik bayi?"
"Jihoonie merasakannya?" Baekhyun menimpa punggung tangan Jihoon dan mereka sama-sama mengelusnya, "Usianya sudah empat bulan, sayang sekali paman baru tahu kemarin."
"Paman Chanyeol sudah tahu?" Tanya Jihoon berbinar-binar tanpa dosa, "Akhirnya kak Sehun punya adik lagi! Jihoon juga punya teman main baru!"
Sepertinya mereka tak mau tahu keberadaan bayi ini, Ji. Paman pun tidak tahu harus bagaimana mengatakannya pada mereka, Baekhyun tersenyum manis sambil mencubit pipi gembul Jihoon.
...
"Aku sudah bilang kalau aku tidak bisa pulang! Jangan membuatku mengulangi kalimat yang sama! Kenapa kau suka membuatku marah?!"
"Tapi ini sudah empat hari, Chan. Apa yang kau lakukan di Rumah Sakit? Apa kau tidak bisa pulang bahkan setengah jam saja?" Baekhyun memegangi keningnya yang berdenyut.
"Kau pikir aku bersenang-senang di Rumah Sakit? Kau pikir aku seperti dirimu yang bodoh itu dan melakukan hal-hal tidak berguna?"
"Chan, please. Aku hanya ingin melihat wajahmu, sebentar saja." Ia memelas, demi bayinya.
"Cih, aku tidak bisa melanggar sumpah seorang Dokter. Aku tidak bisa menelantarkan pasien begitu saja, simpan rindumu sampai aku pulang."
"Tapi.. kapan? Apa aku bahkan bisa melihat wajahmu?" –perasaanku tidak enak sejak sore tadi, Chan. Baekhyun mendudukkan dirinya di sofa, dengan napas tak beraturan. "Sehun juga tidak ada kabar sejak dua hari yang lalu, aku khawatir pada kalian."
"Sudah berapa kali kubilang padamu, jangan mengganggu Sehun! Dia sudah dewasa dan butuh privasi. Kenapa kau menjadi papa yang sangat menyebalkan? Pantas saja Sehun tidak betah di rumah."
Bibir bawah Baekhyun melengkung dengan mata berkaca-kaca, isakan berusaha ia sembunyikan.
"Mengapa kau seperti ini? Mengapa kau berubah? Jika aku punya salah, katakan. Katakan agar aku tahu. Bicara padaku, aku ingin menatap wajahmu lebih lama sebelum.. hiks."
"Sebelum apa? Sebelum mati?" Chanyeol terkekeh mengejek, "Jangan terlalu drama. Sudahlah, aku sibuk."
Plip!
Baekhyun mengusap pipinya yang sudah basah karena air mata yang tidak diminta. Sejujurnya, setelah dua puluh enam tahun menikah kata-kata Chanyeol tadi lah yang paling menyakiti Baekhyun. Tapi, ia mencoba biasa saja. Mungkin faktor lelah yang membuat Chanyeol menjadi agak tempramen sehingga perkataannya tidak terfilter.
"Apa Sehunie papa baik-baik saja? Kenapa tidak mengangkat panggilan dan membalas pesan papa, hm? Papa khawatir, sayang." Baekhyun berceloteh sendiri sambil menunggu sambungan dengan Sehun, "Apa Sehunie makan dengan baik? Sudah meminum vitamin dan.. dan-hiks papa menyayangimu."
Nomor yang anda tuju tidak menjawab panggilan ini_
...
Maaf membuatmu marah, Chan. Jangan bekerja terlalu keras, aku memang tidak tahu pekerjaan Dokter seperti apa tapi kumohon beristirahatlah. Aku akan menunggumu pulang, kapan pun itu. Ada sesuatu yang ingin kukatakan. Sampai nanti, aku mencintaimu.–gagal terkirim pada pukul 11.02 PM.
Baekhyun akan menarik selimut sampai batas pundaknya sebelum sebuah suara menghentikan pergerakan, pecahan dari lantai bawah membuat keningnya berkerut dalam. Ia tidak memelihara hewan apapun yang bisa dituduh sebagai tersangka pecahan itu terjadi. Baekhyun sendirian, seperti malam-malam sebelumnya.
Tak berani untuk mengecek keadaan, yang Baekhyun lakukan pertama kali adalah mendial nomor Chanyeol dan langsung dialihkan ke operator, mengatakan kalau nomor bersangkutan tidak aktif. Yang kedua adalah Sehun, tapi sama halnya tidak menjawab. Baekhyun sudah berusaha berkali-kali sampai ia terpikir untuk mengunci pintu kamar, sebelum handle yang ditekan perlahan ke bawah membuat tangan bergetar Baekhyun reflek menutup mulutnya.
Selang beberapa menit, tidak ada apapun yang terjadi. Bahkan Baekhyun sempat mengira bahwa ia mengalami halusinasi berat. Tapi semuanya tidak sesuai dugaan ketika pintu kamarnya mulai di dobrak paksa oleh sesuatu yang besar dan keras, handle pintu dirusak dan bayangan dari celah bawah pintu membuat Baekhyun lemas.
Rumahnya sedang disusup perampok dan ia tidak punya ide untuk menghubungi siapa, kecuali_
119.
"Halo?"
"B-bisakah kau menolongku?"
"Baik, tenangkan diri anda dan bicara perlahan. Katakan dimana posisi anda, Tuan?"
"Pe-penyusup masuk ke rumahku dan aku benar-benar ketakutan sekarang. Kumohon tolong aku."
Brak!
Ponsel jatuh ke lantai begitu Baekhyun melihat dua orang berbadan besar berhasil mendobrak pintu. Bertopeng dan serba hitam. Ia tahu perasaan tidak enak sejak sore tadi adalah hal buruk dan Baekhyun sempat bersyukur bahwa hal buruk itu terjadi padanya, bukan pada Chanyeol atau Sehun, putra kesayangannya.
...
Kantor 119, pukul 11.11 PM.
"Kepala Tim, pemilik nomor yang menghubungi kita barusan adalah istri Direktur Park, pemilik Rumah Sakit Coseon." Seorang petugas membeberkan informasi yang diserahkan padanya.
"Sudah kau lacak posisinya?"
"Ponselnya mati sedetik setelah aku membuka maps, tapi aku sempat menyimpan datanya. Posisi Distrik Gangnam, komplek Jungnam, blok 13."
Sang Kepala Tim mengusap wajahnya frustrasi, "Itu adalah perumahan orang-orang besar, kata lain, istri Direktur Park berada di rumahnya sendiri. Tolong kirimkan beberapa tim ke lokasi, segera!"
...
Baekhyun berpikir dan akan lebih senang jika ia langsung dibunuh tanpa harus kesakitan seperti sekarang. Tubuhnya penuh lebam, kedua sipitnya membengkak akibat pukulan keras, rahang bergeser dengan mulut yang mengeluarkan darah sampai wajah itu tidak lagi secantik sebelumnya. Ia diperkosa secara bergantian, tapi belum juga mati. Baekhyun mengerang meminta tolong agar kedua manusia yang sedang berlaku kejam padanya berhenti.
"Sepertinya ada sesuatu yang ingin kau katakan, Dear?" Seorang dari kedua penyusup itu mencengkeram dagu Baekhyun kuat-kuat, "Kata terakhir untuk suami dan anakmu?"
"DN, kau menyadarinya? Dia sedang hamil."
Merasa lebih terancam, sebisa mungkin Baekhyun menggerakkan kedua lengan untuk melindungi bayinya.
"Ah~ Jadi penisku sedang mengunjungi anak si bajingan Park itu?" Pria itu tertawa sambil mendorong pinggulnya lebih keras, membuat Baekhyun tersentak, "MG, ambilkan tali dan ikatkan dilehernya. Aku masih belum puas melihat lelaki kesepian ini menderita."
Yang disuruh langsung bergerak cepat, ia meraih tali tambang tebal berwarna cokelat dari lantai dan mengambil posisi di atas kepala Baekhyun. Mulai melilit dan membuat simpul tali agar bisa mencekik leher korban mereka, DN benar-benar menyukai kegilaan.
"Aku memberimu waktu dua menit berbicara. Katakan sesuatu untuk suami dan anakmu yang tolol itu, Dear." DN mengeluarkan alat perekam suara lalu mendekatkannya ke arah belah bibir Baekhyun yang tidak berbentuk lagi, "Hanya dua menit."
Darah dan air mata membercaki seprai putih dibawah kulit kepalanya yang koyak. Ada banyak sekali kata-kata terakhir dalam pikiran, ia ingin menyampaikan sejuta kata maaf pada Chanyeol dan kalimat betapa ia pun sangat menyayangi Sehun. Baekhyun ingin memberitahu kalau ia sangat merindukan mereka berdua, cahaya hidupnya yang perlahan mulai meredup. Hanya ingin, suatu hari nanti, entah kapan, Baekhyun ingin duduk di atas meja makan yang sama dengan Chanyeol dan Sehun. Membicarakan sesuatu yang seru dan pada akhirnya mendengar ungkapan;
"Baekhyunieku yang cantik, aku sangat mencintaimu!"
"Tidak! Akulah yang lebih mencintai papa, iya 'kan? Aku orang nomor satu dihati papa!"
Tapi.. itu hanya harapan semu Baekhyun sebelum ia mati.
"Maafkan aku tidak bisa menjadi istri dan papa yang berguna. Aku hanya.. selama ini sangat berusaha agar rumah kita terlihat hangat, tapi.. gagal. Jangan lupakan makan dan istirahatlah dengan benar.._
_Gomapda, Chanyeol-ah, Sehunie.. papa–" Rintihan panjang dan terbata-bata Baekhyun berakhir menyedihkan karena DN lebih dulu menghentikan rekaman karena melewati batas waktu.
"Harusnya kau memaki mereka bukan malah meminta maaf, bodoh. Memang benar, orang-orang baik pantas mati lebih dulu." DN meremas perut buncit lelaki itu sekuat sampai urat-urat lengannya menyembul, ada dendam tersendiri dalam benak, "Kuatkan simpul tali dilehernya!"
Terakhir, sebagai salam perpisahan, DN memukul kepala Baekhyun dengan bola besi sampai hancur dan menusuk perutnya dengan pisau sebanyak 42 kali.
Tatapan MG menyiratkan kekosongan.
...
Pukul 12.11 AM.
"Aku pulang karena aku terpaksa, sayang. Tolong jangan cemberut begitu, aku tidak tahan ingin membantingmu ke ranjang." Chanyeol memasuki kawasan perumahan Jungnam dengan ekspresi bahagia, hal yang paling ia senangi adalah mendengar aegyo Kyungsoo.
Karena lelaki itu sangat-sangat jarang bertingkah manis.
"Jangan lupa mengunci pintu sampai aku dat_tunggu, kenapa ramai sekali?" Dahi pria itu berlipat.
"Ramai apanya?"
"Ah, bukan apa-apa. Aku akan menghubungimu lagi nanti, Kyung."
"Hmm, baiklah."
Chanyeol menghentikan mobilnya tepat di belakang salah satu mobil kepolisian. Jantungnya mencelos entah kenapa melihat garis-garis polisi membatasi agar sembarangan orang tak masuk ke rumahnya. Beberapa orang-orang berpakaian steril berwarna putih berlalu lalang memegang kamera. Barang-barang yang hanya dipakai petugas otopsi, semakin membuat ia linglung.
Rumahnya, apa yang terjadi?
"Selamat malam, Direktur Park." Seorang kepala kepolisian memberi gestur hormat dengan raut wajah tak mengenakkan, tiba-tiba menyulut emosi Chanyeol, "Maaf, kami sudah berusaha mengabari anda lebih awal tapi sepertinya ponsel anda dalam keadaan mati."
"Kenapa orang-orang ini harus ada di rumahku? Kenapa?" Tekan Chanyeol pelan, mata bulatnya menajam dengan bening-bening kaca, "Aku tidak minta kalian datang ke kediamanku!"
Pria itu segera menggeser apapun yang menghalangi jalan, tidak seorang pun berani melarang Chanyeol memasuki perkarangan rumahnya. Hal yang pertama kali tertangkap adalah, mayat security Cha sedang dibopong menuju ambulans. Chanyeol reflek menatap lantai teratas, dimana jendela kamarnya dan Baekhyun terlihat. Banyak flash kamera yang mengganggunya dari sana.
Baekhyun..?
Ia berlari dengan tungkai penuh dosa.
"Direktur Park! Anda belum boleh masuk! Direktur Park!" Tubuh besar Chanyeol langsung ditahan oleh beberapa karibnya dari Rumah Sakit dan juga polisi, "Sadarlah, Direktur! Aku turut berduka atas kejadian istrimu."
Dhuak!
Chanyeol meninju beberapa orang yang masih saja menahannya didepan pintu kamar. Kenapa orang-orang ini sangat berisik? Chanyeol hanya ingin melihat Baekhyun tidur dengan nyenyak! Ia hanya ingin menatap wajah Baekhyun yang mengaku rindu padanya! Ia ingin memastikan Baekhyun bahwa ia baik-baik saja!
"Direktur!"
Manik bulat Chanyeol terbuka lebar, langsung saja terpaku pada sesuatu yang tertutup kain putih ditengah tempat tidur. Bau dan bercak darah terpampang jelas memberitahu Chanyeol bahwa ada sesuatu yang terluka dibalik sana, sesuatu yang_
"Baekhyun.." Pria itu jatuh terduduk dilantai dekat ranjang, memanjangkan tangannya untuk menyentuh punggung tangan sang istri yang tidak sengaja menyembul. Pergelangan tangan kanan dimana pula berlian pernikahan mereka berkilau redup, "Kau tidur? Lalu kenapa harus mengundang semua orang-orang tak berguna ini, hm?" Bisiknya lebih ke tidak terima.
"Anal korban terluka parah. Selain kepalanya yang hancur sehingga sulit dikenali, perutnya juga mendapat 42 tusukan. Sayang sekali, padahal korban sedang hamil." Salah satu bagian dari forensik menjelaskan kondisi Baekhyun pada kepala detektif, yang tak sengaja didengar oleh Chanyeol, "Ponsel korban yang bisa dipakai sebagai barang bukti tidak ditemukan dimana pun. Diduga pelaku membawa benda itu bersamanya."
"Sial, mereka benar-benar profesional. Bermain tanpa meninggalkan jejak."
"Mungkin ada, Tuan. Kita bisa memeriksa sperma yang tertinggal ditubuh korban. Tapi tetap saja, bukti itu termasuk bukti lemah." Kepala detektif mengangguk sambil menghela napas, lalu menatap Chanyeol yang berusaha menyingkap kain putih penutup tubuh Baekhyun.
Setelahnya, tangisan Direktur itu membuat perhatian orang-orang tertuju padanya. Memprihatinkan sekaligus mengiba. Bagaimana pria penuh wibawa seperti Chanyeol bisa hancur dalam sekejap karena istrinya dibunuh dengan begitu keji. Siapapun pasti kecewa, tapi apakah Chanyeol benar-benar merasa begitu?
Tentu saja.
Chanyeol dan Sehun akan menjadi orang-orang paling bodoh dan terlarut penyesalan yang mereka bangun sendiri. Meninggalkan Baekhyun dalam keresahan hati yang lelaki itu rasakan, bagaimana rindu tak terlampiaskan, bagaimana harapan pupus diujung napas.
Byun Baekhyun sangat menyedihkan.
.
.
.
'Kau akan kehilangan apa yang tidak kau pedulikan.' –D.
.
.
.
[to be continued–]
