Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto. I don't take any material profit from it
Pairing : SasuFemNaru
Rated : M
Genre : Tragedy, fantasy, hurt/comfort
Warning : Gender switch, OOC, OC, typo (s)
Note : Dilarang copy paste sebagian ataupun keseluruhan isi fict ini maupun fict milik saya lainnya!
Selamat membaca!
Golden Cage
Chapter 1 : Air Mata Selir Ke-2
By : Fuyutsuki Hikari
Gadis kecil itu tersenyum begitu cantik, dua hari lagi dia akan genap berusia sepuluh tahun. Dia sangat senang, karena ayahnya- Kaisar dari Kerajaan Konoha; Namikaze Minato, berjanji mengadakan pesta besar-besaran untuknya.
Paviliun utara merupakan tempat favoritnya untuk menghabiskan waktu. Dia menyukai hamparan bunga teratai yang tumbuh subur di kolam istana. Naruto bisa bertahan hingga berjam-jam untuk tetap tinggal di tempat ini jika Chiyo tidak memaksanya untuk pulang ke Paviliun Magnolia.
"Dayang, apa nanti akan ada pertunjukan musik?" tanya Naruto penuh harap. Bola mata berwarna safirnya menatap dayang berusia lanjut dihadapannya, lurus.
"Tentu saja, Tuan Puteri." Dayang tua bernama Chiyo itu tersenyum, suaranya terdengar halus, menenangkan. "Saya dengar, Yang Mulia sengaja memanggil pemusik dari Kerajaan Suna untuk tampil di pesta Anda."
Kedua mata gadis itu berbinar senang mendengar jawaban Chiyo, namun dalam sekejap mata, senyum itu kembali hilang. "Apa nanti akan ada banyak hadiah juga untukku?" gadis kecil itu kembali bertanya, kedua tangannya saling bertaut, berkeringat karena gugup.
"Tentu saja akan ada banyak hadiah, Tuan Puteri." Chiyo merentangkan kedua tangannya lebar, mengundang Naruto untuk masuk ke dalam pelukannya.
Gadis kecil itu- Namikaze Naruto menghambur ke dalam pelukan si Dayang tua. Kepalanya terbenam dalam dada hangat Chiyo. "Apakah Kakak Pertama akan datang, Dayang?" suaranya terdengar lirih saat menanyakan pertanyaan ini.
Sesaat, Chiyo terdiam. Tangan keriputnya membelai rambut pirang Naruto, lembut. "Putera Mahkota pasti akan datang jika beliau tidak sibuk."
Kini Naruto yang terdiam, cukup lama hingga Chiyo memutuskan untuk bicara, menghiburnya. "Seandainya beliau tidak datang, bukankah masih ada Yang Mulia Kaisar?"
Naruto menggelengkan kepalanya pelan, "tidak akan sama." Bisiknya parau. "Aku ingin Ayahanda Kaisar, Ibunda dan Kakak Pertama di hari ulang tahunku. Tapi-"
"Tapi?" selidik Chiyo saat Naruto memutuskan untuk menutup mulutnya rapat. "Tapi apa, Tuan Puteri?" tanya Chiyo lagi, halus.
Naruto menggigit bibir bawahnya keras, sebelum akhirnya memalingkan muka, bisakah dia memberitahu rahasia besarnya pada Chiyo? Tapi, bukankah Dayang Chiyo sangat baik, batinnya mulai bergulat.
"Bisakah Anda merahasiakan rahasia besar yang akan kukatakan ini, Dayang Chiyo?" Naruto mendongak, penuh harap.
"Tentu," jawab Chiyo pelan. Naruto tersenyum, melihat sorot teduh pengasuhnya ini entah kenapa membuatnya merasa nyaman dan tenang. Mata yang menyorotkan kesetiaan hingga akhir.
"Aku tidak suka jika Permaisuri Sara hadir di pestaku nanti." Kepala Naruto tertunduk dalam saat mengatakannya. Tangannya meremas pakaian bersulam indah milik Chiyo.
"Ah, Anda tidak menyukai Yang Mulia Permaisuri rupanya." Chiyo mengangguk mengerti. Namun, Naruto menggelengkan kepala cepat, membantah.
"Bukan begitu. Aku bukan tidak menyukainya. Hanya saja," sesaat dia terdiam. "Hanya saja, Permaisuri membuatku takut." Akunya polos. "Aku, aku tidak suka caranya menatapku jika kami bertemu. Beliau membuat tubuhku gemetar ketakutan. Dan beliau tersenyum jika melihatku seperti itu."
Chiyo terdiam cukup lama, mencerna ucapan polos tuan puterinya. Naruto bukan anak yang suka berbohong, mengasuhnya sejak bayi memberikan Chiyo pengetahuan tentang itu. Ah, pantas saja Naruto seringkali menolak jika Selir Kushina memintanya untuk pergi memberi salam ke Paviliun Peoni. Jadi ini alasannya, pikir Chiyo. "Mungkin hal itu hanya pikiran Anda saja, Tuan Puteri." Hibur Chiyo.
Lagi-lagi Naruto menggeleng keras. "Tidak, Anda tidak mengerti Dayang. Permaisuri hanya bersikap lembut saat Ayahanda ada bersamaku. Tapi, tatapannya akan berubah menakutkan jika tidak ada Ayahanda."
"Ssttt, pelankan suara Anda, Tuan Puteri." Tegur Chiyo pelan, jari telunjuknya menempel di depan bibir. Matanya melihat ke sekeliling, takut jika ada orang lain yang mendengarkan pembicaraan mereka. "Apa Selir Kushina mengetahui hal ini?"
"Tidak," jawab Naruto cepat. "Ibunda akan khawatir jika mengetahuinya. Bukan begitu?" Naruto balik bertanya. "Beban berat di pundak Ibunda sudah sangat banyak. Aku takut untuk membebaninya lagi."
Chiyo tersenyum, tangannya mendekap Naruto ke dalam pelukannya. Mata dayang tua itu mengabur karena air mata. Oh, bagaimana bisa Naruto begitu bijaksana di usianya yang bahkan belum genap sepuluh tahun?
Seandainya saja Chiyo boleh berharap, dia pasti berharap jika Naruto hanya gadis rakyat jelata, yang bebas berlari diluar tembok istana. Tertawa, menikmati masa kecilnya dengan penuh kebahagiaan. Bukan terjebak di dalam kurung emas dengan segala intrik di dalamnya. Chiyo takut jika tuan puterinya itu akan terluka nanti. "Saya akan melindungi Anda semampu saya. Selama saya bernapas, saya akan menjaga Anda, Tuan Puteri."
"Janji?"
"Janji," sahut Chiyo lirih. "Sebaiknya kita kembali, Tuan Puteri. Selir Kushina akan sangat marah jika Anda tidak kembali tepat waktu. Bukankah sore ini Anda harus belajar sastra?"
Mulut Naruto mengerucut lucu, "aku tidak suka sastra. Sastra benar-benar rumit. Aku tidak sepandai Kakak Pertama, aku tidak berbakat akan sastra dan kaligrafi." Keluh Naruto.
"Segala sesuatunya tidak bisa diraih dengan mudah, Tuan Puteri." Tegur Chiyo halus. "Semuanya harus melalui proses."
"Aku lebih suka belajar seni perang dan menunggang kuda." Sahut Naruto cepat. "Tapi, Ayahanda tidak mengijinkanku." Lagi-lagi gadis kecil itu menunduk, sedih.
"Jika Anda bersikap baik, mungkin Yang Mulia akan mengijinkan Anda untuk belajar suatu hari nanti."
"Benarkah?" tanya Naruto penuh harap. Harapannya kembali membungbung tinggi.
"Tentu saja," jawab Chiyo dengan senyum meyakinkan. "Mari, kita pulang." Chiyo mengulurkan tangan, Naruto tersenyum, mengamit tangan dayang tua itu untuk kembali ke Paviliun Magnolia, istana ibunya berada.
Dan Naruto tidak tahu, dia tidak paham akan apa yang terjadi kemudian. Semuanya terjadi begitu cepat di matanya. Yang dia tahu, saat dia pulang ke Paviliun Magnolia, ayahnya berada di sana, berdiri dengan wajah menakutkan. Sementara ibunya bersujud, wajahnya bersimbah air mata.
"Kau selingkuh, Kushina!" teriak Minato dengan nada suara dingin, Naruto mengamit erat tangan Chiyo, gadis kecil itu takut, benar-benar merasa takut saat ini.
"Kau memang selir kesayanganku, tapi jangan harap aku akan mengampunimu untuk dosa ini!" Minato menggebrak meja di sampingnya keras. Matanya menatap nyalang selir yang dinikahinya sebelas tahun yang lalu. Selir yang sangat dicintainya, selir yang melahirkan putri yang paling dikasihinya.
Kushina menggelengkan kepala, menyahut dengan suara bergetar. "Hamba tidak melakukan apa yang Anda tuduhkan, Yang Mulia. Hamba bahkan tidak pernah memikirkan hal itu."
"Jahat! Kau benar-benar jahat, Kushina." Raung Minato kasar. "Aku ingin lihat bagaimana mimik wajahmu saat melihat kepala kekasih gelapmu itu terpenggal di depan matamu!"
"Yang Mulia..." Kushina merangkak mencoba untuk menyentuh kaki Minato, namun Minato mengelak dan mendorong wanita itu keras, Kushina merintih, badannya memang terasa sakit, tapi hatinya jauh terasa lebih sakit. Bagaimana bisa Minato mempercayai dusta yang dibisikkan begitu jahat padanya? Kenapa bisa Minato memiliki surat cinta dengan tulisan tangan Kushina di tangannya? Padahal, Kushina tidak pernah menulis surat cinta itu. Konspirasi? Kushina yakin ini konspirasi jahat untuk menghancurkannya.
"Akui kesalahanmu, Kushina!" Minato membungkuk, mulutnya mendesis kasar, tatapannya dingin menusk. "Akui kesalahanmu!" teriak Minato lagi, keras.
"Yang Mulia," Chiyo menghambur, bersujud di depan kaki Minato. "Semua pasti hanya salah paham. Selir kedua tidak mungkin mengkhianati Anda."
Minato memicingkan mata, menatap marah pada Chiyo yang membungkuk, meratap memohon pengampunan. "Kau mengatakan jika aku salah paham? Setelah aku memiliki bukti atas pengkhianatan tuanmu, kau sebut aku salah paham?" teriak Minato, murka. "Kau mau mati?" teriaknya lagi membuat Naruto mundur ketakutan, hingga punggungnya menabrak tembok di belakangnya.
"Tidak, tidak, bukan begitu, Yang Mulia." Chiyo kembali bersujud, suaranya bergetar dengan air mata yang meluncur deras dari kedua matanya yang terlihat lelah. "Hamba hanya memohon agar Yang Mulia melakukan penyelidikan lebih dalam, untuk hal ini. Hamba sangat yakin jika selir kedua tidak bersalah."
"Pengawal?!" teriak Minato keras. Empat orang pengawal merangsak masuk, membungkuk, memberi hormat. "Seret dan masukkan dayang tua ini ke dalam penjara. Dan penggal kepalanya besok pagi!"
"Tidak!" Kushina berteriak histeris. Kenapa harus begini? Batinnya sedih. "Ampuni Dayang Chiyo, Anda boleh penggal kepalaku, Yang Mulia." Kushina memohon dengan suara parau. "Jangan menghukum orang yang tidak bersalah, saya mohon, Yang Mulia." Mohon Kushina lagi, meratap.
Namun, sayangnya rasa cemburu dan amarah sudah membutakan mata hati Minato. Hatinya tertutup rapat, tidak bisa, dia tidak bisa membuka pintu maaf untuk selir kesayangannya itu.
"Seret selir kedua ke dalam penjara, dan besok pagi, berikan lima puluh pukulan untuknya, lalu usir dan asingkan dia juga putrinya!" perintahnya mutlak. Pria itu bahkan enggan untuk menatap wajah Kushina yang meratap, hatinya hancur.
Kushina meggelengkan kepala, "jangan asingkan Naruto, Yang Mulia. Saya mohon, dia putri Anda." Wanita itu terisak hebat, bahunya bergetar, air matanya tak kunjung berhenti mengalir. "Saya mohon," pinta Kushina sendu. "Anda boleh melakukan apapun pada saya, tapi jangan pada Naruto!"
Minato berbalik, telinganya seolah tuli akan ratapan Kushina. Sesaat, matanya melirik ke arah Naruto yang terduduk ketakutan dekat pintu masuk. Namun hatinya membeku, Naruto hanya akan mengingatkannya pada Kushina, pikirnya. Gadis kecil itu pun harus disingkirkannya. Pikirnya lagi lalu berbalik pergi. Minato hanya tidak sadar, jika tindakannya saat ini akan berbalik menghancurkannya, membuatnya hidup dalam penyesalan hingga akhir hayatnya.
.
.
.
TBC
Hello, maaf saya malah publish fic baru. Idenya datang saat saya menulis 14 Days, karena tidak tahan, akhirnya saya putuskan untuk dituangkan saja dalam bentuk fic. Sebenarnya, ada satu ide fic lagi dengan tema fantasi di otak saya, tapi saya tekan, menunggu dua fic saya rampung terlebih dahulu.
Seperti biasa, chapter ke-1 pendek. Mohon tanggapan readers, saya nantikan masukan dan kritiknya. Tapi, jangan kritik mengenai pair yah. (:
Sampai jumpa!
#WeDoCareAboutSFN
