Chernobyl – bag. 1 : Our City

Story telling by : Crypt14

Story idea by : Cuming


Chernobyl, April 26th, 1986 – 20:05

Langit malam kota Chernobyl tampak begitu gelap. Hawa dingin terasa sangat menusuk dikota Ukraina bagian utara itu akibat hujan yang terus turun sejak sore hari tadi. Cuaca seakan sedang tidak ingin bersahabat pada kota itu. Seorang pria muda tampak menghembuskan nafas berat sejenak. Matanya terjaga menatap kearah langit yang masih setia menurunkan buliran air hujan. Suasana terasa benar-benar sepi, seakan kota ini tidak memiliki kehidupan didalamnya.

"Mingyu! Makan malam sudah siap, cepat turun!"

Sebuah teriakkan yang cukup menggema membuat pria muda itu tersadar, kemudian membangkitkan tubuhnya, beranjak menuju lantai dasar rumah milik Negara yang kini ditempatinya bersama dengan keluarganya. Kim Dong Hwan ayahnya adalah seorang yang dipercayakan oleh kepala Negara Ukraina sebagai kepala pegawai pengawasan reactor nuklir di kota tersebut. Hal ini pula yang membuat pemuda bernama Kim Mingyu beserta ayah ibu dan kakak perempuannya Soo-Ae harus meninggalkan Negara asal mereka –Korea Selatan- demi tanggung jawab yang kini tengah dibebankan kepada ayahnya. Sesaat setelah kakinya menapaki lantai dapur sebuah sapaan hangat terdengar dari seorang wanita paruh baya yang tak lain ialah ibunya, Kim Sung Ryung.

Kim Mingyu side's

Aku mengenyahkan tubuhku diatas bangku yang biasa ku tempati saat makan malam. Meraih beberapa irisan wortel yang berada tak jauh dariku seraya memperhatikan ibu dan kakak perempuan ku yang masih sibuk mengatur letak hasil masakkan mereka.

"Ayah nggak ikut makan malam lagi?"

Ucapanku menghapus keheningan yang beberapa detik lalu tercipta.

"Yah, seperti yang kamu lihat."

Soo-Ae, kakak perempuan ku menjawab seraya menjatuhkan dirinya diatas bangku miliknya.

"Akhir-akhir ini 'kan sedang jadwalnya beberapa reactor nuklir dimatikan, otomatis ayahmu akan sibuk dengan pekerjaannya."

Aku kembali menghela nafas berat. Sudah tepat satu minggu ayah tidak memilki waktu untuk keluarga, meski pun itu hanya untuk makan malam. Pemadaman reactor nuklir yang dilakukan bergilir guna perawatan rutin serta tes untuk menentukan dengan hilangnya daya turbin apakah reactor masih memiliki energy yang cukup untuk tetap menjalankan mesin pendingin. Itu yang aku dengar dari penjelasan ayah sebelum hari pemadaman yang menyita waktu ayah dilakukan.

Makan malam terasa hening, satu diantara kami tampaknya tidak ada yang berniat memecah keheningan ini. Aku pun tidak, entah aku merasa kecewa dengan keadaan ini, terdengar kekanakkan mungkin namun aku sungguh-sungguh merasa kecewa karena seminggu ini ayah tidak memiliki waktu bersama kami. Tapi, entahlah seperti ada sebuah perasaan dimana aku akan sangat merindukannya nanti.

"Hari ini cuaca benar-benar nggak bersahabat sepertinya. Pagi tadi terasa sangat panas dan sore harinya hingga sekarang hujan nggak juga mau berhenti. Hah, ibu merasa kota ini sepi sekali."

Gumaman ibu memecah keheningan diantara kami. Aku mengangkat bahu ku menandakan bahwa aku tidak tertarik untuk membahas soal cuaca yang tampak diluar dugaan hari ini. Aku bahkan tidak merasakan adanya langit subuh pagi tadi. Cuaca benar-benar diluar akal sehat.

"Aku selesai, bu aku ijin kerumah Wonwoo sebentar. Aku rasa sebentar lagi akan mati bosan jika tetap duduk di dalam kamar. Aku akan pulang tepat waktu."

Sejenak aku mengecup dahi ibuku, meraih jaket dan beranjak menuju rumah sahabat ku Jeon Wonwoo. Aku menatap langit yang tampak benar-benar gelap malam ini. Hujan sudah mulai mereda, hanya tersisa rintik-rintik kecil yang masih terus turun. Ku jejakkan kaki ku menuju rumah yang sebenarnya hanya berjarak 3 blok dari tempat ku.

Tepat ketika aku menginjak pelataran rumah Wonwoo, ia berada disana. Ku rasa ia hendak membuang sampah, dapat dilihat dari kantung plastic hitam yang baru saja dilemparnya kearah tempat sampah.

"Ku kira kau tidak jadi kesini, mengingat hujan belum benar-benar reda."

Kami berjalan beriringan memasuki rumahnya, aku sejenak membungkuk saat bertemu pandang dengan ibu dan adik sepupu perempuannya yang sudah dua minggu ikut menetap dirumahnya. Entah karena alasan apa kurasa itu bukan urusan ku. Setelah berbincang sedikit dengan ibunya aku dan Wonwoo segera menaiki lantai 2 dari rumahnya, tepatnya kamar miliknya.

"Woah! Cuaca benar-benar sangaat aneh hari ini. Kau tau, aku bahkan nggak sadar pagi tadi aku terbangun tepat jam 5 subuh. Aku kira aku kesiangan."

Wonwoo melempar tubuhnya keatas kasur setelah berucap mengenai cuaca hari ini. Aku rasa cuaca menjadi topic terhangat hari ini.

"Entahlah, aku nggak tertarik untuk membicarakan betapa anehnya cuaca hari ini. Hey! Apa ayahmu juga berada di daerah reactor nuklir sekarang?"

Aku meraih beberapa makanan ringan serta sekaleng cola yang selalu disimpannya. Wonwoo menganggukkan kepalanya tanpa melihat kearahku. Matanya sibuk menatap kearah langit-langit kamarnya.

"Kau tau Mingyu, aku rasa ucapan yang akan aku lotarkan ini sedikit gila dan aku yakin kau akan mengejekku tapi aku nggak akan peduli."

"Kau terlalu berbelit, katakan saja."

Aku menyelak ucapannya yang terdengar bertele-tele. Terkadang Wonwoo tampak seperti seorang idiot hanya karena perkataannya.

"Aku merindukan ayahku."

Ucapnya sambil melihat kearahku. Aku menatapnya balik.

"Apa?"

"Ku kira kau akan tertawa dan mengejekku dengan sebutan anak manja. Hujan tadi pasti merusak otakmu ya?"

Aku melempar kaleng cola yang sudah tak berisi kearahnya seraya mencibir atas statement yang diberikannya.

"Bukan itu bodoh! Aku juga merasakan hal yang sama denganmu. Entahlah tapi seperti ada sebuah perasaan yang mengganggu."

Sesaat tawa keras Wonwoo menguar memenuhi setiap inchi ruang kamarnya.

"Hey! Apa yang kau tertawakan?"

"Bukan apa-apa, aku hanya merasa ucapanmu barusan seperti pernyataan cinta yang terpendam berabad-abad yang lalu."

Wonwoo kembali tertawa keras. Sudah aku katakan tadi, terkadang Wonwoo tampak idiot dengan apa yang dibicarakannya serta apa yang dipikirkannya.

"Tolol"

Dengusku. Aku beranjak, meraih jaketku yang tersampir dibangku yang sedari tadi kududuki.

"Hey! Ayolah jangan marah, aku cuma bercanda. Kenapa jadi sensitif sekali."

Aku terus melangkahkan kaki ku menuju pintu utama rumahnya. Wonwoo mengekor dibelakangku.

"Oh, sudah mau pulang Mingyu?"

Aku terhenti sejenak saat suara dari ibunya mengintrupsi.

"Iya auntie, sudah cukup larut."

"Bohong bu, dia marah karena aku mengejek ucapannya barusan. Aku rasa sebentar lagi kami akan putus. Maafkan aku bu, sepertinya ibu nggak jadi memiliki menantu yang 'manis' sepertinya."

Aku menatap tajam kearah Wonwoo yang dibalas dengan gelak tawanya. Membungkuk kearah ibunya sejenak dan kembali beranjak menuju pintu utama rumahnya. Wonwoo kembali mengekori hingga aku berada dihalaman rumahnya.

"Kau tau Jeon Wonwoo, ku rasa hari ini terlalu banyak ucapan tolol yang keluar dari mulut mu. Aku harap esok kau mengalami kejadian aneh supaya nggak ada lagi hal tolol yang keluar dari mulut mu itu."

Wonwoo kembali terkekeh mendengar ucapan ku yang terdengar sarkastik.

"Hahaha, baiklah. Jika harapan mu terwujud, jangan berkata kau merindukan suaraku karena itu hanya akan sia-sia."

Aku memukul kepalanya keras yang dibalas dengan ringisan dan ekspresi sakit yang terpapar diwajahnya. Aku kembali beranjak menuju rumah. Hujan sudah benar-benar berhenti.

Chernobyl, April 26th, 1986 – 23:30.

Aku menatap kearah langit-langit kamarku. Sekilas melirik kearah jam dinding dari sudut mataku. Pukul 23:30, mataku masih terjaga. Aku merasa sulit untuk tertidur malam ini. Pikiranku masih menuju pada ayahku. Apa yang sedang dilakukannya sekarang?. Aku memutuskan untuk mencoba tertidur mengingat besok aku memiliki jam kuliah pagi. Sejujurnya, suasana sepi yang terasa sejak sore tadi sedikit mengganggu ku. Bukan karena takut tapi lebih seperti hal yang mengganjal. Aku tidak dapat menjelaskannya.

Chernobyl, April 26th, 1986 – 00:30.

Hawa panas membuatku kembali terjaga. Dengan mata yang masih sedikit mengantuk aku berusaha mencari remote AC yang berada diatas meja lampuku. 170C, suhu dari AC berada nyaris di titik terendah tapi kenapa hawa terasa begitu membakar. Aku beranjak menuju lantai dasar. Ternyata ibu beserta kakak perempuan ku sudah lebih dulu keluar dari kamarnya.

"Kenapa hawa terasa panas seperti ini. Ya Tuhan hari ini benar-benar aneh."

Ibu bergumam kesal seraya mengibaskan tanganya. Aku beranjak menuju perkarangan rumah, tampak seluruh rumah membuka pintunya karena hawa panas yang seakan tiba-tiba datang. Aku melirik sejenak kearah ibu dan kakak perempuanku yang terus mengibaskan tangannya. Ku alihkan pandanganku menuju langit malam yang terasa semakin pekat. Perasaan menganjal itu kembali terasa. Entah apa maksud dari perasaan khawatir dan mungkin ketakutan ini.

Chernobyl, April 26th, 1986 – 01:25.

Beberapa dari tetangga tampak melangkah keluar dari rumahnya berharap menemukan sedikit angin yang aku pikir semua itu sia-sia, karena aku sudah berada diluar sejak tadi dan satu-satunya yang aku rasakan hanya hawa panas, bahkan angin yang berhembus pun terasa begitu panas. Aku hendak beranjak masuk sebelum ledakkan keras mengguncang daerah kami. Kepulan asap tampak membumbung tinggi diatas langit malam kota Chernobyl. Pekikkan ngeri menguar ketika kami menyadari ledakkan itu berasal dari wilayah reactor nuklir Chernobyl.

.

.

Kepulan asap hitam membumbung tinggi dilangit Chernobyl. Teriakkan histeris terdengar disetiap sudut kota bagian utara Ukraina itu. Mingyu berlari cepat kedalam rumahnya serta menutup pintu utama rumah itu.

"Ledakkan apa barusan?!"

"Jangan keluar dari rumah!"

Ia berteriak keras memperingatkan ibu dan kakak perempuannya seraya mencari sesuatu yang seakan dibutuhkannya. Mingyu segera berlari menuju ibu dan kakak perempuannya sesaat setelah menemukan benda yang dicarinya.

"Gunakan ini, jangan pernah melepasnya. Kita pergi secepatnya dari tempat ini."

"Tunggu sebentar, apa yang sebenarnya terjadi?!"

Soo-ae berteriak panic sambil menahan tarikkan Mingyu pada pergelangan tangannya.

"Reaktor nuklir sector 4 meledak. Kita tidak punya waktu banyak. Paparanya pasti sudah menyebar." Ucap Mingyu seraya kembali menarik kakak perempuannya menuju luar rumah.

"Reactor nuklirnya meledak? Bagaimana dengan ayah?" Pria berkulit tan itu terdiam sejenak saat ucapan lirih tadi keluar dari mulut ibunya. Ia tampak menggigit bibir bawahnya. Menoleh menuju kedua orang wanita yang berada digenggamannya.

"Kita selamatkan diri kita dulu, setelah itu aku akan pergi mencari tau keadaan ayah." Ujarnya disertai senyuman tipis yang dipaksakan. Setelahnya ia kembali menarik kakak dan ibunya keluar. Kerumunan ramai menyapa mereka sesaat setalah ketiganya beranjak dari dalam rumah. Tangisan serta pekikkan histeris terdengar disetiap sudut kota yang semula terasa tenang. Mingyu masih menarik kedua wanita itu menuju tempat evakuasi yang memang telah disediakan pihak pemerintah, mengikuti arus yang dilakukan oleh penduduk lainnya.

"Mingyu-ah!." Ia menoleh saat indera pendengarannya samar-samar mendengar suara seseorang yang meneriakkan namanya. Manik matanya berusaha mencari si pemilik suara. Wonwoo, pria itu melambaikan tangannya didalam kerumunan penduduk yang terus berdesakkan. Setelahnya berusaha membawa ibu dan sepupunya menuju Mingyu yang masih berdiri ditempatnya. "Mingyu-ah, ledakkan itu."

"Kita bahas nanti, sebaiknya kita pergi ke tempat evakuasi dulu." Sela Mingyu. Setelahnya kedua remaja pria beserta empat orang wanita yang berada digenggaman keduanya kembali berlari mengikuti arus menuju tempat evakuasi. Ribuan orang tampak saling berdesakkan memenuhi tempat evakuasi. Mingyu dan Wonwoo masih menggenggam erat keluarganya, berusaha untuk tidak terjepit diantara ribuan manusia yang terus saling mendorong. Teriakkan histeris terdengar begitu kentara disana. "Mingyu-ah, kenapa pintunya nggak terbuka?" ucap Wonwoo, ia masih berusaha menahan arus dorongan yang berasal dari belakangnya. Mingyu menggeleng, manik matanya masih menatap lurus menuju pintu pembatas tempat evakuasi.

"Wonwoo, bertahan disini sebentar." Ucapnya setelahnya remaja berkulit tan itu menarik kakak beserta ibunya keluar dari kerumunan orang-orang yang masih saling mendorong. Ia menatap kearah kedua wanita itu sejenak. "Kalian baik-baik saja?" kedua wanita itu mengangguk. Mingyu tersenyum lega sesaat, setelahnya mengecup ringan dahi sang ibu. "Kak, jaga ibu sebentar. Aku akan membawa Wonwoo dan yang lainnya kesini." Soo-Ae mengangguk kembali, meng-iya-kan permintaan sang adik. Mingyu melangkah cepat setelahnya, kembali masuk kedalam kerumunan orang mencari Wonwoo beserta ibu dan adik sepupunya. Dorongan demi dorongan terus dilakukan oleh penduduk kota. Beberapa diantaranya tampak terjepit diantara ribuan manusia yang masih berusaha masuk kedalam wilayah evakuasi. "Biarkan kami masuk! Brengsek apa yang kalian lakukan!" Salah seorang dari penduduk kota berteriak dengan nada frustasi. Pintu menuju jalur evakuasi masih tertutup oleh pagar pembatas, membuat para penduduk kota itu tidak dapat masuk kedalam zona evakuasi.

"Wonwoo!" Mingyu memekik tertahan, menarik pergelangan tangan pria yang lebih kecil darinya. "Kita mau kemana, Mingyu-ah?" ujar Wonwoo seraya menatap Mingyu yang kini berusaha memeberikan akses jalan untuknya berserta ibu dan adik sepupunya. Pria berkulit tan itu tampak tak menggubris ucapan Wonwoo. ia masih menggenggam erat tangan pria berkulit putih itu, mencoba membawanya keluar dari kerumunan. Ribuan orang tampak masih saling mendesak untuk memasukki zona evakuasi. Mingyu menghela nafas lega setelah kedua kakinya menapaki tempat dimana ibu dan kakaknya berada. "Kalian nggak apa-apa?" Ucapnya menatap kearah Wonwoo dan yang lainnya yang balas oleh anggukkan kecil.

"Kita harus bagaimana sekarang? Kenapa mereka menutup jalur masuk evakuasi?" Gumam Wonwoo, mata sipitnya masih menatap kearah kerumunan orang yang tampak begitu padat dihadapannya. "Aku rasa mereka khawatir dengan paparan radiasi, karena itu mereka belum membuka pintu masuknya." Balas Mingyu, pandangannya juga menuju kerumunan orang yang berada tak jauh darinya. Mingyu mengalihkan pandangannya menuju Wonwoo sejenak, setelahnya tangan kanannya terulur menutup bagian hidung dan mulut pria disampinya, membuat Wonwoo memandang bingung kearahnya. "Kemana masker mu?" ucapnya. Wonwoo menggeleng pelan. "Aku nggak terfikir menggunakannya, yang aku ingat hanya memberikan masker ke ibu dan sepupu ku." balasnya pelan. Setelahnya, pria berkulit tan itu meraih sesuatu dari dalam saku jaketnya, mengeluarkan sebuah sapu tangan miliknya dan menjadikkan benda itu sebagai penutup hidung untuk Wonwoo.

"Kau itu benar-benar idiot." Desisnya. Pandangannya kembali beralih menuju kerumunan orang yang masih saling mendorong. Ia menghela nafas tertahan, mencoba mencari cara agar dapat masuk kedalam zona aman. Pengeras suara yang berasal dari pintu masuk jalur evakuasi terdengar nyaring, membuat kerumunan penduduk yang semula saling mendorong kuat mulai berhenti secara perlahan. "Penduduk kota kami mohon untuk berhenti saling mendorong dan berikan sedikit ruang dipintu masuk. Tim akan memperbolehkan kalian untuk masuk jika kalian bisa bersikap teratur." Ucapan itu terdengar nyaring dari pengeras suara. Perlahan, penduduk yang berada didepan pintu masuk mulai menyingkir memberikan sedikit ruang yang diminta oleh tim penyelamat. Beberapa orang dengan pakaian tertutup mulai merangsek keluar setelah pintu masuk zona evakuasi terbuka. Keseluruhan tim mulai meminta para penduduk kota untuk membuat beberapa barisan panjang. Mingyu segera menarik tangan kakak dan ibunya serta mengajak Wonwoo untuk ikut masuk kedalam barisan. Perlahan barisan mulai tampak bergerak maju setelah sebelumnya tim memeriksa keadaan fisik setiap orang.

Langit masih tampak gelap diatas kota Chernobyl. Baik Mingyu maupun Wonwoo masih berdiri mengantri untuk dapat masuk kedalam zona evakuasi begitu pula dengan penduduk lainnya. Evakuasi berlangsung cukup lama, namun setiap orang yang berada disana tampak cukup bersabar untuk menunggu giliran pemeriksaan. "Bangsat! Biarkan aku masuk!" pekikkan keras terdengar dari ujung selatan antrian. Seorang pria muda nampak mendorong paksa pekerja tim yang terus menghalanginya. Perlahan, suasana yang sebelumnya tampak kondusif mulai kembali riuh. Beberapa orang yang berada pada barisan depan kembali saling mendorong setelah pekerja tim memutuskan untuk menghentikan pemeriksaan penduduk untuk dimasukkan kedalam zona evakuasi. Mingyu berlari cepat menuju pintu masuk zona, mengabaikan teriakkan Wonwoo dan kakaknya. Ia mendorong keras, mencoba melewati beberapa orang yang lebih dulu berada didepan.

"Sial! Biarkan kami masuk, brengsek!" umpatan serta makian menjadi satu-satunya suara yang keluar dari mulut setiap penduduk. Mingyu terus merangsek masuk, setelahnya mencengkram kasar baju salah seorang tim penyelamat. "Apa yang kau lakukan?!" pekiknya marah. Matanya memandang tajam kearah pria dihadapannya. "Kami nggak bisa lagi menampung kalian. Kalian harus menunggu bantuan selanjutnya datang." Ucap pria yang kini tengah berada dalam cengkraman Mingyu. Pria berkulit tan itu masih menatap kesal kearah orang didepannya. Dorongan keras membuat tubuhnya bergerak mundur membuat cengkraman pada baju orang tadi terlepas. Seluruh penduduk kota masih terus mendorong kearah pintu masuk yang kini mulai tertutup kembali. Mingyu beserta penduduk lainnya yang masih berada diluar zona evakuasi terus berusaha agar pagar itu tak tertutup namun sia-sia. Tangisan histeris kembali pecah dari penduduk kota yang masih terjebak diluar zona. Mingyu memekik frustasi, mengacak rambutnya kasar.

"Mereka menutup kembali gerbangnya?" Pria tinggi itu mengangguk samar, menjatuhkan tubuhnya diatas jalan kota yang masih dipenuhi oleh penduduk. Tangannya terulur melepaskan masker yang sedari tadi menutupi hidungnya, mengusap wajahnya gusar. "Mingyu-ah." Ia tak bergeming, masih menunduk dengan raut wajah lesu, mengabaikan panggilan Wonwoo. Remasan pelan pada pundaknya berhasil membuat Mingyu mengangkat wajahnya, menatap tepat kearah sahabatnya Wonwoo yang kini melemparkan senyuman tipis. "Jangan khawatir, kita pasti selamat."


Chit Chat : hai hai crypt dateng lagi dgn new ff msh nitik beratin sama couple meanie xD. Oh ya sebelumnya mau big big big thanks buat yang udh review, follow dan favoritin ff THE THINGS seriesbagian pertama. endingnya gantung y? jangan salahin aku salahin cuming yang punya ide cerita aku sih cuma merealisasikan ide dari dia. tapi tenang, si cuming blng ada kok kelanjutannya tapi msh rahasia terus dia suruh aku posting ff baru lagi bos besar bgt asli x'D. Dan tererereng! ini dia ff barunya buat ide masih berasal dari otak lemotnya si bos cuming hha asli yah dia ngerjain aku bgt loh pas ngasih ide buat bikin ini ff secara yakan aku nggak tau tragedi ini. serius klo bukan krn si cuming kasih ide ini aku nggak bakal tau klo ada tragedi ledakkan nuklir yg menurut aku lumayan ngeri sih ya. dan serius proses buat ff ini itu terbilang berat buat aku secara yakan ini dari kejadian nyata aku ngeralisasiinnya giman wong aku blm lahir kok jaman ini bencana terjadi x'D so aku cuma mau bilang buat pembaca klo hal yg ada didalam ff ini nggak sepenuhnya kejadian nyata, ini cuma hasil imajinasi aku dan nggak ada maksud apapun jd jangan dibaperin /? x'D. cipcip mungkin ini aja chit chatnya and also don't forget to leave me some review berupa kritik atau saran krn jujur aja review kalian sangaaaaaaaaaaaattttt memberi aku semangat buat nulis xD.

salam,

Crypt14

Special thanks to : Cuming my big bos yg ide ffnya suka bikin greget sendiri x'D

Big thanks for : elfishynurul, Chonurullau40 a.k.a Miss Zhang, Karina, jihokr, 17MissCarat, aming, Naega Hoshi, BSion, kimxjeon, Ourwonu, Iceu Doger, DaeMinJae, NichanJung, Firdha858 dan semua yang udah mau favorite atau follow ff THE THINGS series 1. terima kasih banyak /bow

Oh ya buat chonurullau40 thank you so much dear udh kasih aku masukkan, aku perbaiki kedepannya dear *bow xD