Unconditionally (sequel)
.
.
.
Shingeki no Kyojin by Isayama Hajime-sama
This story real by me
Keep enjoy and please RnR
.
Yohooooo minna~ author shigeyuki datang dengan sequel unconditionally~
Sebenernya sequel ini langsung ada di kepala author pas baca review kalian... tapi nyatanya baru ditulis sekarang ehehehe maapin ya buat yang nunggu ^^
Author baru nyadar loh kalo judul fict sama isi ceritanya agak kurang nyambung... tapi yasudahlah~ udah enak manggil fict ini unconditionally sih :v
Oh iyaa, terima kasih banyak sebanyak banyaknya pada kalian semua readers tercintaaa :*
Kalian udah mau baca sampai akhir walaupun author kadang kelelep tanpa kabar dan jejak
Hontou wa arigatou minna TwT
Yang baru baca fict unconditionally sequel ini, mending kalian baca unconditionally yang 11 chapter itu dulu hehe biar greget.. biar nyambung juga bacanya
Tapi ya terserah readers sih ehehehe
Dan disinilah author sekarang, menulis lagi dan berharap readers seneng sama sequel maksa ini
Author sadar bahwa author memiliki andil untuk membuat readers baca fict aneh ini, author juga membiarkan kalian membaca sebegitu banyaknya typo tak tau diri yang nyempil disela-sela gigi ups* maksudnya disela-sela paragraf.
Jika kalian dendam sama author,.. author rela kok disuruh nikah sama bang Levi yang kece itu. Aku ikhlasss aku pasrahhh TwT
Kenapa fict ini disebut sequel? Karena memiliki hubungan yang erat dengan fict sebelumnya. Yup itulah namanya sequel. (Semuanya juga tau thor...)
Tapi fict ini memiliki sedikit bumbu humor didalamnya (mungkin) menurut author sih gitu... kalo kalian gak ngeh sama humor yang author sempilin, maapin yaa :p
Yuk kita mulai aja ceritanyaa~
Bekicooot *eh salah lagi...
Maksudnya
Cekidoooot~
.
.
.
.
..
.
Seperti yang terlihat, ada seorang pria bermanik tajam dan berambut kelam duduk sendiri di sebuah kafe. Jas hitam rapi dan cravat yang menghiasi kerah kemejanya menambah aksen bahwa ia merupakan orang penting. Ya, seperti itulah kenyataannya. Pria kelam itu bernama Rivaille Ackerman. Pria berdarah prancis jepang yang terkenal karena memiliki andil besar dalam perusahaan yang berhubungan dengan bisnis ekspor. Nama Ackerman tak pernah absen menjadi sponsor beberapa perusahaan kecil maupun besar yang memerlukan beberapa properti dari perusaannya. Di usianya yang menginjak 26 tahun ini, ia memang terbilang sangat sukses. Yah.. jangan sebut dia keluarga Ackerman jika tidak bisa menumpuk pundi-pundi uang disetiap tempat.
2 tahun lalu ia hanyalah asisten direktur -yang kebetulan merupakan ayahnya, Kaney Ackerman. Namun setelah sang ayah meninggal dunia akibat serangan jantung, posisi direktur utama itu menjadi tanggung jawabnya. Bagaimana dengan ibunya? Ia masih hidup dan sehat. Kini Kuchel Ackerman -nama ibunya- menjalankan anak perusahaan mereka di Prancis. Keluarga Ackerman memang tidak ada yang tidak berguna. Jabatan paling rendah yang dimiliki keluarga Ackerman hanya sekretaris kantor Ackr Corp -nama perusahaan Ackerman-, yang dipegang oleh Mikasa Ackerman, sepupu Rivaille.
Jauh dari keberhasilannyaa di usia muda, Rivaille belum pernah terdengar menggandeng seorang gadis. Padahal bukan hal aneh lagi jika rekan bisnisnya sengaja membawa putri mereka untuk dikenalkan padanya. Tapi tentu saja akan berakhir dengan menangisnya putri mereka karena ditolak mentah-mentah oleh Rivaille.
Rivaille bukannya tidak memiliki sopan santun dan rasa takut akan kehilangan rekan bisnis, tapi ia tidak merasa khawatir sama sekali dengan hilangnya mereka. Jujur saja, Rivaille ingin mencoba bagaimana rasanya bangkrut. Tapi tentu saja jika hal itu terjadi ia akan mendapat ceramah panjang lebar dari Kuchel. Jadi ya... Rivaille hanya bisa melakukan apa yang ia bisa dan menjalankannya seperti biasa. Hanya itu. Baginya, siklus hidup seperti itu sangatlah datar, seperti wajahnya *ups.
Lalu apa yang Rivaille lakukan di sebuah kedai kopi pinggir kota yang sepi pengunjung itu? Padahal kan ia mampu menyewa satu restoran kelas atas jika memang ia menginginkan ketenangan.
Tampak jemarinya menimbulkan suara saat diketukan berkali-kali di atas meja. Kopi yang sejak 15 menit lalu menemaninya disana sudah tinggal setengah tinggi cangkir. Asap yang tadinya mengepul sudah tidak terlihat lagi darisana. Tak lama Rivaille menghembuskan napas bosan dan melirik malas pada pintu kedai yang berbunyi saat dibuka seseorang dari luar.
"Aku yakin itu dia.." Rivaille berguman meyakinkan diri sendiri, masih dengan wajah malas.
Dan saat sosok yang membuka pintu tampak jelas, Rivaille menyunggingkan sedikit senyuman. Dia tampak lega.
Tak lama sosok yang ditunggunya itu mendapati keberadaan Rivaille, otomatis ia terseyum hangat. Dia seorang gadis. Berambut caramel manis sebahu. Pakaiannya tak kalah rapi dari Rivaille. Pakaian kantoran lah ya..
Si gadis menghampiri meja Rivaille. Kemudian membungkuk sopan dengan wajah yang tampak bersalah.
"Maaf pak direktur! Setelah selesai menemui klien tadi, aku kesulitan mencari taksi, jadi... maaf sudah membuat anda menunggu lama."
Rivaille mendengus. Antara kesal, senang dan ingin tertawa. Tertawa? Hey sejak kapan pria itu memiliki kemauan untuk tertawa? Ya sejak.. negara api menyerang? Tentu saja bukan. Pastinya ada yang membuat hal seekstrem itu bisa dilakukan Levi, apa gadis inikah penyebabnya? Mungkin tak lama Rivaille akan diwawancarai di acara gosip karena hal ini.
"Apa aku sudah cukup tua untuk dipanggil 'pak'?" Rivaille berkomentar.
"Eh?"
"Aku sudah katakan berkali-kali padamu tapi kau tidak pernah ingat.."
Si gadis masih tampak bingung dalam posisi berdirinya.
"Jangan panggil aku 'pak', 'direktur', 'presdir' atau apapun yang menunjukkan bahwa aku adalah atasanmu."
"B-baik.. maaf.. Rivaille-san.."
"Masih ada 'san' disana."
"Ah iya iya, Rivaille."
"Itu lebih baik."
Rivaille akhirnya memersilahkan gadis itu untuk duduk di kursi yang berada tepat dihadapannya.
"Jadi.. kenapa mengajakku kemari? Di kantor kan sedang sibuk-sibuknya.."
"Aku bisa membatalkan semua janji dengan mudah. Kau lupa kalau aku presiden direkturnya?"
"Iya iya.. tapi itu bukan cara yang bijak sebagai kepala perusahaan."
Rivaille tak membalas. Ia hanya memandangi wajah gadis itu seenak jidat. Hal itu sukses membuat orang yang dipandangi merasa risih.
"Apa ada sesuatu di wajahku?"
Pria itu masih terdiam. Sampai beberapa detik kemudian..
"Kau cantik, Petra Ral."
Lawan bicara langsung speachless. Bagaimana tidak? Makhluk tampan didepannya tiba-tiba memujinya seperti itu.
Setelah merasa puas memandangi gadis yang dipanggilnya Petra itu, Rivaille mengeluarkan benda persegi berwarna merah dari dalam saku jas hitamnya. Dan saat kotak merah itu dibuka, nampak sebuah cincin berlian bersinar.
"Tak ada yang lebih penting dari bertemu denganmu dan mengatakan ini."
"Ah?"
"Terima kasih sudah membuatku lama disini dan menghabiskan waktu untuk berpikir bagaimana caranya mengatakannya, ekm.. Petra Ral, kau harus menikah denganku."
Petra mengedipkan matanya berkali-kali. Merasa tidak percaya dengan situasi yang dihadapinya sekarang.
"Apa.. itu perintah?" Petra bertanya dengan tidak yakin.
"Aku memilih kata itu karena aku yakin kau akan menerimanya. Dan jikalau kau tolak pun, aku akan tetap memaksamu menikah karena itu perintahku."
Setelahnya Petra tampak tertawa kecil.
"Kau selalu tahu apa yang aku pikirkan. Memang sulit untuk menolak jika yang mengatakan itu adalah seorang Rivaille Ackerman kan?"
"Jadi?"
"Menikah denganmu akan membuatku memiliki apa yang aku inginkan, itu tidak buruk."
"Aku tahu bukan hanya itu tujuanmu. Ya... tidak mungkin hanya itu jika kau menyimpan banyak fotoku di meja kerjamu." Rivaille menyindir.
"H-hey! Tidak sopan membuka laci meja kerja orang lain!"
"Salah sendiri kau menyimpan hal pribadimu disana."
"U-uh..."
"Aku ingin memastikan bahwa tidak ada keterpaksaan. Kau juga mencintaiku kan?"
Petra memalingkan wajahnya yang mulai memerah ke arah lain. Pasti dalam hati Rivaille menertawakannya, pikir Petra.
"Jawab aku, Petra."
"I-iya.. aku juga mencintaimu."
Rivaille tersenyum. Ia meraih tangan Petra dan memasangkan cincin berlian itu.
"Besok kita cari gaun pengantin untukmu."
"Eh?"
"Kau tahu ini perintah kan."
Dan Petra sudah tahu itu. Walaupun perasaan senang tak bisa ditutupi dalam manik caramelnya. Ia yakin nanti malam ia tidak akan bisa tidur karena memikirkan ini.
.
Hal yang Petra duga tadi siang ternyata benar-benar terjadi. Ia tidak bisa tidur. Karena memikirkan lamaran itu? Haha tentu saja. Ini bukan sebuah rahasia lagi.
Dalam posisinya yang berbaring di atas ranjang empuk miliknya, Petra kembali mengingat hari-hari dimana ia mulai tertarik pada Rivaille. Sebenarnya itu sudah lama terjadi.. saat SMA mereka satu kelas. Sebagai ketua kelas dan sekretaris. Awalnya mereka berteman seperti biasa, namun dari hari ke hari Petra baru menyadari pesona memikat yang tidak bisa ia pungkiri dari Rivaille. Ditambah, ia juga menyadari bahwa Rivaille memerhatikannya lebuh dari teman-temannya yang lain.
3 tahun bersama mereka pun semakin dekat. Namun mereka kuliah di tempat yang berbeda setelahnya. Tidak lernah bertemu kembali. Dan saat ini mereka kembali bertemu di kantor yang sama. Posisi Rivaille dan Petra memang tidak berhubungan dengan langsung, tapi mereka berdua selalu sempat bertemu untuk sekedar berbincang hangat dan mengenang masa lalu. 1 tahun bekerja disana, mereka menjadi sepasang kekasih. Tidak banyak yang tahu memang. Ah atau lebih tepatnya terkesan disembunyikan. Bukan, bukan karena Petra berasal dari keluarga miskin jadi pasti akan ada konflik jika mereka berhubungan -seperti di film-film-. Petra berasal dari keluarga berada, tentu saja. Ayahnya memiliki perusahaan di bidang komunikasi, tidak terlalu besar memang. Tapi sudah lebih dari cukup untuk menghidupi dirinya dan sang putri kesayangan.
Jadi kenapa mereka terkesan menyembunyikan hubungan mereka? Alasannya sangat sederhana dan aneh. Mereka -terutana Rivaille- tidak mau mendapat pertanyaan-pertanyaan dari rekan-rekan bisnis, bawahan, juga teman-temannya tentang hubungan ini. Padahal lambat laun semuanya juga akan tahu. Eh jadi hubungan mereka itu bisa disebut hubungan gelap? Ahaha tidak juga.. coba tanyakan langsung saja pada Rivaille, pasti dia tidak akan jawab. Haha.
Besok adalah hari dimana Petra akan memilih gaun pengantin. Fase yang menyenangkan bagi wanita namun tidak bagi pria. Tapi Petra akan memastikan kalau ia tidak akan membuat Rivaille menunggu lama dalam menentukan gaun yang dipilihnya. Ia akan memilih yang sederhana dan manis. Seperti imejnya. Ha membayangkannya saja sudah membuat Petra bersemu merah dan tersenyum senang. Baiklah ia harus tidur sekarang. Tidak mungkin ia berani menghadap Rivaille dengan kantung mata yang melebar karena kurang tidur besok. Dan lagi masih ada rapat yang harus ia hadiri sebelum pergi ke butik. Tentu saja Petra sudah meminta Rivaille untuk menghadiri rapat juga untuk kali ini, sudah terlalu banyak rapat yang pria itu tunda seenak jidat karena alasan sepele. Tapi tidak kali ini. Petra tidak akan membiarkan itu terjadi lagi. Sebagai hadiah karena menurut pada perkataan Petra tentang rapat besok, Rivaille mendapat kecupan singkat dari sang gadis. Itu cukup membuatnya akan memegang perkataannya. Lihat, Petra sudah menjadi gadis yang berani ternyata.
.
"Baiklah, aku setujui proyek ini. Segera kirim berkas lengkapnya ke ruanganku agar bisa aku tanda tangani. Dengan begitu rapat hari ini selesai. Silahlan meninggalkan ruangan." dalam satu tarikan napas, Rivaille mengakhiri rapat yang sudah berlangsung sejak 2 jam lalu itu.
Setelah anggota rapat yang lain satu per satu keluar ruangan, Rivaille membuka satu kancing kemejanya. Hari ini ia memakai dasi, tidak seperti biasanya. Hembusan napas lega pun terdengar.
Ruangan rapat itu hampir kosong. Hanya menyisakan dirinya dan Petra yang sudah membereskan beberapa berkas rapat hari ini. Rivaille memandang manik caramel didekatnya sesaat sebelum ikut membereskan lembaran-lembaran kertas membosankan didepannya. Lebih cepat lebih baik.
"Kau hampir memecah konsentrasiku gara-gara tindakan reflekamu."
Petra yang sudah berdiri di samping Rivaille tampak tidak mengerti dengan makaud 'tindakan refleks' yang dimaksud pria itu. Memangnya apa yang sudah ia lakukan sampai seorang presiden direktur bermuka datar seperti Rivaille hampir kehilangan konsentrasi dalam rapat penting ini?
"Apa yang membuatmu terganggu?" Petra bertanya.
Awalnya Rivaille tidak berminat untuk menjawab pertanyaan yang Petra suguhkan. Ia langsung bangkit berdiri dan memberi tanda agar mereka segera pergi. Tanpa mendapatkan jawaban yang diharapkan, Petra mengalah. Dari dulu pria dihadapannya ini memang begitu.. jika tidak mau menjawab pertanyaan dia selalu mengalihkan tindakan. Ya mengalihkan tindakan, bukan mengalihkan pertanyaan.
Sebelum mengangguk untuk menyetujui 'perintah' Rivaille, Petra menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga. Terlihat anggun.
"Tch. Kau melakukannya lagi. Mau mempermainkanku huh?"
Rivaille mulai melangkahkan kakinya menuju pintu. Tanpa menunggu Petra yang tengah berpikir. Tak lama gadis itu mengikutinya, seraya tersenyum karena berhasil mendapatkan jawaban pertanyaannya sendiri.
Keduanya masuk ke dalam lift. Rivaille memencet tombol menuju lantai bawah gedung ini. Dan pintu lift tertutup dalam beberapa detik yang singkat.
"Kau harus mulai terbiasa." Petra menyindir.
"Jangan membuatku menjadi liar padamu. Aku tidak mau melakukannya sebelum pernikahan."
"Dasar mesum.."
Rivaille tak menyahut lagi. Yang ia lakukan hanya mencubit pipi mulus milik gadis disampingnya. Lama-lama bersama gadis itu bisa-bisa ia benar-benar jadi liar. Ah sudahlah.. toh tidak lama lagi semua hal yang ingin dilakukannya pada Petra bisa ia lakukan. Walaupun sedikit heran karena ia bisa mendapatkan Petra dengan mudah, ia menghiraukannya begitu saja. Apapun untuk gadis itu. Apapun..
Suara dentingan lift yang terbuka terdengar. Mereka berdua berjalan berinringan menuju pintu utama kantor ini. Beberapa staf pekerja yang lewat memberi hormat dengan membungkukkan badan saat melihat Rivaille berjalan di depat mereka. Tak ada yang istimewa, seperti biasa. Namun saat keduanya hampir mencapai pintu, langkah mereka terhenti.
Bukanlah tanpa alasan. Tapi ada seseorang yang menahan mereka. Lebih tepatnya seorang bocah. Tinggi bocah itu kira-kira setengah tinggi Rivaille. Ia mengenakan celana panjang berwarna tanah juga baju atasan yang terlihat klasik dengan rompi merah. Bocah itu terlihat sangat... familiar? Ah tentu saja. Lihat tatapan tajam yang angkuh itu, juga potongan rambut hitam miliknya, bisa dibilang sangatlah mirip dengan Rivaille. Yang membedakan hanyalah warna manik tajam itu. Warnanya caramel.
Melihat keberadaan bocah tak tahu diri -menurut Rivaille- yang sudah menghentikan mereka seenaknya, Rivaille memasang tatapan yang tak kalah angkuh dari bocah itu.
"Heh bocah.. menyingkir dari jalanku." Perintah Rivaille, yang langsung mendapat sikutan dari Petra.
Tanpa disangka si bocah langsung mengangkat tangan kanannya untuk menunjuk ke arah Rivaille dan Petra bergantian, masih dengan tatapan angkuh dan menantang.
"Kau ayahku! Dan kau ibuku!"
Hening.
Beberapa orang yang memang lewat disana, juga resepsionis yang memang selalu ada disana, langsung menampilkan wajah pokerface. Heran? Tentu. Penasaran? pastinya. Pertanyaan yang tertanam di benak masing-masing saat ini hanyalah, 'sejak kapan atasan nereka itu memiliki hubungan gelap dengan Petra sampai menghasilkan anak berumur sekitar 7 tahun itu'.
Ah persetan dengan tanggapan orang-orang disana.. Yang jelas saat ini Rivaille ingin sekali memberi benjolan secara cuma-cuma pada bocah sialan didapannya. Yang benar saja.. tidak mungkin Rivaille membuat anak dengan Petra yang baru ia lamar kemarin, sudah sebesar ini pula. Kecuali jika Rivaille memang sudah liar dari dulu. Tapi hey.. ia cukup waras untuk tidak menghamili anak gadis orang lain sebelum terikat dalam hubungan suami-istri. Bocah ini pasti sudah tidak waras. Dalam hati, Rivaille merasa miris. Bocah sekecil ini sudah jadi gila.. sebenarnya beban seberat apa yang ditanggungnya sampai berpikir keras dan menjadi gila? Saking kasihannya, Rivaille ingin sekali melempar bocah itu ke rumah sakit jiwa.
"Apa maksudmu?" akhirnya Rivaille bersuara, tampak kekesalan menjadi latar pertanyaan, seolah melupakan rasa kasihan yang tadi diakui Rivaille dalam hati kecilnya.
"Akunsudah bicara dengan jelas! Kau, Levi Ackerman, adalah ayahku. Dan kau, Petra Ackerman, adalah ibuku! Aku sudah mencari kalian!" ucap bocah itu dengan lantang sambil menunjukkan tulisan nama mereka berdua.
"A-ah.. adik kecil.. mungkin kau salah orang. Ini Rivaille, bukan Levi." Petra berucap, tidak menyadari sesuatu sepertinya. Entahlah..
"Hey Petra.. sudah berapa lama kau mengenalku? Masa tidak tahu kalau Levi dibaca Rivaille. Huruf e itu i, huruf huruf i itu ai, ayolah.. aku yakin kau selalu mengikuti pelajaran bahasa inggris dengan baik." Rivaille menimpali.
Selama Petra berpikir dan menimbang-nimbang, Rivaille kembali memfokuskan perhatian pada bocah absurd yang mengaku anaknya.
"Kenapa kau begitu yakin, bocah? Aku bahkan baru melihatmu hari ini."
Si bocah tampak merajuk. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada, seolah menantang.
"Aku tidak salah! Kalian memang orangtuaku!" teriaknya.
Sebelum bocah itu kembali berteriak dan mengatakan hal yang aneh-aneh lagi, Rivaille langsung menutup mulut anak itu dengan tangannya. Kemudian mmengangkatnya dan kembali melanjutkan langkahnya menuju mobil yang sudah disiapkan didepan pintu masuk.
"Ri-Rivaille!" Petra menyusul langkah pria didepannya.
Sesampainya di dalam mobil, Rivaille yang menempatkan si bocah di bangku penumpang memandangnya melalui kaca spion. Meski wajahnya tidak terlalu kesal saat ini, namun tetap saja Rivaille tidak bisa menyembunyikan perasaan bahwa ia merasa terganggu.
"Heh bocah, jelaskan darimana kau datang dan kenapa kau mengatakan kalau kami orangtuamu?"
Petra yang baru memasuki mobil langsung menjatuhkan pandangannya pada objek di belakang, menunggu penjelasan.
"Aku datang dari masa lalu. Kakek Kenny yang membantuku membuat mesin waktu dan menemui kalian di masa ini. Aku tidak mau hidup dalam kesendirianku tanpa orang tua. Jadi aku mencari kalian kemari."
"Kau bercanda? Mana ada mesin waktu. Kau pasti baru bangun dari mimpimu."
"Aku tidak bohong!"
"Baik baik, terserah. Kalau memang kau berasal dari masa lalu, kenapa kau tidak bersama orangtuamu yang di masa lalu saja? Kenapa jauh-jauh kemari?"
Bocah itu menunduk. Keangkuhan mulai memudar dari wajahnya. Digantikan dengan wajahnya yang murung.
"Mereka sudah mati, saat aku masih bayi."
Rivaille dan Petra saling berpandangan. Jika maksud bocah itu adalah untuk membuat mereka berdua iba, maka dia sudah berhasil.
"Kau tadi menyebut seseorang. Kakek Kenny? Kenapa tidak bersamanya saja?"
Ia memalingkan wajahnya.
"Aku ingin merasakan bagaimana memiliki orang tua.."
"Tapi kami bukan orangtuamu."
Keheningan kembali merasuk. Petra menggenggam tangan Rivaille yang berada di kemudi, untuk mengambil alih berbicara pada anak itu.
"Kenapa.. orangtuamu meninggal?"
"Kakek Kenny bilang.. seorang psikopat memburu mereka dengan kejam saat raksasa menyerang dinding."
"Psikopat? Raksasa?"
"Ayah adalah prajurit terkuat. Tapi.. dia sudah mencapai batas setelah terluka begitu banyak. Dan dia mati terhormat bersama ibuku sebagai komandan pasukan pengintai."
"Pasukan pengintai?"
"Ah Petra, kurasa kira harus segera pergi dari sini. Wartawan mulai berdatangan."
Mendengar itu Petra melirik keluar jendela mobil. Dan ternyata memang benar. Beberapa orang dengan kamera dan tanpa pengenal berdatangan. Dan ia yakin siapa yang dicari mereka.
"Sial. Akan kupastikan siapa yang menyebarkan keberadaan anak ini ke media."
"Secepat itu? Ah... ternyata memiliki hubungan dengan orang penting sepertimu semerepotkan ini.."
Tanpa berkomentar lagi, Rivaille langsung tancap gas menuju tempat yang memang mereka tuju sebelum masalah ini datang, yaitu butik. Tentu saja Rivaille tidak melupakan tujuan itu.
"Dan bocah, kau harus menjelaskan dan membuktikan semuanya di rumah nanti." ucap Rivaille setelah mereka sudah setengah perjalanan.
"Siapa namamu dik?" Petra bertanya dengan senyuman ramah di wajahnya.
"Kiddo.. Kiddo Ackerman."
"Baiklah, Kiddo. Aku yakin kau anak yang baik."
Dan setelah Petra kembali memerhatikan jalan yang dilaluinya, Kiddo tersenyum. Ada sebuah perasaan senang dan lega disana. Perasaan yang baru ia alami juga terasa. Perasaan bahwa walaupun ia baru bisa menemui kedua orang didepannya ini sekarang, tapi ada sebuah ikatan kasat mata yang nampak. Ikatan batin. Cerita kakeknya tentang adanya reinkarnasi ternyata benar -menurutnya-, karena ia yakin kedua orang yang ia cap sebagai ayah dan ibunya ini memang merupakan reinkarnasi orangtuanya. Kiddo hanya bisa berharap keduanya akan menerimanya setelah ini. Baru ia akan kembali ke masanya. Masa yang kejam itu.
-TBC-
.
.
Wehehey sequelnya bersambung tuh
Tetep tunggu kelanjutannya ya guys, you're my power.
Author gak akan lama kok hehe
Gimana nih ceritanya?
Karena dikomenan ada yg pengen sequel rivetra dan ada yg minta sequel Kiddo juga, jadi author satuin deh hahaha biarin ya?
Nikmati aja biar greget~
Ok see you next chapter
Dan inget, bagi yang baru baca sequel ini, baca dulu fict sebelumnya yaaaa biar enak (?) Tapi warning : fict yg sebelumnya berating M, jadi bagi yang belum cukup umur, pas bagian 'itu'nya di-skip aja ya ^^ kalian kan anak baik
Yuu dibaca dulu yuuu biar gregeeeeet
-author shigeyuki-
