Disclaimer: Vocaloid belong to Yamaha

Warning: OOC, miss-typo(maybe), based on the PV (and a lot of modification-?-)

Don't Like? Don't Read!

.

.

.

Aku berjalan menyusuri kegelapan malam. Suasana begitu sepi sampai kedua indra pendengaranku mendengarkan melodi sendu yang berasal yang berasal dari salah satu pohon sakura diujung bukit. Didasari rasa penasaran, aku berjalan kesana.

Dengan erat kucengkram sisi lengan yukata merah muda yang kukenakan karena semilir angin dingin yang berhembus.

Semakin dekat alunan merdu gesekan biola itu terdengar.

Di balik batang pohon sakura yang kokoh tampak seorang laki-laki berambut pirang tergerai. Gakuran-nya tampak lusuh, dengan kacing yang terbuka semua. Memperlihatkan kemeja putih dalamannya.

Aku tidak berani menyapanya, hanya mengintip dari balik batang pohon. Kedua mataku menatap tidak berkedip, seolah-olah sedang terhipnotis oleh violinis pirang dibawah guguran sakura tersebut.

"H-hebat..." cicitku pelan.

Pemuda itu berhenti bermain lalu memperhatikan sekitarnya. Dan tampaknya dia melihat siluetku dibalik sini.

"Siapa?" tanyanya. Aku memberanikan untuk memperlihatkan diri.

Alis pemuda itu terangkat sebelah melihatku, mungkinkah ia tidak senang ada penonton gelap yang diam-diam melihat permainan biola-nya?

"Ma-maaf." Kutundukkan kepala, mencoba meminta maaf. Melupakan status putri bangsawan yang selama ini menghantui dan membayang-bayangiku.

"Untuk?" baiklah, aku sedikit kesal. Kenapa ia malah bertanya seperti itu? Apa dugaanku yang tadi salah?

"Kau..." ia buka suara lagi. Aku mengangkat kepala dan menatap lurus irisnya yang biru laut, sedikit mirip dengan warna mataku. "Ah, tidak jadi." Ia memalingkan wajah.

"Apa kau orang baru? Rasanya... aku tidak pernah melihatmu."

Bodohnya aku! Aku kan juga jarang sekali keluar rumah. Malam ini saja aku mengendap-endap. Kalau orang tuaku tahu, aku tidak tahu apa yang akan kualami.

"Ya. Aku dan Bibi Miku baru pindah ke kota ini seminggu lalu."

"Bibi? Lalu orang tuamu?"

"Meninggal saat gempa."

"O-oh." Tanggapku pendek. Aku diam tidak bisa berkomentar lagi. Dia sudah tidak memiliki keluarga lagi rupanya.

"Dan sekarang aku tinggal berdua dengan Bibi Miku. Beliau orang baik." Pemuda itu duduk berandar pada batang pohon. Ia menepuk sisinya, memberi tanda agar aku duduk di sebelahnya. "Waktu gempa itu Bibi Miku juga kehilangan anak dan suaminya. Dia bernasib sama denganku."

"A-apa Miku Baasan yang mengajarkanmu bermain biola?" aku tidak ingin membuka luka masa lalu orang yang baru kutemui. Jadi kuputuskan mengalihkan topik.

"Ya. Sewaktu beliau masih muda dulu, ia sering berkeliling di banyak bar desa. Permainan beliau yang indah tentu saja membuat pemilik bar untung juga karena pengunjungnya semakin banyak." Pemuda itu bercerita panjang lebar. Aku mengulum senyum .

"Dan saat bermain di salah satu bar, ia bertemu dengan seorang pria. Pria itu juga yang akhirnya menjadi suami Bibi Miku." Pemuda itu mengambil jeda sejenak. Lalu melanjutkan lagi ceritanya mengenai orang yang ia panggil 'Bibi Miku'.

"Aku hanya pernah bertemu Paman Kaito sekali. Seminggu sebelum gempa kalau tidak salah." Aku kembali mendengarkan dengan seksama, sambil menatap helai-helai merah muda sewarna yukata-ku yang berjatuhan setiap kali tertiup angin.

"Waktu bertemu Paman Kaito, aku juga berkenalan dengan Mikuo. Anak laki-laki mereka yang memiliki fisik yang nyaris sama persis dengan Bibi Miku." Ia menoleh padaku. Membuatku terpaku—lagi—padanya. Wajahnya tampak serius meski aku masih dapat melihat gurat keceriaan disana. Mungkinkah dia berubah? A-ah, mungkin dia menyimpan kesedihannya sendiri. Sama sepertiku.

Miris.

"Maaf aku bercerita panjang lebar." Ujarnya sembari menggaruk kepala belakangnya dan memalingkan muka, aku menggeleng. Kurasa aku senang mendapatkan teman baru.

"Tidak apa-apa." Aku merapatkan punggungku dengan sandaran, mencari sebuah kenyamanan. "Ngomong-ngomong, boleh aku tahu siapa... namamu?"

"Len. Kau?"

"Rin."

"Salam kenal." Len tersenyum, pipiku memanas. Sebelum akhirnya kuputuskan membalas senyumannya.

Mungkin aku tampak konyol, tapi untuk saat ini aku tidak mau memikirkannya. Aku... hanya terlalu senang bertemu dengan seseorang seperti Len.

.

.

.

Sudah satu jam yang lalu aku berpisah dengan Len. Tapi kenapa jantungku berdetak begitu kencangnya saat aku membayangkan kembali wajahnya? Apa yang aku alami? Kenapa aku merasa seperti ini?

Kutatap wajahku yang terpantul di cermin meja rias. Aku menarik pita rambut yang menahan sebagian rambutku, membiarkannya tergerai saja. Dan aku seperti melihat sosok gadis yang masih kekanakan disana.

Aku menelan ludah dan menekuk lutuku diatas tempat tidur. Ku tenggelamkan kepalaku disana. Memikirkan hal ini selalu membuatku merasa pusing. Sakit.

Tok, tok

Ketukan pintu menyadarkanku. Aku mengangkat wajah dan mengalihkan pandangan pada pintu geser dengan pola burung bangau dan sakura yang bermekaran, yang ada di seberang tempat tidurku.

Aku menuruni tempat tidur dan segera menggeser pintu. Dibalik sana terdapat Okaa berdiri diluar pintu kamarku. Beliau mengenakan kimono kuning dengan obi hitam. Bermotif bunga krisan yang cantik dan bersulam benang emas.

Benar-benar khas bangsawan era ini.

"Doushite, Okaasama?" Okaa tersenyum mendengar pertanyaanku.

"Lima belas hari lagi kau akan dijodohkan dengan seorang pemuda." Ia menatap mataku lamat-lamat. "Tentu saja pemuda ini berasal dari keluarga terpandang." Lanjut Okaa. Aku tahu ia sedang memaksaku—dengan caranya sendiri. Dan aku harus menerima perjodohan ini.

Demi dipandang lebih baik di mata Otousan dan Okaasan, aku harus menuruti semua perintah mereka. Sampai urusan laki-laki pun.

"Ya sudah, sekarang tdiurlah. Ini sudah larut." Aku membungkuk pada Okaa, ia berjalan pelan menyusuri lorong rumah.

Perlahan ku geser kembali pintu.

"Oyasumi, Okaa." Bisikku pelan setelah pintu tertutup rapat. Menyisakan warna putih yang melekat dalam pandanganku.

Nafasku mendadak sesak, paru-paruku seperti berhenti bekerja untuk sesaat. Gambaran Len menyusup dalam benakku. Lututku gemetar, aku berjalan tertatih ke sisi tempat tidur.

Aku memandang cermin lagi dan terlarut. Apa aku bisa secepat itu menjadi dewasa? Aku... aku masih terlalu mudah bimbang. Masih seperti anak kecil.

Apa bisa lima belas hari merubahku?

Lalu, kenapa dadaku sesak saat memikirkan perjodohan itu? Ini karena... Len?

.

.

.

Kariin: akhirnya kami kembali dengan sebuah fic abal! *ditabok mamo*

Mamo: emang abal Rin, emang abal... -.-

tapi akhirnya bisa muncul di fandom Vocaloid #tebarconfetti

Kariin: by the way...

Kalo kebanyakan cincong, readers ngga' jadi baca... -..-

Mamo: iya... -a

YOSH! Mind to riview?

Kariin: silakan pencet ijo-ijo yang dibawah yuaaaa~