KRAK ...
"Hm?"
Gelas kaca yang berada digenggamannya retak. Ada perasaan aneh yang terus menghantui pikirannya sejak tadi. Matanya berkilat menatap retakan yang terbentuk di permukaan gelas itu.
DUARR!
Suara ledakan keras terdengar memecah sunyi. Sontak ia berdiri dan menatap ke jendela kaca dibelakangnya. Dahinya mengerut saat menatap tabrakan dua cosmo dahsyat yang membumbung tinggi menyilet bentangan langit. Bintang-bintang bersembunyi ketakutan. Bulan pucat membisu sementara petir menari-nari diantara cahaya keemasan yang menyilaukan mata dan cahaya kemerahan yang menguar pekat. Ia mengetahui salah satu cosmo itu.
"Rebellion Rage ..."
.
.
Disclaimer: Saint Seiya - Masami Kurumada
Warning:
Terdapat karakter dari Mitologi Yunani
.
Thread of Terror
Prologue
.
.
"Siapa yang ia lawan sehingga harus mengeluarkan teknik itu? Siapapun itu, dia pasti memiliki kekuatan yang begitu besar sehingga mampu menandingi Dewa Perang."
Lima belas menit berlalu. Satu dua kerlip bintang mulai menampakkan dirinya lagi dan semburat kemerahan sudah mulai terlukis di ufuk timur. Namun pria bersurai putih itu masih menatap kearah langit, bertanya-tanya tentang tubrukan dua kekuatan masif yang ia tatap tadi. Ia membalikkan tubuhnya, berniat untuk pergi keluar dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Aku harus—"
PRANG!
Gelas kaca tadi jatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping, tanpa ada yang menyentuhnya. Dirinya hanya sendirian didalam ruangan itu. Semilir angin berhembus menggelitik tengkuknya entah dari mana. Terkejut, ia memandang kebelakang. Tidak ada apa-apa, hanya perasaan menyesakkan dada yang terus mengikutinya kemana saja. Ia menatap pecahan gelas itu dan tidak bergerak sesentipun dari tempatnya berpijak.
Pintu kayu yang menghubungkan ruangan itu dengan ruangan diluarnya itu terbuka, menimbulkan suara decitan ringan. Seorang pria bersurai emas masuk kedalam, menatap satu-satunya orang yang berada di dalam ruangan itu. Wajahnya terlihat santai, namun sedikit tersirat kesedihan darinya.
"Mereka mati."
Pria bersurai putih itu menatapnya datar. "Phobos? A—"
"Ya."
Ia terdiam. Perasaan yang membuat pria itu gelisah ternyata benar. Juga gelas kaca itu, dan angin yang meniup belakang lehernya, merupakan sebuah firasat buruk. Dan itu benar.
"Dimana mereka sekarang?"
"Kastil. Aku meletakkan jasad mereka di kastil," jawab si pria berambut emas sebelum ia membalikkan tubuhnya. "Sebentar," pria berambut putih itu menahannya sebelum ia meninggalkan ruangan itu. "Siapa yang mereka lawan?"
"Saint Athena, dan Athena sendiri yang membunuhnya," dan si surai emas keluar dari ruangan itu.
Terdiam cukup lama, pria itu mengatur napasnya. Aura gelap menguar perlahan dari tubuhnya. Ia pun menegakkan badannya, mengambil jubah hitam yang digantung dibalik pintu lalu berjalan cepat keluar tanpa berpikir apapun lagi.
.
.
.
Rintik hujan turun membasahi bumi disaat hari memasuki pagi. Dengan kepalanya yang tertutupi tudung jubah, ia menatap sebuah kastil tua yang berada dihadapannya. Tangannya perlahan membuka pintu kastil yang berusia sekitar ratusan tahun itu. Angin dingin pun terasa menerpa tubuhnya dari dalam kastil, seolah menciptakan rasa takut dan menghalau siapa saja yang ingin masuk kedalam. Meskipun masih dipertanyakan apakah ada orang biasa mempunyai nyali yang cukup bahkan untuk mendekati bangunan angker itu. Pria itu menatap kosong kedalam. Begitu gelap, tanpa sumber cahaya sedikitpun. Ia menyalakan lampu minyak yang memang dibawanya, mulai melangkahkan kakinya memasuki kastil itu.
Tangannya bergerak mengelus dinding dengan ukiran khas abad pertengahan pada salah satu ruangan di dalam kastil. Tampak sangat berdebu. Tangan pucatnya berhenti ketika menyentuh sebuah motif lingkaran pada dinding itu. Menekannya perlahan, dinding itu bergerak terbuka. Memunculkan sebuah tangga menuju ruangan bawah tanah.
Kakinya perlahan melangkah menuruni tangga. Tidak seperti ruangan-ruangan didalam kastil sebelumnya, ruang bawah tanah itu tampak terang dan hangat. Pria itu meletakkan lampu minyaknya dan membuka tudung jubahnya. Wajahnya tampak pucat disinari cahaya lampu. Didalam ruangan itu, terlihat dua buah peti mati masing-masing berwarna hitam dan merah dengan ukiran emas yang unik serta kaca transparan yang menutupinya.
Ia melihat isi peti berwarna hitam. Phobos, dengan armor dan tombaknya. Terbaring kaku disana. Pria itu melihat ke peti lainnya. Sang Dewa Perang, dengan Rebellionnya yang berkilat tajam. Setitik air turun perlahan mengalir di pipi pria itu, namun pada detik berikutnya langsung diusapnya. Tangannya mengelus kedua peti itu. "Kalian bisa tenang sekarang. Aku akan membalaskan dendam kalian. Kakak. Ayah."
Pria itu membalikkan tubuhnya, mengambil lampu minyaknya dan berjalan menuju tangga. Ia menatap sejenak kedua peti itu sebelum kembali ke atas. Di atas, pria bersurai emas yang tadi menemuinya kembali lagi dihadapannya.
"Jadi ... Balas dendam, heh, Dik?" katanya dengan wajah penuh semangat.
"Kau juga harus ikut denganku. Membantuku." Pria bersurai putih itu memandang tajam.
"Eh—" si rambut emas sedikit terkejut. "Untuk apa aku membantumu? Kau itu Deimos, Adikku sayang. Personifikasi dari teror. Sedangkan aku? Aku hanya—"
Deimos, pria bersurai putih itu menatap keluar jendela. "Kau bisa menebar kebencian, kan, Eros?"
"Tentu saja. Kenapa?"
"Kita tebarkan kebencian diantara para Saint Athena."
...OOO...
TO BE CONTINUED
Hai~ berjumpa lagi~
Teman-teman yang baca "My Brother, My Savior" pasti ada yang bertanya-tanya, kan? Kok endingnya gitu? Kok gantung? Kok Negara Api menyerang lagi?#abaikan yang satu ini#
Nah ... ini jawabannya ... sekuel dari cerita saya yang ... ah entahlah :'v
Kritik dan sarannya always dinanti :'3
Thanks for reading ^^
