Chapter 1 : Pertemuan

"Tooru-chan! Bangun!, kau mau berangkat jam berapa lagi!"

Taki terbangun dari tidurnya setelah mendengar teriakan ibunya dari dapur. Cahaya matahari menembus tirai gorden, Taki sontak meraih jam alarm. Pukul 07.45 pagi.

"Aku terlambat!"

Dengan cepat. Ia segera mandi (seadanya) dan berdandan (seadanya). Kecerobohannya membuat hari yang seharusnya spesial ini jadi kacau balau. Karena terlalu asik, berkomunikasi dengan teman-temannya di telepon malam tadi, ia sampai lupa menyetel ulang jam alarmnya.

Taki berlari menuruni tangga rumahnya, meraih sepotong roti dan mengigitnya dimulut sedang tangannya sibuk membenarkan dasi seragam dan rambutnya. Ibunya berdecak melihat kelakuan puterinya itu. Cantik namun kadang-kadang ceroboh.

"Ini bekalmu, cepatlah, kau akan tertinggal kereta"

Taki segera berlari usai menerima kotak bekal dari ibunya. Ia gugup. Tentu saja ia tak mau dihukum di hari pertamanya masuk SMA. Sejak dulu, kehidupan sekolah Taki sangat menyenangkan. Taki sering dijuluki sebagai himawari hime atau puteri bunga matahari karena sifatnya yang ceria dan mudah bergaul dengan yang lainnya. Wajahnya tak diragukan lagi, sejak sekolah dasar ia selalu menjadi gadis paling cantik disekolah.

Sejak kemarin, Taki sudah sangat menantikan hari ini. Bertemu teman-teman baru di SMA, ikut klub teater yang memang sudah ia rencanakan sejak beberapa minggu lalu dan mungkin bertemu pria tampan yang bisa dijadikan target untuk diajak berkencan. kyaa

Namun..

Kereta telah berangkat. Kereta selanjutnya akan tiba lima belas menit lagi.

Apa-apaan situasi ini?

Kereta pertama sudah pergi. Ia harus menunggu belasan menit untuk kereta selanjutnya. Sedang upacara pembukaan siswa baru akan dilaksanakan tiga puluh menit lagi. Menunggu lima belas menit, perjalanan dengan kereta sepuluh menit dan berjalan kaki dari stasiun ke sekolah.

Ah! Mana mungkin sempat!

Tentu ia tidak mau dihukum. Taki terduduk lesu di kursi stasiun sambil memandang kosong kearah rel kereta.

jika aku dihukum sungguhan, bagaimana jika semua orang akan memandang buruk diriku, tak akan ada yang mau berteman denganku. Aku akan dikucilkan selama tiga tahun.

Tamat sudah kehidupan SMA ku.

Untuk beberapa saat, Taki hanya tenggelam dalam lamunannya. Memikirkan beberapa kemungkinan terburuk yang mungkin akan terjadi. Hingga sebuah langkah kaki membangunkan lamunannya, Taki menoleh. Didepannya berdiri seorang lelaki, anak SMA sama sepertinya. Bahkan nampaknya dari sekolah yang sama.

Sekilas Taki tertegun. Memang tidak terlihat jelas karena posisi laki-laki itu sedang membelakanginya. Sekarang musim panas, laki-laki itu mengenakan seragam dengan lengan pendek hingga kulit tangannya terlihat jelas.

Putih sekali.

Sekilas Taki berpikir mungkin dia melakukan perawatan kulit. Laki-laki itu menoleh kearah kanan, memandang kereta yang nampak sudah mulai terlihat. Setengah matanya tertutup poni rambutnya, hidungnya mancung dan bibirnya tipis merah muda.

Dia tampan

Bukan hanya tangannya, kulit wajahnya juga sangat putih. Walau sekarang musim panas, aku seakan baru melihat salju pertama musim dingin.

"Yuki.."

Lelaki itu menoleh, Taki sontak menutup mulutnya dan menunduk malu.

"Yuki?"

Suara laki-laki tak terlalu berat dan terdengar lembut mengusik telinganya. Taki mendongak, lelaki itu memandangnya bingung. Semilir angin meniup poni rambut lelaki itu hingga kedua matanya terlihat jelas. Matanya berwarna cokelat indah, agak redup seakan memberi kesan misterius. Jika ia harus memberi angka antara 1 sampai 10 tingkat ketampanan pria ini. Maka ia akan memberi nilai 9.

"Maaf, kulitmu sangat putih, mengingatkanku pada salju dimusim dingin" ucap Taki. Lelaki itu terdiam sejenak, kedua ujung bibir tipis nya perlahan terangkat. Ia tersenyum. Astaga senyumnya pun manis sekali.
"Ano.. Siapa na- " belum sempat Taki menanyakan nama, kereta datang.

Lelaki itu segera memasuki gerbong kereta. Saat Taki hendak menyusul, kerumunan orang berjejalan saling dorong memasuki kereta hingga akhirnya membuat dirinya berdiri jauh dari pria itu.

"Padahal aku ingin berbicara lebih banyak"

Upacara pembukaan ditunda lima belas menit karena alasan kepala sekolah yang datang terlambat sekaligus menyelamatkan Taki dari ancaman hukuman yang bisa saja jadi pemicu hancurnya kehidupan SMA nya yang berharga.

"Kau ini! Bagaimana bisa kau datang terlambat huh!"

Sasada, teman Taki yang juga satu SMP dengannya nampak cemas. Taki menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil memasang cengiran bersalah. Sasada cukup cerewet saat marah, namun semua itu karena ia mencemaskan sahabatnya sendiri.

"Aku benar-benar lupa menyetel alarm malam tadi. Kepala sekolah benar-benar menyelamatkanku haha"

Mereka sekarang berada di aula sekolah, bersama semua anak kelas satu lainnya. Mendengarkan pidato kepala sekolah yang luar biasa membosankan, seakan seperti suara nyanyian lagu penghantar tidur yang mampu membuat siapa saja mengantuk. Taki melihat sekitar, ia tak melihat pria di stasiun tadi. Mungkinkah dia senior kelas dua.

Usai acara pembukaan. Taki dan anak kelas satu lainnya berkerumun di depan mading sekolah untuk melihat kelas yang akan mereka masuki.

Kelas 1-2. Kelas yang sama dengan Sasada. Membuatnya tambah bersemangat menanti besok. Besok ia harus mendapatkan banyak teman baru.

Semangat!