Seoul, September 1999 -1.00 am.

Bocah kecil itu mengucek matanya. Mengantuk. Tapi ia tak bisa tidur usai mendengar bunyi gaduh beberapa detik lalu. Sesekali bocah itu menguap lebar –sangat lebar- hingga gigi-gigi gerahamnya yang putih itu terlihat. Usai menguap, bibirnya yang mungil itu nampak mengerucut tak suka. Mencebik. Sekali lagi, ia mengantuk, tapi tak mampu tidur lagi karena suara berisik yang sepertinya bersumber dari lantai bawah rumahnya. Bocah berusia enam tahun itu menyibakkan selimutnya. Kaki-kaki kecilnya membawanya turun dari ranjang tanpa alas kaki. Membiarkan sejuk marmer sewarna tulang itu berinteraksi langsung dengan telapak kakinya.

Mengendap. Bocah kecil itu melangkah pelan menuruni tangga. Ia mematung sebentar di tengah anak tangga. Memperhatikan banyak pecahan porselen disana. Beberapa serpihannya ia kenali sebagai guci kesayangan sang ibu, lalu vas bunga, dan juga kaca bupet penghias ruang keluarga. Kesemuanya berserakan. Seperti tsunami yang baru saja meluluhlantakkan tempat itu.

"Ibu…" bocah kecil itu menangis saat dengan mata kepalanya sendiri ia melihat ibunya dihadiahi tamparan keras dari sang ayah. Ayahnya berteriak nyaring –namun bocah kecil itu hanya mendengar dengung di telinganya. Tak mampu menangkap kalimat sang ayah satu-satu. Kepala mungilnya terlalu shock dihadiahi tontonan kekerasan secara live seperti itu.

"Ibu…" isakkan lirih itu kian keras saat ia mendengar ibunya balas berteriak pada sang ayah. Memaki dan memukul dada sang ayah dengan marah. Kemudian sang ibu nampak kembali mengamuk dengan membanting sebuah telepon rumah yang ada di dekatnya. Bocah kecil itu bahkan bisa melihat kabel telepon yang putus karena ulah anarkis sang ibu.

Bocah itu mengeratkan tangannya untuk menutup telinga. Ia takut. Sangat takut. Tapi wajahnya tak bisa berpaling. Ia tak bisa untuk tak melihat pertengkaran ayah dan ibunya itu. Hingga ia menyaksikan setiap potong adegan itu, dan menyimpannya di dalam kepala.

"Minho…" suara lirih sang ibu menyusup ke indera pendengarannya saat bola mata mereka bertemu. Wajah sang ibu menyiratkan rasa penyesalan yang dalam saat mendapati putra kecilnya yang masih berusia enam tahun itu tampak ketakutan.

"Ibu…" bocah itu menghambur memeluk ibunya. Mengabaikan serpihan porselen di sekitaran wilayah itu –yang mungkin saja bisa melukai kaki telanjangnya.

"masuk kamarmu, Cho Minho." Suara tegas sang ayah membuat bocah kecil itu mengangkat kepalanya yang barusaja mendusal di pelukan sang ibu.

Sang ibu menatap sedih putranya, namun ia mengangguk untuk meyakinkan anak lelakinya itu agar menuruti permintaan sang ayah. Bocah itu menggeleng –menolak untuk masuk ke kamarnya seperti permintaan sang ayah. Namun pandangan memohon sang ibu berhasil meluluhkan hati bocah lima tahun itu.

"tapi Ibu temani Minho bobo, ya…?" pinta bocah lima tahun itu. Mendadak, dimatanya sang ayah tidak lagi keren –karena telah berani memukul ibunya. Dan ia ingin membawa ibunya jauh dari sang ayah.

"Minho tunggu dikamar, ya?" pinta sang ibu. "ibu akan menyusul setelah selesai berbicara dengan ayah."

Minho mengangguk menyetujui. Ia setengah berlari menuju kamarnya. Menunggu sang ibu sembari menyamankan dirinya sendiri di ranjang mungilnya. Jarum panjang sudah melaju jauh. Bocah itu juga tak lagi mendengar keributan. Tapi sang ibu tak kunjung menyambangi Minho di kamarnya. Hingga tanpa sadar bocah itu jatuh tertidur karena lelah menunggu. Ketika mentari menyambutnya di hari esoknya, ibunya sudah pergi. Bahkan tanpa menyisakan jejak kaki, di rumah sederhana mereka.

.

.

.

ENDLESS

.

A fanfiction by Kakagalau74

.

.

.

Jepang, Januari 2010 10.30 pm.

Sebuah mobil pabrikan Jepang dengan warna metallic itu nampak diparkir asal di pelataran parkir sebuah gedung apartment mewah. Pria di ujung usia tiga puluhan itu membanting keras pintu mobilnya dan berjalan terburu menuju lift. Sesekali pria dengan gurat lelah itu melirik arloji yang tersemat di pergelangan tangan kirinya –sebelum akhirnya mendesah panjang. Ini benar-benar sudah lewat dari jam pulang kantornya. Sepertinya tenggelam bersama setumpuk dokumen kantor membuatnya lupa waktu. Ia mengusap wajahnya yang terasa lengket, lalu berdiam agak lama sampai lift itu membawanya ke lantai yang ia tuju.

Dengan menekan passcode yang ia hafal di luar kepala, unit apartment dengan nomor 1209 itu terbuka. Usai menaruh tas kerjanya, melepas jas juga mengganti pantofelnya dengan sandal rumah, pria paruh baya itu melangkahkan kakinya menyusuri marmer putih tulang untuk menghampiri kamar seseorang. Ia berhenti di pintu berpelitur putih –dengan hiasan police line berwarna kuning yang menyilang di seluruh badan pintu. Berbagai stiker ala rock-metal juga meramaikan khasanah pintu putih itu. Dengan hati-hati, ia membuka pintu itu. Hanya gelap beserta sunyi yang menyambutnya. Tentu saja itu merupakan hal yang wajar mengingat pukul berapa saat ini.

Pria paruh baya itu berjalan menuju sebuah gundukkan di balik selimut. Ia membenarkan letak selimut itu, hingga ia bisa melihat dengan jelas sosok pemuda yang bersembunyi di baliknya. Putra kecilnya yang kini tumbuh dewasa dibawah asuhannya. Tampan, berbakat, namun juga berandalan disaat yang bersamaan. Mengingat hal itu, membuat memorinya kembali pada peristiwa siang tadi, ketika ia diundang kepala sekolah dari tempat putranya menimba ilmu, untuk berbincang di ruangan pribadinya. Tak ada pembicaraan penting, selain sebuah pemberitahuan bahwa putranya yang berbakat dan tampan itu dihadiahi sebuah surat skorsing karena terlibat perkelahian, pengerusakan properti sekolah dan membolos.

Ia tak menyalahkan sang putra. Bagaimanapun, ia turut andil dalam pembentukan karakter anak lelaki semata wayangnya itu. Ia juga bersalah karena tak bisa mendidik putra tampannya itu dengan benar. Aish… mengingat hal itu, seolah menambah daftar panjang kegagalannya sebagai seorang ayah.

"Ayah tau kau terluka dan kecewa pada Ayah…" pria paruh baya itu memulai kalimatnya dengan nada lirih, "tapi jangan menyakiti dirimu sendiri, jagoan… Ayah sayang padamu." Kecupan selamat malam itu mengakhiri perbincangan sepihak si pria paruh baya dengan putra semata wayangnya itu. Yang tanpa mereka sadari, mereka sama-sama menitikkan air mata. Untuk sebuah alasan berbeda yang mereka pendam sendiri.

Pria paruh baya itu berbalik menuju ruang tengah. Menyalakan sebuah lampu duduk hingga sebuah cahaya jingga yang temaram itu sedikit menerangi ruangan. Ia masih belum memutuskan untuk pergi tidur, meski tubuhnya lelah setengah mati. Pria itu malah menjatuhkan dirinya di sofa. Duduk melamun bersama sunyi dini hari yang mencekiknya erat bersama dengan hawa kesepian.

Pria paruh baya itu bernama Cho Kyuhyun. Usianya tiga puluh sembilan tahun –dan ia adalah seorang duda, dengan seorang putra berusia enam belas tahun. Sejak putusan cerai resmi dikumandangkan pihak pengadilan sebelum awal tahun millennium, ia memutuskan untuk hijrah ke Jepang dengan membawa serta putra semata wayangnya. Membangun kehidupan yang baru.

Sayangnya, cita-cita sederhananya untuk membangun kehidupan yang baru itu tidak terlaksana. Cho Minho, putra kecilnya yang kini telah tumbuh dewasa itu tetap membawa sisa luka dan dosa masalalu. Ia terus menerus menyalahkan sang ayah karena peristiwa perceraian itu. Minho membenci ayahnya di sepanjang sepuluh tahun terakhir ini. Minho membenci ayahnya bahkan hingga ke setiap sum-sum tulang dan sel darahnya. Minho benci pada ayahnya yang berlaku kasar pada sang ibu malam itu –hingga ibu kandungnya itu pergi meninggalkan rumah. Bagi Minho, sosok Cho Kyuhyun hanyalah lelaki pengecut yang kasar dan menyedihkan. Minho benci, setiap kali mengingat ada darah Cho Kyuhyun dalam dirinya –dan benci mengakui bahwa marga Cho, tersemat di belakang namanya.

Kyuhyun tau, ia lebih dari tau bahwa sang putra membencinya. Mereka bahkan tak berkomunikasi dengan baik selama sepuluh tahun terakhir. Tak ada kisah liburan –atau sekedar menghabiskan waktu dengan menonton TV bersama. Minho selalu menghindarinya, dan Kyuhyun tau itu. Setiap Kyuhyun berusaha untuk mendekatkan diri dengan putranya, bocah lelaki yang kini beranjak remaja itu punya seribu satu alasan untuk menarik langkah mundur dari ayah kandungnya sendiri. Maka cinta kasih Kyuhyun untuk Minho hanya bisa ia tunjukkan diam-diam. Dalam hening malam yang jadi saksi. Serta bait-bait doa yang selalu ia panjatkan dalam hati.

.

.

Pagi menjelma. Minho baru saja keluar dari kamarnya dengan wajah yang masih berantakan. Ia berniat mengambil segelas air, pada awalnya. Namun ia keburu mendapati sang ayah tengah sibuk memanggang sosis di dapur kecil mereka. Minho mengernyit heran sambil memandang ke arah jam dinding. Ini sudah lewat beberapa menit dari jam masuk kantor sang ayah. Ditambah lagi, lelaki yang selama ini masih tercatat sebagai ayahnya itu berada di dapur –wilayah yang nyaris tidak pernah dikunjunginya.

"kau sudah bangun?"

Minho mendecih tak suka dengan pertanyaan itu. Ayahnya bodoh atau apa? Jelas-jelas Minho ada di situ dengan mata terbuka. Dan ia masih bertanya? Basa – basi bodoh!

"cucilah mukamu, dan ayo kita makan bersama." Tambah sang ayah.

Pemuda itu menurut untuk pergi ke kamar mandi. Tapi bukan hanya untuk sekedar cuci muka. Minho pergi mandi –dan keluar dari kamar dengan penampilan yang sangat rapi. Seragam dan tas gembloknya menempel di punggung.

"kau akan pergi? Sekolah?" tanya sang Ayah saat mendapati putranya berniat melengos begitu saja. Padahal Kyuhyun sudah menunggu agak lama agar bisa sarapan bersama.

"kau pikir aku akan kemana, huh?"

"ah… kalau begitu kita sarapan dulu."

"aku sudah sangat terlambat."

Pria paruh baya itu tersenyum, "duduklah, ada yang ingin ayah bicarakan."

Pemuda tampan dengan iris hitam yang membulat sempurna itu mendengus. Melemparkan tas ranselnya ke salah satu kursi.

"katakan dengan cepat, karena aku harus segera pergi." Ucap Minho sembari mendudukkan dirinya.

Kyuhyun tertawa miris, namun Minho mendengar tawa itu sebagai tawa mengejek. Membuat pemuda enam belas tahun itu lagi-lagi memandang tak suka pada ayahnya. Tapi Kyuhyun tetap tak acuh dengan pandangan tajam putra semata wayangnya itu. Pria paruh baya itu menyibukkan diri dengan menyodorkan setangkup sandwich tuna dan beberapa potong sosis bakar berlumur saus mayonnaise. "kau ingin susu? Atau jus?" tawar Kyuhyun.

"kau bilang akan membicarakan sesuatu denganku?"

"kita bicara, sambil sarapan."

"kau membuang-buang waktuku!" kesal Minho. Pemuda itu berniat untuk bergegas pergi dari tempat itu. Namun sang ayah berhasil mencekal lengannya. Memaksanya untuk tetap duduk diam disana.

Minho terdengar mendengus lagi. Kelakuan yang sebenarnya tak ada baik-baiknya sama sekali untuk anak yang belum dewasa seperti dirinya. Tapi mau bagaimana lagi? Lingkungan dan luka masa lalu telah membentuknya menjadi pribadi yang begitu berbeda.

"kau tak suka sandwichnya? Atau kau ingin Ayah pesankan makanan lain?" tanya Kyuhyun. Pria itu sengaja menghentikan acara sarapannya saat melihat putranya hanya mencabik sandwichnya dengan garpu dan memotong kasar sosis panggang di piringnya –tanpa sedikitpun menyuapkannya ke dalam mulut.

"kau sakit?" tanya Kyuhyun lagi.

"berhentilah bertanya seolah kau benar-benar peduli!" Minho mendesis tajam sambil membanting pisau dan garpu di tangannya. Bocah enam belas tahun itu kembali berdiri untuk menunjukkan betapa marahnya ia pada sang ayah.

Sang ayah lagi-lagi memasang senyum asimetrisnya. "kau suka dengan sikap memberontakmu seperti ini?"

Minho membalas tanya sang ayah dengan tatapan tajam. Tapi tak ada satupun kata yang terucap darinya.

"Ayah tau kau takkan pergi sekolah hari ini karena kau mendapat skorsing." Ujar Kyuhyun. "jadi, biarkan Ayah bertanya beberapa hal padamu, Cho Minho. Apakah kau menikmati kelakuanmu itu?"

"ini hidupku! Sedikitpun tak ada urusannya denganmu! Berhenti ikut campur dengan segala hal yang menyangkut hidupku. Urus saja hidupnya yang berantakan itu."

Kyuhyun tertawa mendengar nada tinggi putranya. Bukan tawa sebenarnya –karena lubuk hatinya jelas-jelas terasa ngilu dengan bentakkan itu. "kau benar-benar membenci Ayah, eoh? Lalu –dengan semua yang kau lakukan ini, apa untungnya bagimu, Cho Minho? Berhenti menyakiti dirimu sendiri. Berhenti merusak dirimu." Ujar Kyuhyun –meminta.

"sudah ku bilang, itu bukan urusanmu!"

"kau bahagia dengan merusak dirimu? Tak punya masa depan –kau sungguh bahagia?"

Minho menatap ayahnya, mulai tertarik dengan pembicaraan ini. "kau ingin tau kenapa aku melakukan ini?"

Sang ayah –Kyuhyun- melempar tatapan bertanya.

"aku hanya ingin membuatmu muak denganku –dan menendangku keluar dari apartment ini, atau bahkan mencoretku dari kartu keluarga. Aku membenci marga Cho yang tersemat dalam namaku!" Minho berkata jujur dengan nada sinis meliputi seluruh kalimatnya. Ia bahkan membanting gelas tinggi berisi jus jeruk, hingga isinya tumpah dan membasahi sebagian bajunya. "aku tak ingin hidup dengan lelaki menyedihkan seperti mu –terlebih menyandang marga yang sama denganmu!"

"Kau membenci Ayah, tapi kau malah merusak dirimu sendiri. Berkelahi dan memiliki catatan buruk selama sekolah –kau merusak masa depanmu. Jika kau membenci Ayah, lampiaskan pada objek yang tepat! Bukan merusak dirimu sendiri!" lengan pria tua itu mengepal tanpa ia sadari.

"ini lebih menyakitkan, bukan?" Minho memasang senyum asimetrisnya. Senyum picik yang mengundang emosi lawan bicaranya. "kau menyakitiku dengan menjauhkan aku dari ibu kandungku sendiri. Dan aku, mencoba membalas dendam dengan cara ini."

"kau salah, Minho-ya." Kyuhyun terdengar tertawa meremehkan. "sedikitpun Ayah pernah tak rugi. Yang hancur adalah hidupmu –beserta masa depanmu. Sedangkan Ayah? Pria tua yang kau benci ini baik-baik saja dengan kehidupannya. Aku sudah punya cukup kekayaan untuk menjamin hari tuaku. Bahkan aku yakin aku masih bisa menyumbangkan beberapa juta dollar setiap bulannya kepada dinas sosial sampai aku mati nanti. Sedangkan dirimu?"

Kini giliran pemuda itu yang mengepalkan tangannya.

"kau –jangan terlalu menyombong selama kau masih berdiri dibawah ketiakku." Kyuhyun menyambung kalimatnya. "menyombonglah nanti ketika kau bisa berdiri dengan kakimu sendiri!"

Minho mendesis. Ia mulai tak suka ketika ayahnya kembali menggunakan nada mengejek ke arahnya.

"hah… tapi jangankan berdiri dengan kakimu sendiri. Aku bahkan tak yakin kau mampu merangkak sekarang ini!"

"aku bisa!" pemuda enam belas tahun itu setengah berteriak. "akan aku perlihatkan padamu bahwa aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri. Akan aku tunjukkan padamu bahwa aku bahkan akan lebih tinggi daripada pria tua sombong seperti dirimu!"

"cobalah!" tantang Kyuhyun. "buktikan bahwa kau bisa melakukan sesuatu agar bisa segera mandiri dan lepas dariku –juga dari tanggung jawabku! Buktikan padaku bahwa kau memang akan jauh lebih hebat dariku."

"tentu saja! Ketika saat itu tiba, aku tidak akan pernah membiarkan marga Cho tersemat dalam namaku, dan aku akan segera menemui Ibu untuk tinggal bersamanya." Ikrar Minho. "hiduplah dengan segala kesombonganmu itu Cho Kyuhyun! Akan ku pastikan bahwa kau akan menyesal saat aku berhasil membuktikan ucapanku. Akan ku pastikan bahwa kau akan merasa terlempar jauh ke dasar neraka saat ucapanku menjadi kenyataan!" Minho bangkit dari kursinya. Mengabaikan baju seragamnya yang setengah basah, pemuda itu pergi dengan membanting pintu apartmentnya.

Pria tua itu –Cho Kyuhyun- tertawa sumbang. Ia kembali membenarkan duduknya dan melanjutkan untuk melahap sarapannya. Meski sandwich itu kini serasa batu kapur yang membuat tenggorokannya sakit saat menelannya.

Lakukanlah, Minho … jika dengan membenciku bisa membuat kau berhenti menyia-nyiakan hidupmu, maka lakukanlah. Kau hanya perlu hidup dengan baik, putraku…

.

.

.

TBC

.

.

.

Selamat hari raya Idul Fitri…

Minal Aidzin wal faidzin… Mohon maaf lahir dan batin *maaf telat ^^v *

Kemarin-kemarin aku update status lagi ketik ff kaaaaan?

Tapi baru selesai hari ini. Soalnya kemarin agak sibuk.

Taraaaaaa! Inilah hasilnya!

Absurd? Mainstream? Ah, sudah biasa! Saya kan terlalu sering main aman tiap kali nulis FF

*maafkan saya yang tidak berkembang menjadi lebih baik!* /,\

Ini masih awal… konfliknya sudah ketebak… dan saya yakin, readers juga udah bisa nebak endingnya. Tapi saya tetep geregetan pengen nulis ini… *gimana dong?*

Badewey, thanks buat yang kemarin sudah doain saya

Sidang skripsi saya lancar jaya, Alhamdulillah. Hasilnya?

Eum… yah… lumayan lah! Bisa lulus dengan pujian *muehehehehe*

Selain nulis, saya juga hobby baca. Jadi bagaimana kalau kita simbiosis mutualis? Readers baca ff tulisan saya, biar saya nanti baca review dari readers? Gimana? *ngerti maksudnya kan?*