Metafora
Author: SheilaLuv, yang kali ini ingin mengeksplorasi Matt setelah sekian lama mengabaikannya.
Disclaimer: Death Note is the property of Ooba Tsugumi and Obata Takeshi. Hanya isi cerita dan plot yang menjadi properti pribadi saya.
Summary: Permainan yang menantang selalu menawarkan hasil mutlak dari dua sisi probabilitas: benar-salah, menang-kalah, dan yang terpenting… hidup-mati. Kasus Kira merangkum segala aspeknya, menggiring Matt untuk memulai, walau belum tentu untuk mengakhiri. Matt sentris, second arc.
Didedikasikan untuk Arin-chan (Summer Memory), atas asupan Death Note yang luar biasa sekaligus chit-chat yang menyenangkan. Walaupun ini bukan fic MattNear, tapi semoga Metafora bisa menghibur Arin-chan, ya! I'm glad you're there, and good luck with your study too, dear! XD
Enjoy!
To these we owe true friendship, love sincere
Each home-felt joy that life inherits here
(Alexander Pope)
Semua pijar gigantis bermula dari percik kecil api.
Rentetan petualangan ditandai dengan langkah pertama.
Permainan adalah metafora dari kehidupan nyata. Kau harus tahu kapan menyerang, memperkirakan waktu yang tepat untuk mundur, menyusun taktik secara cermat, sebelum melepaskannya dalam bentuk aksi.
Aku banyak belajar tentang hal itu dari seseorang. Usiaku tujuh tahun saat itu. Belia, canggung dalam berteman, nyaman dalam ketidakpedulian terhadap intrik dan persaingan yang melingkupi institusi Wammy's House. Sedangkan dia berumur delapan tahun. Brilian, tangkas, gesit dalam bersosialisasi. Keberadaannya menyimpan paradoks. Dia menyala, namun aku merasa dia dalam. Seperti palung tanpa ujung. Meradiasikan energi sembari mengekspresikan lantunan pengetahuan.
Dia melihat makna abstrak dengan cara yang tak pernah kuduga. Kontradiktif terhadapku yang menganut paham realis.
Sebelumnya, tak pernah kupikirkan makna dari sebentuk kegiatan sederhana seperti bermain game, namun tampaknya dia tidak setuju dengan sikap acuhku. Dia menatapku dengan pandangan menyelidik, seakan ingin menguji. Aku sempat tergoda untuk mengabaikannya, kendati dia jelas tidak akan membiarkannya.
Kontan saja, ketegangan nyaris merebak. Bahaya merangkak dari balik sinar matanya. Secara taktis, kuambil jalan pasifis. Aku tidak lagi menutup mata dan menulikan telinga. Jadi kubiarkan dia bicara, dan setelah beberapa saat, aku tersenyum pertanda setuju. Lambat laun aku tergugah oleh sikapnya yang penuh determinasi.
Kau berbeda. Tapi kurasa itu tidak masalah. Aku terkesan, ujarku mengakui.
Dia mendengus sebagai respon, namun dia tidak pergi dariku. Dia tetap tinggal, dan secara naluriah, aku menemukan pijakan pada pribadinya.
Maka aku pun memilih untuk tetap bersamanya. Dia tidak pernah bertanya mengapa, dan aku pun tidak pernah meragukan kemauanku. Menurutku itu bagian paling mengasyikkan dari kedekatanku dengannya—setiap hari adalah teka-teki, tantangan yang menunggu ditaklukkan. Setiap detik adalah sensasi.
Kepingan ingatan persahabatan kami tak sedikit pun memudar dari benakku. Aku bukanlah orang yang sentimental, sama sekali bukan, namun kenangan itu terpatri alami sejak pertama kali aku mengizinkan duniaku terbuka untuknya.
Dulu, pernah kukatakan padanya, aku bosan.
Seringai tipis muncul di wajahnya. Kalau begitu, ikut aku.
Ikut aku.
Untuk sesaat dalam hidupku, aku sempat meragukan apakah itu ajakan atau perintah. Tak tertutup kemungkinan bahwa kalimat itu menyimpan campuran makna dari keduanya. Namun, aku menyanggupinya tanpa bertanya.
Kami berbagi hari-hari sarat aksi. Kami berlari riang, rumput dan pasir tunduk menyerah di bawah pijakan kaki.
Kami tertawa lepas, hilanglah rasa cemas.
Kami terkadang berdiam diri, bungkam ketika keletihan menghampiri. Menikmati hal-hal sederhana dan manusiawi.
Kejenuhan tak pernah hinggap selama aku ada di sisinya. Itulah sebab mengapa aku tak pernah sekalipun menyesal.
Kebenaran itu konstan, meskipun kini yang kupunyai hanyalah memori masa kecil yang telah lama usai. Dia telah menanggalkan ikatannya dengan tempat ini, institusi yang menaungi kedua kepala kami yang harus bertahan tanpa orangtua sedari muda. Ke dunia luar sosoknya pergi, menuntut balas atas nama seseorang yang kini tak lagi bernyawa. Tanpa mengutarakan kata-kata yang dulu menautkan kami. Hanya mengguratkan senyuman pahit sebelum detak-detak sepatu botnya melangkah semakin jauh.
Apakah dia lupa pada hal terpenting yang pernah diajarkannya padaku? Kalau mustahil tercapai permainan yang gemilang tanpa pengorbanan yang pantas? Bahwa kekalahan bisa menikamnya sekalipun dia begitu berambisi untuk menang? Bahwa di dalam pertarungan mematikan dia membutuhkan aliansi; sekutu yang tangguh, sehingga dia bisa mengurangi risiko dan cedera?
Aku mendapat kesan bahwa meskipun dia ingat, dia tidak ingin melibatkanku. Aku tahu sebabnya. Pembalasan dendam bukan sesuatu yang patut digembar-gemborkan, tapi aku bisa merasakan dia memilih untuk menerjunkan diri ke dalamnya. Bukan cuma itu saja, baginya ini juga merupakan pertempuran satu lawan satu. Ajang pembuktian harga diri dan pertaruhan ego melawan seorang rival. Objek dari obsesi abadi yang menghantuinya di malam-malam larut dan hening, ketika dia berjuang menahan lelah dan kantuk demi meraih puncak prestasi akademis, walaupun hal itu berarti melawan siklus biologis.
Tak bosan-bosan aku menegurnya kala itu, ketika persaingan belum bersemi menjadi kekuatan yang mendorongnya keluar menyongsong kehidupan nyata di luar sana.
Kau belum tidur? tanyaku dengan suara serak dan pandangan mata yang kabur. Ritual ini tak terelakkan, berulang dalam pola yang sama. Manakala aku terbangun di tengah malam buta, acapkali kudapati dia masih menunduk membaca uraian-uraian rumit di buku. Membandel dan enggan tunduk. Keherananku tak pernah sirna sebab dia masih bisa tetap terjaga keesokan harinya.
Sebentar lagi. Jika berusaha lebih keras lagi, aku pasti bisa mengalahkan Near. Jangan khawatir, Matt. Aku akan tidur nanti.
Kalau memang begitu maumu, balasku. Dia cuma menganggap kata-kata tadi angin lalu. Bukan nasihat dari seseorang yang peduli akan kesehatan dan kewarasannya.
Apakah kau paham maksudku? Aku cemas. Ingin kukatakan begitu, tapi aku menahan kata-kata itu meluncur dari bibirku.
Ironi ini sudah kusadari sejak lama. Di matanya, aku tidaklah menempati posisi pertama.
Hanya sebagai teman, tempat persinggahan. Bukan sebagai tujuan, bukan keberadaan yang ingin ditaklukkan.
Namun dia juga tahu bahwa walaupun aku terluka oleh kenyataan itu, tak ada yang bisa kulakukan selain menerimanya. Semuanya dikarenakan satu alasan yang terbilang absurb bagi paradigma yang ditanamkan kepada kami—prinsip yang ditekankan terus-menerus hingga tiba masa otak aus—seakan dengan menerapkannya kami akan selalu terhindar dari kebimbangan dan keraguan.
Aku menyayanginya.
Bukan karena dia meleraiku dari kebosanan, atau menantangku dengan kecemerlangan pikirannya yang tak habis-habis, tetapi karena dia membuatku merasa diriku masih tetap manusia, di tengah-tengah segala tekanan yang mengharuskan kami menekan setiap bentuk emosi.
Eksistensi ditentukan oleh alias dan identitas pengganti. Ucapkan selamat tinggal pada diri yang asli. Begitulah cara peraturan bisu bekerja di Wammy's House. Kendati demikian, dia tak pernah berpura-pura sekalipun di depanku. Tetap memperlakukanku apa adanya. Aku tahu dia pasti akan mencelaku jika aku salah, atau memarahiku ketika aku alpa, namun aku percaya dia akan selalu menemukanku saat aku hilang, tersesat dalam ketidaktahuan.
Aku bukanlah orang pertama di hatinya.
Tak kecil kemungkinan aku berada di posisi kedua atau bahkan ketiga. Namun, fakta bahwa dia pun telah menyediakan ruang untukku di dunianya sudah cukup untuk membuatku bertahan.
Aku hanya berharap hal itu tetap menjadi kebenaran yang nyata adanya.
Author's Notes: Akhirnya~! –tebar confetti- Hahahaha… oke, jujur aja, saya nervous. Selama ini saya cenderung fokus pada karakter-karakter utama seperti L, Raito, Mello, Near dan Misa, sedangkan Matt tertinggal di belakang. Makanya saya bertekad untuk mengulas tentangnya juga, bukan sebagai karakter sampingan, sidekick yang muncul sekilas, atau malah sekedar objek dari lust Mello. Tentunya karakter Matt bisa digali lebih dalam lagi, dan dia punya entitas sendiri. Matt juga patut dilihat secara utuh, kan?
Saran, kritik, maupun segala bentuk komentar yang konstruktif diterima dengan senang hati via review. Saya tahu saya masih perlu banyak belajar, jadi segala masukan sangat saya hargai. Terima kasih atas kesediaannya membaca, dan sampai jumpa di chapter selanjutnya!
