Disclaimer: Saya bukan pemilik sah dari series Naruto. Naruto adalah milik Masashi Kishimoto. Dan tidak ada keuntungan komersil yang saya dapat dari pembuatan fanfiction ini.

Warning: AU, possibly OOC, Ino-centric, author males riset, fakta ilmiah yang ada disini belum tentu valid

Multi-chapter pertama saya. Hope you like it!:3

.

.

.


Langkah kaki terdengar berkejaran. Suaranya mengaung di lorong panjang dengan dominasi putih yang mutlak. Sudah terlalu larut untuk gaduh, tapi tak seorang pun bisa protes. Ini kewajiban, memang siapa mereka hingga berhak menolak tugas yang sudah seharusnya mereka emban?

Sakura Haruno mengesah lelah, tubuhnya baru beristirahat setengah jam, dan sekarang ia harus bergegas menjemput tugas lagi? Tugas yang bahkan belum Sakura ketahui. Ia berjalan cepat, seiringan dengan beberapa rekan berjas putih yang sama terburu-burunya seperti dirinya.

"Hoi, Forehead!"

Gadis pink itu berhenti dan menoleh ditengah ketergesaannya. Mata emerald-nya menemukan sesosok gadis cantik berambut pirang panjang dengan mata sejernih langit, di pintu lift yang menganga lebar. "Ino!"

Gadis pirang itu mendekat, berlari-lari kecil untuk menyeimbangkan langkah rekannya yang terburu waktu. "Aku tak percaya Direktur menyuruh kita bergegas hanya untuk ini." Ino Yamanaka menghela napas kesal. Dan Sakura tahu, kalau Ino begitu terburu-buru berlari dari apartemennya menuju lab karena panggilan mendadak dari Direktur—dilihat dari betapa berantakannya baju dan jas putih Ino. Sesuatu hal yang jelas bukan Ino, mengingat betapa gadis itu begitu memperhatikan penampilannya.

"Kau sudah tahu masalahnya?"

Gadis pirang menggeleng. "Tidak tahu. Aku hanya mendapat panggilan untuk berkumpul. Tapi kupikir ada sesuatu yang mencurigakan, dan kita akan disuruh menyelidikinya," ucap Ino sambil membenarkan kerah jas putihnya yang terlipat. Langkahnya masih lebar dan cepat. "Sial, aku harus kembali lagi kesini, setelah baru tiga jam sampai di apartemen," gerutu gadis itu, muram. Ini nyaris pukul duabelas malam dan—demi Kami-sama—ia bahkan belum menyentuh sedikitpun kasur empuknya, dan satu buah panggilan sukses mengacaukan ketenangan malamnya! "Mungkin seharusnya aku pura-pura bodoh saja, dan mengabaikan panggilan itu."

Sakura terkekeh pelan, "Jangan bodoh, Pig."

Ketika mereka sampai di ruang laboratorium utama, telah banyak orang berjas putih berkumpul dengan wajah menekuk penuh keseriusan.

Ino mengedarkan pandangannya, dan lantas menemukan sesosok pemuda berambut layaknya nanas diantara gerombolan itu, "Shikamaru!" panggilnya keras. Sahabatnya itu —Shikamaru Nara— menoleh, wajahnya terlihat mengantuk—ekspresi default wajahnya. Pemuda itu melangkah mendekati kedua gadis itu—memisahkan diri dari gerombolan— dan mengeluarkan satu kata sapaan, "Bagus, kalian datang."

"Mana orang itu?" tanya Ino dengan napas yang sedikit tersenggal. Ia berlari layaknya orang sinting, dari apartemennya menuju pangkalan taxi terdekat, setelah itu ia harus berlari lagi dari depan gerbang ke sini. Kakinya sebenarnya terasa sedikit keram, tapi ia mencoba mengabaikannya, dan fokus untuk meraup informasi lebih banyak.

Sakura berjengit bingung. "Tunggu—orang itu? Jelaskan padaku, ada apa ini!" selanya dengan nada menuduh—kesal karena hanya ia yang seolah tak tahu detail masalahnya.

"Aku juga baru dijelaskan sedikit." Ino mengendikan bahu. Murni tidak tahu.

Shikamaru mengeluarkan kuapan ngantuk (dammit! Ini sangat mengurangi jam tidurnya), sebelum akhirnya menjawab; "Sedang di dalam ... bersama Kakashi-sensei dan Yamato-senpai."

Sakura mengerutkan kening lebarnya, kesal. Ucapan Shikamaru sama sekali tak menjawab pertanyaannya. "HEI! Jangan abaikan aku!" protesnya dengan alis yang menekuk, ia gerah menjadi satu-satunya pihak yang tidak mengerti apa-apa, padahal—heck!— yang sedang berada di lab, 'kan dia!

"Kau tidak mendengar beritanya?" Mendengar ketidak-tahuan Sakura, Shikamaru menaikan alis—penasaran. Sedikit tak percaya mendapati gadis itu melewatkan satu berita heboh yang sudah disiarkan ke seluruh Jepang.

"Serius, Forehead. Apa sih tontonanmu pagi hari?" Ino memutar matanya. Tak habis pikir, padahal setiap saluran televisi sudah menyiarkannya. Kemudian gadis itu teringat, bahwa beberapa hari terakhir ini, Sakura berkali-kali lipat lebih sibuk dari biasanya, akibat Tes NITAL-nya yang tak kunjung usai.

"Spongebob? Sudahlah! Katakan saja ada apa!"

Gadis pirang sahabatnya itu menghela napas malas, penjelasannya akan jadi panjang, dan—oh, sial— ia lupa membeli segelas kopi hangat di kombini seberang apartemennya. Ini akan jadi malam panjang penuh kuapan ngantuk. "Dua hari lalu, ditemukan sesosok lelaki yang terapung di laut bagian Timur."

Sakura makin tak mengerti arah pembicaraan mereka. "Lalu?"

"Laki-laki itu sekarang dibawa kesini," jelas Shikamaru, singkat dan padat.

"Kena—"

"Karena dia sangat, sangat mencurigakan." Shikamaru mengakhiri ucapannya dengan kuapan lebar, pertanda kantuk yang tak mampu ia tahan lagi. Dan Ino dengan senang hati menyikut pinggangnya keras—tidak sopan menguap di depan seorang gadis!

"Seberapa mencurigakannya, sih? Sampai-sampai Direktur terlihat begitu serius mengurusi hal ini?" Sakura menyuarakan keheranannya lagi.

Shikamaru mengelus pinggangnya yang baru saja menjadi sasaran empuk kemarahan sang gadis Yamanaka. "Yah ... luka jahitan di seluruh daerah dada dan tangan, lebam di punggungnya, dan pigmen kulit yang tidak normal. Semacam itulah ..."

"Tapi ... dia manusia, 'kan?" Ino bertanya penasaran, dengan bumbu paranoid yang kentara.

"Jangan konyol, Ino. Kau masih percaya keberadaan hantu ataupun alien, huh?" Shikamaru mengusap wajahnya yang kuyu. Berharap ngantuk dapat tergusur. Ino nyengir lebar.

"Hahah, bagus." Sakura menepukan kedua telapak tangannya dan tersenyum lebar. "Itu urusan kalian—karena, kalian tahu, 'kan?— aku sibuk dengan Tes NITAL-ku yang berharga." Sakura berlalu pergi dengan kuapan lebar dan lambaian tangan yang malas.

Dan Ino sigap menarik lengan sahabatnya itu, "Jangan lari dari tugas, Forehead! Aku juga belum tidur sama sekali, kau tahu."

"Jangan konyol, Sakura. Setelah ini akan ada meeting yang Direktur adakan." Shikamaru kembali menguap (otaknya butuh oksigen lebih banyak lagi) setelah memastikan jarak aman dengan lengan Ino.

Sakura menggaruk kepalanya frustasi. "Astaga! Aku butuh tidur!"


"Selamat malam—umm, menjelang pagi maksudku, semuanya."

Sosok cantik Direktur berdiri tegap di ujung meja rapat yang lebar. Wanita itu adalah Tsunade Senju—Direktur Laboratorium Pusat Konoha. Wanita itu melemparkan seulas senyum kaku—sedikit merasa bersalah melihat bawahannya yang hadir terlihat mengantuk dengan kantung mata yang kian menebal. Ia sadar, kalau ini bukanlah waktu yang tepat untuk mengadakan rapat—bagaimana pun ini masih pukul dua belas lewat tigapuluh pagi!— tapi ia merasa wajib untuk sesegera mungkin bertemu dengan para ilmuan dan dokter dibawah pengawasannya. Sesegera mungkin, sebelum ada satu dua keteledoran yang mungkin mengacaukan segalanya.

"Akhir-akhir ini ada berita besar yang menghebohkan Jepang—ya, kalian akan tahu kalau kalian sudah menonton berita. Ada sesosok lelaki, yang entah bagaimana, terapung di laut bagian Timur. Kondisinya ditemukan dalam keadaan tidak sadarkan diri, tapi ia —secara ajaib— tetap bertahan hidup." Iris kecokelatannya menatap seisi ruang rapat. Semua peserta rapat masih mencoba bangun dan mendengarkan. Baguslah.

Wanita itu melanjutkan, "Tapi ada satu kabar menyoal ini yang belum terendus oleh wartawan dan media." Wanita berusia lebih dari empat puluh tahun itu menghela napas berat. Bebannya terasa makin bertumpuk.

"Pemuda itu ... dia dicurigai oleh pemerintah kita sebagai ..." Nada suara Tsunade merendah. Tsunade merasa berat untuk melanjutkan. Seperti membuka luka lama yang telah tertutup apik dan rapih. Sudah terkubur dalam, dan nyaris terlupakan orang-orang.

"... Hasil eksperimen manusia ilegal." Seisi ruangan terhenyak. Sudah lama rasanya mereka tidak mendengar ini. Kasus lama yang kembali meneror.

Ini adalah yang paling Tsunade benci—ketika ilmu pengetahuan disalah gunakan, dan dijadikan sebagai pembenaran untuk melanggar hak hidup manusia. Ini adalah hal kotor yang mencoreng ilmu pengetahuan. Pengetahuan seharus membangun manusia—memudahkan dan menyenangkan manusia— bukannya merengut paksa hak manusia untuk hidup normal.

Eksperimen terhadap manusia adalah hal yang cukup tabu, sebenarnya—pemerintah pun membatasinya dan merancang pilar-pilar aturan untuk mengetatkan penelitian yang membahayakan individu manusia. Namun manusia adalah makhluk yang begitu serakah—ingin menguasai segalanya, ingin mengetahui semuanya. Hendak mengupas habis tabir rahasia Tuhan dan alam semesta.

Tsunade memijat pelipisnya pusing. "Dengarkan aku," ucapnya tegas, membuat satu ruangan yang sempat gaduh dengan bisik-bisik terdiam.

"Jangan sampai masalah ini bocor ke publik. Kita tentu tidak mau membuka luka lama, dan trauma masyarakat, bukan? Jangan ceritakan kepada siapapun—bahkan keluarga yang paling kau percayakan sekalipun. Pemindahannya kesini pun memang sengaja diadakan di tengah malam, supaya mengurangi kecurigaan wartawan. Intinya, kita harus melakukan penyelidikan pada laki-laki itu—eksperimen apa yang telah dilakukan pada tubuhnya, atau hal apa yang telah ditanam dalam tubuhnya. Aku akan membentuk tim untuk memimpin penyelidikan. Wilayah barat sampai laboratorium tiga akan digunakan untuk penyelidikan ini—kuharap hanya orang-orang yang bersangkutan dan memiliki keperluan yang mendesak saja yang mendatangi wilayah itu. Mengerti?"

Jawaban 'iya' langsung terdengar dari seluruh ruangan. Tsunade kembali menghela napas lagi—entah sudah keberapa kalinya semenjak tadi pagi? Sejak Gubernur Prefektur Konoha—Minato Namikaze— menghubungi langsung dirinya, dan menaruh beban berat itu, serta kepercayaannya di pundak Tsunade. "Baiklah, aku akan membuat daftar tim-nya esok. Sekarang kalian boleh kembali— dan, ah, maaf mengganggu istirahat kalian ditengah malam."


Ino melebarkan kelopak matanya, ketika ia menemukan pemuda nanas yang sudah sangat dikenalnya itu tengah berdiri di depan pintu lift yang masih tertutup. "Kudengar kau menjadi ketua penanggung jawab kasus itu, Shikamaru?"

Pemuda itu menoleh, masih dengan wajah kuyunya. "Gosip menyebar begitu cepat," tanggap Shikamaru.

Ino mendekat—berdiri sejajar dengan Shikamaru, hingga ia dapat menemukan setumpuk dokumen tebal di genggaman Shikamaru. Ia langsung dapat menyimpulkan bahwa itu adalah data penting dari kasus besarnya. "Bagaimana kasusmu?"

"Merepotkan," keluh Shikamaru. Sesuatu yang sudah bisa ditebak oleh Ino.

"Kau sudah melihat tubuhnya?" tanya Ino sembari tangannya menyisir rapih poni pirang panjangnya.

"Sudah. Dan sampai detik ini belum muncul konklusi masuk akal mengenai ini."

Ino tersenyum penuh simpati. "Jangan begitu." Ia menepuk pundak pemuda itu dengan ringan, bermaksud menghibur. "Terkadang hal yang paling tidak terpikir olehmu adalah kunci utamanya. Kau harus memikirkannya dari sudut pandang lain. Out of the box."

Shikamaru memijat pelipisnya. "Aku merasa dua kali lipat lebih tua karena ini. Merepotkan."

Pintu lift terbuka setelah satu bunyi familiar ting mengudara. Mereka memasuki lift yang lenggang hampa.

"Kau kemana setelah ini?" tanya Ino setelah pintu lift sepenuhnya tertutup. Ia menekan tombol empat disisi pintu lift. Dan layar kecil diatas pintu lift segera berganti angka.

"Tidur. Aku butuh tidur." Shikamaru kembali menguap. Ino menahan diri untuk tidak menyikut pinggangnya, karena, yah ... ia cukup simpati terhadap keadaan sahabatnya yang tak pernah lepas dari tugas.

Ino mendelik tak suka. Apa hanya tidur yang ada diotak jenius pemuda itu? "Jangan tidur. Kau akan makin gila," omelnya dengan tangan terlipat di depan dada.

Lima detik, dan pintu lift terbuka sepenuhnya, dan Ino langsung menarik lengan Shikamaru tanpa aba-aba.

"Temani aku makan siang!"

Siapa Shikamaru, hingga bisa menolak titah dari Yang Mulia Yamanaka Ino?


"Aku masih belum menemukan titik terang." Shikamaru menghela napas lebih panjang, mengabaikan eksistensi semangkuk onigiri yang telah dengan berbaik hati, Ino pesan. Pemuda itu memilih melipat lengannya di meja dan menenggelamkan kepalanya dalam-dalam.

"Kadar darahnya?"

"Normal."

"Hmm..." Ino mengetuk-ngetuk dagunya, berpose seperti tengah berpikir keras. Saladnya ia lupakan sejenak. "Ada banyak jahitan di perutnya, 'kan? Sudah di roentgen?"

"Sudah. Dan struktur perut pada manusia normal yang kulihat."

"Emmmm..."

"Sudahlah, Ino." Shikamaru mengangkat kepalanya lagi. "Ini kasusku, kau tak perlu repot memikirkannya."

"Sudah kau cek kromosomnya? DNA?"

Shikamaru menggeleng.

"Kasusmu buntu," putus Ino akhirnya. Ia menghela napas berat, lalu meraih lagi sepiring salad yang sempat terlupakan. Menyuapkan sesendok selada berlumur mayonase yang nikmat ke mulutnya.

Shikamaru berjengit, bertanya-bertanya, bagaimana Ino bisa memakan makananan dengan rasa aneh semacam salad. Namun, toh, pada akhirnya ia urung berkomentar tentang salad Ino.

"Ia mengalami albinisme. Aku belum mengecek DNA dan kromosom-nya. Tapi kurasa ini kasus albinisme yang langka, karena rambut dan iris matanya berwarna gelap."

"Menarik juga." Ino menyesap jus jeruknya hingga setengah, lalu berkomentar lagi; "Aku tak pernah menemukan kasus seunik ini. Hipotesismu, apa mutagen-nya?"

Shikamaru meraih satu onigiri kecil dari piringnya, lalu menelannya dalam hitung beberapa detik. "Kurasa mutagen-nya bukan berasal dari bahan biologis—mungkin bahan kimia, bisa juga sinar radioaktif atau sinar gamma. Aku belum tahu pasti, karena penyelidikan ini begitu dibatasi."

"Dibatasi..?" tanya Ino, heran. "Kukira Direktur mau kalian mengupas habis kasus ini."

"Dia sepertinya mau melakukan segalanya dengan hati-hati. Kau tahu, 'kan, trauma lama sulit terobati."

Ino mengangguk setuju. Shikamaru benar. Tragedi beberapa tahun silam memang sangat sulit untuk terlupakan. Dan bukan salah Tsunade, kalau ia merasa begitu was-was dan takut untuk mengungkap fakta lebih dalam mengenai objek mereka kali ini. Tidak ada yang tahu, hal mengerikan apa yang telah dilakukan pada orang itu. Tak ada yang tahu, ada hal lain apa pada tubuhnya yang penuh luka dan sayatan itu. Mereka harus berhati-hati—mengungkap fakta perlahan namun pasti, dibanding terburu-buru dan mengacaukan segalanya.

Ino kembali menyesap jus jeruknya. Menggunakan sedotannya untuk mengaduk cairan berwarna oranye itu hingga membentuk pusaran air ditengah gelas. "Oh iya, kau sempat bilang tadi, ada tato dengan tulisan aneh di dekat tulang selangka-nya?"

"Hn."

Ino mencomot satu onigiri kecil dari piring Shikamaru tanpa permisi. Ia juga, 'kan, yang telah memesankannya untuk pemuda itu. "Kenapa tidak coba kau selidiki? Kemungkinan besar itu adalah kode eksperimennya, 'kan?" tanya gadis itu penasaran. Shikamaru itu cerdas—tidak mungkin, 'kan, pemikiran semacam ini terlewat dari kepalanya?

Shikamaru kembali mengangkat kepalanya, mempertemukan iris kelamnya dengan mata jernih milik Ino. "Percuma. Eksperimen itu ilegal—tidak tercatat di berkas pemerintahan, di wilayah manapun. Siapapun oknum yang melakukan ini pasti oknum bawah tanah yang rahasia."

Ino bergeming. Menatap kosong gelas bening miliknya. "Apa ... mungkin pelakunya sama seperti dulu—"

Shikamaru mendecak. "Jangan menduga-duga, Ino. Belum ada bukti yang cukup untuk menduga pelakunya."

Ia terdiam. "Ya ... kau benar, sih." Ino tertawa hambar. "Lagipula itu sudah lama sekali dan kurasa orang-orang itu sudah—"

Shikamaru bangkit dari duduknya tanpa aba-aba. Ekspresinya terlihat kaku. "Aku baru ingat kalau ... sepertinya aku masih mempunyai urusan lain. Sampai jumpa, Ino."

Ino mengerjab—kaget mendapati pergerakan tiba-tiba dari Shikamaru. Gadis beriris cermerlang itu menatap punggung Shikamaru yang kian menjauh. Ia menghela napas—rasa bersalah tiba-tiba membanjiri hatinya. Merasuki relung dadanya, dan mencengkram jantungnya kuat-kuat—sesak. Seharusnya aku bisa lebih menjaga ucapanku...

Ia menghela napas sedih sembari mengalihkan pandangannya pada hal lain—hingga menemukan onigiri Shikamaru yang hanya berkurang dua dari porsi aslinya—satu yang ia ambil, dan satu yang Shikamaru makan. Gadis itu mendecak jengkel.

"Shikamaru!" Gadis itu segera berdiri, dan memanggil nama sahabatnya, tepat sebelum punggung tegap itu menghilang dari wilayah cafetaria yang sepi. "Setidaknya habiskan makananmu dulu, bodoh. Kau belum makan siang!" tegurnya keras, dengan kedua tangan yang sudah nyaman bertumpu di pinggang mungilnya.

Shikamaru menoleh —karena, tentu saja— suara Ino terlalu keras untuk terabaikan begitu saja. Ia mendengus, sebelum akhirnya tersenyum tipis (tipis sekali, hingga luput dari pengelihatan Ino) dengan sebuah gumaman pelan yang terdengar lembut;

"Merepotkan."

.

.

.

To be continued.


Albinisme/albino: kelainan kulit bawaan dimana kulit tidak banyak memproduksi melanin pigmen. Biasanya albinisme berambut putih/cokelat kemerahan/pirang/keperakan.

Mutasi: perubahan yang terjadi pada bahan genetik (DNA atau RNA). Ada yang terjadi pada taraf urutan gen, ada juga taraf kromosom.

Mutagen: bahan-bahan yang menyebabkan terjadinya mutasi. Ada tiga jenis, yaitu secara biologi (virus/bakteri), fisika (sinar ultraviolet/radioaktif), dan kimia.

DNA: sejenis biomolekul yang menyimpan dan menyandi instruksi-instruksi genetika setiap organisme dan virus.

.

.

.

A/N:

Saya bukan dokter, apalagi ilmuan, tapi saya sok-sok-an mau bikin fic ginian /der. Segala fakta/nama/istilah ilmiah yang tercantum disini, berdasarkan pemahaman saya setelah mengobrak-abrik wikipedia dan artikel-artikel terkait di internet, dan juga ingatan saya tentang pelajaran biologi jaman duduk di bangku sekolah. Jadi jangan percaya seratus persen dengan apa yang saya tulis.

Mohon maaf bangett, kalau ada banyak kesalahan, kengacoan, kengasalan fakta ilmiah yang ada disini ;q;

Cerita ini juga akan lebih fokus ke konflik dan pengembangan karakternya, ketimbang masalah ilmiahnya.

( Btw saya gatau apakah albino itu bisa atau gak, terjadi karena rekayasa genetika pas orangnya udah lahir. Tapi anggap aja manusia jaman ini udah bisa ya /maksa )

Jika berkenan silahkan koreksi kesalahan saya lewat PM/review:)))

Mind to review? ;3