Tittle : A GUY NEXT DOOR

Author : Jung Ok Ja

First Publish : June 24, 2012 at 10:19pm

GENRE : ROMANCE

LENGTH : MULTICHAPTERS

CASTS : LEE HONGKI, CHOI JONGHUN, SONG SEUNGHYUN, CHOI MINHWAN, LEE JONGHYUN.

(Hongki PoV)

Pertama kali aku melihatnya, aku tak bisa berkata-kata. Takut? Yah... Mungkin. Tapi karena aku yang baru pindah ke apartemen tak tahu kalau ia bukan orang asing seperti yang aku kira sebelumnya.

Saat itu aku tengah mengangkut kardus terakhir dari mobil ke apartemenku di lantai lima. Bukan dus yang berat, namun cukup melelahkan juga karena aku sudah bolak-balik membawa barang-barang dari tempat parkir tanpa bantuan seorang pun. Hingga aku bertemu dengan sosoknya di dalam lift.

Rambut pirangnya begitu mencolok. Kulit putihnya tampak pucat. Ia mengenakan long-coat gelap dengan dan kacamata hitam yang menyembunyikan matanya. Postur tinggi tegapnya membuatku yakin ia orang Eropa.

Aku melangkah masuk lift dan menyadari ia tidak sedang baik-baik saja. Nafasnya memburu tak teratur dan tangan kanannya berpegang pada dinding lift. Tubuhnya limbung dengan tangan kiri yang sesekali meremas kepalanya.

Ingin menegur, tapi aku yakin bahasa Inggrisku tak begitu baik. Baru saja aku menemukan kalimat yang tepat untuk menanyakan keadaannya, lift sudah berdenting dan terbuka. Lantai lima. Aku harus keluar, dan ternyata ia juga keluar.

Aku hanya berjalan pelan-pelan. Memperhatikan dari belakang punggung lebarnya yang bergerak terhuyung-huyung. Sepertinya ia tetanggaku, dan aku jadi sedikit khawatir karena ia tampak sangat tak sehat.

Dan benar saja. Beberapa meter dari pintu apartemenku, ia jatuh lemas. Bersandar pada dinding lorong panjang dengan penerangan lampu orange yang remang-remang hangat.

"Are you okay?" kuenyahkan kardus yang kubawa. Memeganginya segera dan mengucapkan kalimat yang sudah kupikirkan tadi.

Ia menoleh saat merasakan genggamanku di tubuhnya. Kulihat ia tampak terkejut dengan kehadiranku. Tertegun dengan bibir pucat setengah terbuka.

"Hey, are you-"

"Nan Gwaenchana..." bisiknya dengan bahasa Korea, membuatku sedikit terkejut. Lalu malu. Lalu mati gaya. Lalu terbengong bodoh.

Memalukan!

Semua orang bisa mendapatkan rambut pirang dengan mudah jaman sekarang ini, dasar Lee Hongki norak!

Kemudian gerakan kecilnya yang menunjukkan ia ingin bangkit membuatku sadar. Membantunya berdiri.

"Kau sakit..."

"Tidak. Aku mabuk." bisiknya masih dengan suara pelan. Suara yang lembut untuk ukuran pria gagah sepertinya.

"Perlu kubantu berjalan?"

Sekilas, ia melirik kardus yang aku bawa, lalu menggeleng pelan. "Tidak, terimakasih. Sepertinya ada hal lain yang harus kau bawa, 507..."

Aku membulatkan mataku. 507 itu nomor apartemenku. Darimana ia tahu?

"Aku melihat seseorang menempati 507 kemarin. Namun aku belum sempat memberi salam karena sibuk..." ia tersenyum tipis. Tampak kaku di tengah wajah pucatnya yang menyiratkan rasa sakit. Ia mengulurkan tangannya. "Choi Jonghun. 508. Mulai hari ini kita bertetangga."

"Lee Hongki. Mohon bantuannya, Jonghun-ssi."

Aku tersenyum formal. Menjabat tangannya. Dan saat itu aku bisa merasakan betapa dinginnya tangan yang menggenggamku itu. Namun hangat lain terasa aneh saat aku berusaha melihat mata di balik kacamata gelap itu.

Ia tengah menatapku.

Dan aku merasa itu bukan tatapan ... biasa?

Hari-hari berikutnya aku masih saja sendirian. Tak punya satu pun teman di Seoul. Jonghun sekalipun. Kadang aku ingin mengajaknya mengobrol. Namun nyatanya ia sangat sibuk.

Ia jarang sekali ada di apartemennya. Sekalipun pulang, itu pun hanya beberapa jam. Aku tak tahu apa pekerjaannya hingga ia sesibuk itu. Sampai suatu waktu aku melihat sosoknya di majalah.

Model.

Ia seorang model bagi suatu produk fashion. Dan kosmetik. Dan- ternyata sangat banyak.

Hey, tiba-tiba bertetangga dengan seorang artis membuatku sedikit merasa bangga. Hahaha! Maaf saja kalau aku norak. Tapi sungguh, aku jadi penasaran dengannya. Aku butuh teman bicara.

Hingga kesempatan itu datang.

Akhir pekan, dan ia ada di rumah. Aku sengaja pura-pura kebetulan ada di luar, padahal memang menunggunya. Posisi apartemen kami di sudut. Dengan pintu berhadapan, dipisahkan dengan lorong yang menghadap dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota Seoul di luar sana.

Ia muncul dari apartemennya. Tampak begitu kasual dengan long-tees kelabu longgar dan celana cargo berwarna senada.

"Err- Hai... Jonghun-ssi." sapaku gugup.

Jonghun mendongak. Menatap senyum lebarku, dengan kedua tangan yang berada di balik punggungnya. Masih memegangi gagang pintu.

Wajahnya terlihat lebih segar daripada sebelumnya. Dan hal yang berbeda adalah, ia mengecat hitam rambutnya.

"New hairstyle?" tanyaku basa-basi, menunjuk rambut barunya.

Ia bingung sejenak. Lalu tersenyum kikuk. "Ya... Apa tampak aneh?"

Jawabannya adalah tidak. Jawabannya adalah, hitam sangat cocok untuknya. Tapi- bagaimana mengatakannya?

"Kau tampak lebih... Ng... Lokal?" gumamku tak yakin.

"Lokal? Hahaha. Lokal... Ya..." ia terkekeh mendengar pendapat asalku. Wajahnya berseri-seri, dan aku tertular oleh garis senyum indahnya. Terutama matanya yang melengkung cantik saat ia tertawa.

"Aku ingat, kau mengira aku orang asing saat pertama kali bertemu."

"Oh! Itu memalukan!"

"Hahaha."

"Hehehe."

Kami berdua tertawa. Tapi tak lama. Suasana canggung kembali membuat kami membisu. Hanya menatap satu sama lain, lalu mengalihkan pandangan ke tempat lain. Entah lantai. Entah dinding. Entah apa pun.

"Ng... Hongki-ssi..."

"Ya?"

"Kau sudah sarapan?"

"Sudah..."

"Oh, sayang sekali..." ia tampak sedikit kecewa. Atau mungkin pura-pura kecewa agar terlihat sopan?

"Kau belum sarapan?"

"Dan makan malam... Hm... Ini sedikit mengganggu." ujarnya mengangkat bahu.

"Tak keberatan mencoba masakanku?" tawarku. Bukankah ini kesempatan untuk berinteraksi lebih lama dengannya?

"Kau bisa memasak?"

Aku mengangguk bangga. Dan ia tersenyum senang.

"Menyenangkan sekali. Dengan senang hati, Hongki-ssi."

Dan jadilah aku memasak untuknya. Masuk ke apartemennya. Memakai dapurnya.

Dari keadaan apartemennya, aku bisa mengetahui ia jarang menggunakan dapurnya. Bahkan untuk merapikan apartemen saja ia tak sempat. Bukan tempat yang berantakan, ini rapi. Hanya saja, apartemen dengan nuansa putih itu terasa dingin dan tidak hidup. Aku yakin ia hanya menggunakan tempat ini untuk sekedar istirahat di tengah mobilitas kariernya.

"Jadi, kau ke Seoul untuk menjadi koki?" tanyanya di tengah kunyahannya.

Aku mengangguk. "Salah satu impianku sejak kecil. Tapi aku masuk kerja masih beberapa minggu lagi."

"Tak heran. Ini enak."

"Benarkah?"

Ia menoleh. Tersenyum, menatap mataku dalam dan mengangguk. Menekankan bahwa ia bersungguh-sungguh. Dan seperti yang sudah-sudah, senyumannya selalu menular padaku.

"Sempatkanlah makan meski kau sibuk, Jonghun-ssi. Sayangi badanmu."

"Ya. Terkadang aku lalai." ia mendesah, seolah menyesali diri sendiri. Namun sesaat kemudian ia tersenyum. "kalau kau mau memasak untukku tiap hari, aku tak akan lupa makan lagi."

"Bayaranku sangat tinggi, tuan. Hahaha." selorohku.

"Katakan saja. Berapa pun. Hahaha."

"Sungguh? Hahaha."

"Aku serius." lagi. Ia menampakkan gestur meyakinkan lagi. "kau tahu? Uangku terlalu banyak untuk tidak makan. Hahaha."

"Sombong sekali!"

Kami tertawa satu sama lain. Dalam hati aku menyanggupi untuk menerima tawarannya. Kesempatan untuk mendapat tambahan uang, kenapa tidak.

Kami asik berbincang pagi itu di apartemennya, hingga tiba-tiba bel menginterupsi kami.

Jonghun menghampiri pintu depan setelah sebelumnya pamit padaku.

Seseorang datang. Mungkin temannya. Namun sepertinya masalah. Terdengar kasak-kusuk tak enak. Seperti sentakan dan gerutu tertahan. Beberapa terdengar seperti kontak fisik kasar. Aku hanya bisa mengerutkan kening, hingga akhirnya Jonghun muncul dengan langkah kesal menghentak-hentak.

Ia berhenti di hadapanku tanpa menatapku. Wajahnya keruh. Seseorang mengekor di belakangnya.

"Chag-"

"Jonghyun!" bentak Jonghun membuat pemuda itu terdiam. Pemuda tampan dengan rambut ikal pendek berwarna cokelat gelap. Mata tajam dan garis wajah tampan keterlaluan. Ia menatapku dengan pandangan menusuk.

"Hongki-ssi... Tak keberatan jika aku memintamu pulang?" tanya Jonghun dengan nada tak enak.

"Oh- yah... Tentu saja." jawabku kikuk. Merasa tak enak juga dengan atmosfer seperti ini. Aku segera melangkah ke pintu depan. Memberi salam sekilas pada tamu Jonghun yang masih menatapku tajam.

"Maafkan aku, Hongki-ssi. Terimakasih atas sarapannya." ujarnya di ambang pintu.

"Tak masalah." sahutku singkat, dan pintu pun menutup di hadapanku.

Sepersekian detik sebelum pintu sepenuhnya tertutup, aku melihat Jonghun tertunduk. Membiarkan tangan itu menggapai tubuhnya.

Apa-apaan mereka?

Setelah insiden tak mengenakkan itu, aku belum pernah menjumpainya lagi. Seperti yang sudah-sudah, apartemennya selalu beku oleh sunyi.

Satu bulan lewat, dan momen aku melihat sosoknya bisa dihitung dengan jari. Itu pun tak ada interaksi langsung.

Apa aku kesepian?

Tidak juga. Aku sudah punya kesibukan di sebuah restoran Italia sebagai koki junior. Berangkat pagi dan pulang malam membuatku lupa dengan tetangga anehku itu. Dan teman-teman di tempat kerja begitu menyenangkan, aku tak lagi kesepian seperti saat awal aku tiba di Seoul.

Tapi tetap saja... Tiap kali aku melihat pintu apartemennya, rasa aneh itu datang. Ya. Bagaimana pun aku tak bisa memungkiri situasi canggung saat tamu itu datang cukup menggangguku. Dan pikiran-pikiran aneh tentang itu.

"Chag-"

"Jonghyun!"

Kenapa? Kenapa dengan nada bicara Jonghun saat itu? Apa ia tak ingin tamunya, yang bernama Jonghyun itu, untuk bicara? Di hadapanku?

Dan...

Jonghyun itu... ah! entah perasaanku saja atau ia memang...

Huft... Tidak. Ia laki-laki, tak mungkin ia mnyebut Jonghun dengan sebutan...

Chagi?

Menjijikan...

Oh jahatnya aku!

Tapi mereka...

Ah sudahlah. Urusan pribadi mereka, apa pun itu, bukan urusanku bukan?

err...

Brrrr! Mengerikan!

Siang itu Chef kepala memanggilku. Menatapku dengan wajah cerah, dan memberitahuku bahwa salah seorang pelanggan ingin bertemu denganku untuk mengatakan kepuasannya atas masakanku.

Sungguh! Ini prestasi pertamaku sebagai koki junior.

Dengan langkah pasti aku ke ruang makan. Ditemani seorang waiter menghampiri sesosok pemuda berjas cokelat gelap dengan dari marun yang berkelas.

"Kau kokinya?"

"Ya, Tuan."

"Masakanmu keren!" pemuda yang tampaknya jauh lebih muda itu mengacungkan dua jempolnya. Tersenyum lebar, dan aku berterimakasih.

Namun yang selanjutnya terjadi membuatku hanya bisa terbengong.

"Hyung! Ini kokinya!" pemuda tadi melambai pada seseorang yang tampaknya baru saja kembali dari toilet.

Saat aku menoleh, mataku seketika membulat. Mendapati sosok pemuda yang kukenal. Rambut merah dan setelan jas hitamnya tak mengaburkan sosok Jonghun dari ingatanku.

Dan tampaknya Jonghun juga terkejut melihatku disini, lengkap dengan seragam koki plus apron.

"Hongki-ssi?"

"Jonghun-ssi?"

Ini pertama kalinya aku berhadapan lagi dengannya setelah kejadian itu.

"Wah? Kau mengenalnya, hyung?"

Jonghun mengalihkan pandangannya pada pemuda yang memanggilnya hyung tadi. Mengangguk kecil. "Ia tetanggaku, Seunghyun-ah."

"Benarkah? Wah, menyenangkan sekali!" Seunghyun berseru antusias.

"Sebenarnya aku juga kokinya, meski ia tak juga mengirimkan bayaran untukku." godaku setelah mendapat suasana yang cukup akrab.

"Kau menganggapnya serius?"

"Kau bilang kau serius." dengusku. "tapi kau jarang sekali pulang."

Jonghun terdiam. Bingung. Tapi Seunghyun malah bertepuk tangan riang.

"Aku akan sering-sering main ke rumahmu, hyung. Hahaha. Siapa namamu tadi? Hongki hyung? Masakkan untukku juga, ne?"

Setelah kejadian itu aku seringkali bertemu dengan Seunghyun, dan Jonghun tentu saja. Sekedar mengobrol dan makan di apartemen Jonghun, atau pergi ke suatu tempat bersama-sama, atau bahkan mengikuti mereka ke lokasi pemotretan dan shooting saat aku luang. Ya, Seunghyun juga seorang model sama seperti Seunghyun.

Makin aku akrab dengan mereka, makin aku meraba kejanggalan pada mereka. Baiklah, Jonghun tetap orang yang tak banyak bicara meski kini ia tak begitu kaku seperti sebelumnya. Dan Seunghyun adalah tipe orang yang hanya diam saat makan, itupun pada suapan pertama saja. Yang membuatku sedikit aneh adalah perilaku mereka.

Apakah mereka- maksudku... Orientasi mereka- yah, kau tahu maksudku... Ng... Tidak pada wanita?

Mungkin ini sedikit jahat untuk dituduhkan, tapi aku melihat Seunghyun begitu akrab- err... Mesra... Dengan manajer Jonghun, Choi Minhwan.

Aku jadi sedikit ngeri. Dan aku teringat lagi pada momen pagi itu saat aku tengah berada di apartemen Jonghun dan pria bernama Jonghyun itu datang. Chagi... Aku harap aku salah dengar saat pria itu berusaha memanggil Jonghun dengan sebutan itu. Juga gerakan seperti merengkuh saat aku pergi.

Apakah Jonghyun itu kekasih Jonghun?

Huh, mungkin aku sudah gila.

Ya. Gila.

Jahat sekali aku menuduh mereka seperti itu, bukan?

Gay?

Tidak. Tidak. Tidak!

Bukankah aku sudah berjanji pada diriku sendiri kalau itu bukan urusanku?

"Hyung, apa kau hari ini luang? Malam ini maksudku." ujar Seunghyun lewat telepon saat aku sedang berkemas dan siap untuk pulang.

"Tidak, Seung. Ada apa?"

"Ikut kami ke klub! Pasti sangat menyenangkan jika kau bergabung."

"Klub?" aduh, aku bukan tipe orang yang suka senang-senang di tempat seperti itu. "sepertinya-"

"Jangan menolak, hyung! Kumohon! Hari ini hari spesialku, jadi Kumohon ikutlah. Ya?"

Kalimat memohon itu akhirnya meluluhkanku. Aku menyanggupinya meski perasaanku tak enak.

Benar saja. Saat Seunghyun menjemputku, Jonghun menatapku khawatir.

"Kenapa kau mengajaknya?"

Nada khawatir, namun sedikit menyakitiku. Egoku bertanya, apa ia tak suka aku bergabung di hari spesial Seunghyun?

"Oh, ayolah, hyung. Aku juga ingin Hongki hyung merasakan kebahagiaanku di hari jadiku yang kedua dengan Minhwan."

Wajahku pucat seketika!

Apa yang aku curiga... Ternyata...

Benar!

Mereka-

Kepalaku berputar dengan perut yang teraduk-aduk tak karuan. Gelak tawa, dentum musik, bau minuman keras juga asap rokok seolah menggerogoti batok kepalaku. Rasanya otakku berdenyut-denyut. Aku bahkan tak berani mengangkat wajahku untuk memperhatikan lingkungan sekitar.

Terlalu mengerikan.

Ini klub gay!

Dan semua orang menatapku seperti melihat sesuatu yang aneh dan tak pernah mereka temui sebelumnya. Sangat mengganggu!

Kami duduk di sofa yang melingkar. Seunghyun dan Minhwan duduk di tengah. Jonghun dan si sinis Jonghyun ada di seberangku. Sedangkan aku duduk di sudut, bersebelahan dengan seorang pria berwajah bengal yang tadi memperkenalkan dirinya sebagai Junhyung.

Junhyung tak henti memperhatikanku dari atas ke bawah, membuatku risih. Sesekali mengajak mengobrol, meski tak kutanggapi dengan baik. Atau menawari minuman yang tentu saja aku tolak.

Kini aku mengerti kekhawatiran Jonghun tadi. Ia tak ingin aku berada disini karena ini. Mungkin ia tahu aku tak sama seperti mereka dan- ya... Dirinya...

Saat aku mengangkat wajahku sekilas, aku bisa melihat Jonghun dengan wajah pucat menatap kosong ke arah tanganku yang gemetar. Ekspresi kosong menyiratkan shock dan rikuh. Dan Jonghyun di sebelahnya tengah memperhatikannya sengit. Menatap Jonghun, lalu menatapku. Pada Jonghun lagi, lalu ke arahku. Begitu berulang-ulang, seolah tahu kontak mata Jonghun padaku.

Kumpulan orang di seberang meja kami bersorak. Sekonyong-konyong aku menoleh. Terperanjat mendapati sepasang pria tengah berciuman dengan panasnya, tanpa peduli semua orang. Seolah terbiasa.

Ugh!

Perutku mual!

"Hongki-ssi, kau tidak apa?" tanya Junhyung saat melihatku menutup mulut dengan tangan. Lengannya melingkar ke bahuku. Aku menggendik. Menolak sentuhannya.

"Gwaenchana..."

"Apa kau risih karena semua orang memperhatikanmu?" Junhyung tersenyum. Enggan melepaskan rangkulannya padaku.

"Itu karena kau sangat cantik." jarinya menelusuri pipiku! Dan itu cukup untuk membuatku terlonjak berdiri. Mendelik, tak peduli ekspresi kaget mereka.

"A-Aku..."

"Hongki-ssi..." Jonghun bangkit. Menghampiriku, namun tangan Jonghyun menahannya.

"Maaf!" aku berlari sejadinya. Tak peduli menabrak banyak orang. Tak menghiraukan puluhan pasang mata yang menatapku intens.

Aku harus pulang!

Malam itu merubah segala pandanganku tentang mereka. Aku tak lagi berkumpul dengan Jonghun ataupun Seunghyun. Entah berapa ratus kali aku menolak telepon dan tak membalas pesan mereka. Tak membukakan pintu bagi Jonghun yang datang bertamu ke apartemenku. Aku berangkat kerja lebih pagi. Dan pulang lebih larut. Berharap tak bertemu dengan Jonghun.

Apa aku membencinya? Tidak. Apa aku jijik padanya? Mungkin iya! Tapi- Ah, entahlah... Aku masih terkejut. Aku seakan masih tak bisa menerima kenyataan aneh ini. Aku harus menghindari mereka, setidaknya sampai aku sedikit tenang.

Namun tampaknya Jonghun sangat terusik dengan tingkahku. Ia tampak begitu merasa bersalah. Aku sudah membaca pesan-pesannya, dan mendengar permohonannya untuk mendengar ceritanya. Tapi, tidak. Aku masih ingin melupakan malam itu. Terlalu mengerikan.

Hingga malam itu tiba.

Saat itu aku pulang larut. Menjelang pagi karena setelah pulang kerja di malam hari, Nona Zhang, rekan kerjaku, mengadakan pesta ulang tahun untuknya. Dan ketika tubuh lelahku melangkah pulang, aku mendapatinya disana.

Jonghun.

Duduk meringkuk di depan pintu apartemenku. Di balik rambutnya yang kini hitam dan ikal berantakan, aku bisa melihat matanya yang terpejam. Ia tertidur. Apa ia menungguku semalaman?

"Jonghun-ssi." panggilku ragu, berusaha membangunkannya. Mau tak mau, karena tanpa membangunkannya aku tak bisa masuk.

"Jonghun-ssi?"

Kepalanya menengadah kaget. Mata sembab mengantuknya terbuka seketika. Bergerak-gerak tak fokus hingga akhirnya menangkap sosokku. Bibirnya membulat saat menyadari ini benar-benar aku. Seolah berkata, 'akhirnya kau muncul juga!'

"Hongki-ssi!" Jonghun bangun. Berdiri, merapikan soft blue sweaternya yang kusut. Menunduk memberi salam.

"Apa yang kau lakukan disini? Seperti gelandangan saja. Hahaha." ujarku mencoba biasa saja.

Namun Jonghun tampaknya bukan orang yang bisa berbasa-basi dulu.

"Hongki-ssi, masalah malam itu... Aku minta maaf..."

membunuh mood ku begitu saja.

Aku mendengus. Membuang muka. Bukan karena sebal dengannya, tapi untuk menyembunyikan wajah ngeriku darinya. "Bisa kau minggir, aku lelah dan mau tidur."

"Hongki-ssi, Kumohon." ia menahan tubuhku dari pintu.

Refleks, aku menepis kasar sentuhannya. Bisa kulihat dari matanya ia sedikit terluka karena itu.

"Maaf." ia menunduk. Beringsut mundur, menyerah untuk menahanku. "maafkan aku... Kau pasti lelah. Masuklah..."

Saat itu aku teringat beberapa saat lalu ketika ia tertidur di depan pintu karena menungguku. Ia tentu juga kelelahan. Dan lihatlah apa yang sudah aku lakukan. Niat baiknya untuk bicara selama ini terus menerus kutolak dengan kasar.

"Aku yang minta maaf..."

Jonghun mendongak. Tak percaya.

"Masuklah... Di luar tidak nyaman..."

"Apa sekarang kau jijik padaku?"

Itu adalah kalimat pertamanya setelah beberapa lama kami membisu canggung meski cokelat panas ada dalam genggaman kami. Jonghun menatapku hati-hati. Mengenali ekspresiku.

"Kau takut padaku..." ujarnya lirih. Menunduk sedih.

Aku hanya diam. Tak mampu mengelak, dan tak tega mengiyakan.

"Semua orang seperti itu. Seharusnya aku terbiasa. Hahaha." ia tertawa kering. Namun kembali terdiam. Menunduk dalam. Menyembunyikan wajahnya diantara rambut acaknya. Memutar-mutar cangkir, gugup.

"...tapi aku tak tahu kalau kau yang seperti itu... akan semenyakitkan ini..."

Aku mendelik kaget. Dan ia menyadari itu. Panik, ia segera berkilah.

"Bu-Bukan karena aku jatuh hati padamu! Bukan. Tapi... Karena aku menganggapmu teman akrab yang- ya... Sahabat... Sahabat yang mau menerimaku apa adanya..."

"...aku terlalu berharap kau akan menerima keadaanku apa adanya... Meski aku tahu kau berbeda... Tak sepertiku..."

"...aku tahu, kau merasa terganggu dengan semua ini. Salahku telah membawamu ke duniaku yang tidak benar ini... Maafkan aku..."

Jonghun berdiri. Membungkuk hormat lalu berlalu pergi. Aku bisa melihat kekecewaan dari siluet punggungnya.

Apa ini...

Apa yang telah aku lakukan...

Aku menyakitinya?

tbc.

FTISLAND FACTS:

Member FTISLAND harus mengumpulkan 10 ribu fans di dalam fansite-nya untuk dapat menggelar konser perdana mereka. Untuk mewujudkan hal itu mereka harus mau turun ke jalan, pusat pertokoan dan tempat-tempat wisata untuk mempromosikan diri mereka sendiri.

Prologue of FTISLAND adalah nama album Japanese debut FTISLAND . Rilis pada 7 Juni 2008. Kehidupan mereka sebagai musisi di Jepang dimulai dengan perjuangan keras perform di jalanan dan dari cafe ke cafe.

Pada masa awal debut di Jepang, member FTISLAND hanya bisa makan mie instan selama berhari-hari.

FTISLAND will have a comeback stage on 21th November 2013 with The MOOD album.. Please give a lot of supports!

Read and Review~