WARNING : AU, OOCness. Shonen-ai. Bit limy…

PAIRING : Fuuma x Kamui

Rating : T

A/N : Ini fanfic bhs Indo pertama yang aq publish _ dan fanfic ini aq bikin pas jaman SMA.. Jadi suda 3 tahun ini ngendon di lepi -_-"

Bagian I :

JATUH CINTA? YANG BENAR SAJA!

Fuuma Monou hanyalah seorang remaja biasa berumur 17 tahun. Seperti layaknya para remaja lainnya, ia juga menjalani masa – masa SMA yang melelahkan sekaligus menyenangkan—belajar, menjadi anggota klub basket sekaligus menjadi pemain bintang, bermain sepakbola, pergi ke rumah teman, dan juga memiliki pacar—tunggu—Pacar? Tidak, ia tidak punya. Mungkin, hanya hal itulah yang membedakannya dari sahabat – sahabat karibnya.

Ia belum pernah jatuh cinta. Sekalipun. Seumur hidupnya.

Punya pacar? Yang benar saja!

"Monou, kapan kau akan punya pacar?" tanya Satou, salah satu sahabat dekat Fuuma suatu kali, saat mereka sedang istirahat di kelas.

"Satou, pentingkah untuk memiliki pacar? Aku rasa sudah cukup menyenangkan dengan menyelesaikan semua tugas kemudian bermain basket," kata Fuuma membela diri.

Taku, sahabat Fuuma yang lain yang duduk di depannya menggelengkan kepalanya heran. "Monou, Monou…. Dengar ya…. Jaman sekarang ini, mana ada cowok yang tidak memiliki seorang gadis cantik untuk mendampinginya? Monou, cewek itu banyak gunanya. Misalnya saja saat kau kecapekan saat seusai berlatih basket, mereka akan membantumu mengerjakan PR sekolah…"

"Hei, hei! Jangan coba sarankan itu untuk bintang kelas kita!" canda Satou seraya menepuk bahu Fuuma dengan sikap bersahabat.

"Hmm… atau mungkin…. Saat kita sedih, mereka bisa menghibur kita dengan suara mereka yang lembut… lalu…" wajah Taku tiba – tiba memerah, air liur menggantung di bibirnya. Satou langsung menjitaknya, membangunkan Taku dari lamunannya. Fuuma menggelengkan kepalanya.

"Yah, aku tak melihat adanya hal baik yang bisa didapatkan dari memiliki pacar selain melatih imajinasi kita…." mata Fuuma melirik sinis ke arah Taku. "Lagipula menurutku, semua hal yang kau sebutkan tadi bisa kau lakukan dengan teman – temanmu atau saudaramu," lanjutnya, mengedikkan bahu.

Satou dan Taku langsung mengalihkan perhatiannya ke cowok bermata emas di samping mereka. "Monou… pantas saja… Pantas saja kau tidak minat dengan para gadis yang ada di sekelilingmu itu! Kau kan sudah punya Kotori!" teriak mereka bersamaan.

"Apa maksudmu?"

"Yah, kau kan sudah ada cewek secantik itu di dekatmu. Apalagi hatinya sangat baik dan suka menolong. Wajar saja kau merasa tidak perlu berbaik hati meladeni cewek – cewek heboh itu!" kata Satou.

"Hah?" Fuuma bingung. "Aku hanya malas mendengar teriakan mereka yang bising. Itu saja. Tak ada hubungannya dengan Kotori!"

"Tentu saja ada!" kata Taku tiba – tiba. "Monou, aku curiga…. Jangan – jangan kau naksir Kotori!" lanjutnya penuh makna.

Wajah Fuuma langsung merah karena marah. "Yang benar saja! Kotori itu ADIKKU!"

"Yah, hubungan saudara kan tidak jadi penghalang untuk hubungan cinta," kata Satou penuh arti, membuat tangan Fuuma menjitaknya beberapa saat kemudian.

"Dengar ya, wahai para pecinta," kata Fuuma jengkel. "Aku tidak akan pernah jatuh cinta, pada siapa pun—apalagi pada ADIKku sendiri—" ia menekankan. "Apalagi punya pacar! Sudah, aku pergi ke kantin saja sekarang! Daripada bertukar pikiran dengan orang – orang aneh seperti kalian!" kata Fuuma seraya bangkit dari kursinya dan pergi ke luar kelas, meninggalkan kedua temannya terbengong - bengong.

"Fuuh…" kata Taku menghela napas, setelah sosok Fuuma tidak tampak lagi.

"Ada apa? Kenapa kau malah terlihat senang begitu sih!" ujar Satou sambil mengusap – usap kepalanya yang baru saja dijitak Fuuma.

"Untung saja aku hanya bilang begitu…"

"Maksudmu?"

Taku menggaruk kepalanya. "Tadinya aku ingin mengatakan hal lain. Tapi berkat kamu aku tidak jadi mengatakannya."

"Hah? Soal Kotori-chan yang kawaii itu?"

"Yah, tadinya aku tak ingin bilang kalau Monou naksir adiknya sendiri…" kata Taku, wajahnya tampak menyembunyikan sesuatu.

"Lalu, ingin bilang apa kalau begitu?" tanya Satou penasaran.

Taku tampak ragu – ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Aku tadi ingin bilang… 'Jangan – jangan kau homo'…."

-ooo-

Fuuma mengarahkan langkah tegapnya menuju ke kantin, dan seperti biasa, di sekeliling jalan yang dilaluinya, ia menemukan para gadis—mulai dari kelas 1 hingga kelas 3—bergerombol hanya untuk melihatnya lewat. Beberapa di antara mereka ada yang memberanikan diri menyapa (umumnya teman satu angkatan) dan mau tidak mau, Fuuma harus membalas semua itu.

Hati Fuuma sudah amat jengkel ketika ia sampai di pintu keluar sekolahnya menuju halaman. Dalam keadaan kesal, matanya dan tubuhnya tidak berkonsentrasi melihat jalan sehingga…

BRUAK.

Oops, batin Fuuma. Aku baru saja menabrak seseorang hingga terjatuh!

Cepat – cepat ia menurunkan tangannya dan membantu seseorang yang jatuh di hadapannya. Ia membantunya berdiri dan sesaat ia merasa bahwa orang yang diangkatnya itu mungkin hanya ilusi saking ringannya.

Dilihatnya sosok yang baru saja ditabraknya itu dengan mata emasnya.

Seorang anak laki – laki rupanya, memakai seragam yang sama dengannya. Murid baru? pikir Fuuma, karena ia merasa belum pernah melihatnya sebelumnya. Anak itu memiliki tubuh yang kecil dan sedikit kurus. Kulitnya putih dan sangat halus seperti perempuan. Rambutnya hitam pendek dan sedikit berantakan. Wajahnya juga sangat manis (uhhh… manis? Kenapa aku berpikir ia manis? batin Fuuma). Tapi yang paling menarik perhatian Fuuma adalah mata cowok itu. Warnanya ungu violet bening, seperti kristal, dibingkai dengan bulu mata yang panjang dan lentik.

Fuuma sejenak terdiam, tak mampu berkata apa – apa. Sejenak, ia merasakan sensasi aneh dalam perutnya saat ia memandang kedua bola mata itu.

"Ngg…" ia mendengar cowok itu berbicara. "Sebelumnya, aku ingin minta maaf jika telah menabrakmu. Nah, jika tidak ada apa – apa lagi, bisakah aku pergi?"

Suara manis cowok itu membangunkan Fuuma dari imajinasinya dan ia segera mengangguk malu. "Ah, maaf… kau boleh pergi. Anu… aku juga minta maaf telah menabrakmu…" kata Fuuma sambil mengulurkan tangannya.

Cowok manis itu menjawab uluran tangan Fuuma, membuat Fuuma kembali merasakan sensasi aneh saat tangan lembut cowok itu menyentuhnya. Ia tersenyum, "Tak apa – apa. Mungkin kau sedang tidak enak hati. Maafkan aku juga telah merepotkanmu."

"Iie… tidak apa – apa!" kata Fuuma cepat. Sejenak kemudian, suasana menjadi hening dan kikuk. Wajah kedua cowok itu tampak sedikit berwarna merah muda.

"Ngg… kalau begitu aku pergi dulu, ya. Temanku menunggu. Sampai jumpa lagi," kata cowok manis itu seraya melepas jabatannya, kemudian pergi meninggalkan Fuuma yang masih terpesona.

Dan beberapa saat kemudian, barulah Fuuma tersadar kalau ia belum menanyakan namanya.

-ooo-

"Aaa! Kamui-chan! Ke mana saja kau? Aku dari tadi mencarimu! Ayo, tadi kau kan belum selesai menjelaskan?" ujar seorang gadis berambut pirang ikal dan mata biru dari pojok kelas ketika matanya menangkap sosok seorang cowok bermata violet di depan pintu kelas 2-5. Tangannya melambai –lambai manja. Di mejanya terbuka dua buah buku berisi rumus – rumus rumit fisika.

"Maaf, Kotori. Aku tadi bertabrakan dengan seseorang," kata cowok yang dipanggil Kamui itu seraya masuk ke dalam kelas dan duduk di meja depan Kotori. Ia kemudian mengambil sesuatu dari kantongnya dan memberikannya pada Kotori. "Ini, ada permen. Mau?" tawarnya.

Kotori mengambil satu permen jeruk dan memakannya sambil tersenyum. "Arigatou, Kamui-chan! Aku selalu merepotkanmu, ya?" katanya dengan suara ceria. Kamui menggeleng lemah. "Iie… daijoubu. Tidak apa – apa kok. PR-nya tadi sampai mana?"

"Ah, iya! Sampai sini!" kata Kotori sambil menunjuk ke sebuah soal. Kamui mengalihkan pandangannya ke soal tersebut. Kemudian meminta Kotori untuk mengambilkannya pensil untuk menulis jawabannya. Beberapa saat kemudian, soal itu telah terjawab.

"Ahh! Terima kasih, Kamui-chan!" ujar gadis itu seraya mengambil pensil dan bukunya dari Kamui. Kamui mengangkat wajahnya, "Sudah selesai? Hanya itu yang ingin kau tanyakan?"

Kotori mengangguk. "Mm! Itu saja kok! Arigatou ya Kamui-chan! Kamui-chan benar – benar baik, seperti Oniichan!"

Kamui mengedikkan kepalanya dengan bingung. "Hmm? Oniichan? Kamu memangnya punya kakak?"

"Ah! Aku belum bilang pada Kamui-chan ya? Maaf, aku sering lupa kalau Kamui-chan murid baru di sini," kata Kotori, wajahnya memerah karena malu. Ia cepat – cepat melanjutkan, "Aku punya kakak laki – laki yang sangat baik! Namanya Fuuma! Ia lumayan populer lho di kalangan cewek di sini!" kata Kotori.

"Hmm, cowok populer ya? Kenapa dia bisa populer?" tanya Kamui asal. Ia sebenarnya tidak terlalu tertarik, tapi berhubung ia melihat Kotori, sahabat pertamanya di SMA ini, sangat bersemangat menceritakannya, mau tak mau ia terpaksa meladeninya.

"Oniichan itu bintang kelas! Dan tidak hanya itu! Ia juga jadi bintang di lapangan basket!"

"Oh, seorang atlet?"

Kotori mengangguk lagi. "Yup! Ia menjadi MVP saat turnamen nasional setahun yang lalu. Hebat 'kan?"

"Ya, aku percaya dia orang yang hebat—pasti ia terlihat sangat gagah dan tampan, ne?" tanya Kamui pelan, pikirannya sejenak melayang ke cowok tinggi nan atletis bermata emas yang ia tabrak tadi. Cowok itu juga tinggi dan atletis…dan ia sangat tampan dan gagah… batin Kamui secara tidak sadar.

"Tentu saja!" kata Kotori bangga. "Sayangnya ia belum punya pacar sampai sekarang! Ah, kadang aku sering heran, cewek seperti apa sih yang bisa menarik perhatian Oniichan-ku itu!" Kotori mengangkat tangannya dan mengepal kesal. Wajahnya tampak marah, tapi justru terlihat imut dan lucu. Kamui tidak tahan untuk tidak tertawa melihatnya.

"Hey, Kamui-chan! Kok tertawa sih?"

Kamui menjawab di sela – sela tawanya. "Maaf, kau lucu sih!"

Kotori mendengus kesal dan merengut. "Huh dasar Kamui! Awas ya!" ujarnya, membuat Kamui tertawa semakin keras.

"Aha… ahahaha… daripada kau kesal begitu, bagaimana kalau kau tunjukkan kakakmu itu padaku? Aku ingin melihat sekeren apa sih kakaknya Kotori!" kata Kamui sambil berusaha menahan tawa.

"Benar? Kau mau bertemu dengannya? Oke! Aku akan meminta Oniichan untuk menjemputku nanti ke sini! Setelah itu, biar kukenalkan kau padanya!" kata Kotori, kembali bersemangat.

-ooo-

TIIT! TIIT!

"Eh, Monou, HP-mu berbunyi tuh!" kata Taku ketika ia melihat sang bintang basket telah kembali ke kelas dengan sebungkus plastik di tangan.

"SMS?" Fuuma segera menuju ke bangkunya. Ia meletakkan bungkusan plastik berisi donat coklat dan mengeluarkan HP dari dalam tasnya. Cepat – cepat ia membukanya dan menemukan nama 'Kotori' di baris pengirimnya.

"Dari siapa, Monou?" tanya Satou.

"Dari Kotori. Ia minta dijemput di kelasnya nanti waktu pulang," kata Fuuma sambil menggeser – geser tombol scroll di HP-nya. Ia kemudian membuka menu 'Reply' dan mengetikkan 'Ok'.

"Tumben! Wah pasti ada apa – apanya tuuuhhh…" kata Taku iseng lagi, membuat Fuuma mengirimkan salah satu tatapannya yang paling tajam padanya.

"Memangnya kau bisa menjemputnya, Monou? Kau kan ada latihan basket?" tanya Satou.

"Bisa, pelatih tadi menemuiku dan mengatakan kalau latihan hari ini ditiadakan karena beliau akan pergi," jawabnya ketika layar HP-nya menampilkan kata 'SENT' kemudian memasukkannya kembali ke dalam tas.

"Yaaah… berarti nanti kita tidak latihan basket dong… sebal!" kata Taku.

Fuuma tersenyum sedikit nakal, "Mungkin itu akibatnya kalau kau menjahiliku, Taku!"

"Fuuuh…. Aku menyerah! Aku tidak akan mencoba menjodohkanmu dengan siapapun lagi, Monou!" kata Taku sambil menjulurkan lidahnya pada Fuuma.

-ooo-

Kotori melirik ke arah jam dinding di kelas dengan perasaan gelisah. Jam setengah dua… Oniichan lama sekali…batin Kotori. Ia berkali – kali melongok ke luar kelas, berharap ia akan menemukan sosok tinggi atletis kakaknya berlari terburu – buru ke kelasnya.

Kamui sedang duduk di meja terdepan dekat Kotori dengan tas sudah tertenteng di bahunya. Ia melihat temannya berputar – putar gelisah di hadapannya. Matanya mengikuti setiap langkah bingung gadis itu. Namun jauh di sudut hatinya, Kamui merasa gelisah juga. Sejak bertabrakan dengan cowok tadi, pikirannya tidak bisa berhenti untuk memikirkan keberadaan cowok itu. Siapa namanya? Dia kelas berapa? Pikiran itu terus memenuhi kepalanya ketika tiba – tiba Kotori berteriak.

"Oniichan!"

Kamui mengangkat kepalanya untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih baik akan sosok kakak Kotori. Ia mengangkat wajahnya hanya untuk menemukan sosok yang sedari tadi dipikirkannya, kini berdiri di hadapannya.

Cowok bermata emas itu…!

-ooo-

Cowok bermata violet itu!

Fuuma tak percaya ketika matanya bertemu dengan mata ungu bening cowok manis itu. Mustahil! Dia ada di kelas yang sama dengan Kotori? Ya ampun! ujarnya tak percaya dalam hati.

"Oniichan?" Fuuma mendengar suara adiknya. Ia segera tersadar dari lamunannya dan juga tersadar bahwa ia telah memandangi cowok itu lumayan lama sehingga membuat cowok bermata violet itu salah tingkah.

"Oniichan? Kau kenapa? Sampai bengong begitu?" tanya Kotori, ia mengibas – ibaskan tangannya di depan wajah Fuuma. Mata birunya memandang penuh selidik.

"Unn! Tidak apa – apa! Ayo kita pulang Kotori!" kata Fuuma cepat – cepat, berusaha mengalihkan perhatiannya dari cowok itu. Tapi, Tuhan memang menakdirkan lain. Kotori menahannya kemudian menyentuhkan tangannya dengan tangan halus cowok mata violet itu, sekali lagi.

"Oniichan, sebelum kita pulang, aku ingin memperkenalkanmu dengannya. Dia murid baru di kelasku. Dia datang jauh – jauh dari Okinawa. Namanya Kamui. Tadi aku bercerita tentang Oniichan dan katanya ia ingin tahu seperti apa Oniichan. Jadi aku meminta Oniichan menjemputku kemari untuk memperkenalkannya padamu," ujar Kotori ceria, tanpa menyadari bahwa sentuhan tangan yang ia ciptakan telah membuat wajah kedua cowok itu memerah.

"Aaah… Fuuma—Fuuma Monou…" ujar Fuuma seraya mempererat jabatannya.

"Aku Kamui… Kamui Shirou…" cowok itu membalas. Jadi namanya Kamui? Manis sekali! pikir Fuuma.

Kotori tersenyum ceria. "Jadi, Kamui-chan! Ini dia Oniichan-ku! Keren 'kan?" kata Kotori sambil mengalungkan lengannya di pinggang Fuuma.

Kamui mengangguk malu. "Yaa… dia keren…" ujarnya pelan, membuat Fuuma semakin merah.

"Makanya! Sudah kubilang apa! Oniichan itu keren, tampan, pintar, baik, jago olahraga lagi! Kurang apa coba?" kata Kotori bangga. Fuuma mendorong adiknya sambil malu – malu, "Kotori… kau melebih – lebihkan…."

Kotori mendengus kesal dan mengambil tangan Fuuma yang menggenggam tangan Kamui, membuat Kamui bergumam pelan. "Tidak kok! Buktinya waktu Oniichan tadi ke sini, banyak cewek yang berteriak – teriak memanggil nama Oniichan 'kan? Mulai dari kelas tiga yang segenerasi dengan Oniichan sampai adik kelasku, semuanya berteriak – teriak!"

"Sudah, ah… tidak enak tuh sama Kamui…" kata Fuuma, matanya tak pernah lepas dari mata Kamui.

"Oh ya! Maaf, maaf Kamui-chan!" mata Kotori tak sengaja melihat jam tangan Fuuma dan ia cepat – cepat berkata, "Oniichan sudah jam segini! Pulang yuk?"

"Ah… iya…" Fuuma menjawab asal, berharap Kamui akan menahannya untuk berbicara lebih banyak lagi. Tapi ternyata tidak.

Dan tiba – tiba, ide itu terlintas begitu saja.

"Kotori? Kau tak mengajak temanmu ini pulang bersama kita?"

"He?" tanya Kotori bingung.

"Oh, maksudku… kelas kan sudah sepi, bagaimana kalau kita mengantarnya pulang? Kan kasihan kalau dia sendirian di sini? Kau tetap bisa naik sepeda selama kita berdua berjalan," kata Fuuma. Oh… kita 'berdua'…Entah kenapa pikiran itu membuat perutnya terasa melilit.

"Benar juga!" kata Kotori sambil menepuk kedua tangannya dengan gaya yang sangat kekanak – kanakan. "Rumah Kamui 'kan searah dengan rumah kita! Kamui! Bagaimana kalau kau ikut bersama kami?"

Kamui melebarkan matanya tak percaya. Cowok itu… mengajaknya pulang bersamanya! Ya ampun! YA AMPUN!

"Tapi… tidak apa – apakah Kotori?" kata Kamui, mengeluarkan kata yang amat sangat berbeda dari apa yang ingin dia katakan. Susahnya untuk menjawab 'Ya'…

"Tentu saja! Ayo!" kata Kotori sambil mengalungkan lengannya lengan kedua cowok itu dan menyeret mereka pergi tanpa ampun.

-ooo-

Jalanan lumayan sepi ketika Fuuma, Kamui dan Kotori lewat. Taman bermain untuk anak – anak di dekat sekolah mereka juga tampak sedikit lengang. Hanya terlihat beberapa anak kecil sedang mencoba membuat istana pasir ditemani pengasuh mereka.

Kotori duduk di sadel belakang sepeda kecil yang dipakai Fuuma sehari – hari sebagai transportasi untuk mereka sekolah, sementara tangan Fuuma memegang setang sepeda sambil menuntunnya menyusuri jalan dengan berjalan kaki. Di samping mereka berdua, Kamui Shirou berjalan pelan dengan wajah tertunduk dan nyaris tertabrak tiang kalau saja tidak ditarik oleh Fuuma.

"Kamui-chan! Hampir saja! Hati – hati dong kalau berjalan!" kata Kotori.

Kamui mengangguk malu. "Maaf," balasnya singkat. Tangannya menggaruk belakang kepalanya dengan kikuk. Kotori menurunkan wajahnya untuk melihat Kamui dari dekat.

"Hey, Kamui-chan, ada apa denganmu? Dari tadi aku lihat tingkahmu jadi aneh begini sejak melihat Oniichan?" katanya polos, tanpa tahu bahwa kalimat itu tepat mengenai sasaran di hati Kamui dan membuat Fuuma ikut salah tingkah.

"Uh… aku… aku… aku hanya…. Engg…"

"Hmm?" Kotori memiringkan kepalanya, memberikan ekspresi imut.

"Aku hanya… hanya… um… iri? Maksudku, kakakmu sangat keren dan hebat… dia juga tampan dan gagah… aku ingin seperti kakakmu. Yah… kira – kira seperti itu!" kata Kamui. Ia mengacungkan jari telunjuknya untuk mempertegas pernyataan.

"Oh… iri? He, he, jangan begitu dong! Kamui-chan juga tampan kok! Manis lagi! Ya 'kan, Oniichan?" tanya Kotori pada Fuuma.

"Oh, ya… tentu saja…" jawab Fuuma asal. Ia merasa agak kecewa dengan pernyataan Kamui barusan. Tapi ia berusaha menutupinya dengan bersikap ramah. Tentu saja dia berpikir begitu, bodoh. Ia mengingatkan dirinya sendiri. Mana mungkin ia berpikiran 'sama' sepertiku! Ah! Sudahlah! Yang penting aku harus tetap terlihat ceria untuk menyenangkan Kotori dan Kamui. He? Kenapa aku jadi berpikir seperti ini sih?

"Ngomong – ngomong, Kamui, kata Kotori, kau pindahan dari Okinawa, ya?" tanya Fuuma tanpa melirik sedikitpun ke Kamui.

"He? Iya. Aku pindah ke Tokyo kira – kira dua minggu sebelum masuk sekolah," jawab Kamui, tidak menyadari perubahan sikap Fuuma.

"Dengan siapa kau pindah? Sendiri?" tanya Fuuma lagi.

Kamui menggeleng. "Tidak. Aku bersama ibuku." Kotori membelalakkan matanya. "He? Dengan ibumu saja, Kamui-chan?" tanyanya, disambut anggukan dari Kamui. Kotori mengangkat tangannya untuk bertepuk tangan.

"Lalu, apa pekerjaan ibumu, Kamui?"

"Umm… beliau seorang akuntan di sebuah bank swasta. Tapi kemudian ia dipindahkan dari kantor cabang ke pusat. Jadilah aku pindah kemari," jawab Kamui. "Bagaimana dengan kalian berdua? Apa pekerjaan orangtua kalian? Kotori belum cerita apa – apa padaku tentang keluarganya."

"Ahaha, begitu ya? Pasti Kotori terlalu sibuk untuk menanyakan pelajaran Fisika sampai – sampai lupa menceritakannya," canda Fuuma. Tangan mungil Kotori langsung mendorong bahu kakaknya dengan kesal.

"Uh! Apa maksudnya itu? Aku hanya merasa aneh jika bercerita – cerita tentang keluarga dengan anak baru!"

"Tapi 'kan Kamui sudah menganggapmu sebagai teman dekatnya. Mestinya kalian bertukar cerita 'dong. Kau baru tahu 'kan kalau Kamui pindah ke sini hanya dengan ibunya?" balas Fuuma, membuat adiknya memerah karena malu.

"Tak apa – apa Kotori…" Kamui memberikan senyumnya pada gadis itu. Diam – diam Fuuma agak iri juga melihatnya. "Jadi? Apa pekerjaan mereka?"

"Ayah kami adalah seorang pendeta Shinto, sementara ibu hanya ibu rumah tangga biasa. Perlu kutambahkan bahwa rumah kami juga sebuah kuil Shinto, nama kuilnya Togakushi," jawab Fuuma menjelaskan.

"Pendeta Shinto? Wow, aku belum pernah melihatnya secara langsung! Kebetulan sekali! Ternyata keluargamu menarik sekali, Kotori!" kata Kamui seraya tersenyum lagi, diikuti tawa ceria Kotori di atas sadel sepeda.

Beberapa saat kemudian, mereka berhenti di sebuah rumah kecil bergaya modern dengan cat putih dan atap berwarna coklat. Kamui menunduk dan memohon diri dari mereka berdua.

"Terima kasih… sudah mengantarku pulang…" ia membungkuk dan diam – diam diliriknya Fuuma dari ekor matanya. "Aku masuk dulu. Kalian berdua, berhati – hatilah!" ia menarik tubuhnya dan berbalik. Kemudian mengambil kunci dari kantongnya dan membuka gembok pagar.

Kotori memandang Kamui hati – hati sebelum akhirnya berkata, "Kamui-chan…. Jangan – jangan kau sedang sendirian di rumah sekarang?"

Kamui mengangguk pelan, bingung. Kotori dengan cepat menepuk tangannya lagi. "Kalau begitu ikutlah bersama kami! Biar kubuatkan tamago sushi untukmu! Bagaimana?"

"He? Tidak apa – apa, kok. Aku bisa masak makanan sendiri!"

"Ayolah, Kamui-chan… ya? Ya? Ya? Kami berdua juga sedang ditinggal oleh ayah dan ibu kok karena mereka berdua sedang ada perlu ke luar kota dan pulangnya baru nanti malam. Bagaimana? Mau ya?" bujuk Kotori.

Kamui berpikir sebentar. Kalau aku ikut ke rumah Kotori, berarti, aku bisa bersama orang itu 'kan? Diliriknya Fuuma sebentar. Lagipula aku juga sedang malas untuk membuat makanan sendiri. Yah, baiklah kalau begitu.

"Oke, aku ikut," jawab Kamui.

-ooo-

"Tunggu di sini ya! Biar aku siapkan makanannya!"

"Kotori, kau perlu bantuanku?" tanya Fuuma, melirik cemas ke arah dapur. Kotori kemudian muncul dengan celemek sudah terikat rapi di atas bajunya. Ia mengacungkan tangannya dan membentuk huruf 'V' dengan kedua jarinya.

"Iie! Temani Kamui-chan saja!"

"Eh? Oh, oke…" ia berbalik dan menemukan Kamui sedang menatapnya dengan kedua bola matanya yang berwarna violet. Cepat – cepat cowok itu mengalihkan pandangannya saat menyadari Fuuma balas memandangnya. Bola mata violet itu… bola mata itulah yang membiusku dari tadi.

Fuuma mengambil tempat duduk tepat di samping Kamui dan tangannya tanpa sengaja menyentuh tangan lembut cowok itu. Kamui berjengit pelan saat merasakan tangan Fuuma yang besar menyentuhnya. Diam – diam, ia pun merasakan sensasi melilit yang sama dengan Fuuma di perutnya.

"Eh, Kamui ingin nonton TV? Biar kunyalakan TV-nya," kata Fuuma kikuk. Kamui menggeleng, "Tidak usah, lebih baik kita ngobrol – ngobrol saja, Fuuma-senpai."

"Fuuma. Panggil Fuuma saja," kata Fuuma cepat. Mata Kamui membelalak bingung. "Tidak apa – apa. Kau hanya beda setahun denganku 'kan? Tidak masalah memanggilku hanya dengan Fuuma saja."

"Sungguh? Oke, Fuuma, kalau begitu. Ung, Fuuma, sejak kapan kau bermain basket? Kata Kotori, kau adalah pemain bintang di sekolah. Pasti kau sudah main basket sejak kecil ya?" tanya Kamui.

Fuuma memegang dagunya dan berpikir, mencoba mengingat – ingat. "Um, aku pertama kali bermain basket sewaktu SD kelas 5. Ketika di SMP aku ikut klub basket—tapi waktu itu aku masih belum bisa apa – apa, sih. Aku baru benar – benar serius main saat di SMA ini," ia menjawab. Kamui mengangguk – angguk mengerti.

"Wow, berarti kau benar – benar hebat ya Fuuma. Bisa jadi MVP segala di turnamen nasional kemarin?"

"He? Kotori yang cerita ya? Anak itu memang suka pamer," kata Fuuma sambil melirik Kotori yang sedang bersenandung di dapur. Kamui tertawa, "Tidak apa – apa 'kan? Apa – apa yang bagus dan baik 'kan memang gunanya untuk diceritakan?"

Fuuma ikut tertawa, "Ha, ha, bisa ikut membantu menaikkan gengsi ya! Oh ya, hobinya Kamui apa?"

Kamui meletakkan dengan jarinya di dagu dengan ekspresi imut. "Umm, apa ya? Aku tidak punya hobi yang khusus, sih…"

"Makan? Tidur?" tebak Fuuma asal. Kamui tertawa lagi dan mengangguk. "Itu termasuk yang khusus deh!" kata Kamui dan mereka tertawa bersama. Kotori mengalihkan perhatiannya dari masakan di hadapannya ke dua cowok di ruang keluarga. Ia tersenyum simpul sebentar sebelum kembali berkutat dengan tamago sushi-nya.

-ooo-

Pukul delapan malam.

Kamui baru saja tiba di rumah ketika ia melihat kalau lampu rumahnya sudah menyala. Menyadari ibunya sudah pulang, Kamui menutup pintu pagar dan berlari masuk.

Kamui menemukan ibunya sedang memasak di dapur. Ia cepat – cepat meminta maaf karena pulang terlambat. Ibunya hanya tersenyum bijak dan justru merasa senang ketika ia mengetahui alasan putra tunggalnya itu terlambat pulang.

Setelah mandi dan menikmati makan malam, Kamui langsung menuju ke kamarnya dan mengganti bajunya dengan baju tidur berwarna ungu muda yang agak kebesaran untuk ukuran tubuhnya yang kecil. Ia mematikan lampu, kemudian naik ke atas tempat tidur dan menyelimuti dirinya dengan selimut tebal yang sewarna dengan piyamanya.

Ia mencoba menutup matanya untuk tidur, tapi tidak bisa. Semua hal indah yang ia alami hari ini tidak bisa ia lupakan. Tentu saja, ia tak mungkin bisa melupakan sosok gagah itu dalam waktu semalam saja dari dalam pikirannya.

Aku tak pernah merasakan perasaan seperti ini pada siapapun… Jantungku berdebar, wajahku memanas… Dia memang… 'Istimewa'… Wajahnya sangat tampan, tubuhnya tinggi dan atletis, dan dia juga sangat baik. Lagipula, entah kenapa, setiap kali melihat ke bola mata emasnya itu, aku selalu merasa aneh. Bola matanya itu terasa sangat dalam, rasanya seperti jatuh ke dalam jurang perasaan yang jauh bermeter – meter…

Kamui berbalik gelisah di dalam selimutnya.

Mungkinkah… aku… jatuh cinta padanya?

Ia berbalik lagi.

Padahal dia 'kan cowok juga! Sama seperti aku!

Kamui menarik selimut ungunya dan menutup wajahnya

Padahal kukira aku menyukai Kotori…

Ia kembali menurunkan selimutnya dan memandang ke langit – langit kamarnya yang tinggi. Ia menghela napas panjang dan membatin lagi.

Jadi… Jangan – jangan alasan kenapa selama ini aku tak pernah benar – benar menyukai seorang cewek adalah… bukannya karena aku tak suka… tapi aku MEMANG tak akan pernah bisa suka…

Ia menutup matanya dan melihat bayangan wajah Fuuma di sana. Dalam bayangannya Fuuma melayangkan senyum terbaiknya hanya untuknya dan bayangan itu membuat wajah Kamui memerah.

"Fuuma… Monou…" ia berkata sangat pelan sampai – sampai ia sendiri tak bisa mendengar suaranya. "I love you…"

To Be Continued…

A/N : Weww.. selse chapter 1, chapter 2 ditunggu ya…. R&R please! ^^