summary: saat terbangun, sakura tahu ia sudah terjebak dalam permainan keluarga uchiha. ・sakura/uchihas ・

warnings: dark-fic, vampire!au, harem

disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto


scabious

.

.

I :acquisition: I

.

(—neither rules, neither commandment, neither reason—)


Sakura tidak pernah langsung menyisip teh yang sudah tersiapkan di atas meja kecilnya.

Sosok bersurai pink itu selalu memandang likuid yang hampir kemerahan dengan jangka waktu yang cukup lama sebelum ia meminumnya. Manik hijaunya tak pernah terlepas sorotannya dari tatapan yang saling membalas langsung padanya. Emerald dan Orange saling bertemu membentuk pantulan samar.

Lembaran buku miliknya teracak oleh angin yang datang menyambut tanpa permisi. Burung berkicau menyambung nada tadi, dan lelaki yang masih berdiri di depan meja Sakura berharap suara bising itu dapat membuyarkan lamunan majikannya.

Ia menghela nafas, selalu saja seperti ini.

"Nona Sakura, teh Earl Grey-nya nanti keburu dingin."

Gadis itu mengerjapkan matanya, sedikit tersadar akan suara datar yang dilandasi rasa khawatir tersebut.

Dengan perlahan, jemarinya menautkan pegangan cangkir berukir dedaunan tersebut dan membawanya menyentuh bibir tipisnya. Ia meminumnya dengan enggan, tak ada niat. Tapi ia tak mau merepotkan lelaki itu karena sudah membuatkannya teh setiap pagi untuknya.

Dan selalu saja seperti ini.

Sakura selalu merasa ada saja sesuatu yang salah jika ia bertemu pandang dengan teh apapun.

Ia merasa muak; lidahnya tak bisa merasakan rasa apapun saat mencicipinya.

Berapa kalipun ia mencobanya, reminisensi pahit itu akan selalu mendampingi aliran minuman itu saat mengalir di tenggorokannya.

Benar-benar memori yang tak bisa terlupakan.

"Nona…?"

HAH.

Sakura mendongakkan kepalanya, menatap sosok Uchiha Itachi yang berbalutkan seragam butler-nya yang kini sudah berada di sampingnya.

"Anda tidak apa-apa?"

(—dia bertanya pertanyaan retoris)

"Ah… aku tidak apa-apa, Itachi-san."

(—retoris karena gadis itu selalu menjawabnya dengan kebohongan yang sama)

Si pemuda mengatupkan mulutnya, tak ingin bertanya lebih jauh lagi. Ia lebih baik diam daripada semuanya bertambah buruk. Meskipun ia lelaki yang jarang menunjukkan ekspresinya, bukan berarti ia tega untuk menyiksa batin milik majikannya ini.

Setelah Sakura mengucapkan kalimatnya yang terdengar ragu itu, suasana menjadi hening dibuatnya. Tapi mereka tak pernah keberatan, bagi mereka, suasana pagi hari memang seharusnya tenang dan nyaman. Bukan meributkan hal yang tidak jelas.

Tapi tetap saja, Itachi merasa ada yang kurang.

Pasang mata onyx-nya bertemu sesuatu yang mampu membuatnya terkejut untuk sementara saat ia melihat ke arah luar rumah. Jarak taman milik Sakura tidaklah jauh dari sana, sehingga terlihat ada beberapa sosok yang mungkin dikenalnya yang sedang membawa koper ke rumah baru dekat rumah Sakura.

"… Penghuni baru?"

Itachi tersentak, melayangkan pandangannya kembali ke Sakura, "… Iya."

"Aneh sekali, jarang ada penghuni baru yang datang sepagi ini." Sahut Sakura sambil mengintip jam di dalam ruangannya dari balik poninya. Jam yang bertengger itu menunjukkan pukul setengah enam pagi.

Itachi sempat tersenyum, bukan manis, tapi miris. Menimbulkan rasa heran pada Sakura.

"Itachi-san…?"

"Ya?"

"Kau sepertinya mengenal penghuni baru itu…?"

Lelaki itu berjalan menjauhi meja Sakura. Rambutnya yang terikat ke belakang terbawa angin selagi ia melangkah.

"Mungkin." Suaranya terdengar dingin, "Tapi nona-lah yang berhak menentukan."

"Hah?"

"—Nona, bukankah seharusnya kau bersiap untuk ke pemakaman ibu anda hari ini?" Itachi mengalihkan topik, "Nona bisa segera mandi sekarang. Saya akan membereskan semuanya."

.

.


BRUK.

"A-Ah maaf…"

Sakura mungkin benar-benar sial hari ini. Setelah mobil yang seharusnya ia tumpangi sekarang ternyata rusak sehingga Itachi harus membetulkannya, kini ia menabrak sosok laki-laki yang tak dikenal dan malah disambut dengan pandangan dingin.

Lelaki berambut aneh itu menatapnya lama, memperhatikannya dari atas sampai bawah. Sakura tak tahu identitasnya, tapi yang jelas ia tahu bahwa lelaki itu baru saja membeli bunga chrysanthemum putih yang menandakan dirinya akan segera ke pemakaman.

Sama seperti dirinya.

Jika dilihat lebih lama, lelaki itu mirip dengan wajah Itachi—tapi Sakura tak mau memastikan karena sosok itu sudah berbalik dan berjalan jauh meninggalkannya.

Dia mengangkat bahu, melengos pergi dan segera masuk ke toko bunga milik temannya, Ino Yamanaka.

Dan benar saja, si surai kuning cerah itu langsung merangkul sahabatnya yang baru saja menapaki kakinya di jalan bebatuan toko mungil tersebut. Tanpa ditanya pun, Ino sudah langsung tahu apa yang diinginkan oleh Sakura.

Karena hanya dirinya-lah yang bisa dipercayai olehnya.

.

.


Sakura berjalan gontai menuju pemakaman.

Sendirian, ia mendapati dirinya hanya seorang diri yang berada di tempat yang memang biasanya sepi tersebut.

Kadang ia bertanya, apa hanya dirinya-kah yang peduli untuk melayat?

Jujur, setiap pergi ke sini, fragmen pahit masa lalunya tentang kematian ibunya selalu menganggu kinerja otaknya di tengah jalan. Sudah lima tahun semenjak kejadian itu, tapi Sakura masih saja tak bisa menahan tangisnya dan melupakan memori sialan itu.

Rumput hijau di dekatnya masih bermandikan embun pagi, membawakan kesan sejuk bagi Sakura. Dinginnya memang menusuk kulitnya, tapi ia tak peduli dan dirinya pun sudah terbiasa dengan atmosfer seperti ini.

Satu langkah, dua langkah, tiga langkah.

Empat langkah, lima langkah, enam langkah.

Tujuh langkah—

TAP.

Ia berhenti.

Ia berhenti tepat di depan nisan ibunya.

Sakura memang sampai dan berhenti—tapi ia sekaligus mematung.

Berdiri mematung melihat sesuatu yang janggal disana.

Terdapat bunga chrysanthemum putih yang sudah diletakkan disana. Tertata rapi, didepannya.

Matanya melebar.

Siapa yang menaruh bunga itu disitu?

Siapa?

Seharusnya hanya dirinyalah yang meletakkan bunga disitu, hanya dirinya. Kematian ibunya hanya Sakura yang tahu. Tidak ada orang lain yang mengetahuinya.

Tapi kenapa—?

Kenapa bunga itu ada disitu…?

Siapa?

Siapa yang baru saja melayat di pemakaman ibunya?

Sakura berjengit, mengingat sosok lelaki yang baru saja ditabraknya tadi di toko milik Ino. Yang membawa bunga sama sepertinya.

Apa lelaki itu?

Apa dia?

Tapi kenapa dia?

Apakah lelaki itu kenalan ibunya?

Siapakah dia?

Sakura harus mencari tahu.

.

.


"Ah nona, habis dari mana saja sampai pulang selarut ini?"

"Ini belum larut, Itachi-san. Ini masih pukul tiga sore."

"Baiklah, tapi apa yang dilakukan nona sampai selama ini?"

Sakura menghela nafas. Ia tak bisa menjelaskan alasannya ia pulang telat hanya karena mencari lelaki itu bersama Ino. Sahabatnya itu ikut membantunya, tapi hasilnya nihil.

Ia masih belum mengetahui siapa lelaki itu—heck! Ia bahkan tak menemukan jejaknya.

Meskipun sebenarnya Sakura masih belum yakin apakah benar lelaki itu yang meletakkan bunga itu di depan nisan ibunya.

"Aku… bermain di rumah Ino." Tukasnya bohong, sedikit menelan ludah di sela kalimatnya.

Itachi menghadiahkannya pandangan tak berekspresi, sebelum ia menutup matanya dan tersenyum tipis, "Anda memang paling payah dalam hal berbohong, nona."

"Maaf…"

"Tidak apa-apa. Saya tahu hal itu pasti bersifat pribadi." Lelaki berparas cukup tampan itu lalu mendekati Sakura, "Nona harus mandi sekarang."

"Baiklah. Tapi setelah itu, siapkan secangkir capuccino dan strawberry donut di meja taman."

"Ah, anda melupakan satu hal, nona."

Sakura yang baru saja mengambil handuknya kini mengangkat alis, "Hah?"

"Dimana kata tolong-mu, nona?"

"Ah… iya." Sakura menghela nafas, "Itachi-san, bisa tolong siapkan secangkir capuccino dan strawberry donut di meja tamanku setelah aku mandi?"

"Sesuai permintaanmu, nona."

.

.


Air mengucur dengan luwesnya di kulit pucat Sakura.

Dia membawa jemarinya untuk menyisir surai berwarna merah muda-nya, berusaha merelaksasikan diri di bawah hujan air dari shower-nya. Likuid bening itu dibiarkannya dalam suhu dingin, berharap bisa melupakan kejadian sebagian harinya ini.

Matanya tertutup lambat, ia lalu menyentuh cermin besar yang memantulkan bayangan dirinya yang terekspos bebas disana.

Pikirannya masih pusing memikirkan siapa lelaki itu.

Sungguh, ia sangat penasaran. Ia berharap lelaki itu akan mendatanginya dan menjelaskan siapa dirinya.

Ia hanya ingin tahu apa hubungan lelaki itu dengannya.

Sakura menghela nafas, ia kemudian mengarahkan tangannya untuk mengambil sabun dan mulai memoleskannya ke kulitnya dimulai dari leher pu—

"Hah…?"

Sakura membuka matanya cepat. Dalam beberapa detik, ia tahu ia merasakan sesuatu yang aneh di kulit lehernya. Dia menyentuhnya lebih dalam, dan bayagannya di cermin persis memperlihatkan dengan jelas luka apa yang ada di lapisan kulit miliknya.

Luka… gigitan?

Gadis itu menahan nafas.

Saat ia mandi tadi pagi, luka itu tidak ada sama sekali.

Apa cuma digigit serangga? Dia kan baru saja pergi ke toko bunga milik Ino, dan tak jarang banyak serangga yang menganggunya disana.

Tapi kenapa terasa perih? Kenapa rasanya ada yang baru saja menggigitnya cukup dalam?

Dia menyentuh luka aneh itu lagi, dan segera mengetahui bahwa terdapat darah yang sudah kering.

Kenapa ia tidak menyadarinya?

Sakura memukulkan kepalanya ke cermin di depannya beberapa kali, merasa kesal karena semakin banyak keanehan yang diberikan tuhan padanya hari ini.

.

.


"Terlalu manis…"

"Nah kan? Sudah kubilang, gadis itu memang pilihan kita!"

"Pilihanku, jika kau koreksi lagi."

"Tapi aku yang pertama kali menemukannya, nii-san."

"…."

"… Kenapa diam saja, Sasuke?"

"… Kalian semua akan membawa gadis itu ke rumah ini?"

"Tentu saja! Dia itu sumber makanan kita! Dia sangat berguna untuk ki—"

"Tobi boleh ikut cobain dong?"

"Tidak boleh ada yang memilikinya selain aku."

"Apaan tuh! Curang!"

.

.


Sore itu sama saja seperti biasa.

Sakura yang sedang membaca buku bertemakan kedokteran dan Itachi yang kini sedang membuat secangkir capuccino lengkap dengan Latte Art hiasannya di atas permukaan minuman berbasis espresso tersebut.

Suasanya sama seperti pagi hari, tenang, nyaman, dan sepi.

Sakura sangat menyukai suasana seperti ini, membuatnya lebih bisa berpikir jernih dengan ditambahnya suara air yang mengalir dari pipa kecilnya.

Sayangnya Sakura tak menyadari ada hal yang janggal di sore itu.

Ketika jemarinya membalikkan halaman baru, Itachi sudah meletakkan cangkir mungil itu di atas meja dengan jarak yang cukup jauh darinya agar tidak tersenggol sewaktu-waktu.

Iris emerald-nya teralih ke arah isi cangkir itu, dan yang mengherankannya bukanlah bagaimana Itachi dalam menyajikannya, melainkan bentuk foam susu yang dibuat terampil oleh Itachi.

Terlihat aneh, dan butuh waktu lama bagi Sakura untuk menebak apa yang tergambar—bukan! Tapi yang tertulis disana.

Sakura menyipitkan matanya agar bisa melihatnya lebih jelas.

ರಕ್ತ.

"… Rakta…? Darah?" Sakura membawa cangkir itu lebih dekat, "Tumben sekali Itachi-san menuliskan bahasa Kanada disini…"

Itachi tersenyum tipis, "Cerdik seperti biasanya, nona Sakura."

Dahinya masih berkerut, menggambarkan ekspresi kebingungan dan hal ini malah mengundang rasa penasarannya.

(—sekaligus rasa curiganya)

"Apa maksudmu, Itachi-san?"

"Mm?"

"Setiap apapun yang kau lakukan pasti punya arti." Sakura mulai menatap pelayan yang sudah bersamanya sejak kecil itu dengan tajam, "Apa maksudmu dengan tulisan ini?"

Itachi tidak menjawab, senyumnya sudah memudar sejak Sakura melayangkannya pandangan tajam dan ketidakpercayaan.

"Piu volte s'attraversa il dedalo della disperazione…"

Gadis itu mengerjapkan matanyaa.

"Aperta la porta sbarrata, ride la verita…"

Sakura menggesekkan giginya, Itachi tahu betul kelemahannya—gadis itu memang tidak terlalu bisa berbahasa Italia.

"Anda penasaran kan, nona?"

Dari tempat duduknya, Sakura melihat senyum Itachi berubah menjadi seringai, tapi bukan menunjukkan kesombongan atau apapun. Entahlah—ekspresinya tidak jelas.

Sakura menghela nafas.

"Terserahlah." Dalam beberapa detik, bibirnya sudah menyentuh tepi cangkir tersebut.

Ia membiarkan kedua benda lembut itu bertemu dalam waktu lama, sebelum—

—Sebelum Sakura tersedak dalam minumannya sendiri.

Cangkir itu terjatuh, menimbulkan suara keras dari pecahan kecilnya.

Tangan gadis itu berusaha meraih lehernya sendiri, tenggorokannya terasa perih, aneh, dan membuatnya nyeri sekali setelah meminumnya.

Pandangannya mulai buram, samar-samar ia bisa melihat sosok Itachi yang mengepalkan tangannya sambil mengucapkan kata-kata kasar. Wajah lelaki itu terlihat—

… bersalah?

Tak lama, Sakura sudah jatuh pingsan dan Itachi segera menangkap tubuh gadis itu sebelum jatuh ke lantai.

Itachi mendekapnya kencang, seolah dia takkan bertemu lagi dengan gadis itu. Ia mencengkram kuat bahu pucat milik majikannya itu.

"Maafkan aku nona…" Ia berbisik.

Kalimat itu berakhir bersamaan dengan pantulan bayangan yang semakin memudar di permukaan cairan capuccino yang memandang mereka dalam kebisuan.


Piu volte s'attraversa il dedalo della disperazione

(Many times crossed over the labyrinth of the desperation)

Aperta la porta sbarrata, ride la verita

(Opened the crossed door, the truth laughs—)


.

.

.

[ bersambung ]


endnotes: kalo mau tanya pendapat saya, fic ini kaya versi serius(?)-nya blameless, tapi beda kok alurnya hahah. dan sama seperti beberapa fic saya yang lain, ini termasuk cerita harem, cuma kali ini ada izuna juga, heheh.

fic ini terinspirasi setelah nonton umineko, ada yang suka anime itu juga?

oh yah, rating chapter ini bisa naik sewaktu-waktu.

terima kasih bagi yang sudah membaca! mungkin readers juga bersedia untuk me-review? :)

Salam hangat,

Ecchi-san