Segar butir strawberry, lembut rasa vanila dan wangi aroma kayu manis. Bagaikan sepiring dessert, ketiganya berpadu dan menciptakan harmoni yang manis dan menyenangkan. Twin Children!Akashi-Kuroko dan Child Servant!Furihata. Kumpulan oneshot. AU. Fluff and funny. Not for romance seekers.
Disclaimer: Kalau KnB saya yang punya, buat apa saya nulis penpik? Kuroko no Basuke dan all chara-nya milik Fujimaki-sensei :D
enjoy!
...
Chapter 1: It's Furihata Kouki
Furihata tidak terlalu ingat asal muasal kodrat ajaibnya hingga bisa menginjakan kaki di tanah kediaman Akashi—nama yang taraf eksklusif dan kesohorannya telah bergaung hingga ke pucuk Jepang.
Semuanya bermula saat bocah itu bermimpi tentang bola basket berwarna merah dan biru pucat yang menggelinding mendekati kakinya. Disusul dengan raga setengah sadarnya yang diboyong paksa dari kasur lalu dilucuti hingga polos dalam kecepatan cahaya, sebelum akhirnya kembali dibungkus oleh kemeja putih dan celana pendek hitam khas anak panti.
Hal terakhir yang bocah bronis itu ingat adalah dirinya yang dilempar bak sekarung beras ke peraduan sebuah jok belakang dari sedan hitam. Butuh waktu lima belas menit lebih bagi pihak yang menjemput—Kiyoshi Teppei—untuk menjelaskan pada Furihata yang mendadak histeris kalau dia tidak sedang menjadi korban penculikan.
Begitu makhluk kerdil dengan surai karamel di sana mulai tenang—dan berhenti mengancam akan keluar dari mobil dengan cara meloncat dari jendela, Kiyoshi mulai menjelaskan semua duduk permasalahan.
"Tidak, nak, aku bukannya mau menculikmu. Aku orang baik-baik kok. Terlebih, bocah sepertimu kurang menarik untuk diculik apalagi dijadikan sandera untuk dimintai tebusan."
Kiyoshi yang saat itu mangkal di belakang stir bundar, lantas terbahak inosen. Tampaknya yang bongsor tidak sadar kalau Furihata pasang wajah miris saat mendengar pernyataan tersebut. Sungguh bukan salah bocah berumur 6 tahun itu kalau dia segitunya kurang menggairahkan untuk menjadi sasaran aksi kriminalitas.
"Aku datang dari rumah keluarga Akashi. Tuan Besar ingin kau tiba sebelum makan siang. Karena kau tidak bangun juga dan waktu kita sempit, jadi kuseret saja deh." Lagi-lagi yang dewasa tertawa. Kiyoshi Teppei adalah orang yang baik—terlalu baik malah, sayang pria dengan surai kayu mahoni itu terkadang over-excited hingga lupa asas-asas dasar hak asasi manusia.
Beruntunglah Kiyoshi karena Furihata itu polos, masih terlalu kinyis-kinyis untuk mengerti apa itu hukum dan kawan-kawannya. Kalau tidak, sudah bisa dipastikan bahwa pengabdi setia keluarga Akashi itu akan menginap di balik bui dengan tuduhan panas berupa pelecehan dan tindak asusila pada anak di bawah umur.
Terlalu larut dengan pikirannya—atau memang karena dari sananya Furihata kagok, belum pernah sekali pun naik angkutan beroda empat—si kerdil tidak sadar bahwa tempat yang Kiyoshi tuju telah berada di depan mata. Sejumput neuron di tempurungnya baru connect begitu kaki telah berpijak dalam ruangan kerja pribadi milik Sang Kepala Keluarga Akashi.
Dan bisa dipastikan kalau kedua kaki bantet si karamel mulai bergetar dengan wajah yang siap mewek kapan saja ketika diharuskan.
"Jadi kau yang bernama Furihata Kouki?"
Suara berat Akashi Masaomi menggema penuh intimidasi ke seluruh penjuru ruangan yang dominan dengan warna merah dan pastel. Ditatap sepasang manik tajam sewarna darah, air muka Furihata semakin pasi. Butir kokoa si kuntet mulai berputar tak tentu arah karena terlampau panik. Entah Sang Akashi sadar atau tidak bahwa dirinya telah menyebabkan trauma psikologis pada seorang anak ingusan.
"Sesuai mandat dari salah seorang kenalanku ..."
Tidak peduli kalau jiwa si pendengar mulai melayang, Akashi paling senior itu masih melanjutkan segenap pidatonya. Bagaimana pun juga semua perkataannya harus dimuntahkan hingga selesai, tanpa terputus, tegas dan tidak bertele-tele. Itu absolut.
" ... Mulai hari ini kau akan tinggal di rumah keluarga Akashi dan mengabdikan dirimu pada kami."
Furihata terlalu jauh dari dunia nyata untuk mencerna apa yang barusan telah dilontarkan kepadanya. Berkompi pelayan yang menyeretnya ngalor-ngidul untuk sekadar memberi tour perdana seputar istana Akashi pun hanya mampir telinga kiri bablas ke kanan. Bahkan ketika jasmaninya telah dilabuhkan ke kamar baru, Furihata masih setia berdiri bengong dengan raut muka yang tak terbaca.
Sungguh melas raut bocah itu diterawang dengan mata nurani yang tulus. Masih bayi sudah dibuang di pelataran panti, kini usia enam tahun diboyong lalu diharuskan kerja paksa di tempat yang terlampau asing untuknya. Andai ada award untuk bocah ingusan paling melas di Tokyo, sudah pasti Furihata akan menjadi salah satu nominasinya ...
Bocah itu baru kembali ke tanah realita saat sebatang jari kurus mulai menyodok lahan pada sisi kanan pipinya dengan tidak sabaran. Hal pertama yang ditemuinya adalah sepasang kelereng berwarna scarlet yang mengerling tajam mengoyak rohani.
"Woi, aku tanya kau masih hidup, tidak?" Bocah bersurai strawberry di sana bertanya dengan nada super tengil. Sepasang ruby-nya menyorot laser pada kokoa Furihata. Bahkan suara cempreng khas anak-anak sekalipun tidak membuat sosok chibi si pendatang baru terlihat lebih jinak dari bapaknya. Bosan main sodok, kini si jemari pucat mulai menoyor permukaan kenyal pada pipi korbannya.
"I-Ittai!" Furihata reflek menampar tangan—gak ngefek, berhubung loyo—yang sejak tadi berusaha membuat lubang baru di pipinya. Dengan air mata menggenang, bocah itu mulai mundur menjauhi si kepala merah yang kini menatapnya bosan. Salah apa dia hingga ini semua harus terjadi ...
"Onii-sama, kau membuatnya takut,"
Setelah tadi diserang gemetar hebat, kini Furihata menjerit lantang saat jantungnya mendadak salto di dalam rusuk. Bocah itu kaget setengah mati saat mendapati makhluk kerdil lain dengan tiba-tiba telah menginvasi ruang di samping kirinya. Manik kembar serwarna biru langit tengah mengobservasi eksistensi si calon babu chibi dalam aksen curious.
"Se-sejak kapan kau di situ?" Furihata asli mewek sekarang.
Helaian halus baby blue terayun saat si midget nomer 2 memiringkan kepalanya sedikit. Kelihatannya anak itu tengah heran karena mendapati keberadaan makhluk bantet lain selain dirinya dan sang kakak. "Dali tadi Tetsuya sudah di sini, kok." Lidah cadel itu bergulir dengan nada yang terlampau datar.
"Si-Siapa kalian?! Mau apa kalian denganku?!" Pertanyaan yang melesat justru terdengar belepotan karena empunya terlalu sibuk sesenggukan. Biji coklat yang berkaca-kaca itu menatap nanar pada duo kuntet merah-biru yang berpakaian identik dengan kaos hitam berkerah sailor putih, celana pendek pucat dan sepasang sepatu boots setinggi betis.
Bocah berkepala merah mendecak remeh."Di mana sopan santunmu? Kalau mau tahu nama orang lain, sebutkan dulu namamu," tukasnya dengan alis tipis yang berkerut.
Keder dicaci, butir bening yang menuruni pipi Furihata semakin bertambah kapasitasnya. "Fu-Furihata Ko-Ko-Kouki," si coklat gelagapan fatal.
"Namaku Akashi Seijuurou, anak tertua dan eksistensi paling absolut di sini setelah Tou-sama." Nada yang digunakan dalam perkenalan ini begitu songong melebihi kapasitas mental anak kebanyakan.
"Akashi Tetsuya desu. Yoloshiku ..." Jika sang kakak congkaknya bukan main, si adik malah bungkuk-bungkuk santun pada orang lain, tidak peduli jika orang itu baru pertama kali ditemuinya.
" ... Kochira koso." Furihata menyahut lirih.
Sepasang orb azure itu terus menyorot Furihata dalam deadpan. "Namamu teldengal enak sekali, Fulihata-kun."
Ditanggapi dengan begitu random, Furihata lagi-lagi pasang raut miris. "Sumimasen?"
Kepala yang lebat dengan surai biru itu mengangguk cepat. Sikap antusias anak itu begitu berbanding terbalik dengan air mukanya yang masih begitu datar, bersaing dengan aspal jalan tol. "Um. Kukis enak. Tetsuya suka kukis, apalagi yang vanilla."
"Ano, Furihata Kouki. Bukan Furihata Kukis ..."
Satu alis sewarna air berkerut penuh perhatian. "Sama saja, kan? Tetsuya juga suka kuki (cookie) ..."
"Kouki, bukan Kuki ..." Furihata siap mewek, meski sesi yang tadi masih belum kelar.
"Tetsuya," panggil yang merah sambil menepuk pelan kepala biru adiknya. "Tidak sopan kalau salah sebut nama seperti itu." Seijuurou mengusap helaian halus pada kepala di bawah telapaknya dengan gemas. "Namanya adalah Koki, seperti ikan mas."
"Itu juga—" Furihata ingin menyuarakan isi hatinya yang terluka, namun bungkam saat bertemu pandang dengan sepasang manik ruby yang tampak begitu senang melihatnya merana.
"Ikan mas? Bukan Kukis?" Tetsuya memandang sang kakak penuh tanya.
"Namanya Furihata Koki. Koki itu ikan mas, kan?"
"Un. Tapi onii-sama, kalau dia ikan mas kenapa bisa di sini?"
"Saa ..." Terdengar keraguan yang menguar pekat di sini.
"Ah ... Mungkin Fulihata-kun itu melmaid."
"Mermaid itu untuk perempuan, Tetsuya. Dia laki-laki, disebut ikan mas saja cukup ..."
"Sou desuka ... Sasuga Onii-sama. Kakkoi desu." Bahkan saat tekagum pun, nadanya tidak beranjak jauh dari yang namanya flat.
"Atarimae darou." Andai author cerita ini lebih imajinatif, kepala Seijuurou pasti sudah membengkak sebesar semangka karena jumawa dielu-elukan adik sendiri.
Percakapan absurd Akashi-Kyoudai di atas perlahan tapi pasti telah membangkitkan sesuatu dalam diri Furihata. Kemarahan atas nama harga diri.
Seumur-umur bocah coklat itu adalah individu yang cinta damai, menolak pertikaian dan lebih memilih berjongkok suram di sudut paling terpencil panti asuhan daripada terlibat dalam sengketa.
Namun ada kalanya juga chihuahua akan mengonggong, terlebih saat dirinya sedang diolok-olok seperti ini. Dan apa yang lebih menyakitkan selain menjadi banyolan ... tepat di depan batang hidung sendiri, oleh dua kurcaci yang notabene tidak lebih semampai daripada dirinya.
Plis, Furihata itu laki-laki. Bukan mermaid, apalagi ikan mas. Kalau dihujat begitu sudah pasti dia mengepul.
"Kouki!" Si coklat yang tadi sibuk menyedot ingus pasca sesenggukan, kini meledak heboh. Dua pasang manik berwarna kontras scarlet-azure mengerjap melihat reaksi super yang tidak perlu melewati masa transisi, langsung meletup bagai gas panas.
"—Namaku Kouki! Kou-ki! Kou dan ki! Kou dari hikari (cahaya) dan ki dari jyu (pohon besar). Bukan kukis, kuki apalagi koki!"
Kedua kembar dengan warna yang begitu berlawanan itu terdiam sesaat. Seolah mengirim kode-kode lewat telepati, keduanya saling menatap satu sama lain sebelum akhirnya mengangguk singkat dan menatap pada Furihata dengan kompak.
"Sudah tahu," Seijuurou selaku yang lebih tua diberi wewenang untuk angkat bicara lebih dahulu. "Kau pikir, aku dan Tetsuya itu sebodoh apa, heh Furihata Kouki?"
Furihata hanya bisa mematung dengan raut tidak karuan. Tampaknya ledakan emosi barusan sudah mengosongkan seluruh isi kepala bocah itu, hingga butuh waktu sedikit lebih lama untuk loading. Si coklat berjengit singkat saat sebuah telapak yang pucat meraih miliknya dalam genggaman hangat.
"Fulihata Kouki-kun sejak tadi telus-menelus ketakutan. Aku dan Onii-sama bingung, jadi ingin menggoda sedikit bial tidak takut lagi." Bibir merah muda si Akashi bungsu menyunggingkan senyum tipis.
Setelah tangannya dikurung jemari mungil Tetsuya, sekarang kepala coklat Furihata terasa sedikit lebih berat saat Seijuurou mendaratkan telapaknya di sana dengan lembut. "Bagaimana? Sudah tidak takut lagi? Kalau mau tinggal di sini harus pensiunkan sifat cengengmu itu, mengerti?"
Lagi-lagi yang coklat kembali mematung, namun kali ini bukan karena ketakutan melainkan karena dia tidak tahu harus bagaimana menanggapinya.
Kembali berbicara lewat kontak mata, Seijuurou dan Tetsuya mengangguk harmonis dalam suatu konfirmasi.
"Nah, Fulihata-kun ..." Testuya memulai.
Dan dilanjutkan oleh Seijuurou. "Mulai hari ini ..."
Si kembar saling bergandengan tangan dan merentangkan tangan mereka selebar mungkin di depan Furihata.
"Selamat datang di rumah/lumah keluarga/kelualga Akashi!"
Sepasang kembar lain warna di sana berseru kompak dalam harmonisasi. Manik ruby dan cerulean berkilat penuh rasa gembira saat bertemu dengan butir sewarna karamel.
Entah mau bagaimana, Furihata tidak tahu cara mengutarakannya. Dada bocah itu terasa begitu penuh saat melihat kedua Akashi yang begitu senang menerima keberadaannya saat itu. Memang tidak dikatakan secara langsung, namun si kepala karamel dapat merasakan bahwa dirinya memiliki tempat di sini.
Dan juga ... setelah sekian lama, baru kali ini ada orang yang begitu gembira dengan kehadirannya di sana.
Furihata adalah bocah polos yang tidak pernah mengerti mengapa dia tiba-tiba diboyong ke rumah keluarga Akashi. Tidak pernah mengerti pula mengapa dia dipaksa meninggalkan panti yang telah menjadi atapnya bernaung selama bertahun-tahun. Tidak juga mengerti, mengapa takdir begitu senang memberinya sebuah kejutan secara dadakan seperti ini.
Yang dia mengerti adalah, bahwa dua bocah di sana akan segera menjadi bagian berharga dalam hidupnya.
" ... Terima kasih."
...
"Kalau begitu mohon bantuannya, Fulihata kukis-kun."
"Berusahalah, Furihata Koki."
"Ano ... kupikir kalian tadi ..."
"Kenapa? Kukis-kun?"
"Ada masalah, Koki?"
"Makanya namaku Kouki, bukan—"
"Iya tahu." Ini adalah salah satu bentuk sinkronisasi si kembar. Satu jawaban, dua suara berbeda dalam tempo bersamaan.
"Kalau begitu, tolong panggil namaku dengan benar ..."
"Tetsuya mengelti, Kukis-kun. Selahkan saja pada Tetsuya."
"Berani memerintahku? Kau punya nyali, Koki."
...
" ... Kalian memang sengaja melakukannya."
Satu hal lagi yang Furihata Kouki mengerti ... bahwa dia akan segera menjadi objek bully dari kedua bocah manis pewaris nama Akashi di sana.
- Chapter 1 /It's Furihata Kouki/ End -
Konnichiwa ... saya Furi ... Yoroshiku Onegaishimasu. :D
Arigatou.
