Di puncak sebuah menara, seseorang tengah berdiri tegap di sela-sela tiang besi raksasa yang mencuat menantang cakrawala. Sejenak, ia mengedarkan pandangan ke bawah sana dengan netranya yang berkilat. Dalam selipan kedua jarinya terdapat lembaran kertas bertuliskan not dan simbol, terbakar hangus oleh api dari pemantik yang ia nyalakan. Bersamaan dengan itu, ditengadahkan wajah tenangnya ke atas, merasakan angin yang terus menerbangkan partikel-partikel abu tersebut ke udara hingga tak lagi bersisa.
Semua dirasa sempurna, ia pun berlutut dengan satu kaki, sementara kedua tangannya yang terbungkus sarung tangan hitam terjulur membuka koper polimer yang diletakkan begitu saja di atas lantas kasar yang dingin. Saat koper terbuka, terpampang senapan jarak jauh dengan beberapa bagian masih terpisah. Di sudut kiri terdapat wadah bermaterial karet sintetis—terisi lima buah peluru berbentuk runcing dengan ujung berwarna merah. Sekilas ia melirik jam di pergelangannya dan dengan gerakan cepat serta cekatan, ia mulai merakit senjata tersebut
Tak sampai beberapa menit, sebuah senapan rifle berukuran 54 inchi lengkap dengan peredam suara dan cahaya telah berada dalam genggamannya. Ia menempatkan bipod senjata di pembatas bangunan yang tak terlalu tinggi. Setelah itu, diposisikannya dirinya tepat di belakang senapan tersebut.
["Delta..."]
Ia tak menjawab panggilan dari receiver yang terpasang di telinga kirinya.
["Delta..."] Suara itu kembali terdengar. ["Can you hear me?"]
"Loud and clear. I can hear your fuckin' voice." Kalimatnya meluncur pelan. "Jangan menggangguku saat sedang bekerja."
Bunyi serak kerongkongan seperti hendak membendung tawa langsung menusuk pendengarannya. Ia mendengus samar.
["Okay... Okay..."] Suara di ujung sana tampak mengalah. ["Good luck then. Don't miss."]
Komunikasi diputus.
Ia membisu seraya kembali memusatkan konsentrasinya pada objek yang ia intai dari balik lensa scope. Pandangan matanya setajam elang. Setelah memastikan semuanya tepat sasaran, perlahan jarinya mulai bergerak menyentuh picu senapan seiring dengan ujung bibirnya yang terangkat miring. Ia menyeringai sinis.
"See you in hell."
'TRANG'
Bunyi kaca pecah disusul ambruknya tubuh Terumi Mei membuat seluruh tamu dalam suatu ruangan kontan tercengang dan ternganga. Wanita berambut cokelat itu tampak kesakitan sembari memegang leher. Terlihat kucuran darah segar mengalir dari sela-sela jari miliknya yang bergetar. Tak menunggu waktu lama, suasana semakin ricuh karena semua orang berhamburan keluar. Lima orang bodyguard berjas hitam sontak mengeluarkan revolver dari balik punggung mereka, mengamati, dan mengamankan keadaan. Sedangkan beberapa bodyguard lainnya bergegas memboyong Mei untuk mendapatkan pertolongan. Setengah jam kemudian, area gedung megah tersebut telah dikelilingi oleh garis kuning pembatas polisi dengan beberapa petugas yang tampak sibuk lalu lalang di sekitar lokasi.
Belum ada yang menyadari, berada beberapa ratus meter dari sana, seorang pria tak dikenal tewas tergeletak dengan kepala bersimbah darah.
.
.
PARTITUR
.
.
Haruno Sakura, sang mantan violinist cilik terkenal, memutuskan untuk kembali tampil setelah beberapa tahun vakum dari dunia musik. Saat itulah ia bertemu dengan Sasuke, sesama violinist, yang berwatak dingin dan selalu memperhatikannya dari jauh / Di lain pihak, Badan Keamanan Federal Jepang mau tak mau harus terlibat dalam kasus kemunculan sniper yang telah lama mati dari masa lalu. Dan percobaan pembunuhan seorang anggota parlemen menjadi awal pembuka dari semua ini /
.
.
Disclaimer : Naruto milik Masashi Kishimoto. Saya hanya meminjam karakternya saja tanpa mengharapkan keuntungan apapun.
Rate : T (Sewaktu-waktu bisa berubah)
Warning : AU, OoC, typo(s), misstypo(s), etc.
.
.
Seseorang penah berkata bahwa hidup itu ibarat musik. Diawali oleh alunan intro dan diselingi interlude. Ada tempo yang harus kita nikmati. Ada dinamika yang perlu kita jalani. Terkadang riang bak vivase dan sedih bagai grave. Terkadang lembut bak pianissimo dan nyaring seperti fortissimo. Hingga akhirnya kita mencapai coda. Dan di saat itulah ia akan menceritakan segalanya ...
... melalui sebuah lembaran partitur.
.
.
.
Gadis pink itu duduk sendirian di bangku taman tepat di bawah pohon hias yang rindang. Sementara Sasuke, berdiri sambil menyandarkan punggung pada dinding kawat di pinggir lapangan basket yang letaknya bersebelahan dengan taman. Selagi kawan-kawannya sibuk merebut bola, ia memilih untuk menyaksikan gerak-gerik gadis di seberang sana.
Rambut dikuncir, celana denim ketat yang sedikit robek di bagian lutut, jaket hoodie putih motif polkadot, sepatu converse berwarna biru tua, serta tas ransel berbentuk menyerupai kepala binatang, mewarnai penampilannya hari ini. Oh... Jangan lupakan hardcase biola di tangan kanan dan majalah Metal Hammer di tangan kiri, serta sebuah lolipop yang selalu terkulum dalam mulutnya di manapun ia berada.
Sasuke meliriknya dengan kedua alis nyaris bertaut. Biola dan majalah musik metal Inggris. Entah di mana korelasi antara kedua benda tersebut, namun ia selalu membawanya bersamaan. Aneh. Hampir semua orang menyebutnya begitu. Dan Sasuke bukan tanpa alasan memperhatikannya secara diam-diam. Ia mengenalnya—ralat—mengenal baik karyanya. Haruno Sakura, seorang mantan violinist cilik belasan tahun lalu, sampai akhirnya ia memutuskan untuk vakum dalam waktu yang lama. Sangat lama. Padahal ia baru menelurkan satu album musik instrumental yang sukses mengantarkannya menjadi pemain biola terkenal diumur yang sangat muda, saat menghilang dari atas panggung. Tak disangkanya sama sekali, bahwa tiga minggu yang lalu, seorang Sakura akan muncul di kampus seni tempatnya belajar. Ya, dirinya sama seperti gadis itu, seorang violinist.
Sasuke mulanya tak percaya, gadis cilik yang selalu ia dengarkan musiknya ketika kecil, adalah sosok nyentrik seperti itu. Sakura tetap bergaul dan memiliki teman tentu saja. Meskipun tak banyak, lumayan dapat menghindarkan dirinya dari label 'super freak'. Sudah cukup dengan kelakuannya yang absurd, tak acuh, dan penyendiri. Jika ia tak mengenal satu orang pun, mungkin julukan yang tepat untuknya adalah mahkluk luar angkasa alias alien dari planet antah berantah.
Pemuda itu masih ingat, ketika kakeknya menghadiahi sekeping CD sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke delapan. Kala itulah, untuk pertama kalinya ia mendengarkan permainan biola Sakura. Dan sosok yang muncul dalam imajinasi polosnya adalah malaikat mungil yang cantik, lembut, ceria, baik hati, dan segala sifat surgawinya, tengah memainkan violin dengan indah.
Bertahun-tahun kemudian, setelah Sasuke tumbuh dewasa, ia baru menyadari bahwa kenyataan tak selalu berbanding lurus dengan harapan. Sakura bukanlah malaikat. Ia adalah mahkluk asing yang gemar menggesek biola sambil menikmati lolipop dengan wajahnya yang tak acuh. Tak ketinggalan dengan majalah metal dan tas yang bentuknya saja tak jelas. Oh, God...
Gadis itu tiba-tiba berdiri, membuka hardcase hitam tempatnya menyimpan alat musik, kemudian mengeluarkan sebuah bow—alat penggesek biola yang batangnya terbuat dari kayu. Mata Sasuke seketika memicing. Apa yang akan dilakukan? Latihan di taman? Ia ingin sekali mendekat untuk mendengarkan. Rajin sekali rupanya gadis itu. Walaupun agak aneh, ia ternyata tekun dan sangat profesio—
'PLUK'
—nal.
Bow itu ia pukulkan ke atas rimbunan ranting kecil di atas kepalanya hingga beberapa helaian daun dan bunga berjatuhan menghiasi rambut merah mudanya, lalu tersenyum girang seperti anak kecil kesetanan yang diberi permen.
Sekarang Sasuke benar-benar yakin dia adalah alien.
.
.
.
.
Suara debuman pintu yang ditutup—dibanting—keras, membuat Sarutobi Hiruzen otomatis berbalik dalam satu sentakan kursi putarnya. Dengan dahi mengernyit dan ponsel yang masih menempel di telinga, ia menatap kesal sosok yang telah lancang menerobos masuk ke ruangannya tanpa permisi.
"Baiklah. Akan kuhubungi kembali. Terima kasih."
Ia memutus sambungan telepon dan meletakkan benda itu ke atas meja.
"Bisakah kau mengetuk terlebih dahulu?"
Tak mengindahkan tatapan tajam yang diarahkan kepadanya, pria dengan rambut perak itu duduk bersandar di kursi, tepat di hadapan sang bos. Wajahnya serius. "Senapan antimaterial kaliber .50 BMG."
Alis Hiruzen terangkat tinggi. "Apa yang kau bicarakan?"
"Kasus Terumi Mei."
Pria paruh baya itu langsung paham. Kejadian penembakan anggota dewan ketika menghadiri konferensi tersebut memang menyita banyak perhatian dari berbagai kalangan. Bergulir banyak isu yang berkembang dalam masyarakat, salah satunya adalah kasus ini dilatar belakangi oleh ketidaksukaan partai oposisi terhadap Terumi Mei, serta rumor mengenai para ekstrimis yang sedang mengincar para petinggi pemerintahan.
Helaan napas panjang terdengar. "Terumi-san beruntung karena pelurunya meleset dan cuma menggores lehernya. Meskipun harus masuk rumah sakit."
"Dari jarak beberapa ratus meter untuk ukuran seorang sniper, mengherankan jika pelurunya meleset."
"Berarti disengaja? Pelaku hanya berniat melukai? Bukan membunuh?"
Kakashi tertawa kecil. "Mengapa dia mengambil resiko sebesar itu hanya untuk melukai?"
Hiruzen melipat tangan di dada, mulai gusar. "Jangan main teka-teki denganku, Kakashi. Kau tahu aku baru saja tiba dari Manila."
"Sepertinya anda memang belum diberi tahu." Kakashi menyodorkan sebuah map hitam berlogo khas di sudut kanan atas. "Dua jam setelah penembakan, orang kita menemukan satu set senjata Hecate II yang digunakan untuk menembak Terumi-san." Pria itu berhenti sejenak untuk mengambil napas. "Bersama satu jasad pria dengan peluru yang menembus tepat di pelipisnya. Ini masih dirahasiakan."
Raut wajah Hiruzen berubah pias. Dijulurkan tangannya untuk meraih map lalu dibacanya dengan teliti. "Pelaku dibunuh tepat saat dia membidik Terumi Mei. Itu yang membuat pelurunya meleset. Ada dua pihak yang terlibat di sini."
Kakashi mengangguk, mengiyakan. "Anda tahu senjata apa yang digunakan untuk membunuh pelaku penembakan Terumi-san?"
Hiruzen tak menjawab, karena ia yakin Kakashi juga tak membutuhkan jawaban darinya.
"Galium III". Pria itu menyebut sebuah nama seraya mengeluarkan selembar foto dari saku jasnya. "Daya jangkaunya lebih hebat dibanding XM109 Barret."
"Kau yakin?" Hiruzen bertanya ragu. Jujur, ia merasa kasus ini sedikit... kompleks.
"Aku yakin. Konstruksi dan kaliber peluru yang digunakan memang hampir sama. Meskipun disamarkan, tetapi mataku jeli melihat perbedaannya."
"Tunggu dulu..." Ia mengacungkan telunjuknya. "Kita tahu senjata itu tak diproduksi secara massal dan tidak digunakan oleh sembarang pihak. Hanya kalangan tertentu dan..." Ia tak yakin dengan pikirannya sendiri. "Bukankah mereka telah dimusnahkan sejak dua belas tahun yang lalu? Apalagi orang itu." Kata-katanya penuh tekanan. "Mereka dikabarkan tewas dan pihak luar negeri juga sudah mengonfirmasi."
Kakashi tak mengangguk maupun menggeleng. Ia hanya diam dan menatap lurus pria di hadapannya. Sejenak mulutnya terbuka sedikit, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun enggan. Hiruzen dapat menangkap ekspresi tersebut. "Ada lagi yang ingin kau sampaikan?"
Hening sesaat, sebelum akhirnya kepalanya terangguk kecil. "Anda tahu siapa pelaku penembakan Terumi-san yang ditemukan tewas itu?"
Mata Hiruzen menyipit. "Siapa?"
"Kabuto. Yakushi Kabuto. Mantan anggota ANBU."
Raut terkejut tak bisa lagi disembunyikan pria itu. Ia menarik napas panjang, mengusap rambutnya ke belakang, lalu menggeser kursi berkaki rodanya ke belakang—di samping jendela kaca yang besar. Matanya beralih ke luar. "Danzo sudah diberi tahu?"
"Beliau masih berada di luar kota dan—"
"Cepat hubungi si tua bangka itu! Segera adakan rapat tertutup," selanya dengan tangan terkibas, isyarat agar Kakashi segera meninggalkannya seorang sendiri. Di ruangan yang senyap itu, Hiruzen memandang kosong, masih ke luar jendela, memikirkan sesuatu. Sesuatu yang terlalu rumit hingga menumpuk dan menjadi benang kusut di kepalanya.
.
.
.
.
Tokyo, 01.15 AM
["Eagle two and five, report in."]
["This is Eagle two reporting in. Sector B all clear."]
["This is Eagle five. Sector E clear."]
["Great, soldiers. Ready in your position. Lengah sedikit, akan kucambuk kalian dengan sapu."]
["Asshole."]
Terdengar tawa berkepanjangan dari radio transmisinya. Sasuke berdecak lidah. Memutuskan untuk menginterupsi interaksi tak beres yang dilakukan rekan-rekan setimnya.
"This is Eagle one. Over."
["Yes, Eagle one. Come in."]
Rekannya menjawab dengan suara renyah yang menurut Sasuke : menyebalkan—karena frekuensinya yang terlalu tinggi. Cempreng dan berisik. Membuat pening jika didengarkan terlalu lama.
"Tutup mulut kalian. Aku sangat lelah dan ingin cepat pulang," desisnya rendah.
Gelak tawa itu justru semakin gencar. Ia mendesah. Bekerja sama dengan orang-orang ini lebih terasa seperti bekerja dengan sekumpulan badut sirkus dibanding dengan sekumpulan agen khusus ANBU. Sedang bertugas saja, masih sempat-sempatnya bercanda. Apa mereka benar-benar lulus tes kejiwaan ketika akan direkrut dulu? Ia meragukannya.
["Ayo kita tuntaskan sebelum si pemarah ini menghabisi kita semua. Ingat. Misi kita hanya mengawasi. Jangan sampai ada kontak sedikitpun jika tidak mendapat aba-aba. Do you copy?"]
"Copy that."
["Allright, Team. Regu penyergap baru saja masuk ke dalam sarang. Stand by in five."]
Sasuke mulai merunduk, mengawasi sebuah ruangan melalui teropong senjatanya. Jendela yang cukup besar memungkinkannya untuk mengestimasi jumlah orang di dalam sana. Ada beberapa bayangan samar yang sempat tertangkap mata. Namun hanya satu orang yang bisa diperhatikan dengan jelas—karena berdiri tepat di samping kaca jendela. Seorang pria bertubuh kekar dengan kepala plontosnya yang mengkilap. Memakai kaos singlet hitam dan celana motif army. Tingginya sekitar 6 kaki, kulitnya kemerahan, ada tato abstrak yang memanjang dari dada hingga ke lengan kirinya. Dari wujudnya, ia terlihat seperti orang asing. Latin mungkin.
["Eagle one, apa ada pergerakan?"]
Ia menggeleng pelan, seolah orang yang tengah berbicara dengannya berada nyata di hadapannya. "Negative," jawabnya pendek. Objek yang intai masih bersikap normal. Sama sekali tak ada gerakan mencurigakan. Mereka belum tahu bahwa tempat ini telah dikepung. Regu penyergap juga telah menyusup ke dalam untuk melumpuhkan mereka. Aman.
Hingga pada menit berikutnya, ia tak lagi berpikiran seperti itu. Tepat di saat ia akan pergi menyusul rekan anggota lainnya, tiba-tiba terdengar bunyi nyaring kaca yang pecah. Kemudian dentuman ledakan seperti petasan raksasa, disertai dengan aliran listrik gedung yang seketika padam. Ia terkesiap tak percaya. Semua terjadi terlalu cepat.
["Siapa idiot yang melakukan kontak?!"]
Suara rekannya yang bertugas sebagai pengawas, menggelegar emosi. Tentu saja ia murka. Misi ini seharusnya bisa berjalan dengan mulus—seperti yang sudah-sudah mereka lakukan—jika saja tak terjadi hal di luar dugaan tadi.
"Bukan kami! Tak ada satupun dari kami yang menembakkan peluru." Sasuke menyahut dengan tegas. Timnya tidak berisikan orang-orang bodoh yang sembrono dalam menggunakan senjata. Mereka tahu prosedur dalam menjalankan tugas. Entah apa yang sedang terjadi, yang jelas ia yakin, kaca jendela itu tak mungkin memecahkan dirinya sendiri. Pasti ada seseorang yang telah menembaknya. Dan berdasarkan perkiraannya, arah peluru berasal dari sudut beberapa derajat dari tempatnya sekarang.
Pemuda bermata kelam itu menunduk serta memasang mode inframerah pada teropong senjatanya. Lalu diarahkan senjata tersebut ke tempat lain, yang ia curigai sebagai tempat si pelaku membidik. Keningnya berkerut hebat. Nihil. Dari sini, tak ada apapun yang bisa ia lihat.
Terdengar rentetan suara muntahan timah panas dari gedung tersebut. Tiga mobil tim khusus tampak dikerahkan untuk membantu. Sepuluh orang anggota tim penyergap menyusul masuk ke dalam. Sementara yang lainnya berjaga di luar. Akibat dari penembakan misterius tersebut, para gembong narkoba yang ingin mereka tangkap, akhirnya tersadar akan kehadiran mereka dan melakukan perlawanan sengit. Suasana semakin tak terkendali. Bunyi desingan peluru di mana-mana.
[All units. This is a code red. Return to base. Over.]
Suara rekannya kembali mengudara, memerintahkan semua unit untuk kembali ke base. Sial. Ia tak menyangka tim ANBU mereka akan secepat ini ditarik dari misi.
["Mayday. Aku membutuhkan bantuan. Ada yang membidikku. Kakiku terluka. Tembakan dari arah barat. Tapi aku tak bisa menemukannya."]
["Roger that, Eagle four. Hang in there."]
Embusan napasnya semakin memburu. Tepat sesuai dugaan. Ada penembak jitu lain yang ikut mengintervensi mereka. Sekarang, salah satu anggotanya yang diserang. Ia tak mungkin berdiam diri. Pelakunya harus segera ditemukan sebelum ada korban lain berjatuhan. "Akan kuselidiki." Ia segera bersiap berpindah posisi, ketika rekannya kembali menegur, kali dengan intonasi yang lebih keras.
["Lupakan! Dua rekan kita terluka. Mereka harus dievakuasi segera. You stand down! Now!"]
"Aku akan mencari pelakunya."
["Mundur sekarang juga, Eagle one!"] Bentak suara di ujung sana. ["Ini perintah! Out.]
"Brengsek!" Ia mengumpat kasar, membereskan seluruh peralatannya, dan mulai bergerak mundur. Tetapi sebelum ia betul-betul pergi dari tempat itu, dipandangi lagi arah tersebut dengan batin bertanya-tanya. Siapa orang itu? Di mana dia berada? Apa tujuannya? Sampai tubuhnya menghilang di balik pintu besi, pertanyaan-pertanyaan itupun terus mengendap di otaknya, yang ia tahu, tidak akan mungkin terjawab dalam waktu dekat.
.
.
Di suatu tempat, yang berada jauh dari sana, seseorang mengintai dari balik sebuah senapan jarak jauh, sambil menggengam selembar kertas berisi not dan simbol dengan wajahnya yang tenang.
.
.
'Manusia-manusia munafik. Apa kalian menyadari keberadaanku sekarang?'
.
.
To be continued
.
.
Author's note :
Arsip lama yang baru terselesaikan sekarang. Terinspirasi dari KGB, CIA, FBI, MI6, dan berbagai film tentang badan intelijen (*tabok). Jadi gimana, Minna?
Mind to review?
