Author's note:

Holla! Salam kenal! Saya Cyancosmic :D finally saya nggak tahan buat nggak ngetik, padahal niatnya mau hiatus dulu selama beberapa bulan, eh ternyata takdir berkata lain dan akhirnya saya ikut meramaikan fandom ini. :P

Aniway, let's save the chitchat for later and let's enjoy the story XD

.

.

.

Boku no Hero Academia not mine

90 days by cyancosmic

Warning : AU, OOC a lot, Typos, Fem!Izuku

.

.

.

Prologue

Denting lonceng di pintu masuk berdentang mengumandangkan kehadiran tamu yang baru saja datang. Mendengarnya, gadis yang berusia dua puluh lima tahun itu mengangkat kepalanya dan menoleh. Bibir mungilnya hendak mengucapkan sesuatu namun ia menghentikannya ketika mengenali sosok yang baru saja datang. Manik sehijau zamrudnya melebar dan seketika itu juga ia berkata, "K-Kaachan?"

Pemuda berambut pirang pucat itu mengangkat kepala ketika mendengar panggilan yang ditujukan padanya itu. Manik semerah delima miliknya bertemu dengan manik hijau zamrud gadis itu dan ia menyunggingkan sedikit senyum saat mereka bertatapan. Melihat kursi-kursi yang sudah diangkat dan ruangannya yang sedang dibersihkan, pemuda itu pun kembali berkata, "Sudah tutup?"

"Y-ya," jawab gadis itu sembari menatap sekelilingnya mengikuti pemuda itu. Walaupun begitu, pada akhirnya pandangannya kembali tertuju pada pemuda itu dan ia berkata, "Apa… kau ada meeting di dekat sini?"

Pemuda yang ditanyainya itu masih mengenakan kemeja garis-garis dengan setelan berwarna merah marun yang serasi dengan maniknya, tak heran gadis itu mengira bahwa kedatangannya berhubungan dengan pekerjaan. Namun pemuda itu tak langsung menjawab pertanyaannya. Ia mengambil salah satu bangku yang sudah dinaikkan ke atas meja, membalikannya dan meletakkannya di lantai. Baru setelahnya pemuda itu kembali berkata, "Tidak. Aku datang ke sini bukan karena urusan pekerjaan."

"B-begitu?" Gadis itu kembali berkata dengan gugup.

Dari penampilannya, gadis itu yakin bahwa pemuda itu baru saja pulang kantor. Hanya saja setahunya, pemuda ini bekerja di tempat yang cukup jauh dari kafe miliknya. Bila tidak macet saja, pemuda ini akan membutuhkan waktu dua jam untuk tiba di kafe. Melihat kondisinya, si gadis tidak yakin pemuda ini datang hanya untuk meminum kopinya di malam hari seperti ini. Namun bagaimana pun juga, ia tetap menanyakannya.

"Apa kau mau kopi?" Gadis itu berkata kembali. "Kalau mau akan kubuat…"

Pemuda itu mengangguk. "Kalau tidak merepotkan."

'Kalau tidak merepotkan?' Gadis itu membatin. Tidak merepotkan bagaimana? Sudah jelas sangat merepotkan karena ia harus mengisi kembali mesin kopi yang sudah dibersihkannya dan mengeluarkan kembali cangkir yang sudah di lapnya. Ia juga harus mengeluarkan susu juga caramel yang telah ia simpan sebelumnya. Namun ia tidak menyuarakan protesnya dan memilih untuk membuatkan kopi bagi pemuda yang dipanggilnya Kaa-chan itu.

Sementara ia bekerja, pemuda dengan manik semerah delima itu memandanginya hampir tanpa berkedip. Mulai dari cara gadis itu menyelipkan sedikit rambut hijau lumutnya ke belakang telinga karena menghalangi pandangan, kerutan di dahi gadis itu ketika memilihkan cangkir untuknya, juga ketika kedua manik hijau zamrud itu bersembunyi di balik kelopak karena sang pemilik tengah menghirup harumnya kopi. Sungguh pemandangan yang akan membuat pemuda itu tersenyum saat memandangnya, bila saja tidak ada benda yang bersinar malu-malu di jari manis gadis itu.

Perhatian pemuda itu pun tertuju sepenuhnya pada benda bersinar yang melingkar di jari manis si gadis. Berlian putih mungil yang terkadang memantulkan cahaya itu membuat si pemuda memicingkan matanya, berharap bahwa ia dapat menghancurkan benda tersebut. Ia ingin sekali merebut benda itu dan meremukannya dalam genggamannya. Benda jahanam yang menjadi pertanda bahwa Izuku takkan menyandang nama Midoriya lagi.

"S-Silakan kopinya," kata gadis itu sembari meletakkan secangkir kopi di atas meja. Dahi gadis itu berkerut sejenak ketika melihat pemuda itu mengamati jemarinya saat ia meletakkan cangkir. Namun ia tidak mau memusingkannya dan memilih untuk segera berbalik dan meninggalkan pemuda itu dengan kopinya.

Sayangnya, pemuda itu memanggil kembali namanya dan memintannya untuk menemaninya. Tak punya pilihan, Izuku pun kembali berbalik dan diam di samping pemuda itu. Pandangannya terarah ke lantai, sementara tangannya mencengkeram apron yang masih dikenakannya erat-erat.

"Duduklah, Deku!"

Entah tidak mendengar, entah berpura-pura tidak mendengar, Izuku atau yang dipanggilnya Deku tetap berdiri di sampingnya sembari memegangi apron. Pandangan matanya tertuju pada lantai, seperti yang selama ini selalu gadis itu lakukan bila bertemu dengannya. Benar-benar seperti 'Deku'.

Pemuda itu memilih untuk tidak menghiraukan sikapnya. Perhatiannya kini tertuju pada cangkir cangkir yang diletakkan di atas meja dan menghirup sedikit aromanya. Harumnya memenuhi indera pemuda itu dan membuat rasa letihnya saat menyetir ke tempat ini lenyap untuk sesaat. Tanpa menunggu, ia pun mendekatkan cangkir tersebut ke bibirnya dan menikmati minuman yang baru saja dibuat oleh mantan kekasihnya.

Gadis itu sendiri masih di sana, mematung dan tidak bersuara. Menyadari kehadirannya, pemuda itu pun kembali mengalihkan perhatian dan berkata, "Bagaimana kabarmu, Deku?"

"B-Baik," jawab gadis itu hampir tanpa berpikir. "K-Kaachan sendiri, bagaimana?"

Wajah pemuda itu menunjukkan senyum yang tidak biasa. Bakugou Katsuki yang ada dalam ingatannya tidak seperti ini. Pemuda itu lebih sering menumpahkan emosinya dibanding tersenyum dengan penuh pengendalian diri, seperti yang ia lakukan saat ini. Terlebih ketika ia berkata, "Buruk, sangat buruk."

Gadis itu menelan ludah. Instingnya berkata sebaiknya ia tidak meneruskan pembicaraan ini. Katsuki yang tersenyum bukanlah Katsuki. Ia sudah terbiasa menangani Katsuki yang marah, tapi bukan Katsuki yang ini. Ia justru semakin takut, seolah-olah ia tengah menghadapi bom waktu yang tidak bisa ditebak kapan akan meledak.

Tak mau mengambil resiko, gadis itu pun memilih untuk melarikan diri dari pembicaraan. Ia pun membalikkan tubuhnya dan berkata, "K-Kurasa, aku harus membuang sampah. Sampah organic, sangat merepotkan kalau tidak dibuang sekarang."

"Deku…"

"K-Kaa-chan duduk saja," kata gadis itu lagi, "aku akan segera kembali!"

Sebelum Izuku dapat melangkah lebih jauh, pemuda yang tengah menikmati kopinya itu tiba-tiba menahan tangannya. Sikapnya membuat gadis itu bergidik sedikit dan kembali mengalihkan lagi perhatiannya pada pemuda itu.

Tidak ada amarah di wajah pemuda itu sekalipun tangan yang mencengkeram Izuku membuatnya sedikit nyeri. Merasakan sakitnya, Izuku pun meringis sedikit. Ia berharap pemuda itu akan melepaskannya dengan segera, walaupun ia tahu, harapannya itu mustahil.

"Tunggu sebentar, Deku!" Pemuda itu berkata, "Aku masih ingin berbicara denganmu."

Izuku menelan ludah. Tangannya gemetar. Kakinya ingin melangkah sejauh mungkin, namun pergelangan tangannya ditahan oleh pemuda itu. Tanpa daya, Izuku hanya bisa menunduk pasrah, berharap pemuda itu akan segera melepaskannya.

Tangan Katsuki menuruni pergelangan tangannya dan menyentuh jari manisnya. Ia mengangkat tangan Izuku, membawanya mendekat ke wajahnya untuk mengamati lebih seksama benda bersinar yang melingkari tangan mantan kekasihnya. Sekali lagi, tak ada amarah yang melintas di wajah pemuda itu.

"Kulihat hubunganmu dengan Todoroki ada kemajuan," ujar pemuda itu sembari mengangkat jemarinya dan menunjukkan cincin yang melingkari jari manisnya. "Tunangan?"

Kepala gadis itu mengangguk sedikit mendengar pertanyaan pemuda itu. "B-begitulah."

"Sejak kapan?"

"Dua… bulan yang lalu," ujar Izuku sambil menundukkan kepala.

Alis Katsuki terangkat mendengar perkataannya sementara pandangannya tertuju pada cincin di jemari sang gadis. Ia memutar jemari gadis itu ke kiri dan kanan, berusaha mendapatkan pandangan yang menyeluruh. Sembari mengamati, ia berkata, "Kapan kalian akan menikah?"

"T-tiga bulan lagi," jawab Izuku ragu-ragu.

"Setelah ia kembali dari Amerika?"

Gadis itu menganggukkan kepalanya mendengar pertanyaan sang pemuda. Ia tidak heran. Berita mengenai pemuda itu pasti sudah sampai juga di telinga Katsuki. Mungkin salah satu temannya yang menyampaikan berita itu padanya.

Katsuki menggerakkan kepalanya sedikit melihat gadis itu hanya mengangguk. Namun sesi interograsinya belum selesai. Ia pun kembali mengajukan pertanyaannya, "Lalu? Setelah menikah kalian akan tinggal di sana?"

Manik hijau Izuku mengerjap-ngerjap sesaat. Tak lama kemudian, gadis itu pun mengangguk dan berkata, "Ya."

"Menetap di sana?"

Lagi-lagi Izuku mengangguk. Melihatnya, pemuda itu pun mendenguskan tawa sinis dengan pandangan yang tertuju pada cincinnya. Di luar dugaan, pemuda itu kembali berkata, "Jauh sekali."

Ragu-ragu, Izuku mengangkat kepalanya dan mengerutkan dahi. Ia takut bahwa ia salah dengar, sehingga ia berkata, "Y-ya?"

Namun ia tidak salah dengar. Katsuki berani memastikannya. Bahkan pemuda itu melangkahkan kakinya mendekat pada gadis itu dan berbisik pelan di hadapannya, "Jauh sekali, ia membawamu."

Alarm tanda bahaya meraung-raung di kepala gadis itu. Ini gawat. Benar-benar gawat. Saking gawatnya, gadis itu pun memutuskan untuk mengambil sedikit jarak antara dirinya dan pemuda itu. Sembari menatap sang pemuda dengan waspada, gadis itu kembali berkata, "K-Kaachan…"

"Apa dua jam perjalanan masih belum cukup baginya," Katsuki kembali bertanya pada gadis itu, "hingga ia memilih membawamu ke Amerika?"

"K-Kaachan," Izuku mulai panik. Hari sudah malam, karyawannya sudah pulang semua. Tidak akan ada orang yang dapat menyelamatkannya bila pemuda ini menyerangnya. Ia berusaha untuk menghindari kemungkinan itu dengan berkata, "Jangan seperti ini, kumohon!"

"Ia sudah merebutmu dariku," Katsuki kembali berkata, tidak terpengaruh dengan bujukannya, "sekarang ia hendak membawamu pergi jauh dari hadapanku."

"B-bukan, Shouto tidak melakukannya," protes gadis itu ketika menyadari siapa yang dimaksud pemuda itu. Bahkan ia melanjutkan protesnya dengan berkata, "Hubungan kita yang sudah berakhir, Kaa-chan…"

Seharusnya ia diam saja. Seharusnya ia tidak termakan perkataan Katsuki dan membuat segalanya lebih buruk. Kalau saja ia dapat menutup mulutnya…

"Dia merebutmu!" Katsuki berkata dengan suara meninggi. "Dia membuatmu berpaling dariku! Dia mengambilmu dariku! Gadis yang seharusnya kunikahi… Gadis yang ingin kubahagiakan direbut olehnya…"

"K-Kaa-chan…"

"Apa perkataan manisnya membuatmu tergoda, Deku?" Pemuda itu berkata sembari menyentuh dagunya. "Atau cincin berliannya yang berkilauan membuatmu bertekuk lutut di bawah kakinya?"

Izuku menggelengkan kepala. Tidak. Bukan itu. Izuku bukan orang seperti itu. Izuku… Izuku hanya…

"Aku pun bisa mengucapkan beribu-ribu rayuan manis untukmu, Deku," lanjut pemuda itu. "Cincin berlian yang lebih besar pun dapat kuberikan untukmu."

"Aku… aku tidak…"

"Kembalilah padaku," kata pemuda itu sembari memeluk pinggangnya. "Jangan menikah dengannya!"

Takut-takut, Izuku menggelengkan kepalanya, "M-Maaf, Kaachan…"

"Kau ingin kafe yang lebih besar pun akan kuberikan," ujar pemuda itu lagi, "apa pun yang pemuda itu berikan, akan kuberikan padamu dua kali lipat!"

"A-aku…"

"Kembalilah," ujar pemuda itu sembari memeluknya erat dan meletakkan kepala di bahunya, "kembalilah padaku!"

Menelan ludah, Izuku sekali lagi berkata, "Maaf."

Katsuki menggelengkan kepalanya. "Dia tidak membutuhkanmu, Deku. Aku yang membutuhkanmu. Kembalilah padaku!"

"Kaa-chan," Izuku menggerakkan tangannya yang lain dan mendorong pemuda itu, "Sudah cukup!"

"Aku tidak bisa," pemuda itu kembali menggelengkan kepalanya, "aku tidak bisa hidup tanpamu, Deku."

"Maafkan aku, Kaa-chan."

Maaf. Hanya itulah yang dapat dikatakan oleh gadis yang dikasihinya. Tidak sekalipun gadis itu mengiyakan permintaannya. Hanya 'Maaf' dan 'Maaf', seolah tak ada kata lain yang dapat diucapkannya. Tapi bukan itu, bukan itu yang diinginkan Katsuki.

Ia menginginkan gadis itu di sisinya. Todoroki Shouto tidak membutuhkan gadis itu. Buktinya, ia bisa meninggalkan gadis itu dan pergi ke Amerika tanpanya. Berbeda dengan Katsuki, yang malah terjebak dalam neraka insomnia berkepanjangan ketika gadis itu meninggalkannya. Tapi apa yang dikatakan gadis itu?

Maaf dan hanya maaf.

"Aku tidak butuh maafmu," ucap Katsuki dengan nada getir, "aku ingin kau kembali."

"Ma…"

"Sudah cukup!" Katsuki membentak gadis itu. "Sudah… cukup!"

Izuku tersentak mendengar pemuda itu membentaknya. Secara refleks, tubuhnya gemetar sementara matanya menyiratkan ketakutan. Kedua tangan yang selama ini ia takuti tengah berada di atas lengannya, mencengkeramnya begitu erat hingga Izuku tidak bisa bernapas. Takut. Ia sangat takut pada pemuda ini.

Menyadari ketakutannya, pemuda itu pun melonggarkan cengkeramannya pada Izuku. Ia menarik napasnya, berusaha mengembalikan ketenangannya. Ia memejamkan matanya, berusaha untuk tidak menatap mata Izuku.

"Deku, pikirkan baik-baik," pinta pemuda itu dengan suara lebih pelan. "Kita sudah lebih lama bersama, kita sudah lebih lama mengenal dan mengerti sifat masing-masing. Bersamaku akan lebih baik dibanding bersamanya."

Sekali lagi Izuku menggeleng. "Maaf."

Katsuki berusaha mengabaikan setiap rasa sakit yang muncul setiap kali Izuku mengatakan 'maaf'. Ia menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkannya. Ia belum menyerah.

"Bukankah aku yang berada di sampingmu ketika ayahmu meninggal?" Katsuki kembali berkata, "Ataupun ketika kau sakit bukankah aku yang menemanimu? Bukankah aku selalu bersamamu?"

Izuku terdiam selama beberapa saat dan berkata, "Ma…"

Pemuda itu lebih dulu memotong ucapannya dengan berkata, "Kenapa kau terus saja mengatakan 'maaf'?"

Gadis itu terdiam sesaat. Ia menatap pemuda yang tengah menunduk di hadapannya dan berkata, "Karena… aku tidak bisa lagi bersamamu, Kaa-chan."

"Kau bisa!" Pemuda itu berkata, "Kau harus bisa!"

Sekali lagi gadis itu menggelengkan kepala, ia sudah hendak mengucapkan kata 'maaf' lagi sebelum tangan pemuda itu melayang dan mendarat di pipinya dengan keras. Untuk sesaat, gadis itu terdiam begitu juga dengan Katsuki.

"Jangan…," kata pemuda itu lagi, "jangan katakan lagi…"

Seharusnya ia takut, seharusnya ia tidak bisa melawan. Namun entah mengapa gadis itu malah mengangkat kepala dan menatap manik merah Katsuki. Bahkan dengan nada tegas, gadis itu berkata, "Setidaknya, Shouto tidak pernah memukulku, Kaa-chan."

"I-itu…"

"Bersamamu selalu menyakitkan," kata gadis itu sembari menundukkan kepala. "Bersamamu memberiku ketakutan yang tiada akhir."

"A-aku…"

"Kumohon!" Gadis itu berkata sembari menatapnya sedih, "Lepaskan aku!"

Katsuki menggelengkan kepalanya. Tidak. Ia tidak bisa. Ia tidak bisa melepaskannya. Gadis itu pernah menjadi miliknya. Gadis itu pernah bahagia bersamanya. Kenapa sekarang gadis itu menatapnya seperti itu?

"Deku…?"

Ia mengulurkan tangannya hendak menyentuh wajah si gadis, namun gadis itu menggelengkan kepalanya dan mundur selangkah darinya.

"Maafkan aku," ucap gadis itu untuk terakhir kalinya dan sembari menatap matanya gadis itu berkata, "Selamat tinggal, Kacchan!"

Gadis itu berbalik, menghadapkan punggungnya pada Katsuki yang masih mematung dengan tangan terulur. Ia berjalan, selangkah demi selangkah menjauh dari pemuda itu.

Masih terpana, Katsuki bahkan tidak menyadari ketika gadis itu melepaskan diri darinya dan membalikkan badan. Lagi-lagi, punggungnyalah yang dihadapkan pada Katsuki dan semakin lama semakin menjauh darinya. Kalau terus seperti ini, gadis itu benar-benar akan meninggalkannya, selamanya.

Katsuki pun berlari. Untuk pertama kalinya ia mengejar punggung itu.

Dan ia akan mendapatkannya.

Bagaimana pun caranya.

.

.

.

Day 1: Sorry

Gadis yang terbaring di atas ranjang itu mengangkat kelopak matanya perlahan-lahan. Hal pertama yang dilihatnya hanyalah plafon putih dan ruangan yang didominasi dengan warna putih. Sejauh ia memandang, hanya ada perabotan berwarna putih dengan dinding bercat putih. Jendela di samping ruangannya memantulkan gelapnya langit malam yang kontras dengan ruangannya. Namun gadis itu mengalihkan dengan cepat pandangannya hingga akhirnya berhenti di satu titik.

Sembari menggerakkan kepala, gadis itu mengamati sosok pemuda berambut pirang pucat yang tengah memegangi tangannya sementara kepalanya terantuk di sampingnya. Warna putih menyembul sedikit dari rambut pirang pucatnya sementara satu tangannya dibalut hingga membuat kemeja bergaris-garis yang dikenakannya harus digulung sebatas lengan.

Sesaat, dahi pemuda itu berkerut dan pemuda itu terlihat gelisah dalam tidurnya. Karenanya, gadis itu pun menyentuhkan telunjuknya pada dahi si pemuda, berharap bahwa kerutan itu akan menghilang dan pemuda itu dapat tidur dengan nyaman. Sayangnya, ia tidak menyadari bahwa tingkahnya justru membuat pemuda itu terbangun.

"Ng?"

Sang gadis terkejut. Pemuda itu tiba-tiba mengangkat kepalanya ketika ia menyentuh dahinya. Sontak ia menyembunyikan lagi tangannya dan mengerjapkan mata, menunggu pemuda itu bicara.

Awalnya pemuda itu menguap lebar dan mengerjapkan matanya beberapa kali. Sembari menggosok-gosok matanya, pemuda itu mengangkat kepala dan memutar pandangannya. Manik merah si pemuda bertemu dengan manik miliknya. Selama sesaat mereka hanya saling menatap, sebelum mata pemuda itu melebar dan ia berkata, "D-Deku?"

Sang gadis menggerakkan sedikit kepalanya, namun tak ada ekspresi berarti di wajahnya. Ia justru lebih tertarik untuk mengamati ekspresi pemuda itu yang kerap berganti dengan cepat. Sesaat pemuda itu terkejut, sesaat lagi senang dan terakhir kesedihanlah yang mampir di wajahnya. Melihatnya membuat gadis itu heran, betapa banyaknya ekspresi yang ditunjukkan pemuda itu padanya.

"Kau sudah sadar?" Pemuda itu bertanya begitu melihatnya, pertanyaan bodoh sebenarnya, tentu saja gadis itu sudah sadar. Mungkin karena itu ia langsung menggantinya dengan berkata, "Apa ada yang sakit? Apa ada yang tidak nyaman? Katakan padaku! Deku?"

Bukannya menjawab, gadis itu malah menggerakkan kepalanya dan berkata, "Ini … di mana?"

"Di rumah sakit," jawab pemuda itu cepat. Namun ia segera bertanya lagi, "Kau baik-baik saja? Apakah ada yang sakit?"

Pemuda itu mengulangi pertanyaannya, namun si gadis hanya menggelengkan kepala. Melihatnya, pemuda itu pun menghela napasnya lega dan kembali duduk di kursi yang diletakkan di samping ranjang si gadis. Lalu ia pun berkata, "Syukurlah!"

Masih memandanginya, gadis itu kembali berkata, "Kau terluka?"

Alis si pemuda terangkat sedikit mendengar pertanyaannya. Pandangannya tertuju pada kepala dan lengannya yang diperban sebelum ia berkata, "Oh, ya. Sedikit."

"Kepalamu…," kata gadis itu, "berdarah?"

Si pemuda mengangguk. "Tidak masalah."

"Kenapa… bisa begitu?"

Pemuda itu kini mengerjapkan matanya. "Apa?"

"Kenapa… kau terluka?"

Alis pemuda itu berkerut ketika mendengar pertanyaannya. Sedikit ragu, pemuda itu kembali berkata, "Mobil yang kita tumpangi mengalami kecelakaan."

Sang gadis kembali mengangguk mendengar perkataan pemuda itu. Namun pertanyaannya belum berakhir sampai di situ. Ia pun melanjutkannya dengan berkata, "Kenapa… bisa kecelakaan?"

"Karena…," ujar pemuda itu sembari memicingkan mata, sedikit curiga, "karena hujan, jalanan licin kala itu dan akhirnya kita menabrak pembatas jalan."

Mengerjapkan mata, gadis itu pun mengangguk sekali. Pandangan gadis itu kini tertunduk dan ia menggerakkan kepalanya dengan bingung.

"Kau…," ragu-ragu pemuda itu berkata, "kau tidak ingat?"

Kepala si gadis kembali diangkat. Manik sehijau zamrudnya mengedip beberapa saat sebelum akhirnya ia menggelengkan kepala. "Tidak. Aku tidak ingat apa pun."

"Tidak… ingat apa pun?"

Sekali lagi gadis itu menggeleng dan ia berkata, "Tidak."

"Apa…," tanya pemuda itu ragu-ragu, "kau tahu siapa aku?"

Kepala gadis itu digerakkan sedikit sebelum akhirnya ia berkata, "Tidak. Apa… apa kau mengenalku?"

"Mengenalmu?" Nada pemuda itu sedikit meninggi ketika mendengar pertanyaannya. "Tentu saja aku mengenalmu."

Manik hijau zamrudnya melebar mendengar perkataan antusias dari pemuda itu. Tertarik, gadis itu pun langsung berkata dengan nada yang sama antuasiasnya, "Siapa? Siapa kau?"

Mulut pemuda itu terbuka dan matanya menatap gadis itu dengan tidak percaya. Untuk sesaat, ia tetap bergeming dengan pandangan yang terus tertuju pada si gadis.

"Bagaimana mungkin…," ujar pemuda itu, "bagaimana mungkin… kau tidak mengenalku?"

Mendengar perkataan pemuda itu, sang gadis pun berkata, "M-maaf."

Sang pemuda menggelengkan kepalanya dan dilihatnya gadis itu tengah tertunduk dengan sedikit kesedihan terlintas di wajahnya. Melihatnya, ia pun akhirnya berkata, "Katsuki. Bakugou Katsuki."

Kepala gadis itu terangkat kembali dengan pandangan tertuju pada pemuda berambut pirang pucat dengan manik semerah delima itu. Ia mengerjapkan matanya sesaat dan mengulangi perkataan pemuda itu, "Bakugou…-san?"

Pemuda itu menelan ludah, namun tangannya terulur pada gadis itu. Ia menarik kepala gadis itu dan mendekatkannya ke pelukannya. Matanya terpejam sementara dahinya dibenamkan d antara rambut ikal sang gadis

"Kau… tidak memanggilku seperti itu."

"M-maaf," kata gadis itu lagi, "B-Bagaimana harusnya aku memanggilmu?"

"Kac… Katsuki," ucap pemuda itu. "Kau memanggilku Katsuki."

"Kat…suki?" Gadis itu berkata, "Apa itu benar, Katsuki?"

Sesaat, pemuda itu terdiam sebelum anggukan lemah terasa di kepala gadis itu. Samar-samar, gadis itu merasakan ada sesuatu yang basah menyentuh kepalanya hingga membuatnya semakin tidak enak. Ia yakin, pemuda itu tengah bersedih karena ia tak dapat mengingatnya, sehingga ia kembali berkata, "Maaf."

Perkataan itu mengembalikan kesadaran Katsuki. Tanpa sadar ia kembali berkata dengan suara meninggi, "Untuk apa meminta maaf?"

Kaget, gadis itu menjawab dengan gugup, "A-aku… tidak dapat mengingatmu, k-karena itulah kau menangis?"

Pemuda itu terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya ia berkata, "Memang."

Kepala si gadis semakin tertunduk mendengar perkataan pemuda itu. Ia semakin gugup dan mengatakan maaf berulang kali sehingga Katsuki kembali mendekat padanya sembari melingkarkan tangannya di tubuh mungil gadis itu. Tangannya mengusap pelan rambut si gadis hingga membuat gadis itu mengangkat kepalanya.

"Tidak apa," kata pemuda itu, "tidak apa-apa."

"T-tapi," kata gadis itu lagi, "kau sangat sedih, kau… kau pasti spesial untukku."

Katsuki mengerjapkan mata mendengar perkataan gadis itu. Spesial? Dirinya? Gadis itu menganggapnya spesial karena ia mengalirkan air mata?

"Siapa?" Gadis itu berkata lagi. "Kau ini siapa bagiku, Katsuki?"

Katsuki terdiam ketika mendengar pertanyaannya. Untuk sesaat, ia menatap si gadis, namun ia hanya menemukan keingintahuan semata. Ia pun menundukkan kepala, tidak berani menjawab. Haruskah ia mengatakannya? Haruskah ia mengatakan seperti apa dirinya bagi gadis itu? Haruskah…?

"Katsuki?"

Karena tak kunjung dijawab, gadis itu pun menggerakkan tangannya dan memegangi lengan Katsuki. Untuk sesaat, perhatian Katsuki pun tertuju pada lengannya sebelum ia menemukan sesuatu yang bersinar di jemari gadis itu.

Tepat saat itulah, ia menemukan jawabannya.

"Aku…"

Gadis itu menatapnya, penuh harap.

"Suamimu."

"Ya?"

"Aku suamimu," ujar pemuda itu. "Bakugou Izuku."

.

.

.

t.b.c

Author's note :

Yay! Fic pertama saya di fandom My Hero Academia. And… truthfully, I haven't decided for the pair, so it could be Katsudeku or Tododeku. No quirks, AU as usual :p

Oh, btw, untuk pengganti kata 'chapter' saya menggunakan kata 'days', tapi tenang aja, nggak mungkin juga saya tulis sampe 90 chapter, jadi jangan kaget kalo tiba-tiba days nya tau-tau jadi day 10 atau day 11, dsbnya :P

Aniway, if you have something on your mind about the story, please leave me a review, so I know there's someone reading this fic XD

Thank you again XD

With love,

Cyan.