Title :

Ayah, Kenapa Alisku Berbeda?

Disclaimer :

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Story :
©Rall Freecss

Warning :

Typo, OOC, AU, Parody.


Musim panas hampir mencapai akhirnya, tidak, belum juga berakhir, hanya baru mencapai awal dari penghujung sebelum musim gugur menyapa bulan depan. Intinya, tak tersisa banyak waktu untuk merasakan hangatnya musim ini.

Begitu pula yang dipikirkan oleh seorang bayi yang sudah cukup umur untuk dilahirkan, bayi itu tak ingin melewatkan musim emas ini, atau mungkin ia tak ingin lahir di tengah dinginnya musim gugur yang membuat dedauan berjatuhan. Tepat pada tanggal 2 Agustus, ia memberontak keluar dari dalam rahim ibunya.

Setelah semua orang bekerja keras, baik itu sang bayi, ibu, dan para perawat serta dokter, bahkan sang ayah pun ikut bekerja keras, tangisan pertama bayi itu terdengar, menggema ke seluruh celah yang ada.

Senyum merekah pada wajah semua orang, kebahagiaan hinggap pada benak mereka, "Selamat, Nyonya, Tuan, anak Anda laki-la—"

Kalimat dokter itu terhenti, "Alisnya.."

"Ada apa dengan alisnya, Dokter?" sang Ayah melepaskan genggaman tangan istrinya, berlari mendekati bayi mungilnya itu.

Pria paruh baya itu terbelalak ketika melihat wajah jagoannya itu, ia langsung speechless, membatu, ternganga, tapi tak menyemburkan air seperti patung singa di Singapura.

"Ada apa dengan alis putra kita, Mas?" panggil sang istri harap-harap cemas, suaminya membalik badan dengan gugup, "A-alisnya.. bercabang, dek.."

Dan kini, giliran istrinya yang shock, "Seriusan, mas?!" ingin rasanya ia meloncat turun dari tempat tidur dan melihat bayinya dengan mata kepalanya sendiri, namun apa daya rasa sakit masih menyelimuti sekujur tubuhnya. Ia tak bisa gerak, masih lemas. Berteriak seperti tadi saja rasanya melelahkan.

"Ka-kamu selingkuh sama siapa, Dek!?" tanya si ayah tanpa tendeng aling-aling, "Nggak ada, Mas! Sumpah! Aku cuma cinta sama Mas seorang!"

"Kamu ngga bohong, kan? Soalnya ini anak kita alisnya bercabang begini... Turunan siapa coba?" si ayah kembali menoleh tak percaya pada putra pertamanya itu, tak peduli berapa kali dilihat pun alisnya masih saja bercabang.

"Mana aku tau, Mas. Kan itu anakmu, tanya aja sama dirimu sendiri."

Sementara suami istri itu sibuk bertengkar, sang dokter mulai pegal menggendong si bayi yang kebetulan juga sudah berhenti menangis, "Nyonya, bayinya harus segera diberi asi pertama." Ingat sang dokter.

"Eh? Bukannya harusnya dimandikan dulu, Dokter?" sahut suster yang berdiri di belakang dokter itu. "Oh, kau benar. Ayo cepat, mandikan dia. Lalu beri ke Ibunya agar bisa cepat mendapat asi."

"Kasihan dia, baru lahir sudah langsung diributkan alisnya," lanjut sang dokter sambil berjalan membawa si bayi malang.

Sembari menunggu buah cinta mereka dimandikan, keduanya mulai asik membahas kembali soal alis putra mereka itu.

"Aku masih nggak habis pikir, Dek. Turunan siapa coba itu alis bercabang." Si bapak duduk termenung melipat tangan di depan dada.

"Mas, jahat, ih. Ini istri habis melahirkan bukannya dikecup, kek, diucapin selamat, kek, malah langsung dituduh selingkuh, terus sekarang malah sibuk mikirin alis. Adek tuh nggak bisa diginiin, Mas!" si istri mulai ngambek, bibirnya uda dimonyong-monyongin biar mirip bebek yang suka berkeliaran di halaman rumah dan bikin kotor.

Suaminya cuma bisa menghela nafas sabar, "Maaf, Dek. Mas khilaf tadi, kebawa panik." Tangan besarnya mengusap surai crimson istrinya.

Wanita itu masih saja cemberut, tak ia gubris perkataan serta perlakuan manis suaminya, "Suzaku, jangan gitu, dong. Nanti asi mu susah keluar, loh. Kasian anak kita."

Wanita itu menunjuk pipinya, "Cium dulu, Mas. Baru aku mau senyum."

"Kamu ini ada-ada aja, Dek." Ujarnya sambil tersenyum, tapi kemudian sebuah kecupan hangat pun ia berikan pada istrinya itu. "Makasih, Mas Tatsuo."

Pintu terbuka, bayi mereka yang tadi berlumur darah kini sudah bersih dan tampak sangat manis, matanya tertutup, kedua tangannya menggenggam, entah apa yang ia genggam.

Begitu sang bayi mencapai jarak jangkauannya, Suzaku langsung meraih bayinya, menatapnya dengan gemas sembari tersenyum, dalam hati ia diam-diam berguman,

Wah, beneran bercabang, hebat banget.

Ia ulurkan jari telunjuknya mendekati tangan mungil anaknya itu, berharap putranya akan menggenggam tangannya seperti yang sering ia lihat di iklan susu bayi. Dan benar saja, tangan putranya itu menggenggamnya erat.

"Mas, lihat, Mas! Dia genggam tangan aku!" seru Suzaku kegirangan.

"Iya, Mas lihat, kok. Tapi, ada baiknya kamu kasih dia asi pertama dulu, kasian, Dek." Tatsuo mengingatkan. Tanpa buang waktu, Suzaku langsung saja menyusui jagoannya itu. Risih tak ia rasakan walau suaminya memandangi dengan intens, toh dia sudah sering lihat, kok, pas main, ups.

Di tengah kegiatannya menyusui si kecil, Suzaku kembali membuka pembicaraan, "Mau dikasih nama apa, Mas?"

Tatsuo menggaruk kepalanya, berusaha mencari ide, "Tomoyo? Bagaimana?"

Usulan itu langsung dihadiahkan tatapan tak senang oleh Suzaku, "Mas, aku tau kamu pengen anak perempuan, tapi jangan dia kamu korbanin kaya begitu, dong."

Tatsuo nyengir, "Kalau Tsukiko, gimana?"

"Itu masih nama cewe, Mas."

"Tsuki?"

"Nggak,"

"Tetsuki?"

"Mas!"

"Tetsuna?"

"Serius, dong, Mas!"

"Tsumiki?"

"Mas, jangan sampai kita cerai gara-gara nama anak, ya!"

"Yauda, kalau begitu Tetsuya, aja. Gimana? Nama cowok, tuh."

Suzaku diam sejenak, "Nggak, terlalu lembek. Nanti anak kita mental tahu pula, lembek."

Nun jauh di sana, seorang bayi yang baru berusia beberapa bulan mendadak bersin dan kemudian menangis. Orang tuanya yang kaget langsung menghampiri bayi mereka dan berusaha menenangkannya.

"Tetsuya kenapa, Ma?" tanya sang Ayah, "Ngga tau, Pa. Tiba-tiba bersin kenceng banget terus nangis."

"Mungkin ada yang membicarakannya," sahut seorang nenek yang rambutnya sudah putih semua, "Ah, bisa jadi." Sahut wanita yang masih berusaha menenangkan putranya itu.

Baiklah, kembali ke rumah sakit tempat Kagami Suzaku melahirkan.

"Ya sudah, Taiga saja bagaimana?" usul Tatsuo, kali ini ia cukup percaya diri kalau usulannya tak akan ditolak.

"Tiger? Nanti anakku malah kaya hewan buas. Ngga mau, Mas!" sekali lagi istrinya melontarkan penolakan.

Tatsuo lelah, "Kamu nolak mulu, Dek. Tadi dikasih nama Tetsuya ngga mau, katanya lembek. Terus sekarang dikasih yang jantan malah nolak. Capek, Dek."

Suzaku sadar suaminya mulai jengah, tak ingin berkelahi di sini, maka ia pun mengalah, "Iya, deh, mas. Adek ngerti, namanya Taiga, aja. Kagami Taiga."

Pria itu kemudian tersenyum dan mengecup dahi istrinya sayang, "Okay, namanya Kagami Taiga."

Dengan begitu, putra mereka pun secara resmi dinamakan Kagami Taiga.


"Taiga! Ayo, sini, sayang!" Suzaku merentangkan tangannya, bersiap menyambut buah hatinya yang masih tertatih-tatih berjalan mendekatinya. Kagami kecil yang usianya belum genap 12 bulan itu mulai melatih kaki-kaki kecilnya.

"Mama.. Mama.." panggil Kagami kecil dengan sedikit tersendat-sendat.

"Iya, sayang. Ayo, sini~" senyuman sang ibu semakin lebar, gemas akan bayinya ini. Tak sanggup lama-lama menunggu, wanita itu pun langsung berlari mendekati Kagami yang masih terseok-seok berjalan mendekatinya. Pelukan hangat nan erat ia berikan pada putranya.

"Mamma, mamma!" oceh Kagami kecil, membuat Suzaku semakin gemas dan ingin berteriak ala fansgirling di luar sana. "Apa, sayang? Kamu lapar?"

Bayinya mengangguk, mata bulatnya menatap lurus ke arah manik merah gelap milik ibunya. Tatapan mereka bertukar, Suzaku memandangi wajah putranya lekat-lekat.

Ternyata, alisnya yang bercabang itu tetap menggangguku sampai sekarang, batin Suzaku tak tenang.

Tangan iseng Kagami menarik-narik rambut Suzaku yang terurai, wanita itu hanya bisa mengerang kesakitan, namun kemudian tertawa geli, "Iya, aku mengerti. Kau sudah sangat lapar, kan? Ayo, kita mengisi perut, jagoan!"

Keduanya kemudian berjalan menuju dapur dengan Kagami berada dalam gendongan Suzaku. Setelah putranya ia letakkan pada kursi bayi yang memang Tatsuo siapkan untuk anak mereka, Suzaku segera memanaskan bubur yang memang sudah ia siapkan sejak tadi.

Sambil menunggu, ia pun meraih ponsel dan dengan iseng menelpon suaminya yang seharusnya tengah sibuk bekerja.

"Halo? Kenapa, Dek? Mas lagi kerja ini."

Tersambung, suara suaminya terdengar dari seberang.

"Iya, tau kok, Mas. Tapi, ada yang mengganggu pikiran Adek, Mas."

Ada jeda, tapi kemudian suara suaminya kembali terdengar, "Apa, Dek? Jangan bilang mendadak kamu minta cerai karena gaji Mas kurang?"

Suzaku hampir saja tersedak air ludanya sendiri, suaminya ini bicara apa, sih. Mana mungkin kurang, coba. Rumah aja uda kaya istana gini masih dikata kurang? Yang bener, aja. Kalau mau lebih besar lagi, siapa yang mau ngurus? Mikirin rekening yang uda bengkak karena kepenuhan aja sudah cukup bikin pusing, apa lagi mau bersihin rumah yang luasnya ngalah-ngalahin lapangan bola, cukup, mas, Suzaku lelah.

"Bukan itu, Mas. Tenang aja, Adek sayang sama Mas, kok. Sayang banget malah." Suzaku bisa tau kalau suaminya tengah tersipu-sipu di sana.

"Ini loh, Mas, tentang alisnya si Taiga." Wanita itu langsung mengutarakan alasan mengapa ia menelpon, "Pada akhirnya aku tetap penasaran itu sebenarnya alis turunan siapa."

Suaminya menghela nafas, "Dek, kita sudah sepakat buat ngga mempermasalahkan soal alisnya, lagi. Kan kamu yang bikin kesepakatan."

"Iya, sih. Tapi, tetap aja, Mas."

Sekali lagi Tatsuo menghela nafas, "Kita bicarain pas Mas sudah pulang aja, ya, Dek. Mas sibuk."

"Iya, Mas. Maaf tiba-tiba nelpon begini." Ucap Suzaku sambil menggaruk pipinya, "Iya, Dek. Nggak apa-apa."

Setelah saling bertukar kata sayang, panggilan pun diputuskan. Ponselnya ia masukkan kembali ke dalam saku celana. Kagami yang sejak tadi memandangi Ibunya dalam diam tiba-tiba saja bersuara, "Mamma.."

"Iya? Ada apa, sayang?" sahut Suzaku sambil mencoba tersenyum semanis mungkin, "Ais.. Ais.."

"Ais?" Suzaku mengerutkan dahi, "Kamu mau bilang apa, sayang?"

Wanita itu pun berjalan mendekati bayinya, lupa akan bubur yang sejak tadi di panaskan. Bisa jadi buburnya sudah hitam legam karena gosong saat ini, semoga saja tidak, kasihan Kagami kalau hal itu sampai terjadi.

"Ais..!" tangan Kagami mulai bergerak-gerak, meraba-raba wajah ibunya ketika jarak mereka sudah sangat tipis. "Di muka Mama ada sesuatu, ya?"

Jemari mungil namun gempal milik anaknya itu sampai pada alisnya, telunjuknya menunjuk alis crimsonnya itu. "Ais.." gumam Kagami.

"Oh, Alis. Taiga mau bilang alis, ya?" tanya Suzaku, Kagami tertawa.

Wanita blesteran Amerika-Jepang itu hanya bisa menahan senyum gemas melihat tingkah putra semata wayangnya itu. "Taiga pintar, ya. Sini Mama peluk dulu~"

Dan keduanya malah asik bertukar pelukan hingga lupa selupa-lupanya dengan bubur yang masih dipanaskan di atas kompor dengan api tak terlalu besar.

Semoga saja kediaman mereka tak terbakar karena bubur malang itu. Bisa susah urusannya. Tak hanya batal makan siang, Kagami juga terancam kehilangan tempat tinggal karena ulah ibunya ini.

Kagami kembali memanggil-manggil ibunya dengan kemampuan seadanya, seolah ingin mengingatkan bahwa kompor itu harus segera dimatikan sebelum ia membakar semuanya. Namun, tampaknya ibunya ini tipikal yang tidak peka, buktinya sejak tadi ia hanya menjerit kegirangan tanpa alasan yang jelas setiap kali Kagami memanggilnya. Dasar, ibu-ibu centil.

Jengah melihat sikap ibunya, Kagami pun dengan sigap menjambak rambut panjang wanita itu, sembari menarik juntaian benang merah itu ia menangis sekeras-kerasnya. Tolonglah, perutnya sangat lapar. Dan ia tak ingin istana yang dibangun ayahnya dengan susah payah hangus terbakar hanya karena bubur.

Ini semua bubur punya perkara. Bayangkan saja, hanya karena nasi yang terlalu lembek itu, bisa saja besok koran seantero Jepang memiliki headline yang sama, yaitu, 'Sebuah Rumah Besar Terbakar Karena Memanaskan Bubur Terlalu Lama.'

Tuh, hebat kan nasi keenceran itu?

Atas keributan yang dibuat oleh putranya, lama kelamaan Suzaku yang notabenenya lulusan terbaik di Harvard University itu mengerti apa yang diinginkan oleh Kagami. "Oh, iya. Kita lupa makan siangmu, Taiga."

Maka dengan cepat ia berlari mendekati kompor, "Syukurlah, buburnya tidak gosong."

Kabar gembira telah dikumandangkan, tampaknya tak akan ada berita heboh tentang bubur di koran harian besok. Mungkin, kertas murahan namun sarat ilmu itu hanya akan dipenuhi oleh berita beras plastik buatan negara tirai bambu di seberang sana. Ah, sudahlah, dua-duanya sama-sama dari padi. Hanya saja yang satu ini dari padi sintetis. Mungkin.

Setelah menyendokkan nasi terlalu matang itu ke dalam mangkuk keramik yang memang selalu ia gunakan untuk mememberi putranya makan. Pasangan ibu dan anak itu berjalan menuju taman belakang untuk menikmati makan siang sembari menghirup udara segar dan dimanjakan oleh nyanyian burung-burung kecil.

Siang mulai beranjak sore, jalanan Tokyo mulai ramai. Baik itu jalan rayanya, maupun jalan setapak yang dibanjiri oleh para pejalan kaki.

Seorang pria dengan jas rapi dan rambut berwarna merah gelap tampak duduk tak tenang di mobilnya. "Kenapa, Tuan? Kok kayaknya ngga tenang, gitu?"

Supirnya yang diam-diam mengintip dari kaca dasboard bersuara, mungkin ia mulai jengah atas tingkah atasannya yang lama-lama mirip cacing kena abu.

"Iya, saya pengen cepat sampai rumah, Pak."

Supirnya tersenyum, "Sebegitu kangennya, kah sama si kecil dan Nyonya Suzaku, Tuan?"

"Iya, tapi bukan hanya karena itu. Saya punya hal penting yang harus didiskusikan bersama istri saya." Jelas pria itu sambil mengetuk-ngeruk lututnya tak sabar.

"Apa yang mau didiskusikan, Tuan?"

Majikannya itu menatap ke arah kaca dasboard dengan pandangan serius dan sedikit mengerikan, "Alisnya Taiga yang bercabang, Pak."

Mendadak mobil hitam yang masih terjebak lampu merah itu menjadi horor, atmosfernya berubah drastis, mencekam dan membuat sesak. "Jadi, bisa Bapak tolong usahakan agar kita bisa segera sampai rumah?" tanya pria itu.

Supirnya hanya mengangguk gemetaran dan segera tancap gas begitu lampu lalu lintas berganti hijau. Mengambil kecepatan tertinggi agar ia bisa segera mengantar tuannya ke istananya dan membahas tentang alis bercabang putranya bersama sang istri.

Demi perbincangan tentang alis bercabang milik sang tuan muda, supir yang belum genap 30 tahun itu tak takut pada maut walau mobilnya melaju sangat kencang.

Demi alis bercabangnya tuan muda! Tekadnya dalam hati.

Tak perlu waktu lama untuk keduanya mencapai rumah. Jika sang supir sudah mengerahkan seluruh kemampuannya, lautan pun bisa ia arungi hanya dengan mobil milik majikannya ini.

"Terimakasih, Pak." Tatsuo membuka pintu mobil dan segera berjalan menuju pintu depan.

"Selamat malam, Tuan." Serunya, Tatsuo hanya membalasnya dengan senyuman tipis sebelum akhirnya sosok bertubuh besar nan tegap itu menghilang di balik pintu.

"Aku pulang." Ujarnya sambil melepas sepatu. "Oh, selamat datang, Mas."

Suzaku yang mengenakan dress baby pink dibawah lutut berbahan satin menyambutnya sambil tersenyum hangat.

"Tidur?" bisik Tatsuo sambil menunjuk Kagami yang berada dalam gendongan istrinya itu. Suzaku hanya mengangguk pelan, Tatsuo membulatkan bibirnya.

Kemudian wanita itu pun berjalan menuju kamar Kagami, meletakkan putranya di atas tempat tidur, memastikan bahwa jagoannya itu tak akan jatuh ataupun digigit serangga nantinya. Setelah yakin semua aman, ia segera menghampiri suaminya yang kini duduk di meja makan.

"Tidak mau mandi dulu, Mas?" tanya Suzaku, "Tidak, makan saja. Aku lapar, dek."

Maka, tanpa banyak tanya lagi istrinya itu langsung mengambil beberapa sendok nasi untuk suaminya, sup miso hangat juga ia hidangkan untuk melepas rasa penat dan lapar pria tercintanya itu.

"Enak, Mas?" tanyanya ketika Tatsuo mulai melahap makanannya.

"Iya, Dek. Nggak sia-sia Mas susah payah ajarin kamu masak dulu." Balasnya sambil tersenyum hangat, Suzaku hanya bisa blushing.

Wanita itu hanya memandang suaminya yang tengah makan tanpa suara sedikit pun. Walau sebenarnya ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, tapi dirinya ingin membiarkan tulang punggung keluarga kecilnya itu makan dengan tenang. "Kalau kamu emang mau ngomong sesuatu, bilang aja, Dek. Mas bakal dengerin, kok."

Suzaku tersentak mendengarnya, suaminya ini cenayang, ya?

"Tidak ada, kok, Mas. Mas makan aja dulu yang tenang." Suzaku tersenyum.

"Yakin, nih? Jangan nyesal, loh."

"Iya, Mas. Makan aja dulu sampai kenyang."

Tatsuo meletakkan sendoknya, "Ayo, cerita aja, Mas bakal dengerin, kok."

"Nggak apa-apa, kok, Mas. Suzaku bakal nunggu,"

Pria itu menggeleng, "Nggak, Dek. Ayo cerita,"

Istrinya kebingungan, suaminya ini kenapa, sih, kok maksa banget?

"Kenapa, sih, Mas? Suzaku nggak apa-apa, kok."

"Habis, kalau Mas bilang 'oh, ya, sudah.' Nanti bakal ada parade piring terbang kaya dulu, Dek."

Maka, langsung terbayanglah bagaimana Suzaku melempar piring ke udara karena suaminya tak peka, kejadian itu terjadi sekitar 6 bulan setelah pernikahan mereka. Tak hanya piring, sendok, panci, bahkan garpu pun ikut melayang, untung saja pisau tidak ikut-ikutan parade. Kalau sampai ada pisau melayang, dipastikan Tatsuo tak akan bisa duduk melahap miso seperti saat ini.

Suzaku langsung cemberut, "Nggak, kok, Mas."

"Bohong,"

"Beneran, Mas!" Suzaku menggembungkan pipinya, "Ngomong, aja, Dek. Pasti tentang alisnya Taiga, kan?"

Ia kembali tersentak, ia jadi mulai curiga kalau sebenarnya suaminya ini benar-benar bisa baca pikiran orang? Wah, bisa gawat kalo beneran. Bisa-bisa suaminya ini tau kalau diam-diam dirinya sering cemburu melihat suaminya dekat-dekat sama sekertaris atasannya. Tidak, tidak! Hal itu tak boleh terbongkar! Imej nya sebagai istri setia yang percaya pada suami bisa tercoreng.

"Dek! Kok, malah bengong, sih? Kesambet baru tahu, nanti."

Suzaku mengerjap beberapa kali, "Eh, iya, Mas. Maaf."

"Jadi, ada apa dengan alisnya Taiga kali ini? Mas pikir kamu sudah nggak mau mempermasalahkan hal ini lagi?"

Wanita yang sebenarnya ingin tinggal di Amerika bersama orang tuanya itu menghela nafas gusar, ia menopang dagunya dengan punggung tangan, "Setelah dipikir-pikir, aku kashihan sama Taiga, Mas. Kalau nanti dia dibully karena alisnya beda, gimana? Kasihan dia."

"Kamu ngomong apa, sih. Taiga kan cowo, dia pasti kuat menghadapi masalah semacam itu."

Suzaku menggeleng cepat, "Bukan begitu, Mas. Ya, kalau nanti dia sudah SMA mungkin aku nggak bakal tertalu khawatir. Yang bikin aku nggak tenang itu pas dia masuk TK nanti. Kalau di bully bagaimana? Mas tau 'kan, anak jaman sekarang itu banyak yang korban sinetron ngga bermutu yang entah kenapa masih aja tayang di teve. Jadi moralnya ikut-ikutan nggak bermutu."

Sembari kembali melahap misonya, Tatsuo mencoba mencerna kekhawatiran istrinya. Suzaku tak salah, tapi juga tak sepenuhnya benar. Sinetron yang tayang di teve memang banyak yang tidak berbobot.

Baik itu ceritanya, maupun pemainnya. Ceritanya tentang cinta melulu, tentang kegiatan yang kuat membully yang lemah, rebutan pacar, sampai rebutan harta warisan orang tua. Ya, kalau tidak diantara sekian banyak tema yang sudah disebutkan di atas, ya tentang manusia hewan jadi-jadian.

Duh, manusia itu aneh, ya. Sudah diberi bentuk fisik dan akal yang sehat, masih saja mau jadi binatang ataupun makhluk-makhluk astral tak jelas seperti itu. Tatsuo kecewa.

"Terus kamu mau gimana? Mau protes ke KPI?" tanya Tatsuo sambil kembali menyendok nasi ke dalam mulutnya.

"Itu sempat terpikir, sih, Mas. Tapi aku malas, ah, berhadapan sama orang-orang itu. Pikirannya pendek banget soalnya. Kan ngga level gitu. Masa aku yang lulusan terbaik jurusan hukum di Harvard University berdebat sama mereka."

Tatsuo menghela nafas, "Iya, iya, Mas mu mah apa atuh, cuma lulusan terbaik jurusan manajemen di University of Tokyo. Ngga bisa dibandingin, lah, sama kamu."

"A-ah.. bukan itu maksud aku, Mas. Jangan ngambek gitu, dong, Mas." Suzaku kalang kabut berusaha menenangkan suaminya yang mulai ngambek, gawat, kalau suaminya sampai ngambek beneran, dia bisa susah.

"Walaupun cuma lulusan University of Tokyo, lihat diri Mas sekarang, sukses besar, kan? Daripada aku, lulusan universitas unggulan, tapi malah berakhir jadi ibu rumah tangga begini." Suzaku menggaruk pipinya yang sebenarnya sama sekali tidak gatal.

Tatsuo mendesah, "Kamu kan jadi ibu rumah tangga karena permintaan aku, Dek. Kalau kamu aku biarin kerja, pasti bisa lebih maju dari aku."

"Ah, Mas ngomong apa, sih." Wanita itu beranjak dari tempat duduknya, berjalan menghampiri suaminya dan merangkulnya sayang, "Mas hebat, kok. Buktinya, Mas bisa menaklukkan hatiku dan membangun keluarga hangat ini. Mas nomor satu, deh. Ngga ada yang bisa ngalahin."

Ah, ini dia yang membuat Tatsuo betah lama-lama mengejar Suzaku. Perjuangannya untuk memenangkan cinta Suzaku selama 7 tahun tak pernah ia sesali karena sikap istrinya yang satu ini, mulutnya manis sekali, tapi percayalah ucapannya itu bukan gombalan semata. Semua itu tulus ia katakan.

"Hm, yakin kamu, Dek?"

Suzaku mengecup pipi suaminya lembut, "Yakin, dong, Mas. Kalau nggak, aku nggak akan menerima lamaran Mas waktu itu."

Tatsuo hanya bisa blushing sambil menggaruk pipinya yang sungguh-sungguh tak gatal, "Um.. itu.."

"Apa, Mas?"

"Aku mencintaimu, Dek."

"Eh.. er.. iya, Mas. Adek juga."

Dan percakapan mereka pun berakhir di sana..


Musim silih berganti, Kagami tumbuh menjadi anak yang sehat dan gagah berani, punya aura yang mirip harimau liar yang hidup di hutan, dan alis bercabang tentunya.

Hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah. Seperti anak lainnya, ia sangat bersemangat untuk sekolah.

"Taiga, kau sudah habiskan sarapanmu?" tanya Suzaku penuh perhatian, Kagami hanya mengangguk.

"Susunya sudah diminum?" Kagami kecil kembali mengangguk, mulutnya masih mengunyah roti tambahan yang diam-diam ia ambil dari piring ayahnya.

"Kau yakin tak ada yang tertinggal?" Suzaku memperhatikan putranya yang tengah mengenakan kaos kaki sembari melahap rotinya.

Wanita itu geleng-geleng kepala, "Jangan seperti itu, makan dulu sampai habis, baru kenakan kaos kakimu, Taiga."

"Tapi nanti aku terlambat!" sahut Kagami disela acara mengunyahnya, Suzaku mengusap kepala putranya lembut, "Tidak akan, Papamu saja masih sibuk baca koran di sana. Jadi tenanglah, jangan terburu-buru."

"Tapi, Ma—"

"Taiga, jangan membantah ucapan Mama!" Suzaku meninggikan suaranya, Kagami ciut, "Maafkan aku.."

Tatsuo yang diam-diam mengintip hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan keduanya. Setelah menyesap habis kopi buatan sang istri, pria itu pun melipat koran bacaannya dan beranjak dari duduk.

"Kita berangkat sekarang?" ajak Tatsuo, Kagami menoleh, kemudian mengangguk dengan semangat.

Suzaku mengecup dahi putranya, kemudian juga pipi suaminya, melihat punggung keduanya yang berjalan meninggalkan rumah, menuju mobil yang sudah menunggu mereka bersama supir keluarga.

"Bye-bye, Ma." Pamit Kagami sambil melambai-lambaikan tangannya perlahan, Suzaku membalas lambaian itu, tak lupa tersenyum manis, "Hati-hati, nak!"

Mobil melaju kencang menuju sebuah taman kanak-kanak yang berada tak jauh dari keramaian kota. Taman kanak-kanak itu bernama Kiseki, sekolah terbaik untuk tingkatannya di kota ini.

Kagami turun dari mobil perlahan, karena sang ayah ada rapat penting di kantor, maka ia tak bisa menemani putrinya. Rapat dengan tuan Akashi katanya.

"Jangan nakal, ya, Taiga." Pesan sang Ayah sebelum pergi meninggalkan putranya sebatang kara di malam yang sangat dingin, teringat mama.

Kagami hanya mengangguk, memperhatikan mobil sang ayah melaju membelah ramainya kota Tokyo di pagi hari.

Lama berdiri di sana, ia tiba-tiba saja dikejutkan oleh pemuda bersurai sebiru langit yang berjongkok di sampingnya, entah kapan orang ini muncul, Kagami sama sekali tak menyadarinya.

"Halo," sapanya ramah, "Kau pasti Kagami Taiga, bukan?"

Si kecil mengangguk, "Wah, selamat datang. Ayo kita masuk, teman-temanmu menunggu."

Ia langsung menggamit tangan mungil Kagami, menggandengnya memasuki taman kanak-kanak yang kaya akan nuansa biru dan cat pelangi pada dindingnya. Manis sekali.

Tapi, saking banyaknya pelangi dimana-mana, mata Kagami sampai sakit dibuatnya. Ia bisa menebak, kalau kepala sekolah ini pasti maniak pelangi.

"Oh, Kuroko-sensei, siapa anak manis ini?" tanya seorang pria yang terlihat sedikit lebih tua dari orang yang menggamit tangan Kagami. Ia mengenakan wirstband bercorak pelangi.

Dia pasti orangnya! Teriak Kagami dalam hati kecilnya.

"Oh, dia Kagami Taiga, anak yang baru masuk hari ini." Jawab pemuda yang dipanggil Kuroko-sensei ini.

"Hoo, selamat datang di TK kami, jagoan." Sambut pria itu sambil tersenyum, Kagami hanya mengangguk canggung, ia tak mau dekat-dekat dengan—orang yang ia curigai sebagai kepala sekolah—pecinta pelangi itu.

"Baiklah, Nijimura-san. Aku akan mengantarnya menuju kelas."

Keduanya melanjutkan langkah seirama mereka, memasuki gedung penuh pelangi itu, kemudian memasuki ruangan yang dipenuhi anak dengan kepala berwarna-warni—bagaikan pelangi.

Mama, Papa, tolong jangan salahkan aku juga sepulang dari sini aku jadi alergi sama yang namanya pelangi, batin Kagami putus asa over out of character.

"Ah! Sensei!" teriak seorang anak dengan suara cemprengnya, rambutnya pirang.

Orang asing? Batin Kagami penasaran, "Siapa dia?" tanya anak itu sambil berlari mendekat.

"Kagami Taiga, dia akan bergabung dengan kelas kita mulai hari ini." Jelas Kuroko dengan tenang.

Anak itu kemudian memandangi Kagami dengan mata berbinar-binar, seolah-olah ingin segera berkenalan. "Hello, I am Kagami Taiga, nice to meet you." Ujar Kagami memperkenalkan diri dengan bahasa inggris seadanya.

Si pirang berbulu mata lentik hanya memandang dengan tatapan bingung, "Dia orang asing?" tanya anak itu pada Kuroko.

"Um, tidak salah, kok. Ibunya dari Amerika." Jelas Kuroko, anak itu hanya mendang dengan kagum, Kagami kebingungan, dia melakukan sesuatu yang salah, kah?

"Tapi, Kise-kun, sepertinya ia salah mengira kalau kau yang orang asing, karena rambut pirangmu itu. Benar begitu, Kagami-kun?" tanya pemuda bersurai biru langit itu.

"Eh? Dia bukan orang asing? Orang Jepang?" Kagami terbelalak, dan saat itu juga, anak yang kalau tidak salah Kuroko panggil dengan sebutan Kise-kun itu tertawa terbahak-bahak.

Matanya sampai berair karena tertawa terlalu keras, "Tentu saja, bukan. Aku orang Jepang asli, kok." Jelas Kise.

Kagami merasa ingin pulang dan segera bersembunyi di bawah selimut saat ini, sungguh, ia malu setengah mati, setengah hidup.

Setelah berkenalan, tukaran nama, jabat tangan, nomor hape, kartu nama, pin B*M, id l*ne, akun twitt*r, instragr*m, p*th, f*cebook, a* , dan kolor, keduanya berjalan bersama membaur dengan anak-anak lain yang tengah asik bermain.

"Aominecchi! Lihat! Dia anak baru di sini, ssu!" seru Kise riang serta gembira karena dia senang bekerja tak pernah malas ataupun lengah, tralala lalalala tralala lalalalala.

Anak berkulit agak gelap yang Kise panggil menoleh dengan malas, namun, ia langsung melotot ketika melihat wajah Kagami.

"Wow, Kise, kau hebat bisa bertemu dengan anak yang punya alis bercabang seperti dia, ketemu dimana?"

Alis bercabang? Kagami memegangi alisnya, kemudian ia melihat alis Kise dan Aomine secara bergantian.

"Eh?" Kise buru-buru menoleh ke arah Kagami, benar saja, alisnya bercabang.

"Woh, kau benar, Aominecchi." Kise kini malah memandangi alis Kagami tanpa berkedip, sementara Aomine sibuk mengumpulkan anak-anak lainnya agar berkumpul.

"Mana mungkin ada orang yang alisnya bercabang, nodayo!"

"Minechin tukang bohong."

"Aku tidak akan memaafkanmu kalau kau berbohong padaku, Daiki."

Aomine mendecih, "Lihat saja dan kau akan percaya!"

Ketiga anak yang Aomine panggil itu secara kompak menoleh ke arah Kagami, menatap langsung ke alis uniknya.

"Ti-tidak mungkin.."

"Alisnya benar-benar bercabang, nodayo!"

"Hoo, ini baru pertama kali ku lihat."

Anak-anak itu mulai mengerumuni Kagami, memandangi alisnya yang luar biasa cetar membahana tersebut.

"Nah, aku tidak bohong, kan." Aomine melipat kedua tangannya ke belakang kepala.

Di saat seisi kelas sedang heboh-hebohnya dengan alis bercabang Kagami, Kuroko masuk dengan membawa setumpuk kertas dan crayon.

"Ayo, kalian cepat duduk!" mendengar suara Kuroko, anak-anak itu langsung berhamburan menuju tempat duduk mereka masing-masing.

Karena ini adalah hari pertamanya, Kagami hanya bisa cengo berdiri karena tidak tahu mesti duduk di mana. "Kagami-kun? Kenapa kau melamun di sana?" tanya Kuroko.

Anak dengan darah campuran Amerika-Jepang itu terkejut mendengar namanya dipanggil, ia menoleh gugup, "Aku tak tau harus duduk dimana, Sensei.."

Kuroko menghampiri anak didik barunya itu, menuntunnya duduk di sebelah seorang anak bersurai merah menyala. Kebetulan tempat itu kosong.

"Kau tidak keberatan, kan, Akashi-kun?"

Eh, Akashi? Batin Kagami kaget, sementara Kuroko menunggu jawaban, Kagami kini menatap anak itu kebingungan, kenapa namanya sama dengan orang yang akan rapat dengan Ayahnya, ya?

"Baiklah, aku tidak keberatan, Kuroko-sensei." Jawab anak itu santai, Kuroko tersenyum.

"Yosh, anak baik." Surai merah seperti cherry itu diusap lembut oleh Kuroko, sang empu hanya tersenyum menikmati sentuhan itu.

Tanpa buang-buang waktu lagi, Kagami segera duduk tepat setelah ia meletakkan tasnya pada gantungan yang melekat di meja.

Kelas dimulai dengan mengabsen siswa satu persatu,

"Eh, Momoi-san tidak masuk hari ini?" tanya Kuroko ketika anak yang ia panggil tak menyahut, "Oh, Satsuki hari ini sakit, Sensei!" sahut Aomine.

"Hm, begitukah. Baiklah, sampaikan salamku untuk Momoi-san, ya, Aomine-kun."

Aomine hanya merespon dengan gumaman tanpa arti.

Setelah semua selesai, pelajaran dimulai, hari ini tampaknya mereka akan menggambar bebas. Kuroko berkeliling membagikan kertas gambar serta crayon pada muridnya satu persatu. Ia tampak begitu telaten menghadapi anak kecil. Ia menjawab semua pertanyaan konyol dari Kise dengan sabar.

Bahkan, ia menegur Murasakibara Atsushi yang diam-diam makan di kelas dengan lemah lembut.

Dia baik sekali, tidak seperti Mama.. batin Kagami kagum.

"Nah," Kuroko yang sudah membagikan alat gambar pada muridnya berdiri di depan kelas, "Kalian boleh menggambar apa saja, bebas. Sesuai imajinasi kalian."

"Baik, Senseei!" koor anak-anak kompak.

"Yang sudah selesai, akan Sensei berikan permen ini, mengerti?"

"Baik, Senseeei!" kali ini mereka lebih bersemangat, "Nah, selamat menggambar."

Kagami meraih crayonnya, mulai mencoret kertas miliknya. Pertama-tama, ia menuliskan namanya di sudut kertas dengan crayon berwarna merah tua, senada dengan warna rambutnya.

"Sepertinya itu salah,"

Kagami tersentak, "Eh!?"

"Itu, namamu, tulisannya salah." Jelas Akashi yang duduk di sebelahnya, "Namamu Kagami Taiga, kan?"

Kagami mengangguk, "Kalau begitu, seharusnya tulisannya seperti ini."

Akashi menuliskan huruf kanji pada kertas Kagami dengan crayon berwarna merah menyala, "Begini."

Anak itu hanya memandang kertasnya dengan bingung, padahal hanya salah sedikit saja, tapi akibatnya bisa fatal, bahasa Jepang itu mengerikan, pikir Kagami kecil.

"Oh.. Terimakasih!" ujarnya, Akashi hanya tersenyum simpul dan kembali menggambar.

Kuroko sibuk berkeliling memperhatikan anak didiknya satu persatu, membimbing mereka dengan sabar jika ada yang terlihat kesulitan. Ia melakukan semuanya dengan sabar, sangat sabar. Kagami tak melihat raut wajahnya berubah kesal ketika ada yang berulah.

Dia hebat sekali.. Kagami terkagum-kagum.

"Kagami-kun? Apa yang kau gambar?" tanya Kuroko, Kagami berteriak kaget.

"A-ada apa..?" tanya Kuroko kebingungan, ia juga jadi kaget karena Kagami berteriak seperti habis melihat kecoa terbang.

Anak itu mengusap-usap dadanya, menenangkan diri, "Ti-tidak apa, Sensei.. Aku minta maaf.." ujar Kagami.

Kuroko hanya mengangguk, mengusap kepala Kagami lembut dan ganti memperhatikan Akahsi yang duduk di sebelahnya.

"Wah, gambaranmu bagus seperti biasanya, Akashi-kun." Kuroko memuji anak itu sambil tersenyum tipis.

"Ya, terimakasih, Sensei." Sahut Akashi sambil terus melanjutkan pekerjaannya, "Teruskan kerja bagusmu, ya." Lagi-lagi pemuda itu mengusap kepala Akashi lembut dan anak itu kembali tampak menikmatinya.

Kagami mulai curiga kalau anak ini menyukai guru mereka.

Demi alisnya yang bercabang, sejujurnya dirinya juga menyukai gurunya itu!

Ja-Jangan-jangan.. Aku ini sedang jatuh cinta, ya? Batin Kagami kembali out of character.

Sementara Kagami sibuk melamun, entah sejak kapan Akashi sudah berjalan ke depan mengumpulkan gambarannya. "Sensei, aku sudah selesai."

Kuroko menerikma kertas itu dengan senyum, "Kerja bagus, ini hadiah untuk anak pintar."

Akashi mengulurkan tangannya, menerima permen pemberian gurunya dengan penuh suka cita. Kise tak mau kalah, ia juga segera berlari mendekati Kuroko, membawa hasil karyanya.

"Apa yang kau gambar ini, Kise-kun?"

"Itu adalah pria Inggris sejati, Sensei! Aku melihatnya di TV kemarin, ssu! Alisnya tebal sekali! Tiba-tiba aku ingat ketika melihat alis bercabang Kagamicchi!"

Mendengar alisnya dibawa-bawa, anak itu buru-buru menutupi alisnya dengan kedua tangan mungilnya.

Kuroko geleng-geleng kepala, "Kise-kun, kau tidak boleh begitu."

"Eeh? Kenapa? Alisnya Kagamicchi kan keren, ssu!" serunya sambil mencurutkan bibirnya.

Kuroko menggeleng lagi, "Tidak boleh, ayo minta maaf pada Kagami-kun." Perintah Kuroko sambil menunjuk Kagami yang masih duduk di bangkunya.

Dengan hati kecewa, Kise pun berjalan mendekati anak itu dan meminta maaf, "Maafkan aku, ya, Kagamicchi.."

"I-Iya.." jawab Kagami enggan.

Setelah itu, anak-anak lain mulai mengumpulkan karya mereka. Kelas kemudian dilanjutkan dengan pelajaran membaca, kemudian makan siang bersama, dan berakhir dengan tidur siang bersama.

Seperti biasa, Kuroko membacakan dongeng sebelum tidur pada murid-murid tersayangnya. Keenam anak yang menjadi siswa didiknya mendengarkan dengan seksama di dalam selimut.

"Dan mereka pun hidup bahagia selamanya.." cerita berakhir di sana.

Bocah-bocah ingusan itu kini sudah berkelana di dunia mimpi masing-masing, tertidur dengan wajah tenang dan damai. Kuroko tersenyum melihatnya. "Selamat tidur, anak-anak." Bisiknya sebelum meninggalkan ruangan.


Matahari sudah mulai tergelincir agak ke barat, beberapa mobil tampak menepi mendekati taman kanak-kanak penuh pelangi itu, yang lainya melaju pergi setelah menjemput anak mereka.

"Sampai jumpa, Sensei." Pamit Kagami, "Hati-hati di jalan, ya, Kagami-kun." Pesan Kuroko yang hanya direspon dengan anggukan kecil anak itu.

Kagami berjalan menghampiri ayahnya lemas. Lain dengan sang Ayah, Tatsuo, yang justru dengan menyambutnya penuh semangat di depan gerbang.

"Oi, oi, ada apa dengan, Taiga? Lemas begitu? Ada masalah? Ada yang menjahilimu, ya?"

Kagami menghela nafas, menatap ayahnya putus asa, "Papa.."

"Hm?"

"Kenapa alisku berbeda dengan alis teman-temanku yang lain?"


A/N : Hahaahahaha-

Sebenarnya saya ini bikin apa, ya? Uh.. Sebenarnya ini tuh terinspirasi dari RP nya Kagami di Facebook.. karena kebetulan lagi iseng.. yauda, tulis aja kwkw

Deh, ini chap 1 isinya kebanyakan soal Emak sama Bapaknya Kagami perasaan.. Maaf ya, nak, kamu belum banyak nongol, ntar dibanyakin deh. Itu juga kalo ini fic dilanjutin, haha-

Okeh, buat kalian yang mau nyempetin singgah di sini makasih banyak. Kritik dan Saran, jangan lupa masukan akan selalu saya tunggu, adios amigos~ ahaha-